Penulis : Kasman Renyaan
(Mahasiswa
Pendidikan Sejarah pada PPS (S2) UNM
Tidak ada catatan tertulis yang bisa
mengungkapkan secara pasti kapan sebenarnya orang Buton bermukim di sini?
Namun, dari sejumlah informasi yang direkam peneliti di Saluku terungkap,
kedatangan orang tua mereka di kampung ini, pada awalnya hanya beberapa orang
tua saja. Mereka termasuk kelompok awal
yang mendiami Saluku, Haji Abdurahman, Haji Usman, Bapa Sangkati, Bapa Pasamba,
dan Haji Adam. Meskipun mereka sama-sama berasal dari Tawolio (tanah Wolio), Buton, Sulawesi Tenggara, akan tetapi daerah
asal mereka berbeda-beda. Sebut saja, Haji Abdurahman, dan Haji Usman dari
Holimombo. Sedangkan bapa Sangkati, dan bapa Pasamba dari Kasse, serta Haji
Adam dari Buton Wagola.
Kelima orang tua Buton itu, jelas
berasal dari daerah yang berbeda, tetapi perbedaan itu, menyatukan mereka dalam
semangat sabangka-asarope (teman dan
satu tujuan), ketika mereka berlayar dari Buton ke Seram Barat dalam satu bangka. Kedatangan mereka ke Seram Barat didorong oleh keinginan
untuk mencari ikan. Mereka yang datang ini, berniat akan mencari ikan dengan
cara memasang alat tangkap kantano
(Bubu), di laut dangkal pesisir SBB. Akan tetapi, di daerah yang dijumpai itu,
ternyata kondisi alamnya terlihat subur dan menjanjikan masa depan, sehingga
menarik mereka dan berkeingginan untuk hidup menetap di SBB. Keinginan itu,
diwujudkan dengan dibentuknya perkampungan Saluku.
Sebelum memilih pemukiman di Saluku,
kelompok ini menetap di Saluta, Waelapia. Namun mereka tidak bertahan lama di
kampung itu, dan pindah lagi ke kampung
tetangganya, Liaela. Karena terjadi keselapahaman diantara mereka dengan para
orang tua, kelompok ini pindah lagi ke wilayah utara Kampung Liaela, yakni
lokasi yang disebut Wahawai. Dalam perkembangan kemudian, mungkin melihat
kondisi pemukiman yang dirasa sempit dan kurang cocok, mereka bergeser lagi ke
suatu tempat yang lokasinya kurang lebih setengah kilo ke arah utara dari
Wahawai. Tempat inilah yang dinamai dengan Saluku, yang berarti “satu kali
tinggal” untuk selamannya.
Saluku, adalah nama yang mengadung
makna filsofis tentang kelangsungan penduduk yang hidup di kampung itu.
Pemberian nama ini atas dasar musyawarah dan kesepakataan bersama, antara
beberapa orang tua dari Luhu yang mempunyai lahan di wilayah itu, dengan kelompok awal orang Buton selaku
orang yang membongkar lahan perkampungan tersebut. Orang Luhu menyebut “Saluku”
dengan kata Salu’u. Akar kata Sa, dan Lu’u. Kata Sa, berarti satu, sedangkan
Lu’u, berarti potong, jadi Salu’u berarti “satu kali potong.” Maksud dari
ungkapan tersebut, yakni kepada siapa pun yang datang mengugat tempat ini
(Saluku), selain orang Luhu, akan dipotong hingga satu kali potong langsung
meninggal.
Beberapa orang tua Buton kelompok awal
yang mendiami kampung ini, mengusulkan agar nama tersebut diganti dengan
Saluku, yang berarti “satu kali tinggal.” Maksudnya, mereka tinggal sampai
selamannya di kampung ini. Menurut mereka, kata Salu’u dianggap mengandung arti
kurang baik, bagi kelangsungan kehidupan generasi mereka kelak di kampung itu.
Alhasil, Saluku disepakati dan ditetapkan menjadi nama kampung mereka. Dalam
kesepakatan itu, orang Luhu akan tetap menyebut Saluku dengan Salu’u, dan bagi
orang Buton, akan menyebut tempat tinggal mereka dengan Saluku, hingga
sekarang.
Berdasrkan ingatakan kolektif masyarakat
di kampung Saluku, lokasi kampung ini disaat pembongkaran lahan di penuhi
pepohonan beringin. Pohon yang ketika itu, diyakini sebagai tempat bersarangnya
Mahluk halus (setan). Karena itu, sebelum di mulainya pembabatan semak-belukar
yang tubuh liar lokasi dikampung ini, beberapa orang tua dari Buton, melakukan
ritual pikadawu (memberikan sejajian)
yang diyakini bisa mengusir mahkluk halus di kampung itu. Usai ritual, barulah
pembongkaran lahan di lakukan. Kemudian beberapa orang tua dari Luhu (pemilik
lokasi Saluku), bersepakat untuk tinggal bersama di kampung hingga generasi
mereka sekarang. Itulah sebabnya, orang tua di Saluku banyak yang bisa
berbahasa Negeri Luhu, hingga sekarang (Abdin Kiat, & Gardo, Wawancara, 15
Agustus 2015).
Berdasarkan gambaran tersebut dapat
disimpulkan yaitu, Pertama; kehidupan
masyarakat di Kampung Saluku bergantung pada sektor laut, ini didasarkan
pengelaman sejarah kampung itu, bahwa kedatangan orang tua mereka dahulu,
mulanya dengan tujuan mencari ikan. Kedua;
para nelayan mulai kesulitan mendapatkan ikan di laut kampung mereka, sehingga
memaksa mereka untuk hijrah ke kampung lain. Ketiga; Kampung Saluku, didirikan oleh ke lima orang Buton,
diantaranya Haji Abdurahman, Haji Usman, Bapa Sangkati, Bapa Pasamba, dan Haji
Adam. Berdasarkan komunikasi yang dibangun antara orang Luhu (penduduk lokal),
yang mempunyai lahan di lokasi itu dengan orang Buton yang membongkar lahan
pemukiman, atas persetujuan orang Luhu. Kempat;
nama Saluku yang melekat pada kampung itu, disetujui atas dasar musyawarah
mufakat, Saluku berati satu kali tinggal. Karena itu, orang lain yang mengugat
kampung ini selain orang Luhu, maka tetap Saluku “Satu Kali Potong.”Kelima, sifat kebersamaan itu membuat
mereka hidup bersama dalam satu ikatan basudara
(kekeluargaan), antara orang Luhu dan orang Buton, Saluku. Karena itu,
komunikasi budaya diantara keduanya tercipta dengan baik, banyak orang tua di
kampung ini, bisa berbahasa Luhu.
Saluku kini merupakan salah satu
diantara puluhan kampung Buton, yang secara administrasi berstatus dusun
petuanan Negeri Luhu, Kecamatan Huamual, Kabupaten SBB. Terletak kurang lebih
sekitar 2 km, dari desa induk. Setiap hari penduduk dari kampung ini, sering
pulang dan pergi menjajakan dagangannya, berupa ikan dan sayur-sayuran ke Ambon
dan ke pasar Negeri Luhu. Kampung yang mayoritasnya beretnik Buton Cia-cia ini,
diapit oleh beberapa kampung Buton lainnya. Di bagian selatan terdapat Kampung
Leiela, sementara di utara berbatasan dengan Kampung Warau, dan Luhu Lama.
Meskipun diantara kampung-kampung Buton tersebut dipisahkan oleh tanjung yang
berbatu-karang, tetapi tak lantas membatasi ruang gerak penduduknya berjalan
kaki untuk berpergian di tetangga kampung mereka, baik untuk menjajakan ikan
hasil tangkap para nelayan, atau hanya sekedar baronda (jalan-jalan). Terlebih lagi, bila ada acara sukuran
keluarga. Saling mengunjunggi diantara mereka sudah menjadi kebiasan sejak
dahulu.
Disekitar tanjung perbatasan antara
Kampung Saluku dengan beberapa kampung Buton lainnya itu, terdapat banyak
perkebunan ubi kayu. Hamparan pepohonan kelapa, ketapang, tumbuh subur
disepanjang pesisir pantai. Di bagian timur kampung ini, berhadapan langsung
dengan laut Jazirah Leihitu, Pulau Ambon. Di sebelah barat, dihubungkan oleh
pegunungan Saluku dengan Kampung Hatawano, sebagian Asam Jawa, dan sebagian
lagi Batulubang, kawasan pesisir barat Hoamual. Dipegunungan itu, terdapat
banyak perkebunan cengkeh milik warga Saluku, yang berbatasan dengan perkebunan cengkeh milik
kampung lain. Di setiap perbatasan cengkeh mereka, masing-masing ditanami
pepohonan liar, sebagai penanda kintal
(arel) perkebunan. Setiap warga Saluku mempunyai lahan cengkeh, pala, coklat,
dan jenis tanaman jangka panjang lainnya.
Bagi masyarakat Saluku yang hendak
berpergian ke kampung-kampung yang berada di barat Hoamual, terkadang menempuh
jalur darat dengan berjalan kaki, memanjat pegunungan, melewati gungung
melintang, terus berjalan menurun ke Kampung Hatawano, Asamjawa atau
Batulubang. Tergantung di mana tujuan mereka berpergian. Biasanya juga ada dari
mereka yang berjalan kaki melewati pegunungan Luhu dan turun ke Kampung Amaholu
Los. Bagi penduduk kampung tersebut mengangap“Hangka kake” (berjakan kaki) ke kampung-kampung sebelah (barat
Huamual) itu, dianggapnya dekat, demikian sebaliknya. Namun, apabila memilih
jalur laut, trasportsi Joson
(Pentura), spit boat, atau katinting menjadi kenderaan penghubung.
Jalur ini melewati Tanjung Sial, Semenajung Hoamual, dengan waktu tempuh kurang
lebih, 1-2 jam.
Bagi masyarakat di kampung ini,
pekerjaan sebagai pelaut merupakan pekerjaan unggulan para lelaki. Mulai anak
remaja putus sekolah hingga orang tua, memilih hidup sebagai nelayan. “Buang
jareng dapat uang cepat. Kalau rezeki, semalam saja kita bisa meghasilkan uang
ratusan ribu rupiah. Itu masih uang saku, belum terhitung yang lain.” Demikian kata La Ian (Wawancara di Saluku
Agustus 2015). Anak muda tamatan SMA ini, tidak mau melanjutkan pendidikannya
dan memilih bekerja sebagai kariawan Jareng
Bobo (pukat tarik), karena menurutnya, dengan bekerja sebagai nelayan, dia
bisa punya penghasian sendiri.
Untuk perempuan khususnya para ibu
rumah tangga, bekerja di kebun dan membantu menjajakan ikan hasil tangkapan
anak atau suami mereka ketika kembali dari melaut. Aktifitas mereka dikenal
dengan istilah jibu-jibu (perempuan
yang menjual ikan). Pemasaran hasil tangkapan itu, biasa dibawa ke pasar Luhu,
tetapi ada pula yang menjualnya ke kampung-kampung tetangga terdekat. Namun,
jika hasil dari tangkapan para nelayan itu sudah berkelebihan, pasar Hitu atau
Hila menjadi alternatif pemasaran. Untuk sampai ke jazirah Lehitu itu, apabila
menggunakan jonson (pentura) atau spit boat kurang lebih 30 menit. Itulah
sebabnya, ikan yang di jual ke kota pelabuhan itu, adalah ikan-ikan segar,
sehingga ketika di lelang langsung
ditangani oleh para pemborong di sana. Jarak tempuh itu, sama dengan
menggunakan trasportasi spit boat ketika
penduduk Saluku hendak berpergian ke kota Ambon melalui pelabuhan Tahoku-Hila.
Seiring berjalannya waktu hasil
tangkapan para nelayan mulai berkurang. Dalam semalam kadang hasil tangkap yang
di bawah pulang pun tidak seberapa, sehingga membuat nelayan-nelayan itu
mengambil inisiatif untuk menyebrang ke kampung lain. Di utara Pulau Buano,
Dusun Naselan (Buton Tomia), menjadi pangkalan baru para nelayan itu, mencari ikan. Mereka
bertahan hingga berberbulan-bulan lamanya, demi mendapatkan hasil tangkapan
yang lebih dari sebelumnya. Para nelayan dari Saluku tersebut, biasanya kembali
ke kampung halamannya, apabila ada
kebutuhan yang dianggap penting dan mendesak, seperti anak dan istri mereka
sakit, memperbaiki pagar kebun, atau ketika momentum Ramadhan dan waktu Lebaran
tiba. Setelah itu, mereka kembali lagi ke Buano-Naiselan. Kalau ada diantara
mereka ada yang pulang ke kampung halamannya, kiriman uang dan ikan dititipkan
kepada anak istri mereka.
Begitulah pekerjaan para nelayan di Kampung Saluku. Meskipun
mereka bekerja sebagai nelayan, tetapi mereka juga mempunyai lahan pertanian
cengkeh, pala, kakao dan tanaman jangka panjang lainnya. Hamota (kebun), usai dikerjakan dan ditanami berbagai tanaman
pangan. Ditinggalkanya kepada istri-istri mereka di rumah untuk merawatnya dan
menjaganya, sehingga walaupun tidak ada suami mereka yang menjadi kepala rumah
tangga, para istri bisa menghidupi anak-anak mereka dari hasil tanaman yang di
tinggalkan oleh suaminya itu. Para suami fokus dengan pekerjaan melaut.
Penghasilan yang diperoleh dari usaha melaut dan berkebun, digunakan untuk
biaya hidup dan kebutuhan pendidikan anak mereka. (***)
Wawancara: A.K, dan G.R, di Dusun Saluku, 15 Agustus 2015.
Komentar
Posting Komentar