Subscribe Us

header ads

Megungkap Ingatan Kolektif Sejarah Desa di Pesisir Barat Huamual

 

Dusun Mangge-Mangge di pesisir pantai barat Huamual

 Pengantar Wacana

Wacana pemekaran dusun jadi desa kembali bergulir seiring dengan hadirnya Undang-Undang Desa Tahun 2014. Kampung-kampung yang masih berstatus dusun ingin berkembang menjadi desa. Hal ini diperkuat dengan semangat reformasi dan visi pemerintahan Joko Widodo, membangun dari desa. Untuk menimplementasikan program itu Presiden Republik Indonesia yang ke 7 itu membentuk Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia yang membidangi urusan pembangunan desa dan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, percepatan pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi. 

Pada prinsipnya visi pemerintah untuk mewujudkan masyarakat maju, adil dan sejaterah dan itu harus dimulai dari desa. Karena itulah, pemerintah mengelontorkan angaran pembangunan desa melalui skema dana desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang diperuntungkan bagi desa yang ditrasfer melalui APBD Kabupaten/kota dan digunakan unuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan, kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat. 

Pertanyaanya kemudian apakah anggaran itu juga dialokasikan kepada dusun sebagai anak dari desa, yang tidak diatur secara khusus agar kampung yang bersatus dusun bisa menikmati pembangunan dari dana desa yang ada? Pastinya iya, semua sudah terencana dalam program desa untuk membangun dusun. Lalu bagaimana dengan desa yang memiliki puluhan anakan dusun yang memiliki jumlah penduduk justru lebih bayak dari desa, seperti yang terjadi di Huamual? Jawabanya tetap dapat anggaran dana desa. Akan tetapi, meminjam istilah liar masyarakat pesisir barat Huamual "dusun hanya dapat apas (sisa)" setelah desa induk merasa sudah berkelebihan. 

Tidak hanya itu saja, urusan-urusan admistrasi masyarakat dusun cukup menguras, tenaga, waktu dan biaya. Mengurus satu Surat Keterangan dari desa, misalnya meskipun sepucuk surat itu faktanya diperoleh secara gratis, tetapi kenyataanya masyarakat dusun-dusun harus mengelontorkan angaran ratusan ribu rupiah untuk biaya traspirtasi dan akomodasi dari dan ke desa (induk). 

Pengurusan admistrasi masyarakat dusun dirasa cepat bila kepala desa berada di tempat (kantor desa), jika tidak maka urusan menjadi panjang, masyarakat dusun harus bolak-balik demi mendapatkan sepucuk surat keterangan yang diurusnya. Masih banyak lagi sebetulnya persoalan-persoalan lain terkait rentang kendali urusan admistrasi masyarakat dan pembangunan dusun yang terabaikan dan diabaikan. Itulah sebanya, kemandirian dusun penting menjadi pertimbangan demi kemajuan dan kesejateraan masyarakat bangsa dan negara. 

Daerah tetangga, Kabupaten Buru, Buru Selatan, Kabupaten Seram Bagian Timur, dusun-dusun yang mayoritas beretnis Buton yang sudah dianggap layak menjadi desa, pemerintahnya memberikan jalan dan solusi terbaik sehingga dusun-dusun tersebut menjadi satu desa admistratif. Hanya di Kabupaten SBB yang sampai sekarang belum terealisasi. Wacana-wacana tersebut ditebarkan saat momentum politik kian dekat. Entah sampai kapan dusun-dusun di pesisir barat Huamual dan dusun-dusun di kecamatan lainnya di Kabupaten SBB mekar menjadi desa? Tanyakan saja kepada Bupati, Pemerintah Negeri (Induk), wakil rakyat, yang dapat menjawab itu?

Desa Alih Dusun

Hingga paru tahun 1980-an kampung-kampung yang terletak di pesisir pantai barat, Seram Barat, kini petuanan Desa Luhu dan Iha, Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, secara administrasi masih bersatus desa. Status desa yang disandang oleh kampung-kampung yang mayoritas beretnis Buton itu berdasarkan pada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 140-263, merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa. 

Dasar hukum itulah, sehingga identitas kependudukan setiap warga masyarakat di kampung-kampung tersebut beralamat desa. Misalnya Desa Air Papaya yang kini merupakan dusun dari petuanan Desa Iha. Kampung ini pada tahun 1970-an sampai 1980-an masih menyandang status desa, dengan nomor registrasi 81.02.08.2030 dalam wilayah adimistrasi Kecamatan Piru, Kabupaten Dati II Maluku Tenggah. Untuk lebih terang tentang kode registrasi itu dapat dilihat pada Daftar Nama dan Kode Desa/ Kelurahan di Indonesia, yang dihimpun Marsono, 1983. Entah mengapa di tahun 1980-an status desa itu kemudian berubah menjadi Dusun Airpapaya? 

Sadar Sejarah

Dalam ingatan kolektif penduduk yang kini menempati kawasan barat Huamual yang dikenal dengan istilah kampung "19-dusun" bahwa alih status desa ke dusun terjadi seiring dengan penarikan cap-cap (stempel) desa oleh pihak pemerintah negeri (negeri induk). Ketulusan dan kepolosan para orang tua di kampung-kampung yang mayoritas beretnis Buton, membuat mereka tak begitu peduli dengan urusan admistrasi pemerintahan yang ada kampung? Kenyataan ini terjadi karena kuragnya pengetahuan tentang betapa pentinya status admistrasi tersebut. Bagi mereka yang penting kebutuhan hidup terpenuhi, aman dan damai.

Pada sisi lain, periode tahun 1960-an 1980-an, orang Buton di kawasan pesisir barat Huamual khususnya para lelaki kebanyakan berfokus pada usaha pelayaran dan perdagang maritim di Laut Jawa, sehingga di antara kaum lelaki dewasa jarang dijumpai di kampung halamannya.

Sementara penduduk yang tidak melakukan kegiatan melaut hari-hari mereka kebanyakan dihabiskan di hutan bersama keluarganya, membongkar lahan membut kebun dan tinggal di kebun sampai berbulan-bulan lamanya, sehingga jarang terlihat berada di kampung. Apalagi untuk mengurus urusan pemerintahan di kampung, suatu yang dianggap merepotkan dan membuang-buang waktu. Salah satu strategi untuk mengindari itu adalah dengan tinggal di kebun bersama keluarga dalam waktu yang lama. Tugas lelaki selain berkebun juga memancing ikan di laut. Usai kegiatan melaut dilakukan di hari itu langsung kembali lagi ke kebun. Karena itu para lelaki jarang sekali di menetap di kampung.

Singkatnya, mereka yang hidup pada masa itu banyak yang mengindari urusan pemerintah desa, apalagi dalam waktu tertentu harus berurusan dengan aparat negara, seakan ada ketakutan tersendiri ketika diperhadapakan dengan polisi dan tentara atau raja dari negeri tertentu. Hal ini terjadi karena pendidikan yang rendah dan ketidaklancaran mengunakan bahasa Indonesia, sehingga dianggap sulit bila sewaktu-waktu harus berperkara atau berpidato di depan umum mengunakan bahasa Indonesia atau Melayu Ambon Maluku.

Dalam memahami persoalan penarikan stempel, kuat dugaan karena penduduk yang menempati kawasan pesisir itu "Bukan Anak Negeri." Pandangan subjektif ini boleh jadi telah terpikirkan oleh pemerintah negeri yang menganggap sebagai pemilik hak ulayat atas dasar sejarah kawasan yang ditempati. Meski keberadaan orang Buton di kampung-kampung mereka sejak jaman parinta Walanda (pemerintahan hindia Belanda). Akan tetapi, dikotomi-dikotomi bukan anak negeri menjadi suatu dugaan kuat, dari desa beralih menjadi dusun.

Beberapa di antara nama kampung yang berada dalam kawasan Hoamual (kini Huamual) itu, dapat dibaca (tertuang) dalam dokumen Walanda, "Topografi Inrichiting, Batavia 1914." 

Dalam laporanya Brusma, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia (1945), menyebutkan bahwa di kawasan pesisir itu, banyak di jumpai pemukiman penduduk "Binongko" bersama orang Sula mereka dikenal pekerja keras dan rajin. 

Keberadaan penduduk di kawasan ini bukanlah baru. Pasalnya, kakek moyang mereka sejak masa lalu abad ke 17 ada di kawasan ini sebagai pelayar pedagang dan berkontribusi dalam mempertahankan wilayah ini dari kuasa kolonialisme VOC. Dalam sejarah konflik Belanda versus penduduk lokal, misalnya ketika Kakiali, Kapitan Hitu hendak melakukan penyerangan terhadap Kompeni Belanda pada tahun 1634, Ia meminta bantuan kepada sekutunya Makassar, raja makassar lalu mengirim bala bantuannya yg pertama 43 jung dan 2.000 prajurit mendarat di Hoamual didalamnya seperti yang ditulis pejabat pemerintah Hindia Belanda, Keuning. Terdapat 30 pasukan Buton. Bersama Gimalaha Lailato di Hoamual mereka menyerang siteru mereka Kompeni. 

Penerus perjuangan Kaliali, Kapitan Tolukabesi, sebelum dieksekusi Kompeni di Benteng Victoria, Ambon bersama para pengikutnya pernah diasingkan di wilayah terluar dari kesultanan Wolio. Sultan Buton memberikan suatu tempat di Wangi-Wangi. Gugusan kepulauan itu dikenal pula  kepulauan Toekang Besi. Suber lain menyebutkan istilah tukang besi berasal dari nama raja Hitu Tolukabesi. Fakta lain menyebutkan bahwa ketika kerajaan Iha di Saparua pada tahun 1652  mulai terjepit akibat serangan Kompeni, maka Latu Sopakua, Kapitan Iha, meminta bantuan kepada Buton bersama menyerang kompeni, meski tak berhasil mencapai puncak Kemerdekaan.    

Melangkah maju sedikit ke depan, ketika Jepang mulai terjepit akibat desakan pasukan Sekutu yang berakhir dengan kemerdekaan Indonesia (1945). Di Maluku Jepang didesak dan diserang oleh kaum pemuda pembela tanah Air, banyak pemuda Buton dari pantai barat Hoamual ikut terlibat mengusir Jepang, termasuk menjadi pasukan pembantu (pengantra makanan) ABRI ketika menumpas gerakan seperatis di seram Bagian Barat, untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Masih banyak lagi peristiwa heroik lainnya dalam sejarah masyarakat pesisir Hoamual. Lantas mereka masih berada dalam cengkraman kuasa wacana bukan anak Negeri, meskipun mereka lahir dan besar di negeri yang mereka tinggali kini. Sadar sejarah untuk bangun negeri, menata masa depan.

Dikotomi Harus Diakhiri

Dikotomi asli dan pendatang harus diakhiri. Tutuntutan Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, sebetulnya telah mengisyaratkan bahwa secara kuantitas kampung-kampung yang masih berstatus dusun itu telah layak menjadi desa. Karena itu pemeritah daerah sebagai pemegang kewenangan harus mencari format yang baik agar status desa administratif segera terwujud, tampa mengabaikan mencedrai hak ulayat yang juga mendapat jaminan kepastian hukum adat. Belajar dari sejarah kebersaman orang dahulu.

Untuk mewujudkan itu, dibutuhkan peran pemerintah daerah sebagai pemberi solusi kemajuan. Pemerintah daerah, pemerintah negeri bersama-sama tokoh adat, tokoh masyarakat harus duduk berunding, dan mengandeng wakil rakyat bergandeng tangan harus bisa mencari format yang baik, mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi tatanan adat istiadat orang Maluku demi mewujudkan kesejateraan masyarakat.

Perlu diingat bahwa kampung-kampung yang berstatus dusun itu, penduduk dan wilayahnya akan terus berkembang, juga menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks, sehingga kebebasan mengatur admistrasi negerinya penting bukan hanya soal dana desa, tetapi sebagai wujud dari implematasi visi pemerintah negeri ini bahwa membangun bangsa dan negara di mulai dari desa. Jangan lagi ada dikotomi, hentikan janji politik kosong.*** (KR).

 


Posting Komentar

0 Komentar