![]() |
| Gambar Gogeel: George Wilhelm Friedrich Hegel |
Beberapa ide kemajuan dalam filsafat menurut para ahli adalah sebagai berikut:
Ide kemajuan dalam filsafat G.W.F. Hegel
Ide tentang kemajuan dalam filsafat Hegel terungkap dalam pandangannya tentang perkembangan sejarah pemikiran manusia. Hegel mengatakan bahwa ide-ide dan peristiwa-peristiwa sejarah tampaknya independen, semuanya merupakan bagian dari suatu reali tas, yakni pikiran (mind), dan bahwa pikiran ini sedang berusaha men capai penyatuan realisasi (Hughes-Warington, 2008: 263). Pikiran itu universal dan tidak dapat dihubungkan dengan individu tertentu mana pun. Setiap pikiran adalah bagian dari "Pikiran Dunia" (Weltgeist) dan perkembangan rasionalitas pada individu-individu berkontribusi pada perkembangan pikiran. Untuk memahami perkembangan realitas, fil suf sejarah harus memikirkan perkembangan pikiran. Dalam panda ngan Hegel, perkembangan rasio terlihat sangat jelas dalam perkem bangan kebebasan. Oleh karena itu, sejarah dunia tidak lain adalah perkembangan kesadaran akan kebebasan, suatu kemajuan yang ber kembang sesuai dengan keniscayaan hakikatnya (Hegel, 2001: 26).
Filsafat sejarah bagi Hegel tampak secara nyata pada bentuk bentuk kekuasaan di dalam negara. Negara merupakan realitas kema juan pikiran ke arah kesatuan dengan nalar. Ia melihat negara sebagai kesatuan wujud dari kebebasan objektif dan nafsu subjektif adalah or ganisasi rasional dari sebuah kebebasan yang sebenamya berubah ubah dan sewenang-wenang jika dibiarkan pada tingkah laku individual (Collinson, 2001: 143). Lebih lanjut dalam pengantar bukunya, Philosophy of History, ia menyatakan,
"Negara adalah ide tentang rob di dalam perwujudan lahir kehendak manusia dan kebebasannya. Maka, ba gi negara, perubahan dalam aspek sejarah tidak dapat membatalkan pemberian itu sendiri; dan berbagai ta hap yang berkesinambungan dengan ide mewujudkan diri mereka di dalamnya sebagai prinsip-prinsip poli tik yangjelas" (Hegel, 2001: 65).
Negara adalah tujuan manusia yang sesungguhnya, bukan sekedar sarana. Negara mendamaikan kepentingan perorangan dan masyarakat. Negara didirikan atas ketaatan hak-hak perorangan pada kewajiban-kewajiban masyarakat. Karena itu, untuk menjadi bermo ral adalah hidup yang sesuai dengan tradisi moral suatu negara. Tradi si-tradisi ini adalah revelasi progresif dari kehendak universal. Bentuk tertinggi dari negara adalah monarki konstitusional (Mudhofir, 2001: 225-226).
Sejarah bagi Hegel mencapai puncak perkembangannya pada Dunia Jerman yang telah memasuki periode Roh yang menyadari bahwa ia adalah bebas, lantaran ia menginginkan kebenaran, Keabadi an yang berada dalam dirinya dan untuk dirinya sendiri Universal (He gel, 2001: 564). Keselarasan antara Negara dan gereja kini mencapai realisasi langsung. Salah satu segi terpenting di dalam kondisi politik Jerman adalah 'kode tentang hak' yang tentunya timbul karena penin dasan Perancis, yang ini merupakan sarana istimewa untuk membuka rahasia kelemahan sistem lama. Jabatan kenegaraan terbuka bagi seti ap warga negara, bakat dan penyesuaian diri tentu saja merupakan kondisi yang diperlukan. Akhimya seperti pada watak di dalam gereja Protestan, rekonsiliasi antara 'agama' dengan 'hukum' telah berlang sung. Di dalam dunia Protestan di sana tidak ada yang suci, tidak ada pemisahan kesadaran keagamaan di dalam negara, bahkan juga tidak adasikappermusuhan terhadap 'haksekuler' (Hegel, 2001: 623).
Sejarah dunia tidak lain merupakan perkembangan 'ide tentang kebebasan'. Filsafat mengaitkan dirinya hanya dengan 'ide' yang kemudian mencerminkan dirinya dalam sejarah dunia. Sejarah dunia dengan seluruh adegannya yang berubah yang ditampilkan tarikhnya adalah proses perkembangan ide ini dan perealisasian Roh, dan ini merupakan Theodiciaea yang sebenamya , peneguhan Tuhan dalam sejarah. Hanya pengetahuan ini yang dapat mendamaikan Roh dengan sejarah dunia - yaitu bahwa apa yang akan terjadi, dan yang sedang terjadi setiap hari, tidak hanya bukan "tanpa Tuhan", melainkan benar benar merupakan karya-Nya (Hegel, 2001: 624).
Ide kemajuan dalam filsafat Marx
Motor perubahan dan perkembangan, menurut Karl Marx, adalah pertentangan antara kelas-kelas sosial, bukan oleh individu-in dividu tertentu. Karena itu, menurut Marx, tidaklah tepat kalau sejarah dipandang sebagai hasil tindakan raja-raja dan orang-orang besar lain nya. Apa yang diusahakan dan diputuskan oleh orang-orang besar yang dikenal dari buku-buku sejarah populer, meskipun tidak pemah tanpa kepentingan atau cita-cita, dalam garis besamya selalu akan ber gerak dalam rangka kepentingan kelas mereka serta mencerminkan struktur kekuasaan kelas-kelas dalam masyarakat yang bersangkutan (Magnis-Suseno, 2000: 125). Pertentangan kelas dalam sejarah itu ter utama tampak dalam bentuk ekonomi. Marx mengatakan, "The eco nomic forms in which men produce, consume, exchange, are transito ry and historical" (Marx, 1973: 5).
Ide tentang kemajuan dalam filsafat Marx tampak dalam pan dangan filsafat sejarahnya tentang tahap-tahap perkembangan sejarah kemanusiaan. Filsafat sejarah tiga tahap Marx menggambarkan tiga pola "satu langkah ke belakang, dua langkah ke depan" (Elster, 2000: 161). Komunitas-komunitas primitifharus dihancurkan terlebih dahu lu sebelum suatu komunitas bisa diciptakan lagi pada tingkat yang le bih sempuma atau lebih tinggi. Materialisme historis menekankan bahwa tahap-tahap berurutan dalam penghancuran ini juga sebagai pembawa penjedaan. Ketika para produsen dengan cepat terpisah dari sarana-sarana produksi mereka, kerja mereka menjadi lebih produktif. Pemisahan ini berlangsung secara ekstrim dalam kapitalisme yang no tabene juga salah satu tahap di mana perkembangan kekuatan-kekuat an produksi mencapai tingkatnya yang paling tinggi.
Marx membedakan tiga tahap umat manusia. Tahap pertama adalah masyarakat purba sebelum pembagian kerja dimulai. Tahap ke dua - yang masih berlangsung - adalah tahap pembagian kerja sekali gus tahap hak milik pribadi dan tahap keterasingan. Tahap ketiga ada lah tahap kebebasan, yaitu: apabila hak milik pribadi sudah dihapus (Magnis, 2000: 102). Jadi sistem hak milik pribadi bukan sebu ah"kecelakaan", melainkan tahap yang pasti dalam perjalanan umat manusia ke tahap kebebasan. Tahap hak milik pribadi tak terelakkan karena pembagian kerja tak terelakkan. Hanya melalui pembagian kerja, umat manusia dapat menjamin keberlangsungan hidupnya. Ka rena itu, meskipun keterasingan manusia dinilai negatif, ia merupakan tahap yang harus dilalui oleh umat manusia.
Tahap ketiga adalah ketika perjuangan kelas sampai pada ta hap akhir, yaitu proses kehancuran kelas berkuasa (borjuis). Hal ini di tandai oleh bergabungnya segolongan kecil kelas berkuasa ke dalam golongan kelas revolusioner (proletar). Penggabungan inijuga pernah terjadi pada masa lampau, yakni segolongan kaum bangsawan memi hak pada kaum borjuasi, maka sekarang golongan borjuasi memihak kepada golongan proletariat. Kelas proletariat adalah satu-satunya ke las yang betul-betul revolusioner (Marx, 1964: 63-64). Dengan keme nangan kaum proletariat maka dihapuskanlah penghisapan seseorang terhadap orang lain, dihapuskan juga penghisapan antara satu bangsa dengan bangsa yang lain. Akhirnya hilanglah perbedaan-perbedaan kelas dalam masyarakat, serta berakhir pulalah permusuhan antara su atu bangsa dengan bangsa yang lainnya (Marx, 1964: 77).
Masyarakat masa depan yang diidealkan Marx adalah komu nisme. Dalam Manuskrip III seperti yang dikutip oleh Fromm, Marx menegaskan, "Komunisme merupakan penghapusan kepemilikan pribadi secara positif, penghapusan alienasi diri manu sia, dan karena itu merupakan apresiasi nyata dari wa tak manusia melalui dan untuk manusia. Komunisme, oleh karenanya, merupakan pengembalian manusia sendiri sebagai makhluk sosial, yakni sebenar-benar nya manusia, sebuah pengembalian yang lengkap dan sadar yang mengasimilasikan semua kekayaan per kembangan sebelumnya.
Komunisme sebagai natural isme yang paling maju adalah humanisme, dan sebagai humanisme yang paling maju adalah naturalisme. Ko munisme merupakan resolusi definitif atas antagonis me antara manusia dan alam, dan antara sesama manu sia. Komunisme adalah solusi sebenarnya atas konflik antara eksistensi dan esensi, antara objektifikasi dan afirmasi diri, antara kebebasan dan pengekangan, anta ra individu dan masyarakat. Komunisme adalah solusi atas teka-teki sejarah dan mengetahui bahwa dirinya merupakan solusi ini" (Fromm, 2001: 168).
Komunisme adalah fase penegasian dari fase sebelumnya, dan sebagai konsekuensinya, untuk tahap perkembangan sejarah berikutnya ada lah fase pembebasan dan rehabilitasi manusia. Komunisme merupa kan bentuk masa depan yang diperlukan dan dibutuhkan oleh manu sia.
Ide Kemajuan dalam Filsafat Auguste Comte
Auguste Comte (1798-1870) adalah pendiri aliran filsafat Positivisme yang anti metafisis. Ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah. Baginya, tidak ada gunanya mencari "hakikat" kenyataan. Hanya ada satu hal yang penting, yaitu savoir pour prevoir, "mengetahui supaya siap untuk bertindak", "mengeta hui supaya manusia dapat menantikan apa yang akan terjadi" (Ha mersma, 1983: 54). Manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hu bungan-hubungan antara gejala-gejala ini supaya ia dapat meramal kan apa yang akan terjadi. Hubungan-hubungan antara gejala-gejala oleh Comte disebut 'konsep-konsep' dan 'hukum-hukum'. Hukum hukum ini bersifat "positif'. "Positif' dalam pengertian Comte adalah yang berguna untuk diketahui.
John Stuart Mill menggambarkan doktrin fundamental dari filsafatPositifAuguste Comte sebagai berikut:
"We have no knowledge of anything but Phenomena; and our knowledge of phenomena is relative, not abso lute. We know not the essence, no the real mode of pro duction, of any fact, but only its relations to other facts in the way of succession of similitude. These relations are constant; that is always the same in same circum stances. The constant resemblances which link pheno mena together, and the constant sequences which unite them as antecedent and consequent, are termed their laws. The laws of phenomena are all we know respect ing them. The essential nature, and their ultimate causes, either efficient of final, are unknown and in scrutable to us" (Mill, 1961: 6).
Manusia tidak mengetahui sesuatu kecuali fenomena, dan pengetahu an tentang fenomena itu sifatnya relatif, tidak mutlak. Manusia tidak mengetahui hakikat, tidakjuga kenyataan yang dihasilkan oleh fakta, melainkan hanya hubungan antar fakta yang berurutan atau sama. Hu bungan-hubungan ini bersifat tetap, selalu sama dalam keadaan yang sama. Kesamaan yang tetap yang menghubungkan fenomena bersa ma-sama, dan rangkaian yang menyatukan fenomena sebagai antese den dan konsekuen adalah ketentuan hukum-hukum fenomena itu. Hukum-hukum fenomena adalah keseluruhan yang diketahui menge nai fenomena. Hakikat alamiah fenomena dan sebab-sebab akhimya, yang pasti atau final tidak diketahui dan tak dapat dimengerti.
Sejarah umat manusia, juga jiwa manusia, baik secara indivi dual maupun secara kelompok, berkembang menurut hukum tiga ta hap, yaitu tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik atau abstrak dan ta hap ilmiah atau positif. Auguste Comte menegaskan,
"From the study of the development of human intelligence, in all directions, an through all times, the disco very arises of a great fundamental law, to which it is necessarily subject, and which a solid foundation of proof, both in the facts of our organization and in our historical experience. The law is: -that each of our leading conceptions, -each branch of our knowledge, - passes successively through three different theoretical conditions: the Theological, fictitous; the Metaphy sical, or abstract; and the Scientific, or positive" (Comte, 1954: 223).
Cara berpikir manusia dalam sejarah dipengaruhi oleh hukum tiga tahap ini. Tahap teologi merupakan tahap pertama atas setiap perkemba ngan jiwa manusia atau masyarakat. Manusia dalam tahap ini selalu berusaha mencari dan menemukan segala sesuatu yang ada. Gejala atau fenomena yang menarik perhatian selalu dikaitkan atau diletak kan dalam kaitannya dengan Yang Mutlak. Manusia dalam tahap ini selalu berusaha untuk mempertanyakan hal-hal yang paling sukar se jalan dengan tingkah laku dan perbuatannya. Manusia dengan melalui pra-intuisinya menganggap bahwa hal-hal yang paling sukar tadi harus dapat diketahui dan dikenalinya.
Pada tahap teologi atau fiktif ditandai dengan bentuk masyara kat yang diatur oleh para raja yang menyatakan diri sebagai wakil dari Tuhan di dunia ini, di samping lahimya para rohaniwan yang bertugas sebagai penerjemah dan sekaligus perantara antara manusia dengan Tuhan. Sedangkan susunan masyarakat padajaman ini adalah masya rakat yang bersifat militer.
Tahap metafisik merupakan tahap peralihan, yaitu dari masa kanak-kanak yang berkembang ke masa dewasa harus melalui masa remaja. Pada tahap inijiwa manusia telah mampu melepaskan diri dari kekuatan adikodrati, dan beralih ke kekuatan abstraksi. Pada saat ini istilah ontologi mulai dipergunakan akal budi yang merupakan satu satunya kekuatan yang dipergunakan manusia untuk menerangkan adanya segala sesuatu, sehingga berkat kemampuan abstraksi tadi, manusia mampu pula untuk menerangkan hakikat atau substansi dari segala sesuatu yang ada.
Tahap metafisik dalam sejarah hidup manusia adalah ketika manusia berada dalam abad Pertengahan dan Renaissans. Jika dalam teologi, kesatuan keluarga merupakan dasar kehidupan bermasyara kat, maka dalam metafisik, negaralah yang merupakan dasamya. Re zim yang lama menjadi mundur karena tampilnya kritisisme yang ra dikal. Pemikiran manusia dalam tahap metafisik ini tidak lagi diarahkan kepada "bahwa" barang sesuatu itu ada, melainkan diarahkan ke pada "apanya" barang sesuatu itu. Kemajuan pemikiran manusia ini digambarkan oleh Comte sebagai berikut:
"The progress of the individual mind is not only an illustration, but in indirect evidence of that of the gene ral mind. The point of departure of the individual and of the race being the same, the phases of mind of a man correspond to the epochs of mind of race. Now, each of us is aware, ifhe looks back upon his own history, that he was a theologian in his childhood, a metaphysician in his youth, and a natural philosopher in his manhood (Comte, 1954: 225).
Tahap positif merupakan tahap jiwa manusia yang telah sam pai pada pengetahuan yang pasti, jelas, dan bermanfaat, tidak lagi abs trak. Pada tahap ini perkembangan jiwa manusia sampai pada tahap yang paling akhir yang juga merupakan tahap pembebasan manusia yang sebenarnya (Koento-Wibisono, 1983: 15).
Manusia tidak lagi di pengaruhi oleh kekuatan-kekuatan atau pengertian-pengertian adiko drati atau metafisik yang tidak dapat dibuktikan secara nyata. Manusia sekarang mencari dan membutuhkan pengetahuan yang riil yang ha nya dapat dicapai melalui pengamatan, percobaan, dan perbandingan di atas hukum-hukum yang umum. Jika dalam tahap metafisik manu sia tumbuh dan berkembang dalam suatu susunan masyarakat feodal maka dalam tahap positif ini, menurut Comte, kehidupan bermasyara kat akan diatur oleh kaum elit cendekiawan dan industrialis dengan ra sa perikemanusiaan sebagai dasarnya. Tahap positif merupakan tahap perkembangan masyarakat dalam era industrialisasi yang disertai de ngan peranan kaum cendekiawan dan kaum industrialis yang bersa ma-sama mengatur masyarakat secara ilmiah. Jika dalam tahap teolo gi dasar bagi kehidupan masyarakat adalah kesatuan keluarga, dan dalam tahap metafisik dasarnya adalah negara, maka dalam tahap positifini yang menjadi dasar adalah seluruh manusia.
Berdasarkan hukum tiga tahap di atas Auguste Comte melihat sejarah perkembangan manusia berlangsung di atas garis lurus menu ju ke arah kemajuan. Makna perkembangan dalam hukum tiga tahap bersifat 'positif' dalam arti suatu kemajuan. Bagi Auguste Comte, masyarakat masa depan yang telah sampai pada tahap positif merupa kan masyarakat yang terbaik dan ideal. Pada tahap ini kehidupan ma syarakat akan diatur oleh kaum elit cendekiawan industrialis dengan sikap yang rasional dan ilmiah yang berdasarkan cinta kasih sebagai pedomannya, ketertiban sebagai landasannya dan kemajuan sebagai tujuannya (Koento-Wibisono, 1983: 17).
Ide kemajuan dalam filsafat Nicolai Berdyaev
Filsafat sejarah Nicolai Berdyaev berbeda dengan Hegel, Marx dan Comte. Jika ketiga filsuf sebelumnya melihat sejarah manu sia dalam bentuk perkembangan yang maju dan pasti serta determinis tik dan tertutup, maka bagi Berdyaev sejarah manusia bersifat dinamik dan terbuka. Bentuk masyarakat masa depan ditentukan oleh apa yang dapat dilakukan oleh manusia sekarang, bukan oleh hukum-hukum perkembangan yang pasti. Filsafat sejarah tidak dapat menyelesaikan masalah kemanusiaan dengan tuntas. Kesejarahan manusia tidak da pat diselesaikan dengan membuat suatu rancangan masa depan yang pasti. Kesejarahan manusia hanyalah arena yang di dalamnya manusia berjuang untuk membebaskan diri dari berbagai keterkaitan dan per budakan yang menghadang eksistensinya (Nucho, 1966: 69).
Ide kemajuan dalam pemikiran Berdyaev berkaitan dengan pandangannya tentang filsafat sejarah. Sebagaimana halnya Hegel, Marx, dan Comte, Berdyaev membagi sejarah manusia menjadi tiga dimensi, yaitu: masa lampau, masa kini, dan masa depan. Masa lam pau adalah masa yang telah berlalu yang di dalamnya manusia menga lami berbagai peristiwa kemanusiaan.
Kejadian-kejadian atau peristi wa-peristiwa yang dialami manusia di masa lampau itu senantiasa mewamai dan mempengaruhi jalan hidupnya pada masa kini dan masa depan. Masa kini adalah waktu yang paling riil, manusia masih meng hayati dan merasakannya. Masa kini merupakan saat yang paling kongkrit dan langsung dihayati oleh manusia. Masa kini itu berisi muatan masa lampau dan proyeksi ke masa depan. Masa depan adalah pintu harapan sekaligus juga tantangan bagi manusia untuk melaku kan sesuatu yang lebih baik bagi hidupnya. Pandangan sejarah berdi mensi tiga ini di dalamnya mengandung aspek perkembangan.
Perkembangan yang dialami manusia itu berbeda kualitasnya.
Ada yang mengalami perkembangan sangat padat dan intens penuh makna, namun ada pula yang mengalami perkembangan yang kempis dan tidak bermakna. Perkembangan, bagaimanapun wujudnya, selalu bergerak ke arah kemajuan. Perkembangan dari masa lampau ke masa kini dan ke masa depan di dalamnya terkandung ide kemajuan (pro gres
Bagi Berdyaev ide tentang kemajuan merupakan hal funda mental dari metafisika sejarah. Ide tentang kemajuan mengandung makna yang bersifat teleologis dan merupakan tujuan dari perkem bangan sejarah serta inti dalam proses sejarah.
"The Idea of progress postulates a goal for historical and its significant subordination to a teleological prin ciple. It furthermore postulates a purpose independent of historical process, one not situated within history nor connected with any given period of past, present or future, detached from and thereby qualified to elucided the historical process" (Berdyaev, 1949: 186).
Filsafat sejarah tanpa memiliki ide tentang kemajuan tidak bermakna. Proses sejarah selalu mengandaikan adanya perkembangan ke arah yang lebih baik secara kualitas, yang berarti peningkatan dan sering disebut dengan istilah kemajuan. Kemajuan dan proses sejarah tidak dapat dipisahkan. Artinya berbicara tentang proses sejarahjuga berbi cara tentang ide kemajuan.
Kemajuan, menurut Berdyaev, di dalamnya mengandung ke bebasan kreatif, namun itu tidak bersifat menyeluruh. Maksudnya, kemajuan itu bersifat sebagian, tidak akan pemah mencakup semua aspek kehidupan manusia. Kemajuan hanya berhubungan dengan se bagian gejala kehidupan manusia, bukan keseluruhan gejala kehidup an. Jika terjadi kemajuan pada salah satu aspek kehidupan manusia maka pada aspek kehidupan manusia yang lain akan terjadi kemun duran. Jika di satu pihak ada kemajuan peradaban dengan hasil tekno logi modem maka di lain pihak kebudayaan dan aspek moral, hidup keagamaan mungkin merosot atau mengalami kemunduran. Sebalik nya, di satu sisi ada kemajuan yang berwujud peningkatan seni, moral, dan penghayatan kehidupan beragama, di lain sisi terjadi kemunduran ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi dan pembangunan fisik la mnya.Progress presupposes creative freedom. There is no progress in direct line upwards in the world. There is progress only in relation to the parts and groups of phe nomena, not in relation to the whole. Progress in one respect may be accompanied by regress in another. There may be intellectual progress and moral regress, technical progress and regress in culture; there may be progress in culture and social regress, and so forth (Berdyaev, 1957: 164-165).
Berdyaev membedakan antara kemajuan (progress) dengan evolusi (evolution). Pengertian evolusi mengacu pada perubahan yang bersifat alamiah dan biologis, sedangkan pengertian kemajuan memi liki dimensi spiritual. Perubahan dalam evolusi lebih bersifat proses biologis, dan perkembangan dalam evolusi tidak mementingkan unsur kreatifitas. Sementara itu dalam kemajuan unsur kreatifitas sangat penting, sebab kemajuan bukan hanya perubahan yang bersifat alami ah belaka. Berdyaev menegaskan, "Evolution is a naturalistic term, whereas progress belong to the spiritual category. Progress pre supposes creative freedom" (Bedyaev, 1957: 164). Di dalam konsep kemajuan terkandung pengertian kebaruan. Jika perubahan dalam per kembangan yang bersifat evolusi lebih bersifat "pembesaran", tanpa adahal-hal yang baru, maka perkembangan dalam arti suatu kemajuan tidak hanya berupa perubahan, melainkan munculnya hal-hal baru yang belum ada sebelumnya.
Kebaruan bagi Berdyaev bersifat spiritual, sedangkan evolusi bersifat alamiah. Ia menggambarkan tentang kebaruan sebagai beri kut:
"The rise of what is new, of what had not been before, is a greatest mystery in the life of the world. Not only the closed circle nature, but also the deeper closed circle of being, cannot permit and cannot explain the rise of newness. The mystery of the rise of newness is co nnected with the mystery of freedom, which is not to be derived from being. The creative act of freedom is breakthrough in natural phenomenal world" (Berdyaev, 1949: 52).
Manusia dalam menyejarah tidak hanya berubah dan berkembang. Le bih dari itu, ia menciptakan dan mengalami kehidupan yang lain sama sekali dari masa sebelumnya. Dunia tumbuh-tumbuhan dan hewan mengalami evolusi, yaitu berkembang dari kecil menjadi besar, per kembangan itu lebih bersifat fisik dan alamiah. Berbeda halnya deng an manusia, ia tidak hanya berkembang secara fisik, tetapi juga secara mental dan spiritual. Perkembangan manusia tidak hanya tubuhnya, tetapi juga kemampuan berpikimya. Dengan kemampuan berpikir itu manusia memiliki kemampuan untuk menciptakan berbagai hal baru dalam hidupnya.
Manusia sebagai makhluk menyejarah yang memiliki kebe basan dan kreatifitas senantiasa mengalami perubahan dan kebaruan. Berdyaev menjelaskan hal ini sebagai berikut:"Life is change and without the new there is no life. But change may be betrayal. The realization of human per sonality presupposes change and newness but it also presupposes the unchanging without which there is no personality. In the development of personality man must be true to himself; he must not betray himself; he must preserve his own features which foreordained for eternity. It is a necessary thing in life that the process of change which leads to the new shall be combined with fidelity" (Berdyaev, 1949: 50).
Hidup bagi manusia adalah perubahan, perubahan adalah kebaruan, dan tanpa kebaruan tidak ada hidup. Ini berarti, manusia di dalam hi dup menyejarah senantiasa mengalami perkembangan yang menuju ke arah kebaruan. Manusia yang berkepribadian kreatif selalu ber kembang menuju ke dimensi kebaruan. Kebaruan pada manusia itu memiliki dimensi ketuhanan.
Kebaruan mengandung dinamika perubahan yang ditandai de ngan perubahan jaman. Jaman terns berganti. Setiap periode yang muncul menggantikan periode sebelumnya selalu menyebut dirinya denganjaman baru. Kemampuan manusia untuk menciptakan hal-hal baru merupakan derivasi dari kekuasaan Tuhan yang menciptakan du nia yang senantiasa baru. Kemampuan manusia untuk menciptakan hal-hal baru dalam menyejarah merupakan konsekuensi dari kemam puan kreatifnya.
"Newness does not without fail mean amelioration and the attainment of higher value. The cult of the new, qua new, is just as bad a thing as the cult of the pasta, qua past. Real religious newness can be associated only a new era of the spirit. And that is a new era of revelation, which cannot be action of God only, but must be also the action of man, his creative act. It is possible to talk about this only if a dynamic conception both of the life of the world and the life of God be admitted" (Berd yaev, 1949: 58).
Manusia dalam menyejarah senantiasa berkembang menuju kebaruan. Makna kesejarahan manusia terletak pada kemampuannya untuk selalu kreatif menciptakan hal-hal baru bagi kepentingan hidupnya.
Ide kemajuan dalam pemikiran Alvin Toffler
Alvin Toffler lahir di Brooklyn Amerika Serikat, 4 Oktober 1928. Ia adalah pengarang buku Future Shock dan The Third Wave yang terkenal itu. Toffler dalam bukunya The Third Wave membagi perkembangan sejarah peradaban manusia atas tiga gelombang. Ge lombang pertama adalah fase agrikultur, gelombang kedua adalah fase industri, dan gelombang ketiga adalah fase yang sekarang sedang di alami oleh umat manusia, fase ini sering disebut era informasi yang di tunjang oleh teknologi komunikasi.
Toffler mengawali tesisnya dengan melihat perubahan yang berakselerasi dalam masyarakat pada tahun 1960-an. Arus perubahan bergemuruh menumbangkan lembaga, menggeser nilai dan menggo yahkan akar peradaban yang semula diyakini benar. Berdasarkan pengamatan itu, Toffler mengumpulkan data dari berbagai penjuru dunia yang berasal dari berbagai perguruan tinggi, lembaga riset, partai poli tik, perkumpulan sosial dan banyak lagi yang lain. Data yang dipero lehnya menggambarkan perubahan yang datang begitu cepat dan be runtun sehingga melebihi kecepatan manusia untuk mengantisipasi nya. Karena itu, menurutnya, manusia perlu memiliki pemahaman tentang bentuk masa depan yang akan dihadapinya. Tujuannya adalah agar manusia dapat lebih memahami masa kini dan mengerti keputus an apa saja yang seharusnya mereka ambil untuk menciptakan masa depan yang diinginkan.
Bagi Toffler untuk memahami masa sekarang tidak cukup ha nya dengan mengerti masa lalu saja, akan tetapi juga dengan menge tahui apa yang mungkin terjadi di masa depan. Perjalanan sejarah me nurut Toffler, berlangsung secara dialektis, bukan linier atau siklis. Sebuah masa depan merupakan sintesis terbaik yang diambil dari ma sa lalu dan menggabungkannya dengan pemahaman dan keputusan cerdas pada masa kini.
Ide kemajuan dalam filsafat sejarah Toffler dapat ditemukan dalam konsep dialektika sejarah kemanusiaan. Toffler membagi seja rah peradaban manusia menjadi tiga gelombang perubahan. Gelom bang pertama yang merupakan tesis sejarah adalah Gelombang Agri kultur yang dilampaui manusia sejak tiga abad yang lalu. Sebagai anti tesisnya adalah Gelombang Industrial yang merupakan Gelombang Kedua yang masih dialami oleh sebagian masyarakat di dunia dewasa ini. Sebagai sintesisnya adalah Gelombang Ketiga yang disebut oleh Toffler sebagai Gelombang Superindustrial atau Informasi. Fase Ge lombang Superindustrial atau Informasi ini telah dimasuki sebagian negara-negara di dunia (Toffler, 1983: 28).
Pada masa Gelombang Pertama, masyarakat hidup dari hasil mengolah tanah pertanian di ladang yang dekat dengan tanah kelahir an mereka (Toffler, 1983: 40). Umumnya mereka menjadi produsen sekaligus konsumen produk yang mereka hasilkan. Karena mereka bekerja dengan menggunakan kekuatan otot, maka jumlah anggota keluarga yang besar sangat menguntungkan. Sebuah keluarga yang terdiri dari keluarga inti, ditambah nenek, kakek, paman, bibi, dan se mua anggota keluarga ikut bekerja di ladang, baik laki-laki maupun perempuan ikut dalam proses produksi (Toffler, 1983: 42). Masyara kat Agrikultur hidup menurut keinginan mereka sendiri. Satu-satunya ketergantungan mereka hanya pada alam. Mereka tidak hidup dalam sistem yang saling terkait, sehingga tidak ada interdependensi yang ketat. Mereka bebas menggunakan waktu sesukanya.
Berbeda dengan Gelombang Pertama dengan ciri menyatunya produsen dengan konsumen, pada Gelombang Kedua produsen dan konsumen terpisah yang ditandai dengan adanya spesialisasi yang kian beragam (Toffler, 1983: 42). Kehidupan bergerak dari ladang ke pabrik dengan pola hubungan antarmanusia yang saling terkait, dan interdependensi merupakan hal pertama yang harus dialami. Manusia mulai mengalami pola hubungan massal dalam hidupnya. Sistem in dustri menerapkanjam kerja yang pasti, sehingga setiap pagi dan sore para pekerja berbondong-bondong pergi dan pulang dari tempat kerja nya (Toffler, 1983: 44). Sebuah fenomena pergerakan manusia yang tidak efisien. Manusia tidak dapat lagi mengatur jam kerja mereka sendiri dan bekerja menurut cara mereka. Pekerjaan pada Gelombang Kedua terspesialisasi pada jenis pekerjaan tertentu dan dilakukan se cara berulang-ulang, sehingga hampir tidak ada tempat bagi kreatifitas.
Pada Gelombang Kedua, kehidupan keluarga juga berubah dari keluarga besar menjadi pola keluarga inti yang lebih kecil agar lebih mobile dan efisien. Keluarga harus pindah dari tanah kelahirannya ke lingkungan industri yang menyediakan pekerjaan. Beberapa pekerja an pada lingkungan industri masih menggunakan otot, disamping terpisah dari rumah juga terjadi pembagian pekerjaan menurut jenis kelamin. Pekerja laki-laki melakukan proses produksi di pabrik, se dangkan kaum wanita di rumah menjaga anak dan menjalankan kegi atan rumah tangga. Terpisahnya antara sektor produksi dan konsumsi menyebabkan pekerjaan yang dilakukan wanita di rumah dianggap ti dak produktif. Wanita dianggap lebih sebagai konsumen, meskipun dalam kenyataannya mereka bekerja sepanjang hari menata keluarga nya (Toffler, 1983: 66).
Pada Gelombang Ketiga, menurut Toffler, terjadilah perubahan yang lebih dahsyat terhadap pola hidup dan pola kerja manusia. Gelombang Ketiga, menurut Toffler, bukanlah kelanjutan Gelombang Kedua, melainkan sebuah penyimpangan yang dialektis yang meng akumulasi keunggulan yang ada pada Gelombang Pertama dan Ge lombang Kedua. Gelombang Ketiga sebagai peradaban masa depan menghadirkan kemudahan teknologi yang membuat orang lebih ba nyak bekerja di rumah dan mengatur jadwalnya sendiri sehingga akan lebih banyak waktu untuk diri sendiri dan keluarga. Informasi meru pakan aset untuk bekerja dan kemampuan otak, bukan otot, dikede pankan. Oleh karena itu menurut Toffler, wanita akan lebih meningkat perannya. Sementara produksi massal tidak lagi menarik, orang mem butuhkan layanan yang lebih pribadi sehingga barang-barang dipro duksi berdasarkan pesanan. Hal ini tentu saja menuntut suatu kreatifi tas individu yang besar (Toffler, 1983:264-267).
Hal terpenting dari pemikiran Toffler tentang perkembangan sejarah adalah faktor yang menggerakkan sejarah. Bagi Toffler, faktor penggerak sejarah adalah seluruh individu dan lembaga yang ada da lam masyarakat. Setiap orang dapat mempengaruhi masa depan kema nusiaan dengan keputusan yang diambilnya pada hari ini. Toffler tidak berpretensi bahwa masa depan yang ditawarkannya mesti terwujud sesuai dengan yang direncanakan karena, menurutnya, seandainya ta hun depan terjadi perang dunia maka manusia harus memulai lagi me rajut masa depannya dari awal. Namun demikian, Toffler ingin semua orang menyadari bahwa setiap orang dapat memperjuangkan masa de pan terbaik yang dapat mereka bayangkan dengan keputusan yang cer das padahari ini.Kemajuan, dalam pandangan Toffler, dapat diketahui berda sarkan perkembangan peradaban manusia dari Gelombang Pertama ke Gelombang Kedua. Kemajuan tidak lain adalah kekuatan mengge rakkan jutaan manusia keluar dari pertanian dan memasuki produksi massa. Kemajuan menuntut adanya urbanisasi, standarisasi, dan se mua paket yang lain di dalam Gelombang Kedua (Toffler, 1984: 14).
Peradaban Gelombang Ketiga yang sedang muncul tidak menyiapkan model yang siap pakai. Peradaban Gelombang Ketiga belum mene mukan bentuknya, tetapi bagi yang miskin maupun yang kaya ia mem buka kemungkinan baru yang barangkali membebaskan. Masa depan umat manusia dalam Gelombang Ketiga yang kurun waktunya pada abad ke-20 ini dan abad ke-21 mendatang akan menghadapi kejutan masa depan, yaitu akan ada jutaan umat manusia yang merasa diri mereka semakin kehilangan orientasi. Makin lama manusia makin tidak mampu untuk menghadapi lingkungan mereka secara rasional. Perasaan tak nyaman, ketegangan saraf massal, keti dakrasionalan dan kekerasan merupakan awal dari berbagai perubah an radikal yang akan terjadi di masa depan. Lebih lanjut Toffler me ngatakan,
"Future shock is a time phenomenon, a product of greatly accelerated rate of change in society. It arises from the superimposition of a new culture on an old one It is culture shock in one's own society" (Toffler, 1970: 11).
Kejutan masa depan merupakan fenomena waktu, hasil dari tingkat akselerasi yang tinggi dari perubahan di dalam masyarakat yang ditimbulkan oleh merasuknya kebudayaan baru terhadap kebudayaan lama. Ini merupakan kejutan budaya di dalam masyarakat tersebut.
Dengan menghindari kejutan masa depan ketika menunggangi gelombang perubahan, manusia harus menguasai evolusi dan mem bentuk masa depan menurut kebutuhan umat manusia. Tanpa bangkit memberontak terhadapnya, mulai saat historis ini dan seterusnya ma nusia seharusnya mengantisipasi dan mendesain masa depan. Hal ini yang merupakan tujuan akhir futurisme sosial, bukan sekedar transen densi teknokrasi dan mensubsitusinya dengan perencanaan yang lebih manusiawi, lebih berpandanganjauh dan lebih demokratis, melainkan menundukkan proses evolusi itu sendiri pada bimbingan manusia yang sadar. Inilah saat yang agung, titik balik dalam sejarah, saat ma nusia harus menundukkan proses perubahan itu atau binasa, dari men jadi boneka evolusi yang tak sadar menjadi korban atau menjadi pe nentu proses itu.












