Menyajikan Data Mengungkap Fakta Menjadi Sejarah

Sejarah

3/sejarah/post-list
Tampilkan postingan dengan label sosial. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sosial. Tampilkan semua postingan

Megungkap Ingatan Kolektif Sejarah Desa di Pesisir Barat Huamual

 

Dusun Mangge-Mangge di pesisir pantai barat Huamual

 Pengantar Wacana

Wacana pemekaran dusun jadi desa kembali bergulir seiring dengan hadirnya Undang-Undang Desa Tahun 2014. Kampung-kampung yang masih berstatus dusun ingin berkembang menjadi desa. Hal ini diperkuat dengan semangat reformasi dan visi pemerintahan Joko Widodo, membangun dari desa. Untuk menimplementasikan program itu Presiden Republik Indonesia yang ke 7 itu membentuk Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia yang membidangi urusan pembangunan desa dan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, percepatan pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi. 

Pada prinsipnya visi pemerintah untuk mewujudkan masyarakat maju, adil dan sejaterah dan itu harus dimulai dari desa. Karena itulah, pemerintah mengelontorkan angaran pembangunan desa melalui skema dana desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang diperuntungkan bagi desa yang ditrasfer melalui APBD Kabupaten/kota dan digunakan unuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan, kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat. 

Pertanyaanya kemudian apakah anggaran itu juga dialokasikan kepada dusun sebagai anak dari desa, yang tidak diatur secara khusus agar kampung yang bersatus dusun bisa menikmati pembangunan dari dana desa yang ada? Pastinya iya, semua sudah terencana dalam program desa untuk membangun dusun. Lalu bagaimana dengan desa yang memiliki puluhan anakan dusun yang memiliki jumlah penduduk justru lebih bayak dari desa, seperti yang terjadi di Huamual? Jawabanya tetap dapat anggaran dana desa. Akan tetapi, meminjam istilah liar masyarakat pesisir barat Huamual "dusun hanya dapat apas (sisa)" setelah desa induk merasa sudah berkelebihan. 

Tidak hanya itu saja, urusan-urusan admistrasi masyarakat dusun cukup menguras, tenaga, waktu dan biaya. Mengurus satu Surat Keterangan dari desa, misalnya meskipun sepucuk surat itu faktanya diperoleh secara gratis, tetapi kenyataanya masyarakat dusun-dusun harus mengelontorkan angaran ratusan ribu rupiah untuk biaya traspirtasi dan akomodasi dari dan ke desa (induk). 

Pengurusan admistrasi masyarakat dusun dirasa cepat bila kepala desa berada di tempat (kantor desa), jika tidak maka urusan menjadi panjang, masyarakat dusun harus bolak-balik demi mendapatkan sepucuk surat keterangan yang diurusnya. Masih banyak lagi sebetulnya persoalan-persoalan lain terkait rentang kendali urusan admistrasi masyarakat dan pembangunan dusun yang terabaikan dan diabaikan. Itulah sebanya, kemandirian dusun penting menjadi pertimbangan demi kemajuan dan kesejateraan masyarakat bangsa dan negara. 

Daerah tetangga, Kabupaten Buru, Buru Selatan, Kabupaten Seram Bagian Timur, dusun-dusun yang mayoritas beretnis Buton yang sudah dianggap layak menjadi desa, pemerintahnya memberikan jalan dan solusi terbaik sehingga dusun-dusun tersebut menjadi satu desa admistratif. Hanya di Kabupaten SBB yang sampai sekarang belum terealisasi. Wacana-wacana tersebut ditebarkan saat momentum politik kian dekat. Entah sampai kapan dusun-dusun di pesisir barat Huamual dan dusun-dusun di kecamatan lainnya di Kabupaten SBB mekar menjadi desa? Tanyakan saja kepada Bupati, Pemerintah Negeri (Induk), wakil rakyat, yang dapat menjawab itu?

Desa Alih Dusun

Hingga paru tahun 1980-an kampung-kampung yang terletak di pesisir pantai barat, Seram Barat, kini petuanan Desa Luhu dan Iha, Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, secara administrasi masih bersatus desa. Status desa yang disandang oleh kampung-kampung yang mayoritas beretnis Buton itu berdasarkan pada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 140-263, merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa. 

Dasar hukum itulah, sehingga identitas kependudukan setiap warga masyarakat di kampung-kampung tersebut beralamat desa. Misalnya Desa Air Papaya yang kini merupakan dusun dari petuanan Desa Iha. Kampung ini pada tahun 1970-an sampai 1980-an masih menyandang status desa, dengan nomor registrasi 81.02.08.2030 dalam wilayah adimistrasi Kecamatan Piru, Kabupaten Dati II Maluku Tenggah. Untuk lebih terang tentang kode registrasi itu dapat dilihat pada Daftar Nama dan Kode Desa/ Kelurahan di Indonesia, yang dihimpun Marsono, 1983. Entah mengapa di tahun 1980-an status desa itu kemudian berubah menjadi Dusun Airpapaya? 

Sadar Sejarah

Dalam ingatan kolektif penduduk yang kini menempati kawasan barat Huamual yang dikenal dengan istilah kampung "19-dusun" bahwa alih status desa ke dusun terjadi seiring dengan penarikan cap-cap (stempel) desa oleh pihak pemerintah negeri (negeri induk). Ketulusan dan kepolosan para orang tua di kampung-kampung yang mayoritas beretnis Buton, membuat mereka tak begitu peduli dengan urusan admistrasi pemerintahan yang ada kampung? Kenyataan ini terjadi karena kuragnya pengetahuan tentang betapa pentinya status admistrasi tersebut. Bagi mereka yang penting kebutuhan hidup terpenuhi, aman dan damai.

Pada sisi lain, periode tahun 1960-an 1980-an, orang Buton di kawasan pesisir barat Huamual khususnya para lelaki kebanyakan berfokus pada usaha pelayaran dan perdagang maritim di Laut Jawa, sehingga di antara kaum lelaki dewasa jarang dijumpai di kampung halamannya.

Sementara penduduk yang tidak melakukan kegiatan melaut hari-hari mereka kebanyakan dihabiskan di hutan bersama keluarganya, membongkar lahan membut kebun dan tinggal di kebun sampai berbulan-bulan lamanya, sehingga jarang terlihat berada di kampung. Apalagi untuk mengurus urusan pemerintahan di kampung, suatu yang dianggap merepotkan dan membuang-buang waktu. Salah satu strategi untuk mengindari itu adalah dengan tinggal di kebun bersama keluarga dalam waktu yang lama. Tugas lelaki selain berkebun juga memancing ikan di laut. Usai kegiatan melaut dilakukan di hari itu langsung kembali lagi ke kebun. Karena itu para lelaki jarang sekali di menetap di kampung.

Singkatnya, mereka yang hidup pada masa itu banyak yang mengindari urusan pemerintah desa, apalagi dalam waktu tertentu harus berurusan dengan aparat negara, seakan ada ketakutan tersendiri ketika diperhadapakan dengan polisi dan tentara atau raja dari negeri tertentu. Hal ini terjadi karena pendidikan yang rendah dan ketidaklancaran mengunakan bahasa Indonesia, sehingga dianggap sulit bila sewaktu-waktu harus berperkara atau berpidato di depan umum mengunakan bahasa Indonesia atau Melayu Ambon Maluku.

Dalam memahami persoalan penarikan stempel, kuat dugaan karena penduduk yang menempati kawasan pesisir itu "Bukan Anak Negeri." Pandangan subjektif ini boleh jadi telah terpikirkan oleh pemerintah negeri yang menganggap sebagai pemilik hak ulayat atas dasar sejarah kawasan yang ditempati. Meski keberadaan orang Buton di kampung-kampung mereka sejak jaman parinta Walanda (pemerintahan hindia Belanda). Akan tetapi, dikotomi-dikotomi bukan anak negeri menjadi suatu dugaan kuat, dari desa beralih menjadi dusun.

Beberapa di antara nama kampung yang berada dalam kawasan Hoamual (kini Huamual) itu, dapat dibaca (tertuang) dalam dokumen Walanda, "Topografi Inrichiting, Batavia 1914." 

Dalam laporanya Brusma, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia (1945), menyebutkan bahwa di kawasan pesisir itu, banyak di jumpai pemukiman penduduk "Binongko" bersama orang Sula mereka dikenal pekerja keras dan rajin. 

Keberadaan penduduk di kawasan ini bukanlah baru. Pasalnya, kakek moyang mereka sejak masa lalu abad ke 17 ada di kawasan ini sebagai pelayar pedagang dan berkontribusi dalam mempertahankan wilayah ini dari kuasa kolonialisme VOC. Dalam sejarah konflik Belanda versus penduduk lokal, misalnya ketika Kakiali, Kapitan Hitu hendak melakukan penyerangan terhadap Kompeni Belanda pada tahun 1634, Ia meminta bantuan kepada sekutunya Makassar, raja makassar lalu mengirim bala bantuannya yg pertama 43 jung dan 2.000 prajurit mendarat di Hoamual didalamnya seperti yang ditulis pejabat pemerintah Hindia Belanda, Keuning. Terdapat 30 pasukan Buton. Bersama Gimalaha Lailato di Hoamual mereka menyerang siteru mereka Kompeni. 

Penerus perjuangan Kaliali, Kapitan Tolukabesi, sebelum dieksekusi Kompeni di Benteng Victoria, Ambon bersama para pengikutnya pernah diasingkan di wilayah terluar dari kesultanan Wolio. Sultan Buton memberikan suatu tempat di Wangi-Wangi. Gugusan kepulauan itu dikenal pula  kepulauan Toekang Besi. Suber lain menyebutkan istilah tukang besi berasal dari nama raja Hitu Tolukabesi. Fakta lain menyebutkan bahwa ketika kerajaan Iha di Saparua pada tahun 1652  mulai terjepit akibat serangan Kompeni, maka Latu Sopakua, Kapitan Iha, meminta bantuan kepada Buton bersama menyerang kompeni, meski tak berhasil mencapai puncak Kemerdekaan.    

Melangkah maju sedikit ke depan, ketika Jepang mulai terjepit akibat desakan pasukan Sekutu yang berakhir dengan kemerdekaan Indonesia (1945). Di Maluku Jepang didesak dan diserang oleh kaum pemuda pembela tanah Air, banyak pemuda Buton dari pantai barat Hoamual ikut terlibat mengusir Jepang, termasuk menjadi pasukan pembantu (pengantra makanan) ABRI ketika menumpas gerakan seperatis di seram Bagian Barat, untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Masih banyak lagi peristiwa heroik lainnya dalam sejarah masyarakat pesisir Hoamual. Lantas mereka masih berada dalam cengkraman kuasa wacana bukan anak Negeri, meskipun mereka lahir dan besar di negeri yang mereka tinggali kini. Sadar sejarah untuk bangun negeri, menata masa depan.

Dikotomi Harus Diakhiri

Dikotomi asli dan pendatang harus diakhiri. Tutuntutan Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, sebetulnya telah mengisyaratkan bahwa secara kuantitas kampung-kampung yang masih berstatus dusun itu telah layak menjadi desa. Karena itu pemeritah daerah sebagai pemegang kewenangan harus mencari format yang baik agar status desa administratif segera terwujud, tampa mengabaikan mencedrai hak ulayat yang juga mendapat jaminan kepastian hukum adat. Belajar dari sejarah kebersaman orang dahulu.

Untuk mewujudkan itu, dibutuhkan peran pemerintah daerah sebagai pemberi solusi kemajuan. Pemerintah daerah, pemerintah negeri bersama-sama tokoh adat, tokoh masyarakat harus duduk berunding, dan mengandeng wakil rakyat bergandeng tangan harus bisa mencari format yang baik, mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi tatanan adat istiadat orang Maluku demi mewujudkan kesejateraan masyarakat.

Perlu diingat bahwa kampung-kampung yang berstatus dusun itu, penduduk dan wilayahnya akan terus berkembang, juga menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks, sehingga kebebasan mengatur admistrasi negerinya penting bukan hanya soal dana desa, tetapi sebagai wujud dari implematasi visi pemerintah negeri ini bahwa membangun bangsa dan negara di mulai dari desa. Jangan lagi ada dikotomi, hentikan janji politik kosong.*** (KR).

 


Share:

Pembenci Tabliq Akbar itu Setan

 

Tabliq Akbar di Mesjid Raudathul Jannah, Dusun Amaholu

Tabliq Akbar, kegiatan luar biasa yang punya nilai ibadah tinggi. Pahalanya berlipat ganda, pasalnya dikerjakan di bulan suci dan penuh berkah. Ramadhan, saatnya berbuat baik untuk mensucikan kalbu yang kotor dengan menghadirkan pikiran bersih.

Kegiatan Tabliq Akbar yang digagas oleh kaum terpelajar dari Kampung Amaholu ini, selain sebagai media dakwa juga menjadi wadah belajar dan bersilaturahmi sesama umat Islam umumnya lebih khususnya warga Kampung Amaholu, pantai barat Seram, Maluku.  Sebagaimana pesan yang disajikan pada tema " Mempererat Ukhuwa dengan Takwa di Bulan Suci Ramadhan."

Acara itu telah berlangsung beberapa kali di Mesjid Raudatul Jannah Kampung Amaholu dan mesjid yang ada di Kampung Amaholu Los pada minggu ketiga di bulan suci Ramadhan. Dengan menghadirkan dua nara Sumber muda produktif, Ustat Risman Jakariah dan Ustat Anin Lihi, M.Ag.

Kegiatan yang dibarengi dengan momentum buka bersama di mesjid yang diartikan "Taman Surga" itu berlangsung hikmat pada Minggu, (02/06/2019) Sore lalu.

Tampak banyak orang tua, pemuda, mahasiswa, pelajar (SMA, MTS, MI) dan bahkan Anak Usia Dini (RA) hadir mendengarkan suguhan cerama dari ustat muda Risman Jakariah. Dari dalam kerumunan jamaah terdengar suara-suara liar sembari mengagumi kipiawaian Al-hafis saat memboboti materi-materi ceramahnya dengan dalilil Al-Quran dan Al-Hadist, yang sesekali melafaskan syair-syair Arab untuk mempertegas peryataan dalam dakwanya.

Para jamaah terlihat sangat antosias mendengar ceramah itu, mereka bukan hanya masyarakat Amaholu, tetapi tetangga kampung, Amaholu Los pun hadir berkelompok, termasuk kelompok ibu-ibu Majelis Ta'alim dari kampung tersebut.

Menariknya lagi, kegiatan ini di motori oleh kaum terpelajar generasi milineal dari Kampung Amaholu, yang melibatkan unsur pemuda dan mahasiswa. Didukung penuh oleh kelompok ibu-ibu Majelis Ta'alim Raudatul Janah 01 dan 02 dari kampung ini. Para ibu-ibu majelis ta'alim tidak hanya menjadi peseta tablik, tetapi juga aktif sebagai pembuat takjil untuk menu buka bersama. Aneka kue disuguhkan. Termasuk Asida, kue kesukaan banyak orang ada di dalamnya.

Acara yang dibarengi dengan batal bersama itu mendapat sambutan positif dari masyarakat dua kampung bertetangga. Amaholu dan Amaholu Los. Bahkan beberapa masyarakat berharap agar kegiatan tersebut harus juga dilaksanakan di bulan suci tahun depan.

Dalam cerahmanya di hari terakhir, Ustat Risman, mengajak para jamaah untuk menghadirkan cinta dalam hati. Cinta kepada Allah SWT dan Rasullulah Saw. Karena dengan hadirnya cinta di hati, manusia akan terus mengingat Allah. Termasuk menjalangkan ibadah shalat tepat waktu, tampa harus menunda-nunda waktu untuk menunaikan ibadah wajib tersebut. Tidak hanya itu, Al-Hafis mengingatkan pula agar para istri mencintai dan menjaga harta suaminya demikian pula para suami mencintai istrinya, sehingga cercipta keluarga paripurna  dengan harapan ridoh Allah.

Karena itu, ayo kita hadirkanlah cinta dalam hati agar pikiran menjadi bersih, tidak selalu berprasangka buruk terhadap orang-orang yang berbuat baik. Sebab, yang membenci dan tidak suka dengan kegiatan positif, seperti tablik akbar itu adalah SETAN. Akan tetapi, perlu diingat pula bahwa keberhasilan dan suksesnya acara bukan karena banyaknya para jamaah yang hadir, tetapi keistiqamaan penceramah dan jamaah itu sendiri.

(Catatan kecil ini ditulis disudut ruang (degu-degu) dari sebuah ponsel ditemani sang buah hati, Fahzin Al-Ghofiqi K. Renyaan, Minggu, 02 Juni 2019, Malam)

Share:

Gelar Ode dalam Kehidupan Sosial Orang Buton

 

 

Benteng Kesultanan Buton Gambar Googel

Sebuah Pengatar

Gelar Ode yang disandang pada setiap awal atau akhir, dari nama sebagian besar orang Buton, LA, atau WA, merupakan gambaran dari status sosial tertinggi dalam sisilah dan sistem kekerabatan orang Buton. Sebab, gelar ini diyakini sebagai warisan budaya Buton dalam lingkaran istana kesultanan dahulu. Dan orang-orang yang menyandang gelar tersebut, merupakan kasta pertama, ketika Buton tampil sebagai sebuah kerajaan bercorak maritim, di wilayah Sulawesi Tenggara, pada abad ke-13, bersamaan dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Sehingga generasi ode, telah terintegrasi ke dalam orang yang paling istimewa dan disitimewakan. Karena itu, orang Buton lain yang bukan berasal dari keturunan ode, dulu dinggap sebagai orang-orang pesuruh (budak). Mereka bekeja sebagai abdi, yang harus menjaga dan melayani sang majikan di lingkungan istana kerajaan Buton.

Padahal, jika ditelusuri lebih jauh lagi bahwa peranan abdi, di dalam kerajaan tutut berpengaruh terhadap kejayaan kerajaan itu sendiri. Sebab, merekalah yang setiap saat bersama sang raja, menyiapkan makan, membersihkan tempat tidur, menemani jalan keliling istana, dan termasuk orang yang mengetahui rahasia kerajan, serta bisa saja menghabiskan nyawa sang raja, jika mereka inginkan. Karena mereka orang-orang yang turut-serta bersama sang raja, kemana pun sang raja pergi.

Walaupun disisi lain, para abdi itu terkadang menjadi sasaran amarah sang baginda raja, tetapi mereka tatap setia melakukan tugasnya, menghamba kepada sang raja. Ini menunjukan betapa istimewanya abdi, di hadapan sang rajanya, dan juga di lingkungan istana kerajaan. Olehnya itu, para abdi itu sudah selayakanya termasuk ke dalam katagori pahlawan kerajaan, karena mereka termasuk orang yang berjasa besar kepada kerajaan. Tetapi, kenyataanya sejarah sering kali mengabaikan peranan mereka. Sejarawan lebih suka mencatat dan memunculkan peranan tokoh-tokoh bersar, seperti para raja, dan mahapati. Kemudian mengabaikan ketanguhan prajurit rendahan, kesetian para abdi, dan masyarakat kecil yang terpingirkan.

Dalam konteks kekinian, gelar ini telah menjadi sebuah prestise (harga diri) sosial tersendiri, bagi sebagian orang Buton yang berketurunan ode. Terutama, di kampung-kampung Buton yang kurang tersentuh oleh akses pendidikan dan ilmu pengetahuan. Menurut anggapan sebagaian dari mereka, bahwa gerlar ode, dianggap sebagai warisan leluhur dan budaya Buton yang mesti dijaga kemurniannya. Karena ode termasuk orang-orang yang menempati kasta tertinggi dalam sisilah orang Buton. Namun saking mepertahankan kemurnian gelar itu,banyak dari mereka keliru dalam menafsirkan warisan kesultanan tersebut. Lebih-lebih pada kampung berpendudukan Buton yang masih kental dengan adat-istiadatnya. Gelar ini menjadi sesuatu yang sangat disakralkan.

Problematika yang terjadi untuk mempertegas kedudukan ode, dalam lingkungan sosial orang Buton. Katakanlah!Tegur-sapa yang merupakan wujud dari hubungan sesama manusia, terkadang menjadi permasalahan tersendiri. Ketika sesama orang Buton, sedang berjalan-jalan di kampung terpencil, yang penduduknya mayoritas berketurunan ode, maka tertentu tegur-sapa kepada orang tua, harus di dahulukan dengan kata ode atau idah. Sapaan itu, akan segera direspon, jika ada kata ode mengawali ucapan. Seperti, Ode lalopo, (Ode langar/lewat dulu) atau ode hora ka, (ode duduk), maka sang bapa ode, akan segera menyahuat sapaan itu dengan kalimat, ombee (iya). Tetapi, terkadang problem yang mewarnai sahutan itu juga, dengan respon candaan. Namun maknanya terkesan serius, seperti kalimat koniemo hora penauka (sudah tau duduk tanya lagi).

Ketika yang didahulukan kata ode, maka sang bapa ode, bisa saja bertanya dengan kalimat yang terdengar akrab, dan terkesan sopan, seperti imapa ka miana? (dari mana) atau impa kamintnte? (mau kemana). Ini tentu bukan saja sebagai bentuk penghormatan, tatapi lebih pada prestise sosial, sebab yang tertanam dalam mainset berfikir mereka adalah masih menganggap kedudukan mereka ditengah masyarakat perlu kiranya distimewakan. Karena sejarah mencatat, generasi mereka termasuk ke dalam katagori yang menempati kasta tertingi dalam sisilah orang Buton.

Berikut fakta sosial, penuturan dari informan beinisial F ketika berada di salah satu Dusun Buton, pesisir pantai Huamual Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), provinsi Maluku, saat berbincang dengan penulis melalui telpon gengam, Kamis (o5/02/2015).

“ Dulu saya bersama empat orang teman, pernah pergi di kampung sebelah, (kampung Buton yang mayoritas ode). Saat itu, kami bejalan melewati kerumunan, orang tua. Mereka sedang duduk di sebuah walang sedang, sambil asik bermain domino. Saat kami hendak melewati kerumunan itu, salah satu dari kami menegur mereka dengan kalimat, “hora kah,” (duduk), dari mereka ada yang menjawab ya, ada juga yang menjawab, “koniae hora penauka” (sudah tau duduk mau tanya lagi), memang terdengar candaan, hingga yang lain memandang kami sambil tertawa. Kami pun hanya bisa senyum dan berlalu. Setelah kami kembali dari kampung itu, kami pun berjalan hendak melewati seorang bapak tua, giliran saya yang menegur. Namun ketika saya mau menegur, teman saya mengingaktkan, di sini kalau tegur orang tua, harus dengan kata ode,” tampa bertanya aku langsung meperaktekannya. “Ode, lalopo (ode, lewat dulu),” dengan seyum, bapa ode menjawab, ombe (iya), lalu bapa ode pun bertanya kembali, “impae kamina?” (dari mana). Kami pun mengatakan tujuan kami yang sebenarnya dan berlalu.”

Dari penuturan di atas mengindikasikan, bahwa memang gelar ode bukan hanya sebagai status sosial, tatapi lebih pada prestise dari mereka yang mengunakan gelar itu. Disatu sisi, gelar ode merupakan budaya, status dan prestise sosial, tetapi disisi lain, gelar ode juga akan dianggap sebagaian orang Buton yang bukan dari keturunan ode, sebagai status sosial yang sedikitnya memperumit. Terutama ketika mereka sedang mengatur urusan pernikahan. Cinta manusia pun bisa saja terhalang, hanya karena gelar ini. Sebenarnya, kesalahan ini, lebih pada permasalahan, karena kurangnya pemahaman sejarah generasi mereka, yang tidak mengetahui asal-mula pengunaan gelar ini. Karena itu, kedudukan gelar ode sebagai sebuah prestise sosial orang Buton, perlu kiranya diluruskan kembali. Agar eksistensinya sebagi warisan budaya leluhur itu, bisa tetap terjaga dengan baik, hingga tidak disalah artikan dan disalah tafsirkan.

Dalam kesusatraan Indonesia, Kata Ode diadopi dari bahasa latin, yang dimasukan ke dalam kesuastraan Melayu-Indonesia pada 1930-an sebagai suatu jenis puisi baru. Versi lain menyebutkan, gelar Ode pertama kali digunakan pada Abad ke- 13 atau ke-14 oleh seorang perempuan hebat, dan termasuk penguasa Buton pertama, Ratu Wa Kaakaa. Pendapat ini dikuatkan dengan alasan bahwa kata La Ode berasal dari nama seorang filsuf Cina yang termashur yakni Laotze. Sebab, Wa Kaakaa diyakini sebagai anak dari raja Kubilai Khan, dari Cina. Ada pula menyebutkan penggunaan Ode pada masa pemerintahan sultan Buton, La Ngariirii atau Sultan Tzqiuddin Darul Alam, pada abad ke-18, terutama oleh menantunya, Saidi Raba, yang menyebut setiap anak di istana dengan sebutan Ode. Gelar ode pertama kali digunakan oleh para raja-raja di Buton ketika dilantik. Akan tetapi, setelah pelantikan, gelar Ode itu tidak digunakan lagi. Itulah sebabnya, jarang dijumpai penguasa (raja/sulatan) di Buton, mengunakan gelar Ode. (Abd. Rahman Hamid, 2011).

Bila dikaji lebih jauh, ternyata kata Ode berasal dari prama sastra melayu yang bermakna pujaan kepada seorang yang berjasa kepada Negara dan bangsa. Cara berfikir ini berkorelasi dengan tradisi lisan pendidiri kuasa Buton yang berasal dari Tanah Melayu, semenanjung Malaka, yakni Mia Patamia. Mereka berasal dari tanah Melayu dan karena jasanya meletakan dasar pemerintahan sehingga kemudian terbentuknya kerajaan Buton, maka mereka didiberi gelararan Ode sebagai tanda penghargaan atas jasanya. Karena itu mereka dan keturunannya terintegrasi ke dalam struktur social masyarakat Buton dan termasuk golongan social atas yang disebut walaka (Hamid, 2011).

Pengunaan gelar ini dalam realita sosialnya, di sebagian Dusun-dusun Buton, Kabupaten SBB, masih dianggap sesuatu yang sacral. Terutama ketika hendak mengatur urusan pernikahan. Gelar Ode ini siring menjadi peroblematika, saat pihak lelaki melakukan lamaran.

Apalagi, jika si gadis yang di lamar sang lelaki itu, bergelar atau keturunan ode, maka pertanyaan yang paling medasar dari pihak keluarga perempuan adalah apakah sang lelaki juga berasal dari keturunan ode? Jika ya, maka akan ditanyakan lagi, dari mana gelar ode itu diperoleh? Pertanyaan ini akan berlanjut terus-menerus hingga tuntas. Kalaupun memang lelaki sang pelamar itu, butul berasal dari keturunan Ode, maka ia masih juga melalui tahap uji validitas (uji kesahihan gelar). Dalam sebutan trenya sebagian para tetua orang Buton, di SBB, terkhusus di Dusun-dusun berpendudukan Buton ode, yang masih mensakralkan gelar ini dengan istilah “gali kepala air.” Sang pelamar (lelaki), atau pihak keluarga lelaki yang mewakili akan menuturkan secara detail, dari awal hingga akhir tentang status ode yang di sandangnya.

Secara simbolik, tikar, biasanya menjadi tempat sacral oleh para tetua kedua bela pihak bermusaawarah dan bermufakat. Istilahnya, dudu tikar (duduk di atas tikar). Berbagai sajian kue, rokok, dan tabako (tembakau), dijamukan. Dari atas tikar pula, keputusan itu diabil. Jika, sang lelaki benar berasal dari keturunan atau bergelar ode, lamaran akan diterima dan perkawinan akan segera dilangsungkan. Namun sang lelaki tetap dikenai biaya pernikahan, dengan memenuhi berbagai sarat adat yang ditentukan pihak perempuan. Tetapi, jika sang lelaki itu bukan berasal dari keturunan ode, dan perkawinan dengan terpaksa digelar, maka ia akan di kenakan biaya lebih besar, jikadibandingan pernikahan dengan sesama orang ode. Biaya besar yang dikeluarkan dalam pernikahan itu pula, masih belum termasuk ke dalam sejumlah syarat nikah yang harus dipenuhi.

Begitu berharganya status social gelar Ode, hingga tak jarang, cinta ditolak dan pernikahan tak direstui, lantaran terhalang oleh status ode. Ketika yang berketurunan ode adalah lelaki, dan perempuan yang di cintai bukan berasal dari keturunan ode, maka penihahan bisa saja di lakukan, tetapi terkadang kurang mendapat restu dari orang tua dan pihak keluarga.

Berikut penuturan bebarapa informan yang tidak mau menyebut nama mereka saat berbincang-bincang dengan penulis, Rabu, (40/02/2015):

“Ibu saya ketika menikah dengan Ayah, awalnya tidak direstui pihak keluarga Ayah. Lantaran gadis yang akan dinikahi ayah ini, tidak berasal dari ketutunan ode. Memang jelasnya, jika dirunut jauh ke balakang, ibu saya bukan berasal dari keturunan ode. Tetapi, karena Ayah mencintainya (ibu), beliau tetap memaksakan untuk menikah dengan ibu. Karena dasar sanling mencintai antar ibu dan Ayah. Pernikahan itu berlangsung terpaksa. Namun apa yang terjadi setelah pernikah. Keluarga Ayah, terutama ibunya ayah (nenek), seperti memusuhi ibu, tidak mengajak bicara dengan ibu, sampai ibu melahikan kakak saya yang pertama. Meskipun ibu tidak tidak disenangi oleh pihak kelurga ayah, tetapi ibu dengan penuh ketulusannya, tetap bersikap baik dengan pihak keluarga ayah. Bahkan ibulah yang paling memperhatikan dan mengurus kedua mertuanya (nenek dan kakek), diantara seluruh anak-anaknya yang lain (saudara-sadara ayah), terutama ketika kakek dan nenek sedang jatuh sakit. Ibulah yang sering berada disamping mereka. Menjaga dan merawat hingga mereka sembuh. Disitulah nenek, baru tersadar. Padahal orang yang selama ini di benci, dialah yang paling berjasa untuk kita.”

Dari kasus di atas, terkesan bahwa betapa berhargannya gelar ode, hingga pernikahan dilakukan terpaksa. Problem yang terjadi selanjutnya, ketika menjalani laku kehidupan rumah-tangga. Perasaan tidak suka (benci) masih melakat di fikiran keluarga, dasarnya hanya tidak bergelar ode. Padahal nyatanya orang yang tidak bergelar ode itu, lebih berharti mulia untuk keluaraga.

Lain lagi dengan penuturan yang disampaiakan informan N, yang belum menikah karena terhalang ode:

“Dikampung saya, ada orang yang karena pertahankan gelar Ode, ada perempuan sampai-sampai tidak lagi menikah, sekarang menjadi ode nenek nona.”

Dari kasus di atas menunjukan, perasaan cinta yang dimiliki manusia itu terhalang oleh gelar ode. Itulah dua contah kasus, yang hanyalah sedikit dari berbagai peristiwa bersejarah yang di alami orang buton yang tidak bergelar ode, saat menikah dan mempertahankan eksitensi dari kemurinan ode. Masih banyak lagi contoh kasus yang sama dan belum diungkap dalam tulisan ini. Menarik kiranya, jika di lakukan penelitian lebih mendalam.

Karena seiring pergeseran parameter status social, dan dari berbagai kasus seperti di atas, maka sebagian orang-orang tua, di kampung-kampung Buton di daerah SBB, yang berasal dari keturunan Ode, sengaja menyembunyikan gelar ode itu dari generasi mereka, agar nantinya tidak terjebak dengan prestise social gelar Ode. Dengan bergesernya parameter itu, maka saat ini sebagian generasi ode, sudah memaknai perikahan itu, tidak lagi dilihat pada gelar Ode, tetapi lebih pada status ekonomi, pendidikan, dan kesejateraan hidup, dengan landasan cinta dan kasih sayang. ** (K.R)*

 

Bacaan :

1.      Abd. Rahman Hamid. 2011.  Orang Buton Suku Bahari Indonesia: Yogyakarta. Ombak.

 2.   Tullisan diposkan penulis di media kompasiana denga judul “Problematika Gelar Ode Sebagai Status Sosial Orang Buton” diposkan 5 Maret 2015   10:29.


Share:

Unordered List

3/sosial/post-list

Latest blog posts

3-latest-65px

BTemplates.com

3/sosial/col-right
Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Statistik Pengunjung

Ekonomi

3/ekonomi/col-left

Publikasi

3/publikasi/feat-list

Error 404

Sorry! The content you were looking for does not exist or changed its url.

Please check if the url is written correctly or try using our search form.

Recent Posts

header ads
Ag-Historis

Text Widget

Sample Text

Pengikut

Slider

4-latest-1110px-slider

Mobile Logo Settings

Mobile Logo Settings
image

Comments

4-comments

Budaya

budaya/feat-big

Subscribe Us

Recent Posts

sejarah/hot-posts

Pages

Popular Posts