Tokoh pergerakan Nasional Bung Hatta dan Bung Sjahrir ketika diasingkan di Banda Naira pada 1936, tidak hanya berdiam diri, mengurung, menanti kapan tiba jemputan untuk kembali ke Jakarta. Akan tetapi, hari-hari mereka di Negeri Rempah itu disi dengan berbagai aktivitas dan kreativitas yang produktif, seperti membaca, menulis artikel sambil menyerupu kopi atau teh dengan aroma kayu manis, jalan-jalan di perkebunan pala, menghadiri undangan nikah, membentuk klub bola (perbamu) hingga mengajar anak-anak Banda. Khusus untuk anak-anak yang tidak diterima di sekolah formal bentukan Belanda.
Dalam memberikan pendidikan kepada anak-anak Banda Hatta dan Bung Sjahrir membuka kelas di waktu Sore hari. Karena itulah, meskipun Hatta keluar menikmati keindahan alam di berbagai tempat di Naira, tetapi pada jam 5 Sore, Ia harus berada di rumah untuk mengajar anak-anak Banda yang menjadi muridnya. Itulah sebabnya, anak muridnya menyebut Om Kacamata (pangilan anak-anak Banda untuk Hatta), juga dengan sebutan “Jam Berjalan.” Pasalnya Hatta paling tepat waktu. Soal disiplin waktu, Hatta tak mengenal kompromi. Pada suatu ketika Hatta terpaksa pergi meninggalkan acara pesta pernikahan yang belum usai. Lantaran acara bahagia itu dianggapnya mengulur-ulur waktu.
Kelas privat yang dibuka Hatta dan Sjahrir dikenal dengan Sekolah Sore. Anak-anak murid tidak hanya mengikuti proses belajar di dalam kelas, akan tetapi dibawa pula ke luar untuk menikmati panorama alam Banda yang hijau nan asri di bawah naungan pohon pala dan kenari. Sesekali berenang di pantai Naira, mendayung perahu dan memancing ikan di laut serta berperahu ke pulau-pulau terdekat dari Naira.
Di waktu santai itu, Hatta dan Sjahrir tak lupa mengajarkan nasionalisme dan patriotisme kepada anak-anak Banda. Lewat cerita dan praktek nyata, misalnya cerita tentang tokoh Teuku Umar dan Diponegoro oleh Belanda dilukiskan sebagai pemerontak karena menetang pemerintahan yang sah. Akan tetapi, sesungguhnya mereka adalah pejuang untuk kemerdekaan tanah airnya.
Semangat mengkampanyekan gerakan nasionalime kepada anak bangsa diam-diam terus digalangkan oleh kaum Intelektual itu di tempat pengasingannya. Hal ini tergambar ketika Hatta membeli sebuah perahu kecil (arubae), dari salah satu warga nelayan di Negeri Lontor, Banda Besar. Perahu itu setelah dimiliki Hatta, lalu di cat dengan warna merah dan putih. Mengapa perahu Hatta di Cat dengan warna merah purih? Ini tentunya dapat diinterpertasi bahwa Cat warna ini bagian dari cara Hatta memperkenalkan semangat nasionalime kepada orang Banda lewat warna perahunya. Yang sebelumnya tak dimengerti maksud dari warna Cat itu. Hatta sekaligus ingin mekampanyekan simbol nasionalisme bangsa ini, kepada Pemerintah Hindia Belanda di tempat Pengasingan. Bahwa perjuangan mereka tak akan pernah surut, meski di buang ke negeri terpencil di ujung timur Nusantara. Lewat warna perahunya pula, Hatta sebetulnya ingin menunjukan kepada anak-anak Banda dan Penjajah Belanda, kelak warna ini akan menjadi simbol bendera negara merdeka, bernama Indonesia.
Belakangan warna cat perahu itu di protes polisi Hindia Belanda. Yang tentu tahu apa maksud kaum intektual buangan Kompeni itu, mengecet perahunya dengan merah putih jelas tidak sesuai dengan warna bendera Belanda, Merah Putih Biru. Namun ketika mendapat protes, Hatta tak kehabisan akal untuk mepertahankan warna cat perahunya. Dengan menyenggah bahwa, Cat perahunya adalah merah putih biru sebagaimana warna bendera Belanda. Dimana perahu berwarna merah dan putih, sedangan yang menjadi warna biru adalah laut, sehingga perahunya tetap berwarna merah putih biru. Dasar argumen Hatta itu dianggap masuk akal, sehingga membumkam polisi Belanda, diam berlalu tampa kata.
Medengar Hatta yang sudah memiliki perahu, sahabat seperjuangannya Bung Sjahrir seakan tak mau kalah. Sjahrir pun memesan sebuah perahu ukuran sedang. Sedikit lebih besar dari ukuran perahu Hatta. Perahu yang dibelinya dari nelayan itu lalu dimodifikasi menyerupai perahu Eropa (yacht) dan diberi nama. Namun menariknya, sebelum Sjahrir menetapkan nama perahunya Ia mengajak murid-muridnya untuk bermusyawarah. Hal ini merupakan cara Sjahrir mengajarkan demokarasi. Keputusan diambil harus dilakukan dengan musyawarah mufakat. Masing-masing anak murid memberikan usulan untuk nama dari perahu baru itu. Muridnya bernama Halik, yang pertama mengusulkan, “Gunung Api.” Nama pulau vulkanik di Pulau Banda. Namun nama itu ditolak dengan penjelasan, gunung api meletus dan Om Rir (pagilan anak-anak Banda kepada Sjahrir) tak mau perahunya meletus seperti halnya gunung api.
Kemudian muridnya yang lain anak peranakan Cina-Banda memberi usulan nama perahu itu dengan “Amesterdam.” Sebuah nama yang sangat kental dengan bangsa kolonial. Halik, mendengar usulan itu langsung menyenggah, kenapa tidak dinamakan Hogkong saja, kamu kan orang Hongkong? Kun, yang tak terima ungkapan agak rasis itu memprotes, bahwa dirinya bukan orang Hongkong, tetapi asli orang Banda, karena lahir di Banda, hanya nenek moyangnya saja yang berasal dari Amoy. Namun kata Halik sama saja, tetap saja dari Cina Hongkong. Perbebatan dingin sempat mewarnai musyawarah itu, sehingga anak yang lain mengusulkan nama “Banda Besar,” seperti nama sebuah pulau terbesar di Kepulauan Banda. Akan tetapi, nama itu jelas ditolak oleh Des Alwi, salah satu murid yang kelak menjadi tokoh Banda Naira. Dengan dasar argumen bahwa, jangan sampai perahu itu diklaim oleh anak-anak Lontor sebagai milik mereka. Lagian kata Des, nama-nama pulau termasuk nama-nama ikan sudah banyak digunakan masyarakat untuk nama perahu di Banda. Hanya nama ikan bodok saja yang belum digunakan. “Tapi nama bodok tidak mungkin dipakai untuk nama perahu Om Rir,” ucap Des. Murid yang lain menguslkan, Sumatera, sesuai nama daerah asal Om Rir.
Namun Sjahrir menolak mengunakan nama daerahnya itu. Iya berfikir sejenak dan mentepkan nama INDONESIA untuk menyebut perahunya. Anak-anak Banda saling memandang dan bertanya tentang maksud kata itu, yang sangat asing ditelinga mereka.
Sjahrir menjelaskan kepada anak-anak itu, bahwa INDONESIA sesungguhnya nama yang sangat di benci Belanda, sehingga tidak diajarkan di sekolah-sekolah Belanda. Orang Belanda lebih senang menyebut daerah pendudukanya ini, dengan nama Inde atau “Hindia Belanda.” Sama dengan Tiongkok untuk orang Cina. Tapi Om Sjahrir dan Om Hatta dan kita orang pribumi lebih senang menyebutnya INDONEISA. Demikian perahu Sjahrir, di namakan INDONESIA. Orang Banda pada akhirnya mengelan kata Indonesia lewat perahu Sjahrir itu.
Dalam perjalanan, perahu itu seringkali digunakan Sjahrir ke Pulau Pisang, yang berjarak beberapa kilometer dari Neira. Di pulau gersang namun subur tidak berpenghuni itu, ia mengajar mereka bernyanyi Indonesia Raya. Sebagai lagu-lagu wajib mengawali aktivitas dan membangkitkan semangat nasionalisme anak-anak Banda. Untuk semangat nasionalisme Sjahrir di pulau itu, maka nama pulau itu kini diganti menjadi Pulau Sjahrir. Demikian pula Hatta, namanya diabadikan orang Banda menjadi nama salah satu pulau tidak jauh dari Pulau Sjahrir. Sebagai bentuk kecintaan dan Nasionalisme orang Banda atas kedua tokoh bangsa yang pertamakali mengenalkan Indonesia di tanah Banda. *** (K.R ).
Bacaan: Tanah Banda, Esai tentang Mitos, Sejarah, Sosial, Budaya Pulau Banda Naira Karya Dr. Muhammad Farid, M.Sos
0 Comments:
Posting Komentar