Menyajikan Data Mengungkap Fakta Menjadi Sejarah

Sejarah

3/sejarah/post-list

IPMAM DALAM IDE

IPMAM HANYA TUNGGAL DALAM IDE”ATAUKAH SEBALIKNYA “
Oleh: Jubaer Hart
 Sebuah pandangan
Perbedaan gagasan, politik, dan ideologi berimplikasi terhadap generasi dan kader IPMAM di abad ke 21. Berbagai macam latarbelakang dan pergerakan  kader-kader IPMAM  di rana akademisi, membuat organisasi ini berada dipersimpangan jalan. Berbekal pengetahuan ideologi islam yang fundamentalis dan diskusi-diskusi tentang keislaman yang tauhid, sampai membaiat IPMAM diharamkan berpolitik mengingat politik bernuansa sangat ekstrim terhadap kepentingan individual maupun golongan. Lantas kemudian disimpan dimana-dan dikemanakan  kader-kader yang berkualitas ini? Atau politik seperti apa yang harus dipakai oleh IPMAM? Mungkin karnah IPMAM adalah organisasi yang menggunakan rujukan Al-Quran dan As-Sunnah, sehingga berpolitk dijadikan sebagai tabuh. Saya rasah pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang harus kita carikan jalan keluar atau soslusi, sehingga nilai-nilai dan maknah organisasi terkontruksi dengan baik dalam tindak tanduk kehidupan berorganisasi kita. Dengan demikian, ketunnggalan IPMAM terejahwantakan dalam  tindakan konkrit, bukan hanya tunggal dalam ide kita saja.
Kader IPMAM adalah harapan bangsa dan masyarakat Amaholu khusunya. Olehnya itu, patut bertanggungjawab ketika ada segolongan atau segerombolan dari luar datang mengeksploitasi dan menjadikan IPMAM dan masyarakat Amaholu sebagi obyek eksploitasi dan mengobrakabrik masyarakat untuk mengeruk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Patutkah hal ini kita melakukan pembiaran, sehingga selamanya kita diklaim sebagai masyarakat  dan generasi yang inferior. Yang selalu takut dan tunduk terhadap hegemoni dan dominasi orang lain.  Saya rasa, ini adalah sebuah kebiadaban yang harus kita lawan dengan sumberdaya kita yang ada. Yaitu  dengan kita fungsikan kader kita yang berkualitas dan revolusioner, sehingga menjadi dewa penolong bagi masayarakat amaholu dan masyarakat huamual secara general dan klimaksnya kita akan meruntuhkan stegmen dari La Arifin bania sehingga kejayaan Sembilan belas dusun dan  sentral geografisnya ada di Amaholu dan generasinya.
Ada beberapa hal kenapa saya mengangkat tema Ipmam Hanya  Tunggal Dalam Ide atau kah sebaliknya, didalam tulisan ini. Mengacu kepada realitas historis perjalanan IPMAM dan gerasinnya selalui dilewati dan diwarnai  dengan kontradikitif-kontradiktif, baik itu yang konkrit maupun yang abstrak. Anehnya dari kontradiktif –kontradikti tersebut, tidak menjadikan sebagai rahmat, malahan saling menyerang dan menyalahkan satu sama lain. Dimanakah  letaknya kita memposisikan perbedaan adalah rahmatan lilalamini tersebut? Entahlah kenapa! Mungkin ini adalah hukum alam dan berlaku seluruh mahluk hidup yang ada dijagat raya ini, sehingga  setiap mahluk hidup tidak bisah lari dan  menghindarinya. Dan hukum alam  itupun demikian  berlaku terhadap organisasi ini. Anehnya, kebanyakan sumber kontradiktif tersebut mengacu kepada mempersepsikan politik sebagai satu-satunya sumber kontradiktif sehingga solidariatas dan loyaliatas dalam organisasi hanya tunggal dalam ide-ide individu-individu saja. Bukan di dalam sikap dan tindakan kita yang konkrit dalam berorganisasi.
Berbicara politik, ada baiknnya kita mendevinisikan politik secara sahih, sehingga  kita tidak terjebak secara parsial, serta naïf dan kolot dalam memahami politik. Alhasil, yang ada dipikiran kita politik semata-semata hanya untuk kepentingan primordial dan golongan, sehingga tidak melihat politik dari sisi positifnya. mengacu pada beberapa pendekatan baik secara islam maupun dimensi ilmu politik itu sendiri. Menurut sumber historis yang kutemui dalam islam, bahwa politik sudah diajarkan pada fase Rasullah SAW menjalankan dakwahnya yaitu pada saat Rasullah Hijrah dari Mekah  ke Madina dengan mengambil sebuah kebijakan politik yaitu mempersaudarakan kaum muhajirin dan ansar yang ada di Madina. Di mana sebagi sebuah strategi dan taktik untuk keselamatan mereka menuju suatu missi yaitu membebaskan umat manusia dari perbudakan dan eksploitasi dengan konsep islamnya.  Konsep kenegaraan pun dicetuskan pertama kali di Madina (Baca: konsep  Islam dan Negara). Kalimat ini, sebenarnya harus menjadi sebuah kehalalan toiban bahwa apapun organisasinya dan ideologinya pada dasarnya politik bukan lagi menjadi sebuah keyakinan tradisonalisme atau menjadiakan sebuah isme yang harus diajauhi oleh generasi bangsa dan generasi IPMAM.
Ketika generasi IPMAM  diejahwatahkan dalam kehidupan konkrit dengan mendorong kadernya menuju kepentingan jamaah maka ketunggalan IPMAM dalam ide tersebut tidak bersifat peyoratif,gagasan kebersamaan dan keutuhan organisasi semakin terwujud dalam realitas dan tindakan kita dengan mengambil sebuah keputusan kolektif kolegial sehingga badai politik tidak menembus dalam organisasi yang kita cintai ini.karna materi yang menentukan ide,  sehingga IPMAM  selalu tunggal dalam warna warni kehidupan berorganisasi , sebaliknya bukan ide yang menetukan materi, alhasil ketunggalan  IPMAM hanya terwujud dalam angan-angan yang kosong tanpa terkonstruksi dalam tindakan dan perbuatan kita yang lebih konkrit.
Tulisan ini bukalah sebuah kebenaran sejati yang harus menjadi sumber pemahaman kawan-kawan,  tapi hanya sebagai batu loncatan untuk merevitalisasi kontelasi didalam organisasisi dan penulis bukan dimaa’sumkan dari kesalahan.karna kebenaran sejati hanya ada dilangit.salam pembebasan, salam organisasi IPMAM, semoga jaya selalu, dan bongkar kebiasaan lama ciptakan kebiasaan baru yang inovatif, revolusioner, dan religious. *****




Share:

Jumpa Pertama di Kota Daeng


Aku dan kamu berjumpa di Kota Daeng. Pertemuan itu, kali pertama kita. Setelah sekian lama mengipikan perjuampaan itu. Kita bertemu di UVRI Antang. Di Pos penjagaan, Kampus UVRI aku menggu. Dan beberapa waktu aku menunggu, kamu tiba-tiba muncul dari arah depan pintu gerbang, dengan berboncengan sepeda motor. Kamu bersama kakak Iparmu. Kamu memanggilku Bi, disini. Dengan senyum aku menjawmu, kesini saja. Tak menunggu lama kamu pun melangkah mendekatiku. Kita bersalaman, jabat tangan, saling melempar senyum. Kamu memandangku, mencubit-cubit badangku dengan penuh kasih sayang. Kaka iparmu datang menyembar kita. Aku berkenalan denganya, berjabatangan dengan senyum malu.

Kamu mengajaku kerumah sepupumu. Tak ada motor untuk bisa menjangkau rumahmu. Kamu mencarikanku ojek. Dan aku menungguhmu, hingga kamu muncul bersama ojek yang kamu ajak untuk memboncengku. Aku bersama tukang ojek satau sepeda motor dan kamu bersama kaka iparmu semotor. Kami mengikuti belakang kalian. Sekali-kali tukang ojek menancapkan gas, takut pandanganya terselip oleh kenderaan lain. Begitu cepat kalian mengendrai motor itu, hingga sesekali tukan ojek bertanya dimana mereka? Lorong demi lorong dimasuki, tetapi belum juga sampai. Lumayan jauh perjalanan dari kampus UVRI ke rumah sepupumu.

Aku mengeluarkan uang 10 ribu untuk ongkos ojek. Kalian mengajaku masuk dan aku pun masuk, memberi salam. Salam itu kalian jawab sendiri. Aku masuk, duduk bersila di dasar lantai. Beberapa menit kita duduk ngobrol berdua, datang pula saudara sepupumu. Lelaki itu tersenyum disaat memandanku. Aku membalas senyumnya. Kita ngobrol bersama. Aku, kamu dan sepupumu. Pembicaraan kita, tak begitu mencair, selain rasa tegang menyelimuti kita, juga ini kali pertama kita duduk bersama.

Dari waktu Zuhur, hingga shalat asar kita masih saja nobrol. Aku menanyakan letak mesjid dan meminta pamit sebentar untuk ke mesjid, agar bisa menuniakan Shalat Ashar. Aku meninggalkan kalian berdua, bercerita. Usai shalat aku kembali lagi ke kontarakan kaka iparmu yang tak begitu jauh dari mesjid, tempat aku menunaikan shalat Ashar. Pisang gorong..pisang goreng. Teriak anak penjual pisangoreng itu, sambil berjalan melewatiku. Akupun menahan anak itu, memintanya untuk mengikutiku. Ia pun turut berjalan bersamaku menuju romah kontrakan sepupumu itu. Disitu, kumelihatmu duduk di jendela, tak memakai jilbab, seperti halnya pertama kita berjumpa tadi. Aku menyuruhmu membeli pisang goreng yang dibawa anak itu. Kamu lalu mengambil beberapa pisang goreng itu, bersama sambalnya. Menaruhnya di sebuah piring kaca. Piring yang baru saja kamu ambil dari rak piring itu.

Kamu mengajak kami makan. Kita makan bersama, sambil menonton TV. Bercerita, sekali-kali aku melirkmu. Kita salang berpandangan lalu tersenyum. Beberapa lama kemudian aku meminta pamit, pulang ke temapt kosku. Kamu bilang tunggu sebentar. Ternyata kamu memakai jilbab dan mengantarku keluar, menuju pangkalan ojek. Sambil bercerita kita berjalan berdua. Melihat bakso, aku bilang aku ingin maken, semenjak dari tadi perutku belum menyentu nasi. Kamu bilang makan bakso, tetapi kamu tak bawah dompet. Sambil berjalan kita bercerita, berlalu dari tempat bakso. Disepanjang jalan, kamu sesekali memukul pundakku dan mengandeng tanganku.
Kaka Sepupumu mengenderai motor menyambar kita dari belakang. Mengajak aku naik. Aku pun naik. Dadaa….Katamu, dan aku membalsanya dadaaa…kita pun berlalu.

Minggu 20 September. Kamu mengajaku ke pantai losari. Tapi kita gagal bertemu. Aku datang kemu kembali. Aku salah jalur, bukan dipantai losari tapi, sampai dijalan cendra wasih.
                                                                   Sabtu, 19 September 2015. 

Share:

Konsep Tentang Sejarah yang Diingat


 “Sejarah yang diingat.” Demikian pengalan kalimat yang pernah diutarakan sejarawan Inggris, Bernard Levis (terjemahan, 2019). Ungkapan tersebut, sesungguhnya tepat untuk menulis narasi sejarah yang ditemukan dari masyarakat bawah ini. Keberadaan mereka dalam panggung kesejarahan Indonesia pada umumnya, meminjam istilah Zuhdi, diabaikan dan terabaikan. Kecenderungan sejarawan dalam menampilkan diskripsi sejarah selama ini, lebih banyak memunculkan kisah heriok masyarakat yang berasal dari kalangan menegah ke atas, sehingga rakyat kecil yang hidup di dusun dan di desa terpencil, tak punya tempat dalam sejarah. Bahkan kisah mereka pun ketika ditampilkan dalam pangungg sejarah tak banyak diminati oleh pembaca. Padahal nilai-nilai kesejarahan yang dapat dipetik dari kisah itu, banyak yang bisa dijadikan pengetahuan generasi bangsa sekarang dan di masa depan.
Karena itu, historografi ini menampilkan narasi sejarah dengan pendekatan sejarah masyarakat bawah, sesuai hasil penelitian yang ditemukan penulis di lapangan. Menyajikan beberapa sejarah kampung-kampung Buton di pesisir Hoamual, SBB-Maluku. Kehadiran mereka di daerah itu, sesungguhnya tidak meninggalkan bukti tertulis. Kapan orang Buton pertama kali datang wilayah Hoamual? Sebuah pertanyaan kritis, yang sudah barang tentu tidak akan bisa ditemukan dan dibuktikan kebenarannya secara mutlak. Namun itulah sejarah, bukanlah ilmu pasti, tetapi dialog yang tak berkesudahan, selama didukung dengan data dan fakta.
Memang belum ada, dan bahkan mungkin tidak akan perah ada temuan dokumen yang bisa dijadikan sumber data yang otentik untuk membuktikan kebenaran cerita sejarah orang Buton di Huamual. Apa yang dikisahkan tentang masa lalu mereka di tanah rantau itu, hanya terekam dalam inggatan kolektif masyarakatnya. Itupun bukan pengkisah bukan lagi dari pelaku pertama, tetapi cerita itu sudah turungkan dari generasi ke generasi, sehingga tak jarang mengandung multitafsir dan interpretasi dari sipencerita, bahkan cerita itu bias. Itulah sebabnya, terkadang tentang apa yang kisahkan bercampur dengan unsur mitos dan mistik. Walhasil, kebenaran cerita yang dituturkan tidak dapat dijangakau dengan pikiran rasional. Dari kisah itu, tidak ditemukan suatu kebenaran sejarah, layaknya sebuah disiplin ilmu.
Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada dokumen tidak ada sejarah, tetapi sejarah selalu ada. Sepanjang ada kehidupan umat manusia. Rekam jejak, dan benda tingalannya, baik individu maupun dalam aktifitas di dalam lingkungan masyarakatnya dapat dijadikan sumber sejarah. Ditampilkannya historiografi ini paling tidak diharapankan bisa bermanfaat untuk sumber pengetahuan generasi di, mereka di tanah rantau yang tidak lagi hidup sezaman. Mungkin telah lupa sejarah dan budayanya sebagai pengikat kebersamaan mereka di daerah itu. Sejarah yang bisa memberikan tuntunan kepada generasi Buton-SBB, hari ini dan di masa mendatang agar mereka tidak jatuh dijurang yang sama.
Berikut ini adalah sepengal kisah sejarah yang direkam oleh penulis berdasarkan hasil wawancara dengan para informan yang masih menggetahui kisah awal kehadiran orang tua mereka terdahulu, di kampung-kampung Buton Pesisir Huamual yang kini mereka tinggali.
Share:

Sejarah Kampung Saluku: Satu Kali Tinggal





Penulis : Kasman Renyaan
(Mahasiswa Pendidikan Sejarah pada PPS (S2) UNM

 Istilah Saluku diambil dari bahasa Cia-cia. Akar kata “Sa” dan “Luku.” Sa, berarti “satu” dan “luku” artinya tinggal. Saluku mengandung makna “’satu kali tinggal.” Ungkapan Saluku, dimaksudkan untuk mereka yang tinggal di kampung ini, baik penduduk setempat maupun pendatang, kemudian menikah di Saluku akan tetap berkeinginan untuk tinggal (menetap) di kampung ini. Selain itu, nama Saluku juga dimaksudkan kepada orang lain (pendatang), bila mereka datang ke kampung ini, akan tetap berkeinginan terus-menerus tinggal di kampung ini. Maksudnya, ia akan mempunyai keinginan kuat untuk tetap menetap di Saluku. Ketika orang itu pergi meninggalkan kampung ini, maka ia akan terus mengingatnya dan akan berusaha untuk kembali lagi di lain waktu.
Tidak ada catatan tertulis yang bisa mengungkapkan secara pasti kapan sebenarnya orang Buton bermukim di sini? Namun, dari sejumlah informasi yang direkam peneliti di Saluku terungkap, kedatangan orang tua mereka di kampung ini, pada awalnya hanya beberapa orang tua  saja. Mereka termasuk kelompok awal yang mendiami Saluku, Haji Abdurahman, Haji Usman, Bapa Sangkati, Bapa Pasamba, dan Haji Adam. Meskipun mereka sama-sama berasal dari Tawolio (tanah Wolio), Buton, Sulawesi Tenggara, akan tetapi daerah asal mereka berbeda-beda. Sebut saja, Haji Abdurahman, dan Haji Usman dari Holimombo. Sedangkan bapa Sangkati, dan bapa Pasamba dari Kasse, serta Haji Adam dari Buton Wagola.
Kelima orang tua Buton itu, jelas berasal dari daerah yang berbeda, tetapi perbedaan itu, menyatukan mereka dalam semangat sabangka-asarope (teman dan satu tujuan), ketika mereka berlayar dari Buton ke Seram Barat  dalam satu bangka. Kedatangan mereka ke Seram Barat didorong oleh keinginan untuk mencari ikan. Mereka yang datang ini, berniat akan mencari ikan dengan cara memasang alat tangkap kantano (Bubu), di laut dangkal pesisir SBB. Akan tetapi, di daerah yang dijumpai itu, ternyata kondisi alamnya terlihat subur dan menjanjikan masa depan, sehingga menarik mereka dan berkeingginan untuk hidup menetap di SBB. Keinginan itu, diwujudkan dengan dibentuknya perkampungan Saluku.
Sebelum memilih pemukiman di Saluku, kelompok ini menetap di Saluta, Waelapia. Namun mereka tidak bertahan lama di kampung itu, dan pindah lagi  ke kampung tetangganya, Liaela. Karena terjadi keselapahaman diantara mereka dengan para orang tua, kelompok ini pindah lagi ke wilayah utara Kampung Liaela, yakni lokasi yang disebut Wahawai. Dalam perkembangan kemudian, mungkin melihat kondisi pemukiman yang dirasa sempit dan kurang cocok, mereka bergeser lagi ke suatu tempat yang lokasinya kurang lebih setengah kilo ke arah utara dari Wahawai. Tempat inilah yang dinamai dengan Saluku, yang berarti “satu kali tinggal” untuk selamannya.
Saluku, adalah nama yang mengadung makna filsofis tentang kelangsungan penduduk yang hidup di kampung itu. Pemberian nama ini atas dasar musyawarah dan kesepakataan bersama, antara beberapa orang tua dari Luhu yang mempunyai lahan di wilayah  itu, dengan kelompok awal orang Buton selaku orang yang membongkar lahan perkampungan tersebut. Orang Luhu menyebut “Saluku” dengan kata Salu’u. Akar kata Sa, dan Lu’u. Kata Sa, berarti satu, sedangkan Lu’u, berarti potong, jadi Salu’u berarti “satu kali potong.” Maksud dari ungkapan tersebut, yakni kepada siapa pun yang datang mengugat tempat ini (Saluku), selain orang Luhu, akan dipotong hingga satu kali potong langsung meninggal.
Beberapa orang tua Buton kelompok awal yang mendiami kampung ini, mengusulkan agar nama tersebut diganti dengan Saluku, yang berarti “satu kali tinggal.” Maksudnya, mereka tinggal sampai selamannya di kampung ini. Menurut mereka, kata Salu’u dianggap mengandung arti kurang baik, bagi kelangsungan kehidupan generasi mereka kelak di kampung itu. Alhasil, Saluku disepakati dan ditetapkan menjadi nama kampung mereka. Dalam kesepakatan itu, orang Luhu akan tetap menyebut Saluku dengan Salu’u, dan bagi orang Buton, akan menyebut tempat tinggal mereka dengan Saluku, hingga sekarang.
Berdasrkan ingatakan kolektif masyarakat di kampung Saluku, lokasi kampung ini disaat pembongkaran lahan di penuhi pepohonan beringin. Pohon yang ketika itu, diyakini sebagai tempat bersarangnya Mahluk halus (setan). Karena itu, sebelum di mulainya pembabatan semak-belukar yang tubuh liar lokasi dikampung ini, beberapa orang tua dari Buton, melakukan ritual pikadawu (memberikan sejajian) yang diyakini bisa mengusir mahkluk halus di kampung itu. Usai ritual, barulah pembongkaran lahan di lakukan. Kemudian beberapa orang tua dari Luhu (pemilik lokasi Saluku), bersepakat untuk tinggal bersama di kampung hingga generasi mereka sekarang. Itulah sebabnya, orang tua di Saluku banyak yang bisa berbahasa Negeri Luhu, hingga sekarang (Abdin Kiat, & Gardo, Wawancara, 15 Agustus 2015).
Berdasarkan gambaran tersebut dapat disimpulkan yaitu, Pertama; kehidupan masyarakat di Kampung Saluku bergantung pada sektor laut, ini didasarkan pengelaman sejarah kampung itu, bahwa kedatangan orang tua mereka dahulu, mulanya dengan tujuan mencari ikan. Kedua; para nelayan mulai kesulitan mendapatkan ikan di laut kampung mereka, sehingga memaksa mereka untuk hijrah ke kampung lain. Ketiga; Kampung Saluku, didirikan oleh ke lima orang Buton, diantaranya Haji Abdurahman, Haji Usman, Bapa Sangkati, Bapa Pasamba, dan Haji Adam. Berdasarkan komunikasi yang dibangun antara orang Luhu (penduduk lokal), yang mempunyai lahan di lokasi itu dengan orang Buton yang membongkar lahan pemukiman, atas persetujuan orang Luhu. Kempat; nama Saluku yang melekat pada kampung itu, disetujui atas dasar musyawarah mufakat, Saluku berati satu kali tinggal. Karena itu, orang lain yang mengugat kampung ini selain orang Luhu, maka tetap Saluku “Satu Kali Potong.”Kelima, sifat kebersamaan itu membuat mereka hidup bersama dalam satu ikatan basudara (kekeluargaan), antara orang Luhu dan orang Buton, Saluku. Karena itu, komunikasi budaya diantara keduanya tercipta dengan baik, banyak orang tua di kampung ini, bisa berbahasa Luhu.
Saluku kini merupakan salah satu diantara puluhan kampung Buton, yang secara administrasi berstatus dusun petuanan Negeri Luhu, Kecamatan Huamual, Kabupaten SBB. Terletak kurang lebih sekitar 2 km, dari desa induk. Setiap hari penduduk dari kampung ini, sering pulang dan pergi menjajakan dagangannya, berupa ikan dan sayur-sayuran ke Ambon dan ke pasar Negeri Luhu. Kampung yang mayoritasnya beretnik Buton Cia-cia ini, diapit oleh beberapa kampung Buton lainnya. Di bagian selatan terdapat Kampung Leiela, sementara di utara berbatasan dengan Kampung Warau, dan Luhu Lama. Meskipun diantara kampung-kampung Buton tersebut dipisahkan oleh tanjung yang berbatu-karang, tetapi tak lantas membatasi ruang gerak penduduknya berjalan kaki untuk berpergian di tetangga kampung mereka, baik untuk menjajakan ikan hasil tangkap para nelayan, atau hanya sekedar baronda (jalan-jalan). Terlebih lagi, bila ada acara sukuran keluarga. Saling mengunjunggi diantara mereka sudah menjadi kebiasan sejak dahulu.
Disekitar tanjung perbatasan antara Kampung Saluku dengan beberapa kampung Buton lainnya itu, terdapat banyak perkebunan ubi kayu. Hamparan pepohonan kelapa, ketapang, tumbuh subur disepanjang pesisir pantai. Di bagian timur kampung ini, berhadapan langsung dengan laut Jazirah Leihitu, Pulau Ambon. Di sebelah barat, dihubungkan oleh pegunungan Saluku dengan Kampung Hatawano, sebagian Asam Jawa, dan sebagian lagi Batulubang, kawasan pesisir barat Hoamual. Dipegunungan itu, terdapat banyak perkebunan cengkeh milik warga Saluku, yang  berbatasan dengan perkebunan cengkeh milik kampung lain. Di setiap perbatasan cengkeh mereka, masing-masing ditanami pepohonan liar, sebagai penanda kintal (arel) perkebunan. Setiap warga Saluku mempunyai lahan cengkeh, pala, coklat, dan jenis tanaman jangka panjang lainnya.
Bagi masyarakat Saluku yang hendak berpergian ke kampung-kampung yang berada di barat Hoamual, terkadang menempuh jalur darat dengan berjalan kaki, memanjat pegunungan, melewati gungung melintang, terus berjalan menurun ke Kampung Hatawano, Asamjawa atau Batulubang. Tergantung di mana tujuan mereka berpergian. Biasanya juga ada dari mereka yang berjalan kaki melewati pegunungan Luhu dan turun ke Kampung Amaholu Los. Bagi penduduk kampung tersebut mengangap“Hangka kake” (berjakan kaki) ke kampung-kampung sebelah (barat Huamual) itu, dianggapnya dekat, demikian sebaliknya. Namun, apabila memilih jalur laut, trasportsi Joson (Pentura), spit boat, atau katinting menjadi kenderaan penghubung. Jalur ini melewati Tanjung Sial, Semenajung Hoamual, dengan waktu tempuh kurang lebih, 1-2 jam.
Bagi masyarakat di kampung ini, pekerjaan sebagai pelaut merupakan pekerjaan unggulan para lelaki. Mulai anak remaja putus sekolah hingga orang tua, memilih hidup sebagai nelayan. “Buang jareng dapat uang cepat. Kalau rezeki, semalam saja kita bisa meghasilkan uang ratusan ribu rupiah. Itu masih uang saku, belum terhitung yang lain.” Demikian kata La Ian (Wawancara di Saluku Agustus 2015). Anak muda tamatan SMA ini, tidak mau melanjutkan pendidikannya dan memilih bekerja sebagai kariawan Jareng Bobo (pukat tarik), karena menurutnya, dengan bekerja sebagai nelayan, dia bisa punya penghasian sendiri.
Untuk perempuan khususnya para ibu rumah tangga, bekerja di kebun dan membantu menjajakan ikan hasil tangkapan anak atau suami mereka ketika kembali dari melaut. Aktifitas mereka dikenal dengan istilah jibu-jibu (perempuan yang menjual ikan). Pemasaran hasil tangkapan itu, biasa dibawa ke pasar Luhu, tetapi ada pula yang menjualnya ke kampung-kampung tetangga terdekat. Namun, jika hasil dari tangkapan para nelayan itu sudah berkelebihan, pasar Hitu atau Hila menjadi alternatif pemasaran. Untuk sampai ke jazirah Lehitu itu, apabila menggunakan jonson (pentura) atau spit boat kurang lebih 30 menit. Itulah sebabnya, ikan yang di jual ke kota pelabuhan itu, adalah ikan-ikan segar, sehingga ketika di lelang langsung ditangani oleh para pemborong di sana. Jarak tempuh itu, sama dengan menggunakan trasportasi spit boat ketika penduduk Saluku hendak berpergian ke kota Ambon melalui pelabuhan Tahoku-Hila.
Seiring berjalannya waktu hasil tangkapan para nelayan mulai berkurang. Dalam semalam kadang hasil tangkap yang di bawah pulang pun tidak seberapa, sehingga membuat nelayan-nelayan itu mengambil inisiatif untuk menyebrang ke kampung lain. Di utara Pulau Buano, Dusun Naselan (Buton Tomia), menjadi pangkalan baru  para nelayan itu, mencari ikan. Mereka bertahan hingga berberbulan-bulan lamanya, demi mendapatkan hasil tangkapan yang lebih dari sebelumnya. Para nelayan dari Saluku tersebut, biasanya kembali ke kampung halamannya, apabila  ada kebutuhan yang dianggap penting dan mendesak, seperti anak dan istri mereka sakit, memperbaiki pagar kebun, atau ketika momentum Ramadhan dan waktu Lebaran tiba. Setelah itu, mereka kembali lagi ke Buano-Naiselan. Kalau ada diantara mereka ada yang pulang ke kampung halamannya, kiriman uang dan ikan dititipkan kepada anak istri mereka.
Begitulah pekerjaan para nelayan di Kampung Saluku. Meskipun mereka bekerja sebagai nelayan, tetapi mereka juga mempunyai lahan pertanian cengkeh, pala, kakao dan tanaman jangka panjang lainnya. Hamota (kebun), usai dikerjakan dan ditanami berbagai tanaman pangan. Ditinggalkanya kepada istri-istri mereka di rumah untuk merawatnya dan menjaganya, sehingga walaupun tidak ada suami mereka yang menjadi kepala rumah tangga, para istri bisa menghidupi anak-anak mereka dari hasil tanaman yang di tinggalkan oleh suaminya itu. Para suami fokus dengan pekerjaan melaut. Penghasilan yang diperoleh dari usaha melaut dan berkebun, digunakan untuk biaya hidup dan kebutuhan pendidikan anak mereka. (***)

Wawancara:  A.K, dan G.R, di Dusun Saluku, 15 Agustus 2015.




Share:

Mengukir Kisah Kampung Asamjawa di Pantai Barat Seram

 Penulis: Kasman Renyaan


Tradisi Lisan : Sejarah Masyarakat Kecil

Merekontruksi sejarah kampung atau sejarah masyarakat akar rumput (baca politik), akan sulit ditemukan dalam dokumen tertulis. Tentang apa yang dilakukan di masa lampau, tidak ditulis lalu disimpan sebagai dokumen sejarah. Selain para pelakunya tidak memiliki kepandaian menulis, juga dianggap oleh kebanyakan orang tidak penting untuk dilukiskan dalam catatan sejarah. Sebuah kampung akan dianggap penting dan banyak orang yang tertarik untuk menelusuri jejak sejarahnya apabila kawasan tersebut menjadi titik pusat pusat pemerintahan di masa lampau, atau menjadi tempat lahir para pejuang, ilmuan, tokoh-tokoh besar yang berpengaruh dalam perkembangan kehidupan umut manusia. Konsep inilah yang disebut “peminggiran sejarah.” Padahal setiap orang atau tempat tertentu pastinya memiliki sejarah. Karena itulah, pintu masuk untuk merekontrusi sejarah kampung dan orang kampung mengunakan pendekatan sejarah lisan atau tradisi lisan yang hidup pada masyarakat pendukunnya. Pasalnya tentang apa yang dilakukan oleh generasi pertama di kampung itu, biasanya hanya terekam dalam memori kolektif masyarakatnya. Kisah dan peristiwa masa lalu yang terjadi kampung itu, bisanya disampaikan oleh masyarakatnya lewat tuturan lisan yang terus disampaikan dari generasi kegenerasi, baik memalui cerita rakyat, mitos, legenda atau jenis lain yang hidup sebagai kebudayaan masyarakat. Karena bagi mereka itulah  Sejarah (lisan).

Mengenal istilah Kampung

Kampung Asamjawa merupakan salah satu kampung Buton di pesisir pantai Barat Seram Maluku. Dalam tradisi lisan mengisahkan bahwa di kawasan kampung ini dahulu tumbuh sebuah pohon besar asam atau asem. Pohon yang jenis buahnya masam, rasanya biasa digunakan sebagai bumbu penyedap masakan Indonesia, tubuh liar dilahan yang akan dibongkar kala itu. Pohon asem itu, oleh orang Buton Cia-Cia menyebutnya dengan istilah Sampalu, jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia mengandung arti Asam Jawa. Berdasarkan fakta yang dijumpai saat sedang parusan (pembongkaran) lahan dilokasi ini, pohon yang paling besar adalah Asam Jawa, sehingga mereka menyebut kampung tersebut dengan nama Asmajawa (kini Dusun Asamjawa). Tidak diketahui pasti, siapa orang pertama diantara mereka (gelombang awal) yang mengusulkan nama ini hingga menjadi nama kampung tersebut. Namun lebih jelasnya, nama Asamjawa dikukuhkan menjadi nama kampung dengan pendasaran bahwa terdapat sebuah pohon asam yang paling besar berada dilokasi kampung saat migran awal mendirikan pemukiman.

 Mengenal Migran Awal

Beberapa orang yang tergolong datang pada gelobang migran awal dari Tawolio (tanah Wolio) dan berukim di kampung Asamjawa yaitu: La Dubu, La Kandanga, La Kampu dan Haji Abdul Patani. Ditawolio, keempat orang ini, juga berasal dari daerah yang berbeda-beda. La Dubu dan Lakandanga, dan Lakampo berasal dari Burangasi (Buton Selatan), sedangkan Haji Abdul Patani dari Mole-Holimombo. Dalam perkembangan selanjutnya, La Dubu, lalu memilih meninggalkan Asamjawa dan pergi ke Tiang Bandera (Dusun Ting Bendera sekarang) dan mendirikan pemukiman di sana.

Bukti yang mendukung bahwa empat orang ini, sebagai parusan awal kampung Asamjawa adalah lokasi tanah yang dimiliki tergolong dekat. Mereka terasuk orang-orang yang memiliki warisan tanah yang ditingalkan kepada generasinya, di Dusun Asamjawa, masih tergolong dekat dengan pantai. Selain itu pula, tanah yang dimiliki masih berada di dalam wilayah kampung Asamjawa sekarang. Ini dapat diketahui dari pemetaan kepemilikan lahan yaitu; Sebelah Selatan unjung kampung lokasi La Dubu. Ditengah kampung lokasinya La Kandanga dan La Kampu, sedangkan di sebelah Utara Asamjawa (Hou), lokasi miliki Haji Abdul Patani. Terkait dengan Haji Abdul Patani, ia merupakan orang pertama yang datang di Dusun Amaholu, bersama adiknya Haji Muminin (orang Buton pertama datang dan menduduki kampung Amaholu, bersama temanya La Asturian). Namun Haji Abdul Patani, kemudian memilih tinggal dan berkebun di Hou-Asamjawa. Sedangkan bagi mereka yang datang pada gelobang berikutnya akan memiliki lahan yang sedikitnya jauh dari lahan milik gelobang awal. 

 Dalam konteks kedatangan, dan sebab keluarnya penduduk Buton dari tanah Wolio Sulawesi Tenggara, kemudian memilih merantau di Seram Barat, di Dusun Asamjawa. Berdasarkan tradisi lisan di kampung ini, diketahui bahwa keinginan perantau itu, dilakukan sebagai upaya masyarakat untuk menghindari pungutan pajak yang diberlakukan pemerintah kesultanan Buton, dibawah dominasi pemerintahan Hindia Belanda.

Pada tahun 1906 pemerintah Hindia Belanda memberlakukan sistim pemerintahan penjajahan atas wilayah kesultanan Buton dengan mengangkat kepala-kepala distrik. Tugas utamanya yaitu penarikan pajak dari rakyat dan mengaktifkan para Bonto dan Bobato (lembaga syarah), sebagai pimpinan Kadie (Kepala Kampung). Pajak itu, wajib dibayar oleh mereka golongan papara (penduduk desa).

Pajak yang dikeluarkan, membuat golongan papara (penduduk desa), ingin mencari kehidupan baru diderah rantau. Sebuah daerah yang masih subur kondisi alamnya untuk tanaman pangan. Salah satu wilayah perantauan termasuk di Seram Barat, kala itu. Apalagi pajak yang dipungut dari golongan Papara, tidak sebanding dengan penghasilan yang didapat dari hasil pekerjaan mereka sehari-hari. Ditambah dengan kondisi alam Burangsasi yang tandus, penuh bebatuan, dan sulit mendapatkan air kecuali menunggu hujan. Kondisi demikian semakin memuat hidup mereka mencekam. Karena itu, berlayar dengan Bangka dan merantau diangap sebagai alternative untuk membebaskan diri dari pungutan pajak serta menata hidup untuk masa depan generasi ditanah rantau.

Dalam upaya mempertahankan hidup dan melangsunkan kehidupan ditanah rantau, pihamota (berkebun) singkong dan umbi-umbian lain, menjadi pekerjaan utama selama Bangka belum dilayarkan. Selain itu, bagi orang Buton, terasuk yang hidup di kampung Asamjawa, pekerjaan berkebun dianggap sebagai pekerjaan yang bisa dilakukan oleh suami dan istri. Karena berlayar dan mencari ikan di laut, merupakan pekerjaan yang hanya dilakukan oleh para lelaki. Dalam konteks itu, biasanya urusan berkebun hanya akan menjadi urusan istri-istri mereka, usai pekerjaan pagar kebun dilakukan. Kemudian suami mereka akan fokus pada pekerjaan berlayar dan mencari ikan dilaut, kala itu. Meskipun kebun ditinggalkan oleh para suami untuk sementara waktu, tetapi dengan keberadaan kebun itu, para istri dan anak-anak mereka tidak lagi kesulitan dengan persoalan hidup. Dan dengan kebun pula, mereka (pelayar) bisa menghidupi anak dan istri yang ditinggalkan dirumah. Dari kondisi itu, maka sebelum pelayaran dilakukan, kebun dan isinya sudah siap dinikmati keluarga. Atau paling tidak, keberadaan kebun akan ada harapan untuk menghidupi keluarga nantinya, saat suami berlayar.

Terkait dengan proses kedatangan orang Buton di Dusun Asamjawa ada relaisnya dengan tradisi martim (berlayar), sebab kedatangan mereka tidak lain hanya mengunakan perahu Bangka sebagai alat transportasi penghubung. Apalagi ketika itu, Bangka bagi orang Buton, terutama rakyat kecil yang hidup dipedesaan adalah kenderaan penghubung untuk satu pulau dengan pulau lainya, dan satu daratan dengan daratan lainya serta sebagai bagian dari rona kehidupan mereka di laut, utamanya bagi para pelayar demi mencapai kesejateraan hidup didarat. Mereka yang datang pertama itu, selain utuk mengindari para pungutan pajak di wilayah kesultanan Buton, mereka pada awalnya juga merupakan pelayar yang sedang mencari muatan perahu komoditas damar, di seram Barat. Namun dari pencarian damar itu, membuat mereka tertarik untuk berkebun dilokasi yang kini di kenal dengan Dusun Asamjawa.

Dalam proses selanjutnya, ketika wilayah Asamjawa sudah menjadi sebuah kampung dan berada dibawa pemerintahan raja Luhu, dibawah pimpinan Abdul Gafur, kampung Asamjawa, lalu digabungkan dengan Kampung Batulubang, untuk menjadi sebuah Dusun petuanan Desa Luhu. Dalam masa pemerintahan Abdul Gafur sebagai raja Luhu, banyak orang Buton di Dusun Asamjawa pindah ke daerah lain, menurut mereka pemerintahan raja dianggap paling jahat. Apalagi, jika diantara mereka ada yang berbuat kesalahan, maka raja langsung memberikan hukuman kepada orang tersebut. Sebab itulah, banyak orang Buton di Kampung Asajawa pergi meninggalkan kampung mereka dan memilih hidup di derah lain, seperti pindah di Buru Seit, Dusun Ely Tanah Merah, Dusun Rahai, Dusun Tiang Bendera dan ada pula yang balik ke tanah asal mereka Bau-Bau (Buton) Sulawesi Tenggara. (K.R**).

 

Catatan: Hasil Penelitian, L.A.28 Agustus 2015.

 

 

Share:

MASUK PERDANA SISWA SMA IQRO AMAHOLU PENUH ANTUSIAS SAMBUT TES


Sejumlah siswa SMA IQRO Amaholu penuh antosias menyambut tes masuk SMA yang akan digelar di sekolah ini. Hal itu terlihat jelas dari partisipasi aktif siswa dalam tatap muka perdana, bersama para guru di sekolah ini, dalam ruangan kelas, gedung sementara MI Muhammadiyah Amaholu, Senin (27/07/2015), Siang.

Ketua panitian tes masuk SMA IQRO Amaholu, Riki Amin, dalam arahanya menuturkan, tes ini digelar guna mengetahui kamampuan dasar siswa, terutama pemahaan mereka tentang konsep Wawasan Kebangsaan Indonesia. “Soal dalam tes yang sudah disiapkan panitia berjumlah 35 butir soal, pilihan ganda (PG), soalnya seputar materi pancasila, bineka Tunggal Ika, sistem pemerintahan NKRI dan sejarah pergerakan Indonesia. Soal tes itu diambil dari mata pelajaran dasar yang sudah pernah di pelajari dan diajarkan dibangku SMP/MTS, melalui mata pelajaran PKN dan sejarah.” Jelasnya.

Lanjut Amin, tatap muka perdana ini, juga dilakukan sebagai upaya pemberian motivasi dan penguantan mental siswa menghadapi tes tertulis dan wawancara yang akan dilaksanakan dalam beberapa hari ke depan. Pasalnya, pelaksanaan tes masuk SMA ini akan digelar selama dua hari berturut-turut. “Hari Jumat, tanggal 31 Juli, akan dilakukan tes tertulis dengan soal tes  Wawasan Kebangsaan dan hari Sabtu, tanggal 1 Agustus, akan dilakukan tes wawancara.”

Bersamaan dengan itu, Inisiator pendidiri SMA IQRO AMAHOLU Kasman Renyaan, S.Pd., di hadapan sejumlah siswa saat memberikan pengarahan tentang mekanisme pelaksanaan tes, mengungkapkan, meskipun SMA ini tergolog baru, tetapi tes ini wajib hukumnya dan menjadi sebuah keharusan untuk dilakukan di SMA IQRO Amaholu. Sebab, tes ini akan menjadi dasar utama dan mekanisme masuk dalam setiap tahuan ajaran baru. “Tes ini menjadi acuan dasar mengukur kualitas siswa di SMA ini nantinya. Karena itu, jika inputnya baik, maka outpunya akan baik pula.” Ungkapnya, menambahkan.

Masih terkait itu, Harmin Samiun, S.Pd., M.Pd., dalam arahanya pula menegaskan, SMA IQRA AMAHOLU ini ditargetkan akan menjadi sekolah percontohan bagi sekolah-sekolah lainya di Huamual Barat, dan Seram Bagian Barat serta Maluku pada umumnya. Karena itu, dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan di sekolah IQRA Amaholu ini ke depannya, maka siswa diharapkan lebih kreatif dan produktif dalam proses pembelajaran di sekolah, sebaliknya guru.

Menurut Harmin, jika proses belajar telah normal, maka sekolah ini juga tidak akan kalah bersaing dengan sekolah-sekolah lainya dalam level daerah, nasional bahkan standar Internasonal. Olehnya itu, jika ada orang yang menghebuskan isu-isu negative yang pada prinsipnya menyudutkan sekolah dan kalian (siswa) di sini, maka sampaikan kepada orang itu, bahwa SMA IQRO AMAHOLU akan ungul dalam  kwalitas dan akan berbeda jauh dengan sekolah lainya yang ada di pesisir Humaual Barat ini. Tandas, lelaki yang akrap disapa ustat Harmin itu, dengan penuh semangat, mengingatkan.

Tatap muka perdana ini kemudian dilanjutkan dengan pembagian Kartu Tanda Peserta Tes kepada masing-masing siswa yang hadir dan diakhiri dengan foto bersama.

Share:

Bangun Gedung SMA Iqro Amaholu dari Kayu dan Papan

Meskipun belum mengantongi izin operasional sekolah, tetapi itu tak lantas menyurutkan semangat masyarakat Dusun Amaholu, Negeri Luhu, Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), untuk membangun gedung sekolah darurat, SMA IQRO Amaholu, dari kayu dan papan.

Panitia pebangunan SMA IQRO Amaholu, Riki Amin, S.Pd, kapada wartawan  mengungkapkan, pekerjaan satu bilik ruang kelas, dan ditambah satu bilik ruang guru ini, ditargetkan selesai hanya seminggu, sebab gedung sekolah ini, akan digunakan untuk kegiatan proses belajar mengajar usai peringatan hari kemerdekaan  Indonesia tanggal 17 Agustus nanti.

“Keinginan untuk membangun gedung sekolah ini datang dari masyarakat, jadi masyarakat menargetkan pekerjaan ini akan selesai hanya seminggu.” Kata, Amin, di Dusun Amaholu, Minggu, (09/08/2015).

Amin, menambahkan, berdirinya SMA IQRO Amaholu ini atas swadaya masyarakat. Karena itu, masyarakat berharap agar SMA IQRO ini, bisa secepatnya mendapatkan izin operasional dari dinas pendidikan. “Kami berharap kepada dinas pendidikan, bisa mengeluarkan ijin operasional untuk SMA Iqro Amaholu, agar proses pencerdasan anak bangsa di daerah kami yang tergolong terpencil itu, bisa berjalan baik. Ungkapnya.

Share:

Unordered List

3/sosial/post-list

Latest blog posts

3-latest-65px

BTemplates.com

3/sosial/col-right
Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Statistik Pengunjung

Ekonomi

3/ekonomi/col-left

Publikasi

3/publikasi/feat-list

Error 404

Sorry! The content you were looking for does not exist or changed its url.

Please check if the url is written correctly or try using our search form.

Recent Posts

header ads
Ag-Historis

Text Widget

Sample Text

Pengikut

Slider

4-latest-1110px-slider

Mobile Logo Settings

Mobile Logo Settings
image

Comments

4-comments

Budaya

budaya/feat-big

Subscribe Us

Recent Posts

sejarah/hot-posts

Pages

Popular Posts