Sudah 78 tahun Indonesia merdeka. Namun sejak 87 (Delapan
Puluh Tujuh Tahun) lalu (tahun 1936), Indonesia hadir di Banda Naira. Indonesia,
nama yang asing kala itu dikenalkan oleh pergerakan nasional Bung Hatta dan
Bung Sjahrir yang diasingkan Pemerintah Kolonial Belanda,
Ketika menjalani pengasingan di kota kolonial itu, Bung Hatta
membeli sebuah perahu kecil (arubae) dari salah satu warga nelayan Lontor di
Pulau Banda Besar. Setelah memilki perahu itu, Hatta lalu mengecat kembali perahunya
dengan dwiwarna, yakni warna merah dan putih. Simbol warna yang dipahami Hatta, namun sesungguhnya
tak dimengerti oleh orang Banda.
Dwiwarna yang tertancap di perahunya, sebagai bagian dari
strategi Hatta, menyusupkan simbol nasionalisme di tengah pengawasan Pemerintah
Hindia Belanda yang superketat. Bagi Hatta, perjuangananya tak akan pernah
surut meskipun di buang ke negeri terpencil di ujung timur Nusantara. Karena lewat
warna perahunya, Hatta ingin menunjukan kepada anak-anak bangsa di Banda, bahwa
kelak dwiwarna yang terlukis indah di perahunya itu akan menjadi simbol negara
merdeka yang bernama Indonesia.
Warna cat perahu Hatta belakangan diketahui oleh polisi
Hindia Belanda dan protes kepada Hatta, apa maksud cat warna Merah Putih di
perahu itu? Jelas bertentangan dengan warna bendera Belanda, yakni Merah Putih
Biru.
Namun Hatta, yang diprotes polisi tak tak kehabisan akal
untuk mepertahankan cat perahunya lalu dengan enteng berkata kepada polisi
kolonial tersebut, bahwa Cat perahu tersebut adalah Merah Putih Biru, sesuai warna
bendera Belanda. Ia menjelaskan, bahwa perahunya berwarna merah dan putih,
sedangan yang menjadi warna biru adalah laut, sehingga perahunya tetap berwarna
merah putih biru. Dasar argumen Hatta itu dianggap masuk akal, sehingga
membumkam polisi Belanda diam berlalu tampa kata.
Medengar Hatta yang sudah memiliki perahu, sahabat
seperjuangannya Bung Sjahrir seakan tak mau kalah. Sjahrir pun memesan sebuah
perahu ukuran sedang. Sedikit lebih besar dari ukuran perahu Hatta. Perahu yang
dibelinya dari nelayan itu lalu dimodifikasi menyerupai perahu Eropa (yacht)
dan diberi nama. Namun menariknya, sebelum Sjahrir menetapkan nama perahunya Ia
mengajak murid-muridnya untuk bermusyawarah. Hal ini merupakan cara Sjahrir
mengajarkan demokarasi. Keputusan diambil harus dilakukan dengan musyawarah
mufakat. Masing-masing murid memberikan usulan untuk nama dari perahu baru itu.
Muridnya bernama Halik, yang pertama mengusulkan, “Gunung Api.” Nama pulau
vulkanik di Pulau Banda. Namun nama itu ditolak dengan penjelasan, gunung api
meletus dan Om Rir (pagilan anak-anak Banda kepada Sjahriri) tak mau perahunya
meletus seperti halnya gunung api.
Kemudian muridnya yang lain anak peranakan Cina-Banda
memberi usulan nama perahu itu dengan “Amesterdam.” Sebuah nama yang sangat
kental dengan bangsa kolonial. Halik, mendengar usulan itu langsung menyenggah,
kenapa tidak dinamakan Hogkong saja, kamu kan orang Hongkong? Kun, yang tak
terima ungkapan agak rasis itu memprotes, bahwa dirinya bukan orang Hongkong,
tetapi asli orang Banda, karena lahir di Banda, hanya nenek moyangnya saja yang
berasal dari Amoy. Namun kata Halik sama saja, tetap saja dari Cina Hongkong.
Perbebatan dingin sempat mewarnai musyawarah itu, sehingga anak yang lain
mengusulkan nama “Banda Besar,” seperti nama sebuah pulau terbesar di Kepulauan
Banda. Akan tetapi, nama itu jelas ditolak oleh Des Alwi, salah satu murid yang
kelak menjadi tokoh Banda Naira. Dengan dasar argumen bahwa, jangan sampai
perahu itu diklaim oleh anak-anak Lontor sebagai milik mereka. Lagian kata Des,
nama-nama pulau termasuk nama-nama ikan sudah banyak digunakan masyarakat untuk
nama perahu di Banda. Hanya nama ikan bodok saja yang belum digunakan. “Tapi
nama bodok tidak mungkin dipakai untuk nama perahu Om Rir,” ucap Des. Murid
yang lain menguslkan, Sumatera, sesuai nama daerah asal Om Rir.
Namun Sjahrir menolak mengunakan nama daerahnya itu. Dan
iya berfikir sejenak dan mentepkan nama INDONESIA untuk menyebut perahunya.
Anak-anak Banda saling memandang dan bertanya tentang maksud kata itu, yang
sangat asing ditelinga mereka.
Sjahrir menjelaskan kepada anak-anak itu, bahwa nama
INDONESIA sesungguhnya sangat di benci, sehingga tidak diajarkan di
sekolah-sekolah Belanda. Orang Belanda lebih senang menyebut daerah
pendudukanya ini, dengan nama Inde atau “Hindia Belanda.” Sama dengan Tiongkok
untuk orang Cina. Tapi Om Sjahrir dan Om Hatta dan kita orang pribumi lebih
senang menyebutnya INDONEISA. Demikian
demikian, perahu Sjahrir di namakan INDONESIA. Orang Banda pada akhirnya
mengelan kata Indonesia lewat perahu Sjahrir.








0 Comments:
Posting Komentar