KATA PENGANTAR
Mendahului kata pengantar ini, penulis memanjatkan puji dan
syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa Pengasih Lagi Maha Penyayang
atas limpahan rahmat-Nya sehinga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini disusun dengan maksud untuk menambah bahan
pengetahuan tentang “Akulturasi Kebudayaan Islam Dalam
Persingunganya Dengan Kebudayaan Lokal Dalam Perspektif Ekonomi Politik Sosial
Dan Budaya.”
Kemampuan Islam untuk
beradaptasi dengan budaya setempat, memudahkan Islam masuk ke lapisan paling
bawah dari masyarakat. Akibatnya, kebudayaan Islam sangat dipengaruhi oleh
kebudayaan petani dan kebudayaan pedalaman, sehingga kebudayaan Islam mengalami
transformasi bukan saja karena jarak geografis antara Arab dan Indonesia,
tetapi juga karena ada jarakjarak kultural.
Proses kompromi
kebudayaan seperti ini, tentu membawa resiko yang tidak sedikit, karena dalam
keadaan tertentu seringkali mentoleransi penafsiran yang mugkin agak menyimpang
dari ajaran Islam yang murni.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, maka akhir kata penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari
pembaca demi menyempurnakan penulisan makalah ini. Semoga penulisan ini
bermanfaat bagi pembaca.
Makassar, 16 Juni 2015
Penulis: K.R
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejarah kehadiran Islam di Nusantara tidak terlepas
dari perdagangan maritim. Sebab, misi utama para saudagar Arab, Persia dan
India Islam adalah berdagang, sehingga ke datangan mereka bukanlah untuk
menaklukan wilayah Nusantara, seperti orentasi siar Islam dalam misi Khilafah Islamiah yang terjadi di Eropa,
ditegakan dengan jalan ekspansi (penaklukan) wilayah. Namun motivasi siar islam
ke Nusantara lebih pada dorongan
individu dalam konteks perdagangan maritim. Karena dari individulah, islam
itu tersiar dengan cara damai. Budaya maritim merupakan kontak Islam, sedangkan
Hindu-Budha adalah agraris.
Sejak
dikenalkannya jalur perdagangan laut di Asia Abad 1 Masehi, Nusantara bagian
barat memetik manfaat dari interaksi perdagangan maritim. Disepanjang jalur itu
terbentuk kantong-kantong niaga (imporium) yang berkembang menjadi kekuatan
politik yang besar (emporium). Dalam proses itu, tersiar agama Hundu dan Budha,
kemudian Islam dan Kristen (Hamid, 2013). Dalam konteks penyiaran agama, Islam
diperkenalkan oleh para pedagang (da’i/muballigh) dari Arab, Persia dan India.
Hasil dari kontak dagang dengan penduduk lokal, Islam dipertemukan dengan agama
dan kepercayaan masyarakatnya lokal dengan penganut Hindu, Buddha dan penganut
animisme dan dinamisme (Harmoni, 2012).
Dalam proses Islamisasi
itu, berjalan dengan aman dan damai, tanpa pergolakan dan kegoncangan psikologis
dan sosial yang berarti. Hal ini karena para Wali menggunakan pendekatan mistik
dan kultural yang kental dengan simbol-simbol kebudayaan lokal, seperti melalui
media perwayangan dan gamelan. Menurut Purwadi, akulturasi kebudayaan yang
dipelopori oleh Wali Songo, dilanjutkan oleh para juru dakwah generasi
berikutnya, sehinggga praktik Islam terlihat khas di Jawa. Di sini agama dan
budaya berjalan secara selaras, serasi dan seimbang (Purwadi dan Enis Niken H,
2007: v dalam Asri, 2012: 9).
B.
Fokus
Permasalaan
Agar tidak bias
dalam mengkaji Akulturasi kebudayaan islam seperti judul yang terdapat dalam
makalah ini, maka perlu mendapat pijakan
pengkajian, dengan fokus permasalahan dengan penegasan pertanyaan yaitu sebagai
berikut:
a.
Bagaimana Konsep
Akulturasi Kebudayaan Islam di Indonesia?
b.
Bagaimanan Persingungan kebudayaan
Islam dan Kebudayaan Lokal?
c.
Bagaimanan Akulturasi Kebudayaan Islam dalam Perspektif
Ekonomi, Politik, Sosial-Budaya?
C.
Tujuan
Penuulisan
Penulisan makalah ini bertujuan
yaitu sebagai berikut:
a.
Untuk mengkaji dan mengetahui Konsep Akulturasi Kebudayaan Islam di Indonesia?
b.
Untuk mengkaji dan mengetahui bagaimanan persingungan kebudayaan islam dan kebudayaan lokal?
c.
Untuk mengkaji dan mengetahui Bagaimanan Akulturasi
Kebudayaan Islam dalam Perspektif Ekonomi, Politik, Sosial-Budaya?
D.
Manfaat
Penulisan
Penulisan
makalah ini dapat bermanfaat yaitu secara teoritis diharapkan dapat menjadi
referensi atau masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terkait, “Akulturasi
kebudayaan islam dalam persingunganya dengan kebudayaan lokal dalam perspektif
ekonomi politik sosial dan budaya.” Sedangkan dari sisi praktis, diharapkan dapat
menjadi bahan masukan bagi pihak yang ingin mengkaji lebih jaut sejarah
kebudayaan Islam di Indonesia, baik kalangan akademis maupun pemerhati budaya
Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Akulturasi Kebudayaan Islam di Indonesia
Dalam catatan sejarah tentang siar islam, akulturasi menjadi konsep
dasar pembentukan peradaban Islam di Nusantara. Konsep akulturasi dimainkan
sedemikian rupa oleh para pedagang, yang ketika itu pula berperan sebagai
mubaliq (wali) penyiar Islam, sehingga Islam menjadi agama yang mudah diterima
penduduk lokal di Nusantara. Yang ketika itu, masih menjalangkan kebudayaan
Hindu dan Budha, serta animisme dan dinamisme. Akulturasi, merupakan bentuk
modifikasi kebudayaan tampa menghilangkan kebudayaan asli .
Istilah akulturasi atau kulturisasi mempunyai berbagai arti
di berbagai para sarjana antropologi. Tetapi, semua sepaham bahwa itu merupakan
proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan satu kebudayaan
dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing, sehingga dapat diterima dan
diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan
asli (Fathoni, 2006 : 30).
Proses akulturasi ini dimaksudkan untuk mengola kebudayaan
asing yang tidak menghilangkan unsure budaya asli hingga bisa diterima oleh
penganut kebudayaan tersebut. Karena itu, dalam teori akulturasi, J Powel
(dalam Baker Sj 1984: 115), mengungkapakan, akulturasi dapat diartikan sebagai
masuknya nilai-nilai budaya asing ke dalam budaya lokal tradisional. Budaya
berbeda itu bertemu, yang luar mempengaruhi yang telah mampan untuk menuju
suatau keseimbangan. Sementara itu, Konjaraningrat (1990: 91), mengartikan,
akulturasi sebagai suatu kebudayaan dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh
suatu kebudayaan asing yang demikian berbeda sifatnya, sehingga unsur
kebudayaan asing tadi lambat laun diakomodasikan dan diintegrasikan kedalam
budaya itu sendiri tampa kehilangan kepribadiaan dan kebudayaanya.
Konsep akulturasi dimanfaatkan oleh para penyiar untuk menyiarkan
agama Islam di Nusantara. Keberhasilan proses Islamisasi di Nusantara dengan
konsep akulturasi ini, memaksa Islam sebagai pendatang, untuk mendapatkan simbol-simbol
kultural yang selaras dengan kemampuan penangkapan dan pemahaman masyarakat
yang akan dimasukinya dalam pengakuan dunia Islam. Langkah ini merupakan salah
satu watak Islam yan pluralistis yang dimiliki semenjak awal
kelahirannya (Sugiri 1996: 43).
Kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan budaya setempat,
memudahkan Islam masuk ke lapisan paling bawah dari masyarakat. Akibatnya,
kebudayaan Islam sangat dipengaruhi oleh kebudayaan petani dan kebudayaan
pedalaman, sehingga kebudayaan Islam mengalami transformasi bukan saja karena
jarak geografis antara Arab dan Indonesia, tetapi juga karena ada jarakjarak
kultural. Proses kompromi kebudayaan seperti ini tentu membawa resiko yang
tidak sedikit, karena dalam keadaan tertentu seringkali mentoleransi penafsiran
yang mugkin agak menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
Kompromi kebudayaan
ini pada akhirnya melahirkan, apa yang di pulau Jawa dikenal sebagai sinkretisme
atau Islam Abangan. Sementara di pulau Lombok dikenal dengan istilah
Islam Wetu Telu (Zuhdi 2009: 111). Islam dalam lintasan sejarah telah menjadikan
Islam tidak dapat dilepaskan dari aspek lokalitas, mulai dari budaya Arab,
Persi, Turki, India sampai Melayu. Masing-masing dengan karakteristiknya
sendiri, tapi sekaligus mencerminkan nilai-nilai ketauhidan sebagai suatu unity
sebagai benang merah yang mengikat secara kokoh satu sama lain. Islam
sejarah yang beragam tapi satu ini merupakan penerjemahan Islam universal ke
dalam realitas kehidupan umat manusia (Zuhdi 2012: 58).
B.
Persingungan kebudayaan Islam dan Kebudayaan Lokal
Nilai universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai
manifestasi penting, dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya.
Ajaran-ajaran Islam yang mencakup aspek akidah, syari'ah dan akhlak (yang
sering kali disempitkan oleh sebagian masyarakat menjadi hanya kesusilaan dan
sikap hidup), menampakkan perhatiannya yang sangat besar terhadap persoalan
utama kemanusiaan dan budaya di Indonesia yang sangat plural (Asnawan, 2011:
85).
Islam sebagai agama yang berkarakteristikkan universal,
dengan pandangan hidup (weltanchaung) mengenai persamaan, keadilan,
takaful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki konsep teosentrisme yang
humanistik sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran Islam,
dan karenanya menjadi tema peradaban Islam (Kuntowijoyo 1991: 229).
Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep
langitnya ke bumi, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif
dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu
sendiri. Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Inilah
yang diistilahkan Gus Dur dengan "pribumisasi Islam".
Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di
Indonesia dan telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya.
Masjid Demak adalah contoh konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu.
Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep 'Meru'
dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga
memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan tiga tahap
keberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya, orang baru
beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnya
syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan)
dengan jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat (Wahid 1989: 92).
Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan
arsitektur asing, arsitektur Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih
toleran terhadap budaya lokal. Budha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa,
demikian juga Hindu. Islam, sementara itu tidak memindahkan simbol-simbol
budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia. Hanya akhir-akhir ini saja bentuk kubah
disesuaikan. Dengan fakta ini, terbukti bahwa Islam tidak anti budaya. Semua
unsur budaya dapat disesuaikan dalam Islam. Pengaruh arsitektur India misalnya,
sangat jelas terlihat dalam bangunan-bangunan mesjidnya, demikian juga pengaruh
arsitektur khas mediterania. Budaya Islam memiliki begitu banyak varian
(Kuntowijoyo 1991: 92).
Kebudayaan lokal yang populer di Indonesia banyak sekali
menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga seringkali tampak
bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan
populer di Indonesia. Kosakata bahasa Jawa maupun Melayu banyak mengadopsi
konsep-konsep Islam. Taruhlah, dengan mengabaikan istilah-istilah kata benda
yang banyak sekali dipinjam dari bahasa Arab, bahasa Jawa dan Melayu juga
menyerap kata-kata atau istilah-istilah yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan.
Istilah-istilah seperti wahyu, ilham atau wali misalnya, adalah istilah-istilah
pinjaman untuk mencakup konsep-konsep baru yang sebelumnya tidak pernah dikenal
dalam khazanah budaya popular (Kuntowijoyo 1991: 235).
Dalam hal penggunaan istilah-istilah yang diadopsi dari
Islam, tentunya perlu membedakan mana yang "Arabi-sasi", mana yang
"Islamisasi". Penggunaan dan sosialisasi terma-terma Islam sebagai
manifestasi simbolik dari Islam tetap penting dan signifikan serta bukan
seperti yang dikatakan Gus Dur, menyibukkan dengan masalah-masalah semu atau
hanya bersifat pinggiran (Wahid 1989: 92).
Begitu juga penggunaan term shalat sebagai ganti dari
sembahyang (berasal dari kata 'nyembah sang Hyang') adalah proses Islamisasi
bukannya Arabisasi. Makna substansial dari shalat mencakup dimensi
individual-komunal dan dimensi peribumisasi nilai-nilai substansial ini ke alam
nyata. Adalah naif juga mengganti salam Islam "Assalamu'alaikum"
dengan "Selamat Pagi, Siang, Sore ataupun Malam". Sebab esensi doa
dan penghormatan yang terkandung dalam salam tidak terdapat dalam ucapan
"Selamat Pagi" yang cenderung basa-basi, selain salam itu sendiri
memang dianjurkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya (Asnawan, 2011: 92).
Proses dialog Islam dengan tradisi masyarakat diwujudkan
dalam mekanisme proses kultural dalam menghadapi negosiasi lokal. Perpaduan
antara Islam dengan tradisi masyarakat ini adalah sebuah kekayaan tafsir lokal
agar Islam tidak tampil hampa terhadap realitas yang sesungguhnya. Islam tidak
harus dipersepsikan sebagai Islam yang ada di Arab, tetapi Islam mesti
berdialog dengan tradisi lokal masyarakat setempat (Zuhdi 2012).
Dialog dengan tradisi lokal dengan wujud kulturasi, sehingga
budaya lokal dapat dimodifikasi dengan budaya islam yang dibawa para penyiar.
Dalam konteks itu, akulturasi
kebudayaan Islam dalam persingungannnnya dengan kebudayaan lokal seperti dalam
masyarakat Bugis, bahwa ada sinergi antara keteguhan dalam adat dengan
ketaatan beragama. Dengan menjadikan adeq (adat) dan saraq (syariat)
keduanya sebagai struktur dalam panggaderreng (undang-undang sosial),
maka ini menyatukan fungsi keduanya dalam mengatur kehidupan. Selanjutnya dalam
banyak aktivitas adat telah diadaptasi dengan prinsip-prinsip keislaman.
Islam diterjemahkan ke dalam perangkat kehidupan lokal dengan
tetap mempertahankan pola yang ada kemudian ditransformasi ke dalam esensi
tauhid. Dengan menggunakan potensi lokal ini digunakan sebagai strategi untuk
membangun spiritualitas tanpa karakter kearaban. Islam dalam nuansa adat Bugis
diinterpretasi kedalam nilai dan tradisi sehingga membentuk identitas
masyarakat Bugis. Akhirnya, perjumpaan adat dan agama dalam budaya masyarakat
Bugis menunjukkan telah terjadi dialog dan merekonstruksi sebuah budaya baru
dalam nuansa lokal (Wekke 2013: 28).
C.
Akulturasi Kebudayaan
Islam dalam Perspektif Ekonomi, Politik, Sosial-Budaya
Akulturasi kebudayaan islam dalam persingunganya dengan
kebudayaan lokal dalam perspektif ekonomi, politik, sosial, dan budaya dapat
dilihat dari cara-cara para mubalik menyiarkan islam ketika itu, guna mewujudkan misi
islam sebagai agama rahmatan lillalamin.
Beberapa pola akulturasi kebudayaan Islam yaitu sebagai berikut:
1.
Ekonomi
Seperti telah disingung sebelumnya, bahwa kedatangan islam di
Indonesia merupakan bentuk dari pencarian sumber penghidupan (ekonomi) dalam
konteks perdagangan maritim, yang dilakukan para pedagang Islam dengan penduduk
lokal. Walhasil, tersiarlah agama Islam, mulai dari masyarakat pesisir pantai
hingga masyarakat yang bermukim kepelosok pegunungan. Dorongan ekonomi dalam
konteks perdagangan melalui jalur laut, menjadi pintu masuk penyiaran
islam di Nusantara. Itulah sebabnya, kontak
budaya maritim merupakan kontak budaya Islam di Nusantara. Sedangkan
Hindu-Budha lebih pada agraris.
Kerajaan Majapahit, yang bercorak Hindu-Budha, mundur dari
kejayaannya salah satu faktornya adalah orentasi pemerintahan ke wilayah
agraris. Dalam konteks itu, secara alamiah yang mendukung Manapahit dapat
berkembang menjadi negara maritim dalam pemikiran Mahan, tidak mendapat pijakan
kuat. Sebab, kemunduran Majapahit antara lain karena peralihan orentasi
kebijakan pemerintah, dari laut ke darat. Ketika Majapahit mencapai kejayaanya
dan kemakmuran dari hasil perdagangan laut Jawa, masyarakat dari kalangan
istana cendrung membangun candi-candi dam menyelengarakan ritual suci di
pedalaman. Perlahan mereka meninggalkan kegiatan maritim, sebaliknya kegiatan
berorientasi agraris senakin berkembang. Peralihan ini didukung oleh kondisi
alam Jawa yang subur dan memungkinkan masyarakatnya mengembangkan kegiatan
pertanian. Walhasil, potensi perdagangan maritim abad ke-15 diabaikan.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh pedagang-pedagang lokal pesisir
yang sudah menganut Islam, yang sebelumnya bekerja mengurus perdagangan secara
otonom atas nama Majapahit. Setelah mencapai kemapangan ekonomi, ditengah
orentasi perubahan kerajaan saat itu, mereka tampil menjadi kekuatan baru dan
mulai terlepas dari pengaruh istana. Kelompok-kelompok inilah yang kemudian
mendirikan pusat kekuatan politik Islam (Kesultanan) di Jawa, seperti Demak,
Jepara dan Banten (Hamid 2013: 224-225).
Kesibukan lalu lintas perdagangan abad ke-7 sampai abad
ke-16, perdagangan antara negeri-negeri di bagian barat, Tenggara dan Timur benua
Asia dan dimana pedagang-pedagang Muslim (Arab, Persia, India) turut serta menggambil
bagiannya di Indonesia. Penggunaan saluran islamisasi melalui perdagangan itu
sangat menguntungkan. Hal ini menimbulkan jalinan di antara masyarakat
Indonesia dan pedagang (Tjandrasasmita 1984: 200).
Proses islamisasi melalui saluran perdagangan itu dipercepat
oleh situasi dan kondisi politik beberapa kerajaan di mana adipati-adipati pesisir berusaha melepaskan diri dari
kekuasaan pusat kerajaan yang sedang mengalami kekacauan dan perpecahan. Secara
umum Islamisasi yang dilakukan oleh para pedagang melalui perdagangan itu
mungkin dapat digambarkan sebagai berikut: mulal-mula mereka berdatangan di
tempat-tempat pusat perdagangan dan kemudian diantaranya ada yang bertempat
tinggal, baik untuk sementara maupun untuk menetap.
Lambat laun tempat
tinggal mereka berkembang menjadi perkampungan-perkampungan.
Perkampungan golongan pedangan Muslim dari negeri-negeri asing itu disebut
Pekojan (Tjandrasasmita 1984: 201).
Dari sudut ekonomi, para pedagang muslim memiliki status
sosial yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi,
terutama putri-putri bangsawan, tertarik untuk menjadi istri saudagar-saudagar
itu. Sebelum menikah, mereka diislamkan terlebih dahulu. Setelah setelah mereka
mempunyai kerturunan, lingkungan mereka makin luas. Akhirnya timbul
kampung-kampung, daerah-daerah, dan kerajaan-kerajaan muslim (Yatim 2007: 202).
2.
Politik
Pengaruh kekuasan raja sangat berperan besar dalam proses
Islamisasi. Ketika seorang raja memeluk agama Islam, maka rakyat juga akan
mengikuti jejak rajanya. Rakyat memiliki kepatuhan yang sangat tinggi dan raja
sebagai panutan bahkan menjadi tauladan bagi rakyatnya. Misalnya di Sulawesi
Selatan dan Maluku, kebanyakan rakyatnya masuk Islam setelah rajanya memeluk
agama Islam terlebih dahulu. Pengaruh
politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini (Tjandrasasmita 1984:
206-207).
3.
Sosial
Sebelum kedatangan
Islam, pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha mempengaruhi kehidupan masyarakat
Nusantara. Terutama, orang-orang yang hidup dilingkungan istana kerajaan. Wujud
akulturasi dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan dapat dilihat
pembagian lapisan masyarakat berdasarkan sistem kasta. Masuknya Islam,
membkongkar sistem kasta itu dan memperlakukan setiap manusia sama. Karena bagi
ajaran Islam yang membedakan manusia dengan manusia lainya adalah tingkat
keimanannya. Itulah sebabnya, Islam mudah diterima penduduk lokal. Selain itu, syarat
masuk Islam sangat mudah, yakni cukup mengucapkan kalimat syahadat. Agama Islam
tidak mengenal perbedaan sosial, tidak membedakan si kaya dan si miskin, tidak
membedakan warna kulit, dan sebagainya. Sebab, menurut agama Islam, perbedaan
itu hanya ada pada tingkat keimanan dan ketakwaan seseorang di hadapan Allah
SWT.
4.
Budaya
Konversi Islam
nusantara awalnya terjadi di sekitar semenanjung Malaya. Menyusul konversi
tersebut, penduduknya meneruskan penggunaan bahasa Melayu. Melayu lalu digunakan
sebagai bahasa dagang yang banyak digunakan di bagian barat kepulauan
Indonesia. Seiring perkembangan awal Islam, bahasa Melayu pun memasukkan
sejumlah kosakata Arab ke dalam struktur bahasanya. Bahkan, Taylor mencatat
sekitar 15% dari kosakata bahasa Melayu merupakan adaptasi bahasa Arab (Taylor
2003: 105).
Selain itu, terjadi
modifikasi atas huruf-huruf Pallawa ke dalam huruf Arab, dan ini kemudian
dikenal sebagai huruf Jawi. Bersamaan naiknya Islam menjadi agama dominan
kepulauan nusantara, terjadi sinkretisasi atas bahasa yang digunakan Islam. Sinkretisasi
terjadi misalnya dalam struktur penanggalan Çaka. Penanggalan ini adalah
mainstream di kebudayaan India. Secara sinkretis, nama-nama bulan Islam
disinkretisasi Agung Hanyakrakusuma (sultan Mataram Islam) ke dalam sistem
penanggalan Çaka. Penanggalan çaka berbasis penanggalan Matahari (syamsiah,
mirip gregorian), sementara penanggalan Islam berbasis peredaran Bulan
(qamariah). Hasilnya pada 1625, Agung Hanyakrakusuma mendekritkan perubahan
penanggalan Çaka menjadi penanggalan Jawa yang sudah banyak dipengaruhi budaya
Islam.
Nama-nama bulan yang digunakan tetap 12,
sama dengan penanggalan Hijriyah (versi Islam). Penyebutan nama bulan mengacu
pada bahasa Arab seperti Sura (Muharram atau Assyura dalam Syiah), Sapar
(Safar), Mulud (Rabi’ul Awal), Bakda Mulud (Rabi’ul Akhir), Jumadilawal
(Jumadil Awal), Jumadilakir (Jumadil Akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sya’ban),
Pasa (Ramadhan), Sawal (Syawal), Sela (Dzulqaidah), dan Besar (Dzulhijjah).
Namun, penanggalan hariannya tetap mengikuti penanggalan Çaka sebab saat itu
penanggalan harian Çaka paling banyak digunakan penduduk sehingga tidak bisa
digantikan begitu saja tanpa menciptakan perubahan radikal dalam aktivitas
masyarakat (revolusi sosial) (http://setabasri01.blogspot.com). Hasil Akulturasi Budaya Islam dan Budaya lokal Indonesia
Akulturasi pada seni musik terlihat pada musik qasidah dan gamelan pada saat
upacara Gerebeg Maulud.
BAB III
PENUUTUP
A.
Kesimpulan
Sejarah kehadiran
Islam di Nusantara tidak terlepas dari perdagangan maritim. Melalui kontak
dagang itu, maka tersiarlah agama Islam. Hasil dari kontak dagang dengan
penduduk lokal di Nusantara, maka Islam dipertemukan dengan agama dan
kepercayaan masyarakatnya lokal dengan
penganut Hindu dan Buddha serta animisme dan dinamisme.
Kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan budaya setempat,
memudahkan Islam masuk ke lapisan paling bawah dari masyarakat. Akibatnya,
kebudayaan Islam sangat dipengaruhi oleh kebudayaan petani dan kebudayaan
pedalaman, sehingga kebudayaan Islam mengalami transformasi bukan saja karena
jarak geografis antara Arab dan Indonesia, tetapi juga karena ada jarakjarak
kultural.
Proses kompromi kebudayaan seperti ini, tentu membawa resiko yang
tidak sedikit, karena dalam keadaan tertentu seringkali mentoleransi penafsiran
yang mugkin agak menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Kompromi kebudayaan
ini pada akhirnya melahirkan, apa yang di pulau Jawa dikenal sebagai sinkretisme
atau Islam Abangan. Agama dan kebudayaan Islam yang masuk ke
Indonesia mempengaruhi kebudayan asli Indonesia, sehingga menimbulkan
akulturasi kebudayan, maka lahirlah corak baru kebudayan Indonesia. Akulturasi kebudayaan islam dalam persingunganya
dengan kebudayaan lokal dalam perspektif ekonomi, politik, sosial, dan budaya
dapat dilihat dari cara-cara para mubalik menyiarkan islam
ketika itu, guna mewujudkan misi islam sebagai agama rahmatan lillalamin.
B.
Saran
Kebudayaan Islam
di masa lalu mestinya harus tetap dijaga dan di lestarikan, oleh Umat Islam, sehingga
kebudayaan Islam itu tidak hilang akbat arus globalisasi dalam masa kekinian. Dan
dakwa Islam harus tetap ditegakan di Bumi Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Asnawan, 2011. Islam dan Akulturasi Budaya Lokal di
Indonesia. Jurnal Falasifa. Vol. 2 No. 2 September 2011.
Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Falah As Sunniyyah Kencong-Jember.
Asri, M.
Yusuf, 2012. Merekontruksi Gerakan Masa
Depan, dalam Harmoni, Jurnal
Multikultural & Multireligius Volume 11, Nomor 1, Januari - Maret 2012.
Baker Sj,
J.WM. 1984. Filsafat Kebudayaan Sebuah
Pengantar. Jogjakarta: Kansius.
Fathoni,
Abdurrahmat. 2006. Antropologi Sosial Budaya Suatu Pengantar. Jakarta:
Rineka Cipta.
Konjaraningrat.
1990. Sejarah Teori Antropologi II.
Jakarta: UI Press.
Kuntowijoyo.
1991. Paridigma Islam. Cet. III. Jogjakarta: Mizan.
Hamid, 2013. Sejarah
Maritim Indonesia. Jogjakaarta: Ombak.
Harmoni, 2012. Penyiaran
Agama dan Dinamika Sosial dalam Masyarakat Plural. Pengantar Redaksi, Jurnal Multikultural & Multireligius Volume 11, Nomor 1, Januari - Maret 2012.
Sugiri,
Ahmad. 1996. Proses Islamsisasi dan Percaturan Politik Umat Islam di Indonesia,
dalam Al- Qalam, Majalah Ilmiah Bidang Keagamaan dan Kemasyarakatan,
No. 59/XI/1996. Serang: IAIN SGD.
Tjandrasasmita,
Uka, (Ed.). 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: PN Balai
Pustaka.
Taylor, Jean Gelman
2003. Indonesia: Peoples and
Histories. New Haven: Yale University Press.
Wahid, Abdurrahman. 1989. Pribumisasi Islam dalam Islam
Indonesia, Menatap Masa Depan. Cet. I, Jakarta:
P3M.
Wekke, Ismail
Suardi. 2013. Islam dan Adat: Tinjauan
Akulturasi Budaya dan Agama dalam Masyarakat Bugis. Jurnal Volume XIII, Nomor 1, Juni 2013. Sorong: Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri (STAIN)
Yatim,
Badri. 2007. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Press.
Zuhdi, Muhammad
Harfin. 2012. Dakwa dan Dealektika
Akulturasi Budaya. Jurnal RELIGIA Vol.
15 No. 1, April 2012. Hlm. 46-64. IAIN Mataram.
____________ 2009. Parokialitas Adat Terhadap Pola
Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, Jakarta: Lemlit UIN
Jakarta.
1 Komentar
luarbiasa bang post nya,moga bermanf..aat
BalasHapus