Subscribe Us

header ads

AKULTURASI KEBUDAYAAN ISLAM DI NUSANTARA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK SOSIAL DAN BUDAYA


KATA PENGANTAR

Mendahului kata pengantar ini, penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa Pengasih Lagi Maha Penyayang atas limpahan rahmat-Nya sehinga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini disusun dengan maksud untuk menambah bahan pengetahuan tentang “Akulturasi Kebudayaan Islam Dalam Persingunganya Dengan Kebudayaan Lokal Dalam Perspektif Ekonomi Politik Sosial Dan Budaya.”
Kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan budaya setempat, memudahkan Islam masuk ke lapisan paling bawah dari masyarakat. Akibatnya, kebudayaan Islam sangat dipengaruhi oleh kebudayaan petani dan kebudayaan pedalaman, sehingga kebudayaan Islam mengalami transformasi bukan saja karena jarak geografis antara Arab dan Indonesia, tetapi juga karena ada jarakjarak kultural.
Proses kompromi kebudayaan seperti ini, tentu membawa resiko yang tidak sedikit, karena dalam keadaan tertentu seringkali mentoleransi penafsiran yang mugkin agak menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, maka akhir kata penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari pembaca demi menyempurnakan penulisan makalah ini. Semoga penulisan ini bermanfaat bagi pembaca.

Makassar,   16 Juni 2015

Penulis:  K.R



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejarah  kehadiran Islam di Nusantara tidak terlepas dari perdagangan maritim. Sebab, misi utama para saudagar Arab, Persia dan India Islam adalah berdagang, sehingga ke datangan mereka bukanlah untuk menaklukan wilayah Nusantara, seperti orentasi siar Islam dalam misi Khilafah Islamiah yang terjadi di Eropa, ditegakan dengan jalan ekspansi (penaklukan) wilayah. Namun motivasi siar islam ke Nusantara lebih pada dorongan  individu dalam konteks perdagangan maritim. Karena dari individulah, islam itu tersiar dengan cara damai. Budaya maritim merupakan kontak Islam, sedangkan Hindu-Budha adalah agraris.
Sejak dikenalkannya jalur perdagangan laut di Asia Abad 1 Masehi, Nusantara bagian barat memetik manfaat dari interaksi perdagangan maritim. Disepanjang jalur itu terbentuk kantong-kantong niaga (imporium) yang berkembang menjadi kekuatan politik yang besar (emporium). Dalam proses itu, tersiar agama Hundu dan Budha, kemudian Islam dan Kristen (Hamid, 2013). Dalam konteks penyiaran agama, Islam diperkenalkan oleh para pedagang (da’i/muballigh) dari Arab, Persia dan India. Hasil dari kontak dagang dengan penduduk lokal, Islam dipertemukan dengan agama dan kepercayaan masyarakatnya lokal dengan penganut Hindu, Buddha dan penganut animisme dan dinamisme (Harmoni, 2012).
Dalam proses Islamisasi itu, berjalan dengan aman dan damai, tanpa pergolakan dan kegoncangan psikologis dan sosial yang berarti. Hal ini karena para Wali menggunakan pendekatan mistik dan kultural yang kental dengan simbol-simbol kebudayaan lokal, seperti melalui media perwayangan dan gamelan. Menurut Purwadi, akulturasi kebudayaan yang dipelopori oleh Wali Songo, dilanjutkan oleh para juru dakwah generasi berikutnya, sehinggga praktik Islam terlihat khas di Jawa. Di sini agama dan budaya berjalan secara selaras, serasi dan seimbang (Purwadi dan Enis Niken H, 2007: v dalam Asri, 2012: 9).
B.     Fokus Permasalaan
Agar tidak bias dalam mengkaji Akulturasi kebudayaan islam seperti judul yang terdapat dalam makalah ini, maka perlu mendapat  pijakan pengkajian, dengan fokus permasalahan dengan penegasan pertanyaan yaitu sebagai berikut: 
a.      Bagaimana Konsep Akulturasi Kebudayaan  Islam di Indonesia?
b.      Bagaimanan Persingungan kebudayaan Islam dan Kebudayaan Lokal?
c.       Bagaimanan Akulturasi Kebudayaan Islam dalam Perspektif Ekonomi, Politik, Sosial-Budaya?
C.    Tujuan Penuulisan
Penulisan makalah ini bertujuan yaitu sebagai berikut:
a.       Untuk mengkaji dan mengetahui Konsep Akulturasi Kebudayaan  Islam di Indonesia?
b.      Untuk mengkaji dan mengetahui bagaimanan persingungan kebudayaan islam dan kebudayaan lokal?
c.       Untuk mengkaji dan mengetahui Bagaimanan Akulturasi Kebudayaan Islam dalam Perspektif Ekonomi, Politik, Sosial-Budaya?
D.    Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini dapat bermanfaat yaitu secara teoritis diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terkait, “Akulturasi kebudayaan islam dalam persingunganya dengan kebudayaan lokal dalam perspektif ekonomi politik sosial dan budaya.” Sedangkan dari sisi praktis, diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak yang ingin mengkaji lebih jaut sejarah kebudayaan Islam di Indonesia, baik kalangan akademis maupun pemerhati budaya Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep Akulturasi Kebudayaan  Islam di Indonesia
Dalam catatan sejarah tentang siar islam, akulturasi menjadi konsep dasar pembentukan peradaban Islam di Nusantara. Konsep akulturasi dimainkan sedemikian rupa oleh para pedagang, yang ketika itu pula berperan sebagai mubaliq (wali) penyiar Islam, sehingga Islam menjadi agama yang mudah diterima penduduk lokal di Nusantara. Yang ketika itu, masih menjalangkan kebudayaan Hindu dan Budha, serta animisme dan dinamisme. Akulturasi, merupakan bentuk modifikasi kebudayaan tampa menghilangkan kebudayaan asli .
Istilah akulturasi atau kulturisasi mempunyai berbagai arti di berbagai para sarjana antropologi. Tetapi, semua sepaham bahwa itu merupakan proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan satu kebudayaan dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing, sehingga dapat diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan asli (Fathoni, 2006 : 30).  
Proses akulturasi ini dimaksudkan untuk mengola kebudayaan asing yang tidak menghilangkan unsure budaya asli hingga bisa diterima oleh penganut kebudayaan tersebut. Karena itu, dalam teori akulturasi, J Powel (dalam Baker Sj 1984: 115), mengungkapakan, akulturasi dapat diartikan sebagai masuknya nilai-nilai budaya asing ke dalam budaya lokal tradisional. Budaya berbeda itu bertemu, yang luar mempengaruhi yang telah mampan untuk menuju suatau keseimbangan. Sementara itu, Konjaraningrat (1990: 91), mengartikan, akulturasi sebagai suatu kebudayaan dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh suatu kebudayaan asing yang demikian berbeda sifatnya, sehingga unsur kebudayaan asing tadi lambat laun diakomodasikan dan diintegrasikan kedalam budaya itu sendiri tampa kehilangan kepribadiaan dan kebudayaanya.
Konsep akulturasi dimanfaatkan oleh para penyiar untuk menyiarkan agama Islam di Nusantara. Keberhasilan proses Islamisasi di Nusantara dengan konsep akulturasi ini, memaksa Islam sebagai pendatang, untuk mendapatkan simbol-simbol kultural yang selaras dengan kemampuan penangkapan dan pemahaman masyarakat yang akan dimasukinya dalam pengakuan dunia Islam. Langkah ini merupakan salah satu watak Islam yan pluralistis yang dimiliki semenjak awal kelahirannya (Sugiri 1996: 43).
Kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan budaya setempat, memudahkan Islam masuk ke lapisan paling bawah dari masyarakat. Akibatnya, kebudayaan Islam sangat dipengaruhi oleh kebudayaan petani dan kebudayaan pedalaman, sehingga kebudayaan Islam mengalami transformasi bukan saja karena jarak geografis antara Arab dan Indonesia, tetapi juga karena ada jarakjarak kultural. Proses kompromi kebudayaan seperti ini tentu membawa resiko yang tidak sedikit, karena dalam keadaan tertentu seringkali mentoleransi penafsiran yang mugkin agak menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
 Kompromi kebudayaan ini pada akhirnya melahirkan, apa yang di pulau Jawa dikenal sebagai sinkretisme atau Islam Abangan. Sementara di pulau Lombok dikenal dengan istilah Islam Wetu Telu (Zuhdi 2009: 111).  Islam dalam lintasan sejarah telah menjadikan Islam tidak dapat dilepaskan dari aspek lokalitas, mulai dari budaya Arab, Persi, Turki, India sampai Melayu. Masing-masing dengan karakteristiknya sendiri, tapi sekaligus mencerminkan nilai-nilai ketauhidan sebagai suatu unity sebagai benang merah yang mengikat secara kokoh satu sama lain. Islam sejarah yang beragam tapi satu ini merupakan penerjemahan Islam universal ke dalam realitas kehidupan umat manusia (Zuhdi 2012: 58).
B.     Persingungan kebudayaan Islam dan Kebudayaan Lokal
Nilai universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting, dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Ajaran-ajaran Islam yang mencakup aspek akidah, syari'ah dan akhlak (yang sering kali disempitkan oleh sebagian masyarakat menjadi hanya kesusilaan dan sikap hidup), menampakkan perhatiannya yang sangat besar terhadap persoalan utama kemanusiaan dan budaya di Indonesia yang sangat plural (Asnawan, 2011: 85).
Islam sebagai agama yang berkarakteristikkan universal, dengan pandangan hidup (weltanchaung) mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran Islam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam (Kuntowijoyo 1991: 229).
Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Inilah yang diistilahkan Gus Dur dengan "pribumisasi Islam".
Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia dan telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Masjid Demak adalah contoh konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep 'Meru' dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya, orang baru beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnya syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat (Wahid  1989: 92).
Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitektur asing, arsitektur Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindu. Islam, sementara itu tidak memindahkan simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia. Hanya akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan. Dengan fakta ini, terbukti bahwa Islam tidak anti budaya. Semua unsur budaya dapat disesuaikan dalam Islam. Pengaruh arsitektur India misalnya, sangat jelas terlihat dalam bangunan-bangunan mesjidnya, demikian juga pengaruh arsitektur khas mediterania. Budaya Islam memiliki begitu banyak varian (Kuntowijoyo 1991: 92).
Kebudayaan lokal yang populer di Indonesia banyak sekali menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan populer di Indonesia. Kosakata bahasa Jawa maupun Melayu banyak mengadopsi konsep-konsep Islam. Taruhlah, dengan mengabaikan istilah-istilah kata benda yang banyak sekali dipinjam dari bahasa Arab, bahasa Jawa dan Melayu juga menyerap kata-kata atau istilah-istilah yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan. Istilah-istilah seperti wahyu, ilham atau wali misalnya, adalah istilah-istilah pinjaman untuk mencakup konsep-konsep baru yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam khazanah budaya popular (Kuntowijoyo 1991: 235).
Dalam hal penggunaan istilah-istilah yang diadopsi dari Islam, tentunya perlu membedakan mana yang "Arabi-sasi", mana yang "Islamisasi". Penggunaan dan sosialisasi terma-terma Islam sebagai manifestasi simbolik dari Islam tetap penting dan signifikan serta bukan seperti yang dikatakan Gus Dur, menyibukkan dengan masalah-masalah semu atau hanya bersifat pinggiran (Wahid 1989: 92).
Begitu juga penggunaan term shalat sebagai ganti dari sembahyang (berasal dari kata 'nyembah sang Hyang') adalah proses Islamisasi bukannya Arabisasi. Makna substansial dari shalat mencakup dimensi individual-komunal dan dimensi peribumisasi nilai-nilai substansial ini ke alam nyata. Adalah naif juga mengganti salam Islam "Assalamu'alaikum" dengan "Selamat Pagi, Siang, Sore ataupun Malam". Sebab esensi doa dan penghormatan yang terkandung dalam salam tidak terdapat dalam ucapan "Selamat Pagi" yang cenderung basa-basi, selain salam itu sendiri memang dianjurkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya (Asnawan, 2011: 92).
Proses dialog Islam dengan tradisi masyarakat diwujudkan dalam mekanisme proses kultural dalam menghadapi negosiasi lokal. Perpaduan antara Islam dengan tradisi masyarakat ini adalah sebuah kekayaan tafsir lokal agar Islam tidak tampil hampa terhadap realitas yang sesungguhnya. Islam tidak harus dipersepsikan sebagai Islam yang ada di Arab, tetapi Islam mesti berdialog dengan tradisi lokal masyarakat setempat (Zuhdi 2012).
Dialog dengan tradisi lokal dengan wujud kulturasi, sehingga budaya lokal dapat dimodifikasi dengan budaya islam yang dibawa para penyiar. Dalam konteks itu, akulturasi kebudayaan Islam dalam persingungannnnya dengan kebudayaan lokal seperti dalam masyarakat Bugis, bahwa ada sinergi antara keteguhan dalam adat dengan ketaatan beragama. Dengan menjadikan adeq (adat) dan saraq (syariat) keduanya sebagai struktur dalam panggaderreng (undang-undang sosial), maka ini menyatukan fungsi keduanya dalam mengatur kehidupan. Selanjutnya dalam banyak aktivitas adat telah diadaptasi dengan prinsip-prinsip keislaman.
Islam diterjemahkan ke dalam perangkat kehidupan lokal dengan tetap mempertahankan pola yang ada kemudian ditransformasi ke dalam esensi tauhid. Dengan menggunakan potensi lokal ini digunakan sebagai strategi untuk membangun spiritualitas tanpa karakter kearaban. Islam dalam nuansa adat Bugis diinterpretasi kedalam nilai dan tradisi sehingga membentuk identitas masyarakat Bugis. Akhirnya, perjumpaan adat dan agama dalam budaya masyarakat Bugis menunjukkan telah terjadi dialog dan merekonstruksi sebuah budaya baru dalam nuansa lokal (Wekke 2013: 28).
C.    Akulturasi Kebudayaan Islam dalam Perspektif Ekonomi, Politik, Sosial-Budaya
Akulturasi kebudayaan islam dalam persingunganya dengan kebudayaan lokal dalam perspektif ekonomi, politik, sosial, dan budaya dapat dilihat dari  cara-cara para mubalik menyiarkan islam ketika itu, guna mewujudkan misi islam sebagai agama rahmatan lillalamin. Beberapa pola akulturasi kebudayaan Islam yaitu sebagai berikut:
1.      Ekonomi
   Seperti telah disingung sebelumnya, bahwa kedatangan islam di Indonesia merupakan bentuk dari pencarian sumber penghidupan (ekonomi) dalam konteks perdagangan maritim, yang dilakukan para pedagang Islam dengan penduduk lokal. Walhasil, tersiarlah agama Islam, mulai dari masyarakat pesisir pantai hingga masyarakat yang bermukim kepelosok pegunungan. Dorongan ekonomi dalam konteks perdagangan melalui jalur laut, menjadi pintu masuk penyiaran islam  di Nusantara. Itulah sebabnya, kontak budaya maritim merupakan kontak budaya Islam di Nusantara. Sedangkan Hindu-Budha lebih pada agraris.
  Kerajaan Majapahit, yang bercorak Hindu-Budha, mundur dari kejayaannya salah satu faktornya adalah orentasi pemerintahan ke wilayah agraris. Dalam konteks itu, secara alamiah yang mendukung Manapahit dapat berkembang menjadi negara maritim dalam pemikiran Mahan, tidak mendapat pijakan kuat. Sebab, kemunduran Majapahit antara lain karena peralihan orentasi kebijakan pemerintah, dari laut ke darat. Ketika Majapahit mencapai kejayaanya dan kemakmuran dari hasil perdagangan laut Jawa, masyarakat dari kalangan istana cendrung membangun candi-candi dam menyelengarakan ritual suci di pedalaman. Perlahan mereka meninggalkan kegiatan maritim, sebaliknya kegiatan berorientasi agraris senakin berkembang. Peralihan ini didukung oleh kondisi alam Jawa yang subur dan memungkinkan masyarakatnya mengembangkan kegiatan pertanian. Walhasil, potensi perdagangan maritim abad ke-15 diabaikan.  
Kondisi ini dimanfaatkan oleh pedagang-pedagang lokal pesisir yang sudah menganut Islam, yang sebelumnya bekerja mengurus perdagangan secara otonom atas nama Majapahit. Setelah mencapai kemapangan ekonomi, ditengah orentasi perubahan kerajaan saat itu, mereka tampil menjadi kekuatan baru dan mulai terlepas dari pengaruh istana. Kelompok-kelompok inilah yang kemudian mendirikan pusat kekuatan politik Islam (Kesultanan) di Jawa, seperti Demak, Jepara dan Banten (Hamid 2013: 224-225).
 Kesibukan lalu lintas perdagangan abad ke-7 sampai abad ke-16, perdagangan antara negeri-negeri di bagian barat, Tenggara dan Timur benua Asia dan dimana pedagang-pedagang Muslim (Arab, Persia, India) turut serta menggambil bagiannya di Indonesia. Penggunaan saluran islamisasi melalui perdagangan itu sangat menguntungkan. Hal ini menimbulkan jalinan di antara masyarakat Indonesia dan pedagang (Tjandrasasmita 1984: 200).
Proses islamisasi melalui saluran perdagangan itu dipercepat oleh situasi dan kondisi politik beberapa kerajaan di mana adipati-adipati   pesisir berusaha melepaskan diri dari kekuasaan pusat kerajaan yang sedang mengalami kekacauan dan perpecahan. Secara umum Islamisasi yang dilakukan oleh para pedagang melalui perdagangan itu mungkin dapat digambarkan sebagai berikut: mulal-mula mereka berdatangan di tempat-tempat pusat perdagangan dan kemudian diantaranya ada yang bertempat tinggal, baik untuk sementara maupun untuk menetap.
  Lambat laun tempat tinggal mereka berkembang menjadi  perkampungan-perkampungan. Perkampungan golongan pedangan Muslim dari negeri-negeri asing itu disebut Pekojan (Tjandrasasmita 1984: 201).
Dari sudut ekonomi, para pedagang muslim memiliki status sosial yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi, terutama putri-putri bangsawan, tertarik untuk menjadi istri saudagar-saudagar itu. Sebelum menikah, mereka diislamkan terlebih dahulu. Setelah setelah mereka mempunyai kerturunan, lingkungan mereka makin luas. Akhirnya timbul kampung-kampung, daerah-daerah, dan kerajaan-kerajaan muslim (Yatim 2007: 202).
2.      Politik
Pengaruh kekuasan raja sangat berperan besar dalam proses Islamisasi. Ketika seorang raja memeluk agama Islam, maka rakyat juga akan mengikuti jejak rajanya. Rakyat memiliki kepatuhan yang sangat tinggi dan raja sebagai panutan bahkan menjadi tauladan bagi rakyatnya. Misalnya di Sulawesi Selatan dan Maluku, kebanyakan rakyatnya masuk Islam setelah rajanya memeluk agama Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini (Tjandrasasmita 1984: 206-207).
3.      Sosial
   Sebelum kedatangan Islam, pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha mempengaruhi kehidupan masyarakat Nusantara. Terutama, orang-orang yang hidup dilingkungan istana kerajaan. Wujud akulturasi dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan dapat dilihat pembagian lapisan masyarakat berdasarkan sistem kasta. Masuknya Islam, membkongkar sistem kasta itu dan memperlakukan setiap manusia sama. Karena bagi ajaran Islam yang membedakan manusia dengan manusia lainya adalah tingkat keimanannya. Itulah sebabnya, Islam mudah diterima penduduk lokal. Selain itu, syarat masuk Islam sangat mudah, yakni cukup mengucapkan kalimat syahadat. Agama Islam tidak mengenal perbedaan sosial, tidak membedakan si kaya dan si miskin, tidak membedakan warna kulit, dan sebagainya. Sebab, menurut agama Islam, perbedaan itu hanya ada pada tingkat keimanan dan ketakwaan seseorang di hadapan Allah SWT.
4.      Budaya
     Konversi Islam nusantara awalnya terjadi di sekitar semenanjung Malaya. Menyusul konversi tersebut, penduduknya meneruskan penggunaan bahasa Melayu. Melayu lalu digunakan sebagai bahasa dagang yang banyak digunakan di bagian barat kepulauan Indonesia. Seiring perkembangan awal Islam, bahasa Melayu pun memasukkan sejumlah kosakata Arab ke dalam struktur bahasanya. Bahkan, Taylor mencatat sekitar 15% dari kosakata bahasa Melayu merupakan adaptasi bahasa Arab (Taylor 2003: 105).
     Selain itu, terjadi modifikasi atas huruf-huruf Pallawa ke dalam huruf Arab, dan ini kemudian dikenal sebagai huruf Jawi. Bersamaan naiknya Islam menjadi agama dominan kepulauan nusantara, terjadi sinkretisasi atas bahasa yang digunakan Islam. Sinkretisasi terjadi misalnya dalam struktur penanggalan Çaka. Penanggalan ini adalah mainstream di kebudayaan India. Secara sinkretis, nama-nama bulan Islam disinkretisasi Agung Hanyakrakusuma (sultan Mataram Islam) ke dalam sistem penanggalan Çaka. Penanggalan çaka berbasis penanggalan Matahari (syamsiah, mirip gregorian), sementara penanggalan Islam berbasis peredaran Bulan (qamariah). Hasilnya pada 1625, Agung Hanyakrakusuma mendekritkan perubahan penanggalan Çaka menjadi penanggalan Jawa yang sudah banyak dipengaruhi budaya Islam.
   Nama-nama bulan yang digunakan tetap 12, sama dengan penanggalan Hijriyah (versi Islam). Penyebutan nama bulan mengacu pada bahasa Arab seperti Sura (Muharram atau Assyura dalam Syiah), Sapar (Safar), Mulud (Rabi’ul Awal), Bakda Mulud (Rabi’ul Akhir), Jumadilawal (Jumadil Awal), Jumadilakir (Jumadil Akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sya’ban), Pasa (Ramadhan), Sawal (Syawal), Sela (Dzulqaidah), dan Besar (Dzulhijjah). Namun, penanggalan hariannya tetap mengikuti penanggalan Çaka sebab saat itu penanggalan harian Çaka paling banyak digunakan penduduk sehingga tidak bisa digantikan begitu saja tanpa menciptakan perubahan radikal dalam aktivitas masyarakat (revolusi sosial) (http://setabasri01.blogspot.com). Hasil Akulturasi Budaya Islam dan Budaya lokal Indonesia Akulturasi pada seni musik terlihat pada musik qasidah dan gamelan pada saat upacara Gerebeg Maulud.

BAB III
PENUUTUP
A.    Kesimpulan
Sejarah  kehadiran Islam di Nusantara tidak terlepas dari perdagangan maritim. Melalui kontak dagang itu, maka tersiarlah agama Islam. Hasil dari kontak dagang dengan penduduk lokal di Nusantara, maka Islam dipertemukan dengan agama dan kepercayaan  masyarakatnya lokal dengan penganut Hindu dan Buddha serta animisme dan dinamisme.
Kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan budaya setempat, memudahkan Islam masuk ke lapisan paling bawah dari masyarakat. Akibatnya, kebudayaan Islam sangat dipengaruhi oleh kebudayaan petani dan kebudayaan pedalaman, sehingga kebudayaan Islam mengalami transformasi bukan saja karena jarak geografis antara Arab dan Indonesia, tetapi juga karena ada jarakjarak kultural.
Proses kompromi kebudayaan seperti ini, tentu membawa resiko yang tidak sedikit, karena dalam keadaan tertentu seringkali mentoleransi penafsiran yang mugkin agak menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Kompromi kebudayaan ini pada akhirnya melahirkan, apa yang di pulau Jawa dikenal sebagai sinkretisme atau Islam Abangan. Agama dan kebudayaan Islam yang masuk ke Indonesia mempengaruhi kebudayan asli Indonesia, sehingga menimbulkan akulturasi kebudayan, maka lahirlah corak baru kebudayan Indonesia. Akulturasi kebudayaan islam dalam persingunganya dengan kebudayaan lokal dalam perspektif ekonomi, politik, sosial, dan budaya dapat dilihat dari  cara-cara para mubalik menyiarkan islam ketika itu, guna mewujudkan misi islam sebagai agama rahmatan lillalamin.
B.     Saran
Kebudayaan Islam di masa lalu mestinya harus tetap dijaga dan di lestarikan, oleh Umat Islam, sehingga kebudayaan Islam itu tidak hilang akbat arus globalisasi dalam masa kekinian. Dan dakwa Islam harus tetap ditegakan di Bumi Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA


Asnawan, 2011. Islam dan Akulturasi Budaya Lokal di Indonesia.  Jurnal Falasifa. Vol. 2 No. 2 September 2011. Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Falah As Sunniyyah Kencong-Jember.
Asri, M. Yusuf, 2012. Merekontruksi Gerakan Masa Depan, dalam Harmoni, Jurnal Multikultural & Multireligius  Volume 11, Nomor 1, Januari - Maret 2012.
Baker Sj, J.WM. 1984. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar. Jogjakarta: Kansius.
Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Antropologi Sosial Budaya Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Konjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: UI Press.
Kuntowijoyo. 1991. Paridigma Islam. Cet. III. Jogjakarta: Mizan.
Hamid, 2013. Sejarah Maritim Indonesia. Jogjakaarta: Ombak.
Harmoni, 2012. Penyiaran Agama dan Dinamika Sosial dalam Masyarakat Plural. Pengantar Redaksi, Jurnal Multikultural & Multireligius  Volume 11, Nomor 1, Januari - Maret 2012.
Sugiri, Ahmad. 1996. Proses Islamsisasi dan Percaturan Politik Umat Islam di Indonesia, dalam Al- Qalam, Majalah Ilmiah Bidang Keagamaan dan Kemasyarakatan, No. 59/XI/1996. Serang: IAIN SGD.
Tjandrasasmita, Uka, (Ed.). 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Taylor, Jean Gelman 2003.  Indonesia: Peoples and Histories. New Haven: Yale University Press.
Wahid, Abdurrahman. 1989. Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia, Menatap Masa Depan. Cet. I,  Jakarta: P3M.
Wekke, Ismail Suardi. 2013. Islam dan Adat: Tinjauan Akulturasi Budaya dan Agama dalam Masyarakat Bugis. Jurnal Volume XIII, Nomor 1, Juni 2013. Sorong: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Yatim, Badri. 2007. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Press.
Zuhdi, Muhammad Harfin. 2012. Dakwa dan Dealektika Akulturasi Budaya. Jurnal RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 46-64. IAIN Mataram.
____________     2009. Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, Jakarta: Lemlit UIN Jakarta.

Posting Komentar

1 Komentar