Langsung ke konten utama

AMAHOLU KAMPUNG HALAMANKU




(Tentang Sejarah dan Budaya)



Penulis : Kasman Renyaan


Prolog
 Tulisan ini merupakan peta pemikiran penulis terkait situasi dan kondisi kampung Amaholu, tulisan yang mengambarkan tentang sejarah dan budaya Amaholu dari masa kelampauan hingga kondisi kekinian. Harapannya, agar cerita tentang kampung Amaholu, tidak hanya dilukiskan lewat cerita lisan dan menjadi pengantar tidur generasinya, tetapi cerita itu sudah semestinya ditulis agar menjadi kisah sejarah yang abadi. Dapat bermanfaat bagi generasinya, dan bisa dibaca serta ketahui semua orang.
Amaholu, kini secara admistrasi merupakan salah satu dusun pentuanan Negeri Luhu, terletak di pesisir pantai Huamual Barat, Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), profinsi Maluku. Sebuah dusun yang masih tergolong terbelakang dan terpencil. Bahkan saking terpencilnya, sentuhan pembangunan di wilayah itu pun jauh dari harapan semua masyarakatnya.
Dalam konteks merekontruksi cerita masa lalu dusun Amaholu, tentunya tidak akan semua peristiwa sejarah yang terjadi di Dusun Amaholu mendapat tempat dalam tulisan ini. Selain tidak ada sumber tertulis (Arsip), juga generasi awal yang mendiami kampung ini dan mengetahui sungguh cerita kedatangan mereka, semuanya telah tiada. Namun ketiadaan mereka, bukan berarti tidak ada sejarah. Dalam arti tidak ada dokumen, maka tidak ada sejarah. Tetapi, sejarah akan selalu ada jika tradisi lisan yang diturungkan dari generasi ke generasi itu dijadikan sumber sejarah dan segera ditulis.
Sebab itulah, untuk merekam memori kolektif masa lalu itu, maka diperlukan fokus dalam penulisan ini. Karena dengan fokus, maka dapat mempertegas keduduan peristiwa, baik sejarah maupun budaya masayarakatnya.
Penulis menyadari sungguh, tulisan ini belum begitu sempurna, sebab masih banyak yang perlu disempurakan. Namun, sekiranya dari tulisan ini dapat membantu pemahaman pengetahuan penulis secara pribadi, dan kawan-kawan sekampung,  yang berasal dari kampung Amaholu, maupun orang lain secara umum dalam memahami sejarah dan budaya kampung Amaholu.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba memfokuskan kajian pada peta sejarah dan budaya masyarakat Dusun Amaholu, dari masa kelampauan hingga kondisi kekinian. Namun disini Penulis hanya memaparan sedikit, dari berbagai ragam masalah yang perlu ditelusuri, guna dapat dijadikan sebagai pemahaman dasar, dalam menceritrakan kampung halaman, Amaholu. Tulisan ini sekiranya bisa memotivasi kawan-kawan sekampung untuk dapat memberikan informasi tambahan, baik lisan maupun tulisan dengan harapan kesempurnaan cerita ketika berbicara tentang Amaholu. Olehnya itu, berbagai masukan, dan kritikan yang sifatnya membangun akan sangatlah dihargai penulis.
Sudah seharusnya, permasalahan tentang kampung yang didiskusikan oleh setiap generasi intelektual dari Dusun Amaholu, yang kini terhimpun dalam Ikatan Pelajar Mahasiswa Amaholu (IPMAM), dapat menghasilkan pengetahuan kolektif generasi terkait dengan Amaholu, khususnya generasi muda masa depan Dusun Amaholu. Agar nantinya pengetahuan itu, dapat ditrasferkan untuk generasi-generasi berikutnya yang berasal dari Dusun Amaholu,  sehingga mereka tidak mudah melupakan kampung, tempat dimana mereka dilahirkan.
Dalam konteks pengetahuan, agar tidak terjadi distorsi dalam menceritrakan asal-muasal Dusun Amaholu. Terutama ketika berbicara sesama orang sekampung maupun dengan orang lain. Tidak terjadi keleim sejarah dan budaya setempat. Karena itu, dengan memahami peta sejarah dan budaya Amaholu, maka generasi muda masa depan Amaholu dapat menumbuh-kembangkan tatanan budaya masyarakat yang perlahan-lahan sirna di dalam kehidupan masyarakat Dusun Amaholu.
Budaya gotong royong, budaya saling membantu, budaya pinjam-meminjam, budaya kerajinan tangan tradisional (menganyam tikar), tradisi maritim (Berlayar dan berdagang keliling), budaya Qasidah, permainan rakyat (kamamala, kasesede, kasusudapa, kauudo, katetemba, pigasi, pimuti, kapapana getaaa), dan lain sebagainya, menjadi sebuah kebanggaan dan budaya masyarakat Amaholu. Pada rinsipnya, budaya tersebut harus di pertahankan dan dijaga agar masyarakat Amaholu tidak tergiur oleh masuknya budaya luar yang menyebabkan hilangnya budaya tersebut dan masyarakat lebih berfikir induvidualime dari pada harus hidup dalam kebersamaan dan kekeluargaan.



Memahami Sejarah Kampung
    Amaholu adalah kampung yang penuh sejarah dan bersejarah. Dengan tatanan budaya dan adat-istiadat masyarakatnya, seperti halnya masyarakat etnis Buton lain terutama dipesisir Huamual Barat, Seram Bagian Barat, Maluku. Namun banyak orang lupa akan kenangan, keindahan, dan sejarah dan budaya kampungnya sendiri. Akibat dari mereka menanggap itu tidak penting. Kampung tidak penting, karena tidak ada sesuatu yang penting bagi mereka pemangku kepantingan, terutama untuk kepentinggan bangsa dan Negara ini. Tidak penting karena tidak dapat memberikan kontribusi dalam hal peningkatan pendaptan Belanja Daerah dan Negara. Bahkan pemerintah setempat pun enggang melirik. Tak salah jika masih menyandang lebel, daerah belakang terpencil.
     Singkat kata, jika sebuah kampung tidak mempunyai Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia yang melimpah, maka kampung itu tidak penting bagi orang lain. Kecuali, hanya sebagian orang penghuini kampung tersebut. Kondisi kekinian, banyak orang lebih senang tingal di kota, dari pada harus bertahan hidup di kampung sendiri. Dorongan untuk tetap pertahan hidup di kota disebakan karena kota dapat menjawab semua tuntutan dan kebutuhan hidup. Boleh di kata, semuanya serba modern dan tidak ketinggalan zaman, seperti halnya orang-orang yang tinggal di kampung. Bahkan lebel kampungang, “Dasar kampungan” sering keluar dari mulut orang-orang kota, ketika orang kampung sedang berada di kota dan salah mengartikan fenomena kehidupan kota. Anehnya lagi, orang kampung yang sudah tinggal di kota pun kadang melontarkan kalimat kampungan itu, kepada sesema mereka, jika diantara mereka ada yang bergaya ala kampung. Padahal, mereka tidak pernah menyadari, dari kampunglah kebutuhan ekonomi kota itu. Ini terlihat dari segala jenis makanan, seperti ikan, sayur-mayur, kelapa, cabe rawir, dan lain sebagainya, dipasok dari kampung dan dipasarkan di Kota, untuk kebutuhan makanan orang kota. Istilanya, orang kampung yang menghidupi orang kota. Meskipun secara ekonomis ada kebutuhan barang dan jasa, serta jual- beli. Maka, orang Kota tidak bisa memandang enteng keberadaan orang kampung. Fakta sosialnya kebanyakan bejabat permerintahan yang memimpin kota berasal dari kampung.
      Karena itu, bagi saya sejelek apapun kampung halaman kita, itulah kampung, tempat kita dilahirkan dan dibesarkan hingga kita bisa hijah sendiri ke kota. Kita tidak harus melupakanya begitu saja. Sebab, dari kampung kita dilahirkan dan dari kampunglah tempat kita kembali, dalam artian kembali saat momontul lebaran itu tiba. Kita pastinya menginginkan kembali ke kampung, hanya untuk berkumpul dengan keluarga besar kita. Di kampunglah kita dipertemukan dengan orang-orang dekat kita, teman kecil, sanak saudara, tetangga, dan sebagainya, yang mungkin karena kesibukan kita masing-masing hingga kita tidak lagi bertemu sapa.
     Di kampung sana, masyarakat masih saling menghirmati satu sama lain, budaya gotong-royong masih tercipta, dan di kampung pula orang masih punya sifat solidaritas yang tinggi. Kebutuhan hidup masih bisa meminjam tetangga, sahabat, dan sanak-saudara kita. Sedangkan di kota, memang kebutuhan hidup yang serba modern. Namun, akan ada prinsip siapa Lue… dan siapa Gue.., orang hanya bisa melirik, jika hidup ada apanya ? bukan apa adanya?
      Amaholu merupakan kampung halaman yang telah membesarkan saya dan generasi yang terhimpun dalam organisasi Ikatan Pelajar Mahasiswa Amaholu (IPMAM), saat ini sedang eksis dalam meningkatkan sumber daya manusia, dan punya akses di kota, Ambon. Di Amaholu, banyak tersimpan kenangan masalalu. Masa kecil di saat kita sedang bermain bersaman teman-teman sekampung, yang mungkin mereka belum sempat lagi ke kota, seperti kita hari ini. Di kampunglah kita bisa berbagi rasa dan perasaaan kepada orang-orang yang berada disekitar kita, Ayah, Ibu, adik, kaka, abang, kekek, nenek, bibi, paman, dan sebagainya. Semua itu akan indah, jika di kampung kita bisa bersama, apalagi saat sebuah momentum yang mempertemukan kita di kampung. Senyum dan tawa pun akan menjumpai kita dalam mengunkap teka-teki kehidupan ini.
      Agar tidak bias dalam mendiskirpsikan tema dari tulisan ini, maka ada beberapa hal  yang menjadi fokus dalam tulisan ini. Sesuai hasil rancangan penelitian penulis, yang telah dikaji dan diseminarkan secara ilmiah di Program Studi Pendidikan Sejarah, konsentrasi Pendidikan Antropologi, Universitas Pattimura, Ambon 2011 lalu. Diantaranya, tentang situsasi dan kondisi perkampungan Amaholu, yang menyangkut sejarah dan budaya masyarakat, seperti sejarah singkat terbentuknya Dusun Amaholu, Luas dan Letak Dusun, Sistem Religi/keagamaan, Sistem Matapencahrian hidup, Keadaan Pendidikan, dan Bahasa sebagai alat komunikasi yang digunakan masyarakat Dusun Amaholu.

A.   Peta Sejarah Dusun Amaholu

Wilayah pemukiman penduduk orang Buton yang bernama Dusun Amaholu merupakan salah satu kampung diantara puluhan kampung-kampung orang Buton yang terletak di daerah Semenanjung Seram Barat, tepatnya berada di pesisir pantai Hoamual Barat. Termasuk salah satu dusun Buton petuanan, Desa Luhu, dalam wilayah pemerintahan daerah admistrasi Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Provinsi Maluku. Terkait sejarah kedatangan orang Buton di Dusun Amaholu, menurut tradisi lisan masyarakat setempat, dapat dijelaskan berdasarkan fase (gelombang) kedatangan mereka. Namun untuk menganalisi itu, harus diliahat pual apa yang menjadi factor pendorong dan penarik hingga orang Buton bisa bertahan hingga saat ini. Berikut ulasanya sesuai dengan tradisi lisan yang disampaikan informan yang berasal dari masyarakat Amaholu kepada penulis; 
Dusun Amaholu
1.   Dorongan Migrasi dan Merantau ke Amaholu


Masyarakat Dusun Amaholu secara historis berasal dari daerah Buton, provinsi Sulawesi Tenggara. Awal mulanya, masyarakat Amaholu berasal di daerah Holimombo. Namun kemudian, datanglah sekelompok orang dari daerah Kasse, sehingga masyarakat dusun Amaholu saat ini adalah masyarakat yang mayoritas bersalah dari etnis buton Kasse, tetapi masi menyandang status etnis Buton Cia-Cia. Kedatangan mereka di Pulau Seram disebabkan dua factor yaitu: 
a.    Dari factor internal,
Factor pendorong, dapat diketahui bahwa munculnya inisiatif masyarakat untuk mencari daerah-daerah baru yang masih subur. Factor ini juga disebabkan karena Daerah Holimombo dan Kase kala itu, sudah tidak lagi menjamin kebutuhan hidup masa depan generasi. Kondisi alam yang mulai tandus inilah, sehingga sudah tidak banyak membuhkan hasil dalam bercocok tanam yang menyebabkan masyarakat setempat berkeinginan untuk mencari daerah-daerah baru yang masih subur. Serta jumlah penduduk yang setiap saat semakin meningkat.
b.    Factor ekternal
Factor penarik, yaitu dengan ditemukannya daerah-daerah baru oleh para pelayar dan pelaut ulung. Adanya daerah baru ini, sehingga dengan sendirinya memaksa meraka untuk mencoba bercocok tanam. Ketika hasil bercocok tanam itu, mulai mebuahkan hasil. Masyarakat berkeingianan agar tanaman itu harus dijaga dan dirawat, agar bisa menikmati hasilnya dikemudian hari. Maka, munculah inisiatif membuat rumah, yang kemudian tumbuh berkembang mencadi sebuah perkampungan kecil.
Ketika daerah baru yang masih kosong itu, dapat menjamin masadepan generasi. Masyarakat yang telah menetap pun mulai menginformasikan hal itu kepada masyarkat lainya yang masih berada di tanah Buton. Melalui para pelayar dan pelaut ulung yang datang dan pergi mencari suaka tersebut. Dapat dinformasikan kala itu, bahwa sesungguhnya Pulau Seram, khususnya tak jauh dari Semenanjug Pulau Seram Barat, Tanjung Sial, kondisi alamnya damat menjamin kelangsungan generasi. Atas informasi itulah, bebrapa orang kepala keluarga dari Buton Holimombo berkeinginan untuk mencoba menetap dan bertahan hidup di daerah huamual. Maka datanglah bebrapa orang kepala keluarga sebagai percobaan awal menempati daerah baru itu. Mereka datang dengan menggunakan perahu. Perahu itu oleh masyarakat Amaholu disebut bang’gka. Perahu itu hanya mengunakan layar, tanpa mesin, sehingga Pelayaran yang dimulai dari Buton Sulawesi Tenggara, berlayar menuju Pulau Seram, memang membutuhkan waktu sampai empat hari empat malam, dan paling lambat tujuh hari. Sebab, kecepatan perahu tergantung kencangnya angin muson.
Dalam tradisi lisan masyarakat di Dusun Amaholu, bahwa kedatangan masyarakat di Semenanjung Seram Barat dan menetap dipesisir pantai Huamual Barat, saat ini menjadi Dusun Amaholu, terjadi dua gelombang, yaitu gelombang pertama, dari daerah Holimombo. Kemudian gelombang kedua disusul oleh orang-orang Kase. Kedatang orang-orang Kasse, juga tidak lain untuk mencari hidup dan kehidupan baru di kampung Amaholu kala itu. Mereka datang dan menetap di Dusun Amaholu. Sehingga masyarakat Dusun lain menaggap bahwa Dusun Amaholu berasal dari masyarakat Buton Kase umumnya. Padahal anggappan ini adalah tidak sepatunya benar. Karena masyarakat Kase, boleh dibilang pendatang baru karena sebelumnya telah dihuni oleh beberapa keluarga yaitu berasal dari Holimombo, dalam perjalanan kemudian munculah orang-orang yang berasal dari Wasampela (Kase) dan menetap di dusun Amaholu. Kehidupan mereka pun rukun dan damai. Budaya saling membantu satu dengan yang lain masih tetap terjaga, tetapi   modernisasi menjadikan masyarakatnya mulai hidup individualis (Wamounga, Wawancara di Dusun Amaholu, 15 Juni 2011).


2.   Asal Nama Amaholu
Masyarakat Amaholu saat ini banyak yang tidak tau lagi, kapan dan siapa pertama kali mengunakan nama kampung Amaholu itu. Selain lupa, sumber tertulis yang mengungkap nama kampung itu pun tidak ada. Tetapi, menurut tradisi lisan dari salah seorang informan yang diwawancarai penulis, bahwa Amaholu gabungan dari dua kata Ama dan Holu. Kata Ama dalam bahasa Buton Cia-Cia berarti bapak. Sedangkan Holu istilah lain dari Kaboke dalam bahasa Cia-Cia berarti Ikatan. Jadi, Amaholu adalah sebuah ikatan antara seorang bapak dengan seorang anak.
Maksudnya, bukan hanya untuk anak kandung tetapi, setiap orang yang datang dari Pulau Buton dipanggil dan dijadikan sebagai anak angkat untuk tinggal di Amaholu, kedatangan mereka bersamaan dengan beberapa orang keluarga yang kemudian menyebar di dusun-dusun lain yang yang beretnik Buton Cia-Cia, diistilakan saat ini dengan 19 Dusun saat ini. Ketertarikan mereka datang dan menetap di Amaholu karena dulunya terkenal dengan kesuburan tanah untuk bercocok tanam dan terkenal dengan penghasil Damar, Kayu Gaharu, Rotan dan lain sebagainya (Kardin, Wawancara di Dusun Amaholu, 19 Juli 2011).
 Menurut analisi penulis, jika di baca dari nama Amaholu itu, dan lihat dari keadaan geografis Dusun Amaholu hari ini, termasuk Amaholu Hatawano, maka asal kata Amaholu ini, digunakan pertama kali oleh para awak perahu. Kemudian mereka dengan perahu bang’gka berlabuh ditempat itu.
   Pelayaran saat itu, dilakukan menelusuri pesisir dari Tanjung Sial, Semenanjung Seram Barat, para awal itu lalu melihat satu tanjung, (kini di masyarakat di sana, menyebutnya tanjung Hou) dan dibalik tanjung itu adakolowa, (bahasa Cia-Cia) yang biasanya dikenal dengan Hou, maka diantara mereka  para awak perahu ketika melihat Labuan di balik tanjung itu, lalu berteriak dari rope (Bagian depan atau haluan perahu), kepada orang tua yang berada di wana (bagian belakang atau buritan perahu) sedang memegang kemudi, “Ama, Hou.”  Teriakan awak perahu menyebut kata “Ama Hou, itu dimaksudkan untuk meperhatikan haluan perahu untuk menyinggahi perahu (berlabuh) di balik tanjung yang mereka lihat tersebut. Agar bisa mengenal tempat persinggahan (Labuan) itu, dan menyempurnakan pengucapaanya, maka daerah yang kemudian menjadi tempat pemukinan mereka itu dinamainya dengan kata Amaholu.

3.   Amaholu Wilayah Labuan Bangka
Dalam menyusun sejarah kampung, jejak tertulis (arsip) tentunya sulit dijumpai, bahkan itu tidak ada. Pendekatan tradisi lisan (sejarah lisan), sebagai bagaian dari metode penciptaan sejarah menjadi rujukan untuk mengungkap fakta melalui suara yang datang dari masa silam itu.” Semua pelaku sejarah (generasi awal) yang mendiami kampung Amaholu telah tiada. Mereka telah meninggal, tetapi tidak meninggalkan jejak tertulis tentang sejarah kampung yang didami itu.
Kurangnya pemahaman dan pengetahuan menulis yang dimiliki hingga tidak ada jejak yang direkam dalam bentuk tertulis. Cerita sejarah kampung, hanya dilukiskan lewat tradisi lisan yang diturungkan dari generasi ke generasi. Mitos dalam istilah orang Buton Cia-Cai “kacucula” sering mewarnai alur cerita. Tetapi, begitulah cara orang-orang kecil dalam melukiskan masa lalu mereka. Sejarah sebatas anggapan sebagai miliknya orang-orang besar (pembesar yang duduk dalam istana kerajaan). Walhasil orang-orang kecil, rakyat di desa dan dusun yang terpinggirkan itu, tidak mendapat tempat dalam sejarah.
Sudah sepantasnya ingatan kolektif itu direkam dan diciptakan dalam bentuk tulisan sejarah. Sehingga orang-orang kecil yang tinggal di kampung, juga mendapat tempat dalam studi sejarah. Tentunya, tetap berpegang pada sebuah perinsip, seperti meminjam istilah sejarawan Inggris bernama Bernard Lewis (1987), sejarah itu ditemukan, diingat, dan diciptakan. Agar sejarah menjadi milik semua orang.
Dalam konteks ini, kedatangan orang Buton di Amaholu memang tidak terlepas dari tadisi maritm (berlayar). Ini dapat dilihat dari pelestarian tradisi berlayar-berdagang sebagai mata pencarian hidup mereka hari ini. Pelayaran dengan Bangka dilakukan dari wilayah Buton daerah Holimombo, Sulawesi Tengara, ke Maluku melalui jalur laut Banda. Tujuan awalnya adalah di Pulau Banda, dalam rangka mendagankan muatan yang mereka bawah dengan perahu Bangka. Selain itu juga, mencari muatan Bangka. Salah satu muatan Bangka yang tidak banyak membutuhkan modal adalah damar.
Selepas dari Banda, perahu Bangka tersebut berlayar menuju pulau Seram, menelusuri Pantai Hoamual Barat, hingga singgah di suatu wilayah yang masih kosong, wilayah itu kini dikenal sebagai Dusun Amaholu. Pelayaran dalam satu Bangka itu, merupakan pelayaran keluarga dan sabangka (teman) yang sudah saling menganggap sebagai saudara sendiri.
Wilayah yang awalnya nilai cukup menjanjikan kehidupan tersebut, mendorongan para awak untuk melabukan perahu Bangka.  Angapan tentang hutan kosong itu, karena fakta yang dilihat dan jumpai masih dipenuhi hutan-belukar. Ini berarti daerah itu belum ada campur tangan manusia. Dasar itulah yang membentuk pola fikir orang-orang yang berlayar dengan Bangka itu dan melempar sauh  melabuhkan Bangka di wilayah yang sekarang di kenal dengan Dusun Amaholu.
Usai perahu Bangka dilabuhkan, maka para awak perahu naik ke darat mengunakan koli-koli (sampan) dari perahu Bangka. Di darat diantara para awak itu sebagian dari mulai berpencar ketempat lain, mencari lokasi untuk membuat kebun. Keinginan membuat hamota (kebun), sehingga untuk sementara waktu aktivitas berlayar di hentikan. Sambil membongkar hutan, maka kakana (rumah-rumah) sederhana juga dikerjakan. Kakana diciptakan untuk sementara waktu, sebagai tempat berteduh mengindari panas dan hujanTempat pendirian kakana itusudah termasuk ke dalam lahan hamota. Ketika hamota usai dikerjakan, maka lokasikakana sudah berada di dalam lingkungan hamota.


4.   Fase Sejarah Kedatangan Awal (1867-an -1912)
Kedatangan orang Buton ke Seram Barat, di pesisir pantai Hoamual Barat, Dusun Amaholu, tidak terlepas dari tradisi berlayar dan berdagang. Wilayah Semenanjung Seram Barat, Hoamual, pada awalnya diketahui dari cerita para pelayar-pedagang Buton  terdahulu yang sering berlayar dengan perahu Bangka, sejak abad ke-16. Orang Buton termasuk salah satu suku bangsa yang paling dinamis dan ekspansif dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kawasan Timur Nusantara. Termasuk pelayar-pedagang Buton yang sering mobile dengan perahu Bangka melewati jalur laut wilayah Hoamual. Karena itu, melalui tradisi lisan yang diturungkan  dari generasi ke generasi, maka cerita tentang daerah baru itu diperoleh.
 Barulah pada akhir abad ke-19, dalam kurun sekitar tahun 1867, Haji Pantani dan adik kandungnya Haji Muminin, serta teman berlayarnya La Asturian dan beberapa sabangka (teman) lain, berlayar dengan perahu bangka dari daerah Holimombo, Sulawesi Tenggara, menuju Pulau Banda (Maluku). Motivasi mereka berlayar itu, tidak lain untuk mencari muatan Bangka, terutama komuditas jenisdamara (damar). Harapan para pelayar itu ketika sampai ke Pulau Banda mereka bisa mencari damar.
Pelayaran dengan perahu Bangka dilakukan mengambil angin muson Barat, hingga untuk sampai ke Pulau Banda, hanya memakan waktu kurang lebih sekitar empat hari empat malam perjalanan. Waktu tempuh itu, bisa saja berubah tergantung dari kecepatan perahu dan pertiupnya angin muson. Namun bebapa hari ketika berada di Pulau Banda, perahu tidak mendapatkan muatan. Tuan perahu Haji Patani selaku juragang dalam pelayaran itu memutuskan untuk berlayar kembali. Mereka berlayar dari kepuauan Banda menuju ke Pulau Seram. Dengan harapan, di sana mereka bisa mencari damar di hutan. Pelayaran dilakukan dengan mengambil jarul selatan pulau Seram. Setelah beberapa hari berlayar mengarungi ruang samudra perahu mereka tiba di Semenanjung Seram Barat, pesisir pantai Hoamual Barat. Mereka lalu tertarik dengan salah satu wilayah dengan kawasan hutan yang terlihat masih membiru dan pepeohonan besar tumbuh subur di sana.
Ketertarikan dengan daerah baru itu mendorong mereka singgah dan melepar sauh, melabuhkan Bangka. Wilayah yang disingahi tersebut, sebenarnya jika dilihat dari perspektif sejarah termasuk wilayah (pingiran) daerah Hoamual, karena daerah itu jauh dari bekas pusat pemerintahan “Negeri Kambello” (Dusun Kambelu sekarang) di abad ke-16 silam, atau kawasan wilayah Negeri Leisidi.  
Ketertarikan dengan daerah baru yang dijumpai itu, membuat para awak perahu berubah pikiran. Motivasi awal untuk mencari muatan Bangka (damar), beralih kepada keinginan untuk membuat hamota (kebun) di wilayah labuhan Bangka tersebut.
Dua orang pemuda awak perahu bernama, La Muminin dan La Asturian,  sudah berkeingian membongkar hutan belukar, membuat hamota (kebun) di Amaholu. Sedangkan sabangka (teman) berlayar lainya memilih ke tempat lain.
Ditempat yang mereka datangi itu pula, kelak menjadi perkampungan mereka. Sementara itu, Kaka kandung La Muminin, yang bernama Haji Patani, selaku tuan perhu Bangka dan nakoda dalam pelayaran itu. Pada awalnya tinggal bersama adiknay La Muminin, di wilayah Amaholu. Namun, kemudian hari Haji Patani memilih untuk berkebun dan mendirikan rumah di daerah Hou, Dusun Asamjawa sekarang.
La Muminin, dan La Asturian, bersepakat untuk tetap membuat kebun di Amaholu. Dari kesepakatan itu pula lokasi kebun mereka dibagi menjadi dua wilayah. La Asturian, berkebun di sebelah Selatan, sedangkan La Muminin, berkebun di sebelah Utara, tetapi masih dalam kawasan Amaholu. Diwilayah suangai Amaholu, mereka menjumpai pohon sagu yang tubuh membentang sepanjag sungai. Tumbuhan Sagu itu, menandakan bahwa di wiliayah Amaholu sudah ada orang yang lebih dulu tinggal di sana. Dan belakangan diketahui bahwa tumbuhan sagu itu milikinya orang Kambelu bernama MATENA (mamatena), sehingga La Muminin, harus membayar tubuhan pohon sagu dan lakasi tanahnnya itu dari Matena dan wilayah tersebut menjadi milik La Muminin.
Salah satu cara  yang dilakukan untuk memperluas lahan perkebunan mereka, dengan memberikan tanda. Menebang pohon besar di lahan yang sudah mereka targetkan. Ini dimaksudkan agar ketika suatu saat nanti, ada orang yang datang lagi membuat kebun diwilayah itu, maka sudah bisa mengetahui kalau kawasan hutan tersebut telah menjadi milik orang lain.  Sehingga mereka yang baru datang di tempat itu akan mencari lagi hutan lain yang belum tersentuh.
Salah satu kebiasaan orang Buton terdahulu, jika kawasan hutan itu sudah ditebangi pohon, “tandaie” (diberikan tanda), maka orang lain tidak lagi berani menebang sembarangan di hutan tersebut. Orang yang baru datang itu, akan mencari lagi kawasan hutan lain yang belum disetuh tangan manusia.
Mata pencarian selama masa itu, selain berkebun adalah mencari damar, gaharu, dan rotan ditengah hutan belantara, untuk di dagangkan di daerah lain perahu Bangka.
Ketika tiba gelombang berikutnya, maka mereka sudah mendapatkan tanah di dalam kampung Amaholu sudah atas persetujuan dari ke dua pihak keluarga tersebut. Tergantung tempat dimana yang diinginkan, jika Amaholu dibagian utara, maka mereka berhubungan dengan keluarga Haji Mumini, sedangkan di wilayah Selatan Amaholu, maka berhubungan dengan keluarga La Asturian. Baik, diperoleh dengan cara membeli, maupun diberikan. Tetapi, kebanyakan pada masa lalu itu, mendapatkan lokasi rumah kebanykannya diberikan, dasarnya adalah hubungan kekeluargaan sesama orang yang tinggal di wilayah Amaholu Tengah (sekarang).
Fakta untuk mempertegas kedudukan sejarah, bahwa keluarga Haji Muminin, dan La Asturian, sebagai keluarga pertama yang mendiami Dusun Amaholu, yaitu dapat diketahui dari jejak sejarah kepemilikan lahan (tanah) yang diwariskan kepada generasi mereka, masih tergolong dekat, dan masih berada di dalam kampung dan di sekitaran kampung Amaholu. Lebih jelasnya, wilayah sebelah Utara Amaholu, muai dari alepono (sebelah) kambara mate (kali mati), kurang lebih sepuluh meter, menuju Utara, termasuk dalam kampung, batas laama, sampai di tajugg, isuku, awalnya tanah hak milik keluarga haji Muminin. Keturunannya, termasuk Haji Muhamad Yani, dan keluarga lainya.
Sedangakan di sebelah Selatan Amaholu, dari kambara mate (kali mati), tanah perumahan penduduk itu, awalnya menjadi hak kepemilikan keluarga La Asturian, sampai ke tanjung pimpi, dalam konteks kawasan wilayah Dusun Amaholu Tengah.
Korelasi tentang kedatangan gelombang awal ini, La Asturian, termasuk orang pertama yang membongkar lahan di wilayah yang sekarang dikenal dengan Dusun Air Papaya. Menurut tadisi lisan orang Buton di  Dusun Air Papaya, bahwa nama Air Papaya tak punya makna apa-apa. Namun penamaan Air Papaya ini, digunakan bermula saat orang pertama yang membongkar lahan di wilayah yang dipenuhi hutan belukar itu, menemukan banyak Pepaya tumbuh dengan sendirinya. Terutama  ketika selesai pembakaran lahan dilakukan. Sebab itulah, kata Pepaya digunakan sebagai penanda  wilayah yang sekarang disebut, “Dusun Air Pepaya.” 
Dalam proses selanjutnya, La Astrurian, memilih untuk bertahan hidup di lahan garapan wilayah Amaholu, maka lahan di Air Papaya kemudian dijual oleh generasi yang lain. Kepada  orang-orang yang datang pada gelombang kedua, dimasa kini mereka sudah melangsungkan hidup di wilayah yang di kenal dengan Dusun Air Pepaya tersebut. Berikut penuturan Informan, L.A, di Dusun Air Papaya.
“Orang Buton di Dusun Air Papaya ini, datang tiga gelombang. Gelombang pertama, dari daerah Holimombo, yang datang dengan Bangka mereka singgah pertama di Labuan Amaholu. Dari Amaholu kemudian sebagian rombogan satu Bangka itu, berpencar di Dusun-Dusun lain. Asturian,  termasuk orang yang membongkar lahan di wilayah Air Papaya ini. Namun karena merasa tidak cocok, maka wilayah ini lalu ditingalkan lagi. Kemudian setelah itu, tanah air papaya dijual, kepada orang yang datang pada gelombang ke dua, sekarang menempati Dusun Air Papaya.” Sedangkan Gelombang ketiga, datang di wilayah Air Papaya, setelah Indonesia merdeka (Hasil penelitian, Buyung Amin, yang mewawancarai Kepala Dusun Air Papaya, L A., tanggal 19 April 2015).
Dari sumber lisan tersebut dapat di ketahui, bahwa antara Dusun Amaholu dan Air Papaya, maka Amaholu merupakan Dusun yang pertama kali disinggahi Bangka, oleh orang-orang yang datang pada gelombang pertama di Hoamual Barat.
Di dalam kebun yang mereka kelolah biasanya di buatkan Kakaana (rumah kebun), untuk dapat dijadikan tempat tinggal sementara. Kakaana itu, dalam proses selanjutnya dirubah lagi menjadi kaana tadda (rumah pangung), atau kaana cinggi(rumah tinggi). Kontruksi rumah jenis “kaana cinggi” ini, pada umumnya termasuk model bangunan rumah orang Buton di Seram Barat masa generasi awal.
Ketika kebun selesai di kerjakan dan isi kebun sudah bisa menghasilkan makanan dalam beberapa tahun kemudian, maka pekerjaan selanjutnya adalah mencari muatan Bangka, seperti damara (damar), tapi tidak menutup kemungkinangaharu dan rotan.
Ketiga jenis komuditas ini, terutama damar di masa lalu banyak dijumpai di hutan Dusun Amaholu. Selain itu, ketiga jenis komuditas ini tidak membutuhkan banyak modal, tetapi hanya mempersiapkan tenaga memanjat gunung, menelusuri hutan. Ketika muatan Bangka dirasa cukup dan Bangka siap dilayarkanmaka sebagian dari sabangka (teman) yang berlayar itu, memilih untuk tinggal. Kelompok yang tinggal itu tidak hanya berdiam diri, tetapi mereka juga mencari muatan Bangka untuk pelayaran berikutnya.
Dalam proses masa menunggu kedatangan Bangka dari helaa (berlayar), maka orang-orang yang tinggal itu, mulai membuka lahan baru untuk pihamota(berkebun)dilahan yang juga masih dianggap kosong.
Kemudian saat Bangka itu datang lagi dari berlayar, maka orang-orang yang datang dalam satu Bangka itu, sebagian dari mereka bukan lagi tujuan mencari muatan Bangka, tetapi datang untuk hidup menetap di daerah yang sudah dijumpai itu. Kedatangan gelombang ke dua itu sudah turut serta membawa sanak saudara mereka.
Orang-orang Buton dari Sulawesi Tenggara yang hendak migrasi ke Seram Barat, pada awalana sering menyebut mau berangkat ke Amaholu. Nama Amaholu ini di sebut, karena satu-satunya Bangka yang mobile ke pesir pantai Hoamual Barat hanyalah perahu Bangka milik Haji Patani. Karena itu mereka yang dari Buton ke Pesisir Hoamual Barat, harus singgah dulu di Dusun Amaholu, sebab wilayah Amaholu adalah Labuhan Bangka. Dari Amaholu barulah berpencar ke wilayah yang sesuai tujuan mereka.
Dalam pelayaran dari Sulawesi Tenggara ke Seram Barat, Amaholu, turut serta seorang gadis bernama Wa Rabea. Selama kurang lebih empat hari empat malam menempu perjalanan laut, tibalah mereka di Dusun Amaholu. Orang  Buton yang menumpang perahu Bangka itu, ketika sampai di Labuan Bangka Amaholu, masing-masing dari mereka wajib membayar prak (ongkos trasportasi).
Salah satu penumpang Bangka bernama Wa Rabea, tidak mempunyai uang untuk membayar prak Bangka. Karena itu, sebagai penganti pra, maka tuan perahu Haji Patani, kemudian meminta Wa Rabea, untuk menikah dengan adiknya La Muminin. Ternyata, lamaran Haji Patani untuk adiknya itu, disetujui oleh keluaraga Wa Rabea, mereka yang juga turut-serta datang bersama perahu bangka. Atas kesepakatan itu, maka La Muminin, kemudian dinikahkan dengan  Wa Rebea, di Dusun Amaholu.
Kehidupan rumah tangga La Muminin dan Wa Rabera, di Dusun Amaholu berjalan harmonis. Setelah di keruniai oleh 9 orang anak  diantaranya, Haji Muhammad Yani, maka pada tahun 1912, La Muminin, dan Hamza, serta Rapiudin, hendak melaksanaka ibadah haji di tanah suci, Mekah. Mereka berlayar dari Dusun Amaholu dengan perahu Bangka. Diantar oleh Haji Patani dan para awal lainya dalam satu bangka, berlayar menuju Singapura.
Setelah sampai ke Singapura dan menurungkan tiga orang calon jamaah haji itu, Haji Patani lalu melakukaan aktifitas jual-beli di Singapura. Kemudian usai transaksi jual beli dilakukan, Haji Patani dan para awak perahunya berlayar kembali ke kampung.
Di Singapura, La Muminin dan dua orang temanya, menunggu kapal untuk berangkat ke Arab Saudi. Ini merupakan pertemuan terakhir di Singapura antara Haji Patani, dan adiknya La Muminin. Karena usai pelaksanaan Ibadah Haji, kemudian Haji Mumunin meningal dunia di tanah suci, Mekah.
Sekitar setahun keberangkatan dalam waktu menunaikan Ibadah Haji, maka pada tahun 1913, Haji Hamza, dan Haji Rapiudin, tiba di Dusun Amaholu. Namun, dua orang haji itu hanya membawa kabar duka, dan segala pernak-penik haji temasuk kain surban, dan surat-surat haji, milik Haji Muminin, kepada kelurganya di Dusun  Amaholu.
Haji Siti Rabea, melaksanaka Ibada haji pada tahun 1966, dengan biaya tanguhan beberapa anaknya, di antaranya dari anaknya Haji Muhamad Yani (Wawancara dengan A.M, di Dusun Amaholu, 15  Juni 2011).
Fakta di atas menunjukan bahwa jauh sebelum tahun 1912, orang Buton di Dusun Amaholu, telah melakukan pelayaran-niaga melewati batas teritorial negara. Ini diketahui dari pelayaran Haji Patani yang mengantar adiknya Haji Muminin dan dua orang saudaranya, Haji Hamza, dan Haji Rapiudin, untuk melakukan ibadah haji di Mekah, Arab Saudi, melalui Bandar Singapura. Pelayaran ke wilayah Singapura ini, tentu bukan kali pertama, tetapi wilayah itu sering kali didatangi dengan perahu bangka. Sebab, para pelayar dari Dusun Amaholu dengan gampang mengetahui jalur dan lalulintas ruang samudra itu, hingga bisa sampai ke Singapura.
Dalam konteks wilayah, Singapura merupakan pelabuahan pasar bebas, sejak tahun 1819  yang digagas oleh pererintah Inggris di bawah pimpinan Letnan Gubernur Thomas Stamfor Raffles, dengan dukungan pedagang dari Sulawesi Selatan (termasuk pedagang Bugis, Makassar, Mandar dan Buton) yang ketika itu dikenal dengan sebutan pedagang Bugis. Kebijakan pelabuhan bebas itu, berhasil memikat pedagang maritim di kawasan ini. Kemajuan yang dicapai Singapura itu akhirnya berhasil memikat pedagang-pedagang dari negara lain termasuk pedagang Arab, juga memutuskan perdagangan mereka di Bandar Inggris itu, sehingga singgapura tampil mencusuar Bandar internasional terpenting di Asia Tenggara (Baca: Poelinggomang dalam Hamid 2011).
Dengan ditetapkannya Singapura sebagai bandar bebas itu, maka pada tahun 1912 medorong Haji Muminin, Haji Hamza, dan Haji Rafiudin, naik kapal dari Bandar Singapura menuju ke Arab Saudi, untuk melaksanakan Ibadah Haji di tanah suci Mekah.

5.   Mengunsi ke Pulau Manipa (1942-1945)
Dalam masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945), kawasan Hoamual, Seram Barat, sebagai salah satu daerah yang pernah didarangi militer  Jepang. Daerah yang menjadi pos siaga tentara Jepang, temasuk di wilayah Dusun Amaholu-Hatawano. Informasi akan kedatangan Jepang di Hoamual Barat  telah beredar dan diketahui rakyat di sana. Baik yang diinformasikan oleh pelayar-pedagang, maupun dari orang-orang lokal di maluku, sehinggga informasi itu mudah diketahui oleh masyarakat di sana. Karena itu, sebelum kedatangan mereka di Seram Barat, penduduk di Dusun Amaholu dan sejumlah dusun lain di pesisir pantai Hoamual Barat, segera mencari tempat untuk mengamankan diri ke tempat yang diperkiranan mereka tidak bisa dijangkau oleh tentara Jepang, maka ketika itu Pulau Manipa menjadi tempat pelarinan penduduk Dusun Amaholu. Mereka dengan perahu (Bangka) berlayar Pulau Manipa, tetapi ada sebagian lagi yang memilih tinggal di kebun.
Selama masa pendudukan Tentara Jepang di pesisir pantai Hoamual Barat, maka yang sudah berada di Pulau Manipa tidak berani lagi kembali ke Dusun Amaholu. Karena itu, untuk mempertankan hidup di Pulau Manipa, maka mereka membongkar lahan untuk berkebun ubi, jagung, dan sebaginya.
Ketika Jepang telah menyerah tampa syarat kepada tentara sekutu, dan berakhir dengan kemerdekaan bangsa Indonesia 17 Agustus 1945, maka kabar gembira itu disambut baik oleh seluruh rakyat Indonesia. Termasuk pelayar-pedagang Buton yang ketika itu masih berada di Jawa (Surabaya). Mereka Pelayar-pedagang ini saat kembali ke kampung halaman, maka disepanjang perjalanan laut dengan perahu Bangka, turut-serta mengibarkan bendera merah putih. Tak terkecuali informasi kemerdekaan juga diperoleh orang Buton di Dusun Amaholu melalui para pelayar itu.
Kemerdekaan ini, membuat seluruh tentara Jepang yang disiagakan di  hampir seluruh wilayah Indonesia, termasuk yang doposkan di wilayah Pesisir Pantai Hoamual Barat, di antaranya di Amaholu Hatawano, Kambelo, dan sejumlah daerah lainya, ditarik dan meningalkan wilayah Indonesia. Penarikan tentara Jepang ini, merupakan kabar gembira bagi mereka yang mengunsi ke Pulau Manipa. Mereka yang sudah berkebun di Pulau Manipa, menjadi tidak betah untuk tinggal berlama-lama dan segera kembali ke Amaholu. Bahkan kebun yang telah ditanami jagung dan umbi-umbian, ditinggalkan begitu saja. Mereka memilih kembali ke Dusun Amaholu, meskipun rela meninggalkan sumber kehidupan mereka itu.
6.   Dari Amaholu Migrasi Daerah Lain (1987)

Seiring berjalanya waktu lahan di Dusun Amaholu yang awalnya terlihat membiru perlahan-lahan tampak menguning. Tanahnya mulai terliahat tandus. Faktor itu, sebagian masyarakat Dusun Amaholu sudah berfikir untuk mencari daerah baru. Migrasi ketempat yang masih subur. Sementara sebagian yang lainya memilih bertahan hidup di Dusun Amaholu. Meskipun tanah sebagai sumber kehidupan yang ada di wilayah tersebut, tidak bisa lagi menjanjikan kepada generasi-generasi mendatang, tetapi dengan perpagang filosofi hidup seperti “laan kasubi,” (batang singkong) di manapun bisa hidup, selama ditempat itu masih punya tanah.
Tujuan migrasi mereka salah satunya adalah di Labuan Timur Pulau Buru, (Desa Ilat sekarang), tetapi ada yang memilih migrasi di daerah lain di Pulau Seram termasuk di daerah Waehoo. Pada sekitar tahun 1996 beberapa kepala keluarga memilih migrasi Ke Wakolo. Konflik sosial yang melanda hampir sejumlah daerah di Maluku pada tahun 1999-2002, membuat mereka harus kembali lagi di Dusun Amaholu. Migrasi dilakukan di desa Wakolo karena atas permintaan Raja di kecamatan Taniwel.  Orang Amaholu yang  migrasi ke Buru dan Waihoho memilih bertahan hidup di sana, hingga saat ini.  Daerah yang mereka tempati itu sangat menjanjikan kehidupan. Rata-rata diantara mereka yang migrasi itu, baik di Pulau Buru maupun di Waihoho, mempunya kebun cengkeh, pala, coklat dan kelapa.





2. Keadaan Geografis
    Dusun Amaholu terletak di pesisir pantai Huamual Barat. Dusun Amaholu merupakan salah satu bagian dari dusun-dusun yang termasuk petuanan Negeri Luhu. Sebagai sebuah dusun yang berada di pesisir pantai menyebabkan letaknya strategis, sebab diapit oleh dusun-dusun tetangga yang juga bernaung pada Negeri Luhu. Untuk lebih jelasnya keadaan georafis Dusun Amaholu dapat di ketahui yaitu:
a.   Letak Dusun Amaholu
Letak Dusun Amaholu berdekatan dengan beberapa Dusun sebagai berikut :
·         Sebelah Utara berbatasan dengan Dusun Losi, Mangge-Mangge, Talaga, Kambelu, Nasiri, Lirang, Limboro, Temi, Erang, Tapinalu, dan Olatu
·         Sebelah Selatan berbatasan dengan Dusun Hatawano, Asmajawa, Batulubang, dan Eli Jaya
·         Sebelah Timur dikelilingi  Pengunungan
·         Sebelah Barat berhadapan dengan pulau Kelang dan pulau Manipa dan sebagian Pulau Buru.

b. Iklim
Seperti daerah-daerah lain di Kabupaten Seram Bagian Barat, Dusun Amaholu juga memiliki dua jenis musim yang silih berganti, yakni musim Timur dan musim Barat. Pada Musim Timur, angin bertiup selama 5 - 6 bulan yakni, dari bulan Mei sampai masuknya bulan September. Sedangkan musim Barat, angin bertiup mulai November sampai dengan Maret. Keadaan musim tersebut kemudian berlangsung dengan datangnya musim pancaroba. Dimana angin bertiup relatif singkat. Berlansung kurang lebih satu bulan, pada bulan April dan Desember. Pada saat itulah, berganti bertiupnya angin Utara dan angin Selatan.
Kabupaten Seram Bagian Barat, khususnya pada daerah pesisir Huamual Belakang tergolong iklim tropis, dengan musim kemarau silih berganti. Musim hujan mulai dari bulan Mei sampai dengan bulan Agustus dan musim kemarau mulai dari Desember dan Januari. Sedangkan tempratur panas rata-rata dari maksimal 340 C sampai dengan minimal 210 C.
b. Potensi Alam



Wilayah Dusun Amaholu memiliki potensi cukup besar, baik daratan maupun lautan, dan mengandung kekayaan Alam yang sangat berguna bagi kehidupan masyarakat. Daratan Dusun Amaholu memiliki tanah yang tergolong subur bagi berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang berumur jangka panjang, maupun tumbuhan yang berumur jangka pendek. Tanaman yang berumur jangka panjang seperti tumbuhan cengkeh, pala, kelapa sagu dan lain-lain. Komuditas jenis jengkeh bogor kini menjadi andalan pembudidayaan orang Amaholu. Sedangkan tanaman yang berumur jangka pendek seperti tanaman sayur- sayuran, umbi-umbian dan lain sebagainya. Masyarakat tetap menjaga dan melestarikan tanaman-tanaman tersebut sebagai sumber kehidupan dan penghasilan mereka.

Perairan Dusun Amaholu mengandung bermacam-macam kekayaan alam seperti ikan, kerang-kerang dan bahkan dulu juga masyarakat mengembangkan budidaya rumput laut. Rumput laut yang dibudidayakan oleh bapak Suleman, namun karena situasi tidak memungkinkan untuk membudidaya rumput laut disebabkan banyak dialui oleh kendaraan laut, kemudian perputaran arus laut sangat kuat dan tidak menentu menyebabkan bapak suleman dan beberapa warga saat ini tidak lagi membudidayakan rumput laut. Potensi laut itu secara keseluruhan belum begitu dimanfaatkan dengan baik, walaupun sebagian masyarakat pelaut menangkap ikan dengan cara modern namun masih ada masyarakat menangkap ikan dengan cara tradisional.

3.       
1.   Sistim Religi/Keagamaan
Agama Islam merupakan agama yang dianut oleh seluruh masyarakat Dusun Amaholu. Masyarakat telah memeluk Islam sebelum kedatangan mereka didusun Amaholu. Beberapa lembaga keagamaan Islam yang terlihat adalah taman pengajian Al Quran (TPQ), Majelis Taalim Ibu-Ibu, dan remaja mesjid yang saat ini tidak agi eksis. Dengan keberadaan lembaga keagamaan itu sebenarnya sangat memberikan motivasi kepada masyarakat untuk belajar agama islam dan melakukan kegiatan keagamaan lain selain dari lembaga pendidikan formal.
Terlihat dari berbagai aktifitas keagamaan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keagamaan. Mulai dari anak-anak, para remaja hingga kaum tua. Kegiatan-keagamaan ini berorientasi pada pengajaran, pelatihan dan peningkatan baca tulis Al Quran, serta bimbingan ibadah oleh para guru-guru pengajian. Melalui kegiatan-kegiatan keagamaan, maka ada keseragaman pemahaman sehingga dapat tercipta kehidupan social yang tentam, rukun dan damai antar sesama. Hal tersebut terjadi bukan hanya disebabkan karena ikatan akidah akan tetapi, adanya ikatan hubungan kekeluargaan yang begitu erat. Sarana keagaman tersebut dijadikan sebagai tempat untuk belajar agama Islam misalnya mesjid bukan hanya dijadikan sebagai tempat ibadah, namun juga dijadikan tempat untuk belajar ilmu-ilmu keagamaan seperti berdakwah. TPQ yang digunakan masyarakat untuk belajar ngaji masih bersif local tradisonal artinya TPQ yang digunakan adalah Rumah guru ngaji yang temptnya bisa dikondisikan dengan keadaan. Kelompok majelis talim ibu-ibu sebagai wadah untuk melakukan kegiatan yasinan, juga untuk meningkatkan tali silaturahim antara sesama. Remaja mesjid juga melalukan kegiatan-kegiatan keagaman seperti memperingati hari-hari besar Islam, namun kegiatan yang dilakukan remas ini, biasanya sudah dialihkan menjadi keiatan bersama Pelajar Mahsiswa Amaholu yang tergabung dalam sebuah wadah atau organisasi perkumpulan kaum intelektal muda masyarakat Dusun Amaholu, organisasi dengan nama ikatan Pelajar Mahasiswa Amaholu (IPMAM). Organisasiinilah yang biasanya melaksanakan kegiatan-kegiatan keagaman atau hari-hari besar Islam.


4. Sistem Mata Pencahrian Hidup



Dusun Amaholu pada umumnya memiliki mata pencaharian beragam. berupa nelayan, petani, padagang, tukang, PNS dan lain-lain. Dulu bagi laki-laki yang sudah dewasa jika tidak mempunyai pekerjaan tetap, mereka memilik bekarja sebagai pelayar, dengan mengunakan perahu tradisional. Perahu itu dalam istilah masyarakat Amaholu adalah Bang’gka. Digunakan sebagai alat untuk memuat berbagai jenis barang hasil-hasil para petani yang berasal dari Seram di perdagangkan di pulau Jawa, Sulawesi, NTT, dll. Mereka berlayar dari Seram menuju pulau lain hanya menggunakan perahu dengan layar tanpa ada mesinyang hanya mengharapkan datanya angin, sehingga untuk sampai di tempat tujuan memakan waktucukup lama. Perahu banggka juga digunakan untuk memuat keladi ubikayu (kasubi) yang biasa diambil dari Sulawesi untuk diperdagangkan dipesisir Maluku. Bahkan banggka ini sering dgunakan untuk memat kayu sualap namun karena maraknya illegal loging sehingga para pelayar banggka tidak lagi memuat kayu. Singkat kata apapun jenis muatan yang bisa dimuat, banggka selalu siap sebagai alat pengangkut yang pening bisa menghasilkan doe.

Namun saat ini berdagang dengan perahu bang’gka tidak lagi digunakan, sebab selain memakan waktu lama juga membutuhkan banyak orang dan penghasilannya pun relatif kecil.Bagi para lelaki yang biasa melaut kemudian terobsesi untuk berdagang dengan Motor laut yang ukuranya tidak terlalu besar namun bisa memuat hasil dagangan mereka. Mereka berdagan oill, pasarnya diambil dari Kecamatan lehitu lalu di pasarkan disetiap plosok dan derah-daerah yang masih kekurangan pasokan bahan bakar minyak, walaupun banyak para pedagang yang merasa dirugikan oleh oknum-oknum milisireaksoner namun keuntungannya lumayan besar.
Mata pencarian masyarakat yang paling utama adalah petani, sebab rata-rata masyarakat memiliki perkebunan seperti cengkeh, pala, coklat dan kopi serta tanaman yang berumur jangka panjang. Cara berladang masyarakat petani Dusun Amaholu pada umumnya adalah peladang yang berpindah (nomaden). Pada waktu musim kemarau mereka menggarap hutan dan menebang pohon-pohon yang diikuti dengan proses pembakaran setelah kering. Proses selanjutnya setelah musim hujan tiba, maka tanah yang digarap itu mulai ditanami dengan jenis tanaman jangka pendek seperti umbi-umbian, sayur-sayauran dan tanaman-tanaman lain yang baik untuk dimakan. Hasil yang di peroleh pun hanya untuk konsumsi keluarga dan jika sedikit lebih maka, dijual kepada masyarakat. Hasil produksi yang utama dari masyarakat petani adalah dari tanaman umur pendek yaitu jenis tumbuhan Ubi, kacang-kacangan, jahe dan sayur ganemong. Jenis ini yang paling banyak dipasarkan di Kota Ambon oleh para pedagang kaki lima. Para pedagan membeli hasil alam tersebut dari para petani-pertani tradisional Dusun Amaholu dan dusun-dusun tetangga.
Peternakan juga merupakan mata pencarian dan penghasilan tambahan bagi masyarakat Dusun Amaholu. Masyarakat betenak masih menggunakan pola tradisional. Pernnakan merupakan kerja sampingan masyarakat karena pekerjaan ini masih bisa dilakukan oleh setiap orang. Usaha peternakan yang paling utama adalah ayam kampung, bebek dan kambing. Kegiatan berternak dilakukan bukan hanya para peternak saja, tetapi para petani dan nelayan juga ikut beternak sebab penghasilan tambahan bisa didapat dari hasil penjualan hewan-hewan ternak tersebut.
Penghasilan yang paling mendominasi bagi berlangsungnya kehidupan masyarakat Dusun Amaholu yaitu mata pencarian kerajinan tangan menganyam tikar. Penkerjaan menganyam tikar ini hamper sebagin besar dilakukan masyarakat dusun Amaholu Hasil dari penjualan tikar menjadi tolak ukur ekonomi masyarakat. Para orang tua bisa menyekolahkan anak-anak mereka dari pengasilan kerajinan tangan menganyam tikar.
5. 5. Keadaan Pendidikan
Dusun Amaholu mengalami kemajuan dari sisi ilmu pengetahuan dan pendidikan sejak masa kepemimpinan H. Usman Harat sebagai kepala Dusun. Dimasa kepemimpin beliau orientasi kinerjanya adalah didalam bidang pendidikan. Beliau berhasil mendirikan lembaga pendidikan yang pertama yaitu Madrasah Iptidaiyah (MI) yang setara dengan Sekolah Dasar. Sekolah itu dirikan pada tanggal 7 Januari 1967 tepatnya berada di Amaholu Los. Kemudian saat ini menjadi Dusun Amaholu los. Dengan pasilitas gedung serba darurat, namun proses belajar mengajar tetap dilaksanakan. MI saat itu dibawah naungan Yanyasan Permi dengan ketua Abdul Majid Ambon memberikan mandat kepada Usman Hart menjabat sebagai kepala sekolah. Beliau sebagai kepala dusun juga merangkap jabatan sebagai kepala sekolah yang juga berperan sebagai guru mata pelajaran di sekolah.
Kemudian Pada tahun 1968 didirikan sekolah dengan bangunan parmanen di Dusun Amaholu Tengah. Pada tanggal 8 Agustus 1983 Yayasan Permi menyerahkan mandat kepada Yayasan Muhamadiah dibawah pimpinan Imam Alfauzi sebagai ketua wilayah majelis Muhamadiah Provinsi Maluku sehingga sekolah MI berada di bawah yanayasan Muhammadiah. MI bertambah nama menjadi Madarasyah Ibtidahiyah Muhammadiyah (MIM). Sejak mulai berdiri sampai sekarang Sudah enam kali terjadi pergantian kepala sekolah yaitu : (1) H. Usman Hart, sebagai pengagas sekaligus menjabat kepala sekolah (2) Saman Polpoke, Kharudin Saleh. (3) Muhamad Abe. (4) Amir Tulungi dan (5) Rusmin Hamamu, (6) Imran Umar yang menjabat sampai sekarang. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan telah mendorong H. Usman Hart untuk mengusulkan kepada Yayasan Muhamadiyah agar mendirikan sekolah Madrasah Tsanawiah Muhamadiyah yang setara dengan SMP di Dusun Amaholu. MTs Muhamadiyah Amaholu adalah lembaga pedidikan Islam yang didirikan sebagai wujud kepedulian untuk memingkatkan nilai-nilai moral (ahlaqul karimah) dan intelektual pada generasi Islam di Dusun Amaholu.
MTs. Muhammadiyah Amaholu adalah salah satu sekolah yang dibangun atas permintaan masyarakat. Didirikan oleh Yayasan Muhammadiyah sebagai jawaban dari tuntutan pendidikan, sebab pada saat itu di Jazirah Huamual Belakang, lembaga pendidikan menengah yang menampung tamatan-tamatan Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) hanya ada pada Madrasah Tsanawiyah Kambelo. Berdasarkan kondisi itulah serta adanya dorongan kuat dari berbagai pihak, maka melalui yayasan Muhammadiyah pada tangal 11 Agustus 1988 Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah Amaholu didirikan.
Pada awal berdirinya sekolah ini juga tidak sedikit mendapat tantangan dan hambatan dari berbagai kalangan. Setelah Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah Amaholu didirikan, tantangan selanjutnya adalah persoalan siswa dimana pada saat berdirinya belum adanya kesadaran kolektif dari masyarakat untuk mendorong anak-anak mereka melanjutkan sekolah kejenjang selanjutnya, Pada saat itu Madrasah Tsanawiyah Amaholu sempat mandek selama 2 (dua) tahun, yakni dari tahun 1988 sampai tahun 1990. Tahun 1991 kesadaran masyarakat Amaholu untuk menyekolahkan anak-anak mereka pada jenjang sekolah menengah mulai muncul, berkenaan dengan itu pula maka kegiatan pembelajaran Madrasah Tsanawiyah Muhamadiyah Amaholu pun mulai berjalan dengan baik.
Setelah kesadaran masyarakat muncul untuk menyekolahkan anak-anak mereka, selanjutnya kendala dan permasalahan yang dihadapi oleh MTs Muhammadiyah Amaholu adalah tenaga pengajar karena selama berdirinya tidak ada tenaga pengajar yang defenitif, baik yang disediakan oleh yayasan Muhammadiyah maupun oleh institusi pemerintah dalam hal ini Departemen Agama pada wilayah setempat. Seiring dengan perubahan zaman, tuntutan dan kebutuhan masyarakat akan pentingnya kebutuhan pendidikan semakin baik, sehingga berpengaruh pula pada kesadaran dan pola pikir masyarakat Amaholu. Hal itu dapat dilihat dari animo masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka pada sekolah tersebut. Hal ini ditandai dengan meningkatnya pertambahan jumlah siswa dari tahun ketahun. Dalam perjalanan selanjutnya, perhatian pemerintah terhadap peningkatan mutu, sarana dan prasarana pendidikan terhadap MTs itu diwujudkan dalam bentuk bantuan dana pembangunan oleh Dinas Pendidikan Nasional pada tahun 2006 yang berupa pembangunan gedung sekolah dengan tiga (3) bilik ruang belajar. Dengan bantuan dinas pendidikan itulah, Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah Amaholu memiliki gedung defenitif sendiri, yang mana pada awal berdirinya dalam proses belajar mengajar berafiliasi dengan gerdung Madrasah Iptidaiyah Muhammadiyah Amaholu. Gedung MTS Muhammadiyah Amaholu selesai dibangun pada tanggal 9 januari 2006. Pada tanggal 12 April 2006 proses aktifitas belajar mengajar berjalan hingga sekarang. Semenjak berdirinya sampai sekarang prosesi kepemimpinan MTs Muhammadiyah Amaholu ini sudah tiga kali terjadi pergantian, yaitu mulai dari H. Usman Hart sebagai pengelola dan kepala sekolah pertama, Rusmin Hamamu sebagai kepala sekolah kedua kemudian Adnan Abdul menjabat kepala sekolah sampai sekarang.
Dari lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan tersebut diatas.masyarakat dapat merasakan pendidikan walaupan ada sebagian masyarakat yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMA karena keterbatasan dalam segi finansial. Namun masih juga masyarakat berkeinginan mendorong anak-anak mereka di bangku pendidikan yang lebih tinggi sehingga mereka tidak ketinggalan dengan persoalan pendidikan dan ilmu pengetahuan.

6. Bahasa dan Komunikasi
           Pengunaan bahasa daerah pada umumnya merupakan sebuah budaya masyarakat yang ada dinegeri ini. Bahasa daerah harus digunakan agar tetap terjaga karena bahasa daerah adalah warisan leluhur dan menjadi kebanggaan serta simbol masyarakat. Bahasa daerah yang digunakan masyarakat Dusun Amaholu pada umumnya adalah bahasa kebanggaan masyarakaat Huamual Barat Negeri Luhu yang beretnik Buton. Mereka dapat melestaraiakan nilai-nilai budaya dan tradisi masyarakat Buton umumnya dalam hal berkomunikasi. Bahasa Buton dijadikan sebagia alat komunikasi setiap hari dalam pergaulan kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Dusun Amaholu adalah masyarakat yang beretnik Buton, pengunaan bahasa daerah digunakan dalam pergaulan kehidupan sehari-hari. Mereka mengunakan bahasa Buton dengan dialek bahasa Buton Cia-Cia. Hal ini merupakan kebiasaan masyarakat Dusun Amaholu dalam setiap berkomunikasi antara sesama warga yang juga sama-sama beretnik Buton.

Pengunaan bahasa Cia-Cia ini hanya digunakan dalam percakapan sehari-hari antara orang tua dengan anak, maupun antara sesama warga masyarakat yang juga mengerti dan dapat berbicara mengunakan bahasa Buton Cia-Cia. Para guru disekolah pun sering terlihat mengunakan bahasa Buton dengan dialek Cia-Cia, ketika menerangkan pelajaran atau memberikan bimbingan. Sedangkan didalam forum-forum resmi maupun dilembaga-lembaga pendidikan, masyarakat menggunakan bahasa Indonesia.
Namun realitas saat ini, ketika seseorang yang berasal dari kampung mengunakan bahasa daerah. Kadang secara tiba-tiba teman yang lainyang juga mengerti bahasa itu, menghentinkan dan bahkan menyindir agar orang yang berbicara tersebut untuk tidak lagi melajutkan pembicarana dengan mengunakan bahasa daerah.
Padahal kita sebagai masyarakat Indonesia harus kembali kepada hakekat Boneka Tunggal Ika atau berbeda-beda tetapi tetap satu. Siapa dan apapun bahasanya haruslah dihargai agar kita tidak terjebak pada sifat chauvinism, yaitu membangakan budaya sendiri dan mengangap rendah budaya lain. Apalagi harus merasa jengkel dengan budaya sendiri ketika ada orang yang sedang melestarikan budaya tersebut seperti berbicara dengan bahasa daerah.


Ayo kawan!! Lawan tertawaan, hidupkan budayamu………….!! 
“:;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;.”
Tulisan diatas berdasarkan hasil wawancara dan ovservasi. Sebagian sumbernya di ambil saat penelitian pengumpulan data untuk penelitian Skripsi, pada bulan Juli, 2011 lalu Di Dusun Amaholu. Ditulis tanpa Kopi, tanpa Rokok, hanya di temani Secangir teh panas tampa gula rasanya tawar, dan sambil makan secuwil Sangkolah Karii..Sebagai cicipan itu didorong dengan air, demi menahan lapar dihari itu.;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;!!!

Komentar

  1. Wah...tulisan yang "penuh penderitaan", tetapi terima kasih banyak kawan. Salut atas perjuangannya menulis kampung tercinta. Saya senang membacanya, meskipun dimulai dengan "merendahkan hati". untuk hal ini saya paham bahwa lebih baik memperbaiki daripada tidak menulis sama sekali. Nah, untuk tulisasnnya, terima kasih dan tentu mewakili pembaca yang lain, sehingga kami yang jauh dari kampung (mu) dapat membayangkannya. Dunia mengenalmu dari tulisan, karena itu teruskan hobinya, sebab dengan menulis Anda akan dikenal dunia, dan untuk mengenal dunia wajib membaca. Salam kenal.

    BalasHapus
  2. Terlepas dari kurang tepatnya peletakan beberapa kata dalam susunan kalimat-kalimat diatas,,, apresiasi yang baik dari saya pribadi buat kamu.....semangat menulis itulah yg harus terus dijaga agar kelak anak cucu tidak buta akan sejarah,,,, digali lagi sumber sejarah itu.

    BalasHapus
  3. Harus mengakui klo sebagai pendatang sekaligus posisikan diri sebagai pendatang serta hormati n memelihara semua yg di titipkan sebagai hak pakai bukan hak milik,,,agar tidak seperti yg lain mengklaim yg bukan punya hak akhrx menjadi pembodohan sejarah kepada anak cucu yg akhirx di bayar dengan darah bahkan nyawa seperti trjadi di mayoritas seantero jagad bumi maluku

    BalasHapus
  4. Tulisan yg bagus namun terkait asal muasal tentang nama dusun amaholu, siapa yg pertama kali menetap, daerah yg sdh mendiami kawasan sebelum dan susudah amaholu ada itu penting untuk disampaikan dan harus walau dr tutur cerita maka orang yg cerita juga harus diperjelas orangnya, tinggal dimana dan yg paling penting jangan terbatas pada satu sumber,,, jadi penulis tdk boleh menganalisa atau mengungkapkan pemikirannya..


    Jadi kalau saya menilai tulisan diatas bukanlah tulisan tentang sejajar tapi karangan sejarah...

    BalasHapus
  5. Sunguh luar biasa tulisanya pak kep.

    BalasHapus
  6. Sunguh luar biasa tulisanya pak kep.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH KETERTIBAN

KATA PENGANTAR Dengan Menyebut nama Allah SWT, yang selalu melimpahkan kasih sayang kepada makhluknya, segala puja dan puji hanya dipersembahkan kepadanya, shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, sebagai penunjuk jalan bagi umat menuju keridhaan Allah SWT. Makalah ini disusun dengan maksud untuk menambah bahan pengetahuan tentang Ketertiban. Ketertiban yang dimaksud dalam makalah ini adalah ketertiban sebagai landasan kehidupan dilingkungan baik lingkungan pendidikan, perkantoran, maupun dilingkungan masyarakat umum dan kedisiplinan seseorang terhadap aturan yang berlaku. Namun demikian   usaha seperti ini dirasakan masih sangat kurang bila dibandingkan dengan luasnya permasalahan-permasalahan Ketertiban diberbagai aspek dalam kehidupan masyarakat. Penulis menyadari bahwa penulisan Makalah ini jauh dari harapan akan kesempurnaan. Namun berkat usaha penulis dan bantuan yang selalu datang dari berbagai pihak, hingga penulisan makalah ini dapat diseles...

Universitas Banda Naira Gelar Yudisium Sarjana Perdana

  Wakil rektor bidang akademik (tengah depan) beserta dekan dan sejumlah ketua program studi dalam acara Yudisium Sarjana Rabu (11/1/2023), Pagi. AG-HISTORIS.com , Banda ; Setelah resmi naik status dari sekolah tinggi (STP dan STKIP) Hatta-Sjahrir menjadi Universitas Banda Naira (UBN) pada 2022 lalu, kampus yang dikelolah Yayasan dan Warisan Budaya Banda itu, mengelar yudisum masal perdana kepada 47 orang mahasiswa yang telah menempuh ujian sarjana hingga pekan lalu. Kegiatan serimonial akademik untuk pengesahan pengunaan gelar sarjana ini, diikuti oleh sebanyak 27 lulusan Fakultas Perikanan dan 20 mahasiswa lulusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) di gedung Harmony Society, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Rabu (11/1/2023). Dalam sambutannya, Wakil Rektor (Warek 1) Bidang Akademik UBN Budiono Senen, S.Pi., M.Si, mengatakan pemberian gelar sarjana ini merupakan suatu kebangaaan sekaligus beban. "Masyarakat di luar sana menunggu pengabaian Anda sebagai ...

AKULTURASI KEBUDAYAAN ISLAM DI NUSANTARA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK SOSIAL DAN BUDAYA

KATA PENGANTAR Mendahului kata pengantar ini, penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa Pengasih Lagi Maha Penyayang atas limpahan rahmat-Nya sehinga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun dengan maksud untuk menambah bahan pengetahuan tentang “ Akulturasi Kebudayaan Islam Dalam Persingunganya Dengan Kebudayaan Lokal Dalam Perspektif Ekonomi Politik Sosial Dan Budaya.” Kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan budaya setempat, memudahkan Islam masuk ke lapisan paling bawah dari masyarakat. Akibatnya, kebudayaan Islam sangat dipengaruhi oleh kebudayaan petani dan kebudayaan pedalaman, sehingga kebudayaan Islam mengalami transformasi bukan saja karena jarak geografis antara Arab dan Indonesia, tetapi juga karena ada jarakjarak kultural. Proses kompromi kebudayaan seperti ini, tentu membawa resiko yang tidak sedikit, karena dalam keadaan tertentu seringkali mentoleransi penafsiran yang mugkin agak menyimpang dari aja...