Penulis : Kasman Renyaan
Foto: Penulis K.R. 2016 |
Pengantar
Sejarah kampung merupakan sejarah yang dilukiskan oleh masyarakat kampung berdasarkan cerita yang diwariskan dari generasi pertama ke generasi berikutnya. Kisah yang dilukiskan biasanya diawetkan melalui cerita-cerita orang tua oleh orang Mangge-Mangge menyebutnya Kacucula (cerita orang tua), sebagai sejarah. Ini tentunya tidak akan disertai dokumen tertulis. Namun bukan berarti kampung itu, tak memilik sejarah. Karena sejarah ada dan menjadi milik semua orang. Sejarah kampung orang-orang kecil, memang akan sulit ditemukan dalam bukti tertulis (arsip). Paling tidak ada informasi terputus yang mengambarkan tentang kisah kampung itu. Hal ini tentu berbeda dengan kampung yang didirikan oleh mereka yang pandai berdokumentasi atau pembangunan pemukiman penduduk atas proyek penguasa. Segala aktifitas pembangunan akan terdokumentasi dengan rapi, baik untuk kebutuhan arsip atau untuk laporan pertanggujawaban terkait proses pelaksanaan kegiatan. Sehingga generasi selanjutnya dapat memanfaatkan itu sebagai sumber data (sejarah).
Dalam kaitan ini generasi awal yang datang mendirikan Kampung Mangge-Mangge, tidak memiliki kecakapan komunikasi tulis selain melafalkan doa melalui hafalan mantra laut dan pegangan lelaki. Dalam pelayaran perahu dari dearah asalnya, Buton Sulawesi Tenggara, di antara pendiri yang ikut perahu tidak sejauh cerita yang dilukiskan generasi kampung ini, tidak ada orang yang khusus bertugas sebagai juru tulis. Di dalam perahu yang ada halanya juru masak, juru mudi, juru batu dan lainnya. Tidak seperti para musafir muslim atau penjelajah Eropa di masa lampau saat mencari rempah di Kepulauan Maluku. Biasanya di dalam kapal sudah terdapat beberapa juru tulis yang dipersiapkan sebelum di mulai ekspedisi, dengan tugas mencatat segala apa yang dilalui dan dilewati sepanjang perjalaan termasuk ketika menyinggahi suatu kawasan tertentu.
Berbeda dengan ekspedisi itu. Pelayar Buton ke pesisir pantai barat Seram dan mendirikan pemukiman di kawasan itu tidak ada juru tulis, karena di dalam perahu yang bertugas menulis hanyalah juragang untuk merekam untung rugi pengeluaran barang dagangan. Itupun berlaku hanya juragang yang telah mengikuti pendidikan sekolah rakyat. Bagaimana dengan generasi sebelum mengenal tradisi tulis? Sepert saat proses awal terbentuknya komunitas pemukiman Buton di kampung itu. Karena itulah, pintu masuk untuk menuliskan sejarah kampung dan masyarakat pendukungnya hanya dapat dilakukan dengan mengunakan sumber lisan atau tradisi lisan. Lewat cerita kolektif masyarakat atau nyanian penghibur tidur oleh orang tua kepada anaknya. Akan tetapi, untuk nyayian pengantar tidur anak di saat ini telah tergantikan dengan teknologi moderen, suara lagu tidak lagi berasal dari suara fals ibu tapi nyanian merdu yang diputar dari musik henponnya.
Sebagai sumber sejarah masyarakat, tradisi lisan biasanya tersimpan dalam memori kolektif masyarakatnya. Namun sejarawan selalu diingatkan pada cara kerja untuk sampai ketahapan terakhir menulis sejarah (historiografi). Semua jenis data yang telah terkumpul tidak serta diulas dalam tulisan sejarah, tetapi perlu divervikasi dengan metode kritik sumber, baik kritik internal maupun kritik eksternal (baca: metodologi) agar kedudukan data betul-betul ditempatkan pada posisinya, tampa mengabaikan ruang dan waktu. Setelah itu menemukan makna dari atas fakta tersebut, proses ini diperlukan perenungan agar interpertasi sampai pada maksud dari peristiwa yang diulas dalam sejarah.
Penamaan Kampung
Istilah Mangge Mangge yang kemudian dijadikan sebagai penanda untuk menyebut kampung Buton di pesisir pantai barat Seram, berasal dari nama pohon jenis mangrove oleh masyarakat setempat menyebutnya mangge-mangge. Sebuah pohon yang telah berusia ratusan tahun tumbuh liar di bagian pantai utara kawasan kampung itu. Karena dianggap simbol dan identitas kampung beberapa warga setempat yang peduli lingkungan, sempat melakukan perawatan atas sebuah pohon kelompok tumbuhan dari marga Rhizophora, suku Rhizophoraceae itu. Namun kini hilang tampa berbekas akibat usia pohon menua dan selalu dihantam ombak besar di musim barat. Kurangnya perhatian untuk melestarikan tumbuhan alam itu. Padahal dari sumber informasi yang diperoleh penulis di lapangan beberapa pemuka agama dan tokoh masyarakat menyesali hilngnya pohon sakral itu, pasalnya dari sebuah pohon itulah nama kampung mangge-mangge berasal.
Mantan Kepala Kampung Mangge-Mengge La RW, didampingi sekertarisnya La A, dan penghulu masjid raya Mangge-Mangge Abd, ditempat yang berbeda (Wawancara, di Kampung Mangge-Mangge 28 Februari 2016), melukiskan bahwa bila dilihat mulai dari Kampung Eli sampai Olatu, pesisir pantai barat Huamual ini, tidak ada satupun pohon Mangge-Mangge, yang dapat tumbuh di lepas pantai di kawasan ini. Hanya ada satu pohon di sini, yakni Kampung Mangge-Mangge. Jenis pohon itu unik, berbeda dengan tumbuhan mangge-mangge lainnya, warna batang dan daunnya agak kekuning-kunigan. Hal itu terjadi bukan karena kurang subur, akan tetapi menjadi ciri khas tersendiri.
Pohon mangge-mangge itu, diibaratkan manusia yang hidup seorang diri, anak yatim, tetapi mampu bertahan melampaui zaman dan generasi. Kini tumbang dan tidak ada lagi jejaknya. Akibat abrasi pantai, sebab tidak terawat. “Saya dulu pernah mengambil anakan mangge-mangge, dan memanamnya di tempat itu, memang sudah tumbuh, tetapi tidak bertahan lama. Saya berencana mengambil anakannya dari tempat lain, menanamnya kembali di tempat itu. Sebab, pohon itu menjadi logo kampung ini, karena punya nilai sejarah.” katanya.
Dalam tradisi lisan tokoh masyarakat sempat menyebutukan, bahwa pohon itu ditanam oleh La Tinda. Menjadi kenang-kenangan ketika berada di tanah Seram ini. Mangge-Mangge dianggap sebagai benteng pertahanan dalam mitos Kapitan Pela. Ketika terjadi pertempuaran antara Kapitan Pela, La tinda, La Bansa, La Sambila, melawan Kapitan Mursego, Bokeo, dan Kasturi, dari suku Alifuru, di Gunung Malintang, antara Luhu dan kampung Mangge-Mangge, dan sebagian Talaga.
Matapencarian Hidup
Terpisah, kehidupan masyarakat Kampung Mangge-Mengge yang kini berada di bawah peutuan Luhu itu, sebagian besar berasal dari usaha perikanan. Kampung ini menjadi penyuplai ikan untuk kampung-kampung Buton di wilayah pesisir barat Seram. Usaha jaring bobong menjadi adalan masyarakatnya, sejak 1980-an hingga sekarang. Dari usaha jaring bobong, anak-anak mereka bisa berpendidikan tinggi. Jika para lelaki mencari ikan di laut, sedangkan perempuan menungu anak dan suami mereka untuk menjajakan ikan tangkapan itu. Mereka (perempuan) di kenal dengan istilah jibu-jibu. Menjual ikan dari satu kampung ke kampung lainya. Biasanya para pembeli akan mengurung ikan jualan itu. Terjadi proses tawar-menawar antara penjual dan pembeli. Apabila sudah tercapai kesepakatan, maka pembeli akan membeli sesuai kebutuhannya.
Secara geografis, letak pemukiman penduduk di kampung ini bebukit. Sebagian rumah penduduk berada di dataran tinggi. Banjir bandang yang menimpa kampung ini (2012), mengakibatkan puluhan rumah hancur berantakan. Meskipun tidak ada korban jiwa, tetapi harta benda hilang terseret arus sungai.
Penutup
Upaya untuk tetap melestarikan sejarah kampung penting. Bahwa masyarakat kampung khusunya merek yang telah memiliki kecakapan ilmu pengetahuan, perlu menulis sejarah kampungnya, mengapa ini pentiang agar generasi penelus dapat memiliki kesadaran menghargai pengalaman dan jeripayah orang tetua mereka dahulu yang menetapkan nama kampung dan mendirikan pemukiman di kawasan itu bukan asal-asalan. Akan tetapi, penuh dengan ritual dan upacara sakral dengan niat agar kelak penduduk kampung ini dimudahkan rezekinya dipenjangkan umurnya dan masyaraktnya aman sejaterah dan sentosa. Ritual semacam ini bagi orang Buton seperti di Kampung Mangge-Mangge, dimulai saat pembokaran awal (parusan) lahan untuk mendirikan pemukiman. Biasanya dilakukan dengan upacara tertentu dan diakhir dengan doa selamat dalam Islam. Pada prinsipnya orang tua-tua generasi awal mendoakan kampung yang akan ditempati itu bukan hanya untuk mereka yang hidup pada masa itu, tetapi doa mereka melampau zaman dan generasi. Karena itu, kampung yang telahh didirikan dengan adat-istiadat perlu di ramat dan dijaga oleh genersi saat ini, dengan tidak merusak citra kampung, mabuk-mabukan, judi, minuman keras, narkoba dan semua jenis yang terlarang dihilangkan dari kampung itu, sebab orang tua-tua awal mendirikan kampung dengan adat-istiada dan doa selamat, untuk kesalamatan generasinya. **(K.R)
0 Comments:
Posting Komentar