Menyajikan Data Mengungkap Fakta Menjadi Sejarah

Sejarah

3/sejarah/post-list
Tampilkan postingan dengan label politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label politik. Tampilkan semua postingan

Mencari Pemimpin Ideal untuk Indonesia

 

Oleh: ARWAN WABULA

Ketua PD HIMA PERSIS Jakarta Timur


Menjelang perhelatan Pemilihan Umum (pemilu) pada 2024 mendatang. Sangat perlu kiranya untuk mengadakan pembinanan dan pembekalan pendidikan politik kepada masyarakat. Sebelum hajatan demokrasi langsung itu digelar. Pesta rakyat itu diasumsikan sebagai sarana pencarian sosok pemimpin yang ideal untuk masa depan Indonesia. Pendidikan politik dianggap perlu dengan melibatkan lembaga yang berwenang dan para insan akademisi diperguruan tinggi, guna mengedukasi masyarakat dalam memahami pemilu yang berkualitas.

Para elit politik bukan sebatas mengajak rakyat untuk meyalurkan hak pilihnya dibilik suara. Akan tetapi, perlu juga dibekali pemahaman politik agar  memiliki kemampuan dalam menentukan sosok figur pilihannya, dapat membawa arah kepemimpinan negara rasional dan objektif. Pasalnya kualitas pemilih dalam penyelenggaraan pemilu akan melahirkan pemimpin yang berkualitas pula. Dengan demikian, penyadaran masyarakat akan konsepsi sosok pemimpin ideal menjadi tuntutan dan keharusan, dengan cara memberikan edukasi secara konsekuen. Hal ini akan berimplikasi signifikan bagi kualitas demokarsi elektoral Indonesia. Menganulir dari pada kekacuan dan kegagalan dalam penyelenggaraan pemilu, seperti pada pemilu 2019 silam.

Sebuah fase pemilu yang dianggap gagal berdasarkan data yang dilansir sejumlah media cetak dan elektronik. Terdapat ratusan petugas pemilu meninggal dunia, hingga sejumlah aparat negara tewas akibat kelelahan mengawal bilik suara. Sebab sistem penyelangaraan pemilu yang dijalangkan serentak. Lima pemilihan secara bersamaan, yakni pemilihan presiden dan wakil prasesiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Pemilu 3 tahun yang lalu itu, merupakan pemilu yang paling kelam dalam perjalanan sejarah demokrasi elektoral sejak bergulirnya reformasi.

Melahirkan Pemimpin Ideal

Penurunan kualitas pemilu tersebut menunjukkan pergeseran pola demokrasi elektoral, menjadi demokrasi yang cacat (flowed democrasy). Efek dari minimnya literasi masyarakat terhadap konsepsi sosok pemimpini deal, sehingga pada setiap kontestasi pemilu tidak melahirkan sosok pemimpin yang mampu membawa masyarakat yang adil dan makmur. Sebagaimana yang dicita-citakan oleh konstitusi negara.  Mengutip ungkapan akademisi Universitas Padjadjaran Caroline Paskarina, “bahwa demokrasi elektoral melalui pemilu tidak melahirkan pemimpin yang mensejaterakan rakyat.” Pernyataan itu merupakan kausal dari penjelasan sebelumnya, yaitu minimnya literasi masyarakat yang menjadi salahsatu fakor utama dalam memahami konsepsi pemimpin ideal.

Di sisi lain problematika dari pada pasangan calon dalam kontestasi pemilu yang tidak berkompetitif dengan narasi, konsep dan gagasan yang menjadi salah satu faktor mempengaruhi buruknya penyelenggaraan pemilu. Begitupun dengan organisasi partai politik yang dominan dalam mengusung figur khususnya yang bertalian dengan pemilihan presiden (pilpres). Menjadi penilaian prioritasnya elit dan partai politik adalah figur popularitas serta mengutamakan partikularis medan kepentingan oligarki. Ketimbang pendekatan yang rasionalitas dan objektifitas terhadap sosok figur yang akan disajikan di tengah-tengah masyarakat luas pada saat kontestasi pemilu berlangsung.

Fenomena pemilu sepadan itu merupakan sesuatu yang rumit di masyarakat akar rumput. Pasalnya adanya permainan politik kebencian, saling menghasut hingga memicu ketegangan dan stabilitas sosial. Kampanye hitam (black campaing) disebarkan, di rencanakan, diarahkan dan dikelola melalui intrumen media sosial dan jejaring teknologi lainya yang dilakukan dengan rapi oleh sebagian besar para politisi di negeri ini. Begitupun dengan transaksi politik uang (money politic), menyebabkan tidak sehatnya demokrasi untuk melahirkan pemimpin yang ideal.

Demokrasi elektoral perlu dimaknai bukan hanya sebatas menjadi instrumen untuk kontestasi kekuasaan belaka, tetapi harus menjadi instrumen yang dapat menghadirkan sosok figur pemimpin yang dapat mensejahterakan rakyat. Penyelenggaraan pemilu 2024 nanti, diharapkan melahirkan kepemimpinan yang dapat mendekatkan kepada kesejahteraan rakyat dan mampu membawa bangsa ini lebih baik  dan maju.

Di tengah-tengah situasi persoalan kebangsaan yang melanda dari berbagai aspek, baik mengusiknya persatuan, pendidikan, kemiskinan, pengangguran dan degradasi moral bangsa yang melahirkan budaya korupsi di setiap unsur lembaga negara, belum lagi tantangan global yang bergejolak yang mengakibatkan krisis ekonomi yang melanda hampir seluruh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia di dalamnya. 

Krisis geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang masih belum menemukan titik terangnya, berimbas signifikan untuk stabilitas global. Bergeser krisis geopolitik di kawasan Asia Pasifik, juga menjadi ancaman untuk eksistensi Negara Republik Indonesia sebagai negara kawasan Asia Pasifik. Persoalan perubahan iklim ekstrem, juga menjadi ancaman serius untuk keberlangsungan hidup manusia (sustainabel)  di masa yang akan datang.

Dari berbagai permasalahan kusial itu mengharuskan kita untuk mencari sosok pemimpin ideal untuk Indonesia nanti. Pemimpin yang memiliki kemampuan mumpuni dalam mengobati persoalan kebangsaan. Mampu mamangani persoalan global yang menjadi idealisme dalam pembukaan UUD 1945, yakni ikut serta dalam ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pertanyaan kemudian seperti apa pemimpin ideal dalam konteks Indonesia?

Pemimpin Ideal dalam Islam

Untuk menjawab pertanyaan di atas bagi seorang muslim yang taat sudah barang tentu mengacu pada sumber ajaran Islam. Al-Quran dan As- Sunnah, sebagai pedoman sekaligus pandangan hidup (Way oflife) yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Baik  yang berhubungan dengan Tuhan (vertikal), maupun hubungan sesama manusia (horizontal). Salah satu diantaranya mengatur masalah kepemimpinan di pemerintah. Dalam Islam, mayoritas ulama menyepakati, bahwa pemimpin adalah abdi masyarakat. Sebab, kepemimpinan sesungguhnya merupakan amanah (titipan) yang suatu saat akan di pertanggung jawabkan dan di ambil wewenangnya.

Substantif kepemimpinan dalam prespektif Islam merupakan sebuah amanat yang harus diberikan kepada orang yang benar-benar ahli (kapabilitas), berkualitas yang memiliki tanggung jawab yang jelas dan benar, berintegritas serta adil. Inilah kriteria yang Islam tawarkan dalam memilih seorang pemimpin yang sejatinya dapat membawa masyarakat kepada kehidupan yang adil dan makmur.

Disamping itu, pemimpin harus orang yang bertaqwa kepada Allah SWT. Ketaqwaan sebagai standarisasi dalam melihat sosok pemimpin yang benar-benar akan menjalankan amanah. Sifat amanah inilah, yang menjadi salah satu prinsip kepemimpinan yang dimiliki Nabi Muhammad SAW. Sebagai pemimpin umat, Nabi SAW memliki empat ciri kepemimpinan yang harus diteladani bagi setiap muslim, empat ciri tersebut yaitu : Shidiq (jujur), fathanah (cerdas dan berpengetahuan) amanah ( dapat dipercaya) dan tabligh ( komunikatif ).

Dari empat ciri kepemimpinan Nabi Muhammad diatas dapat kita cermati dalam pengambilan kebijakan dan tingkah laku beliau sehari-hari, baik sebagai pemimpin umat sekaligus pemimpin masyarakat dan negara (Madinah) kala itu. Namun begitu sifat kepemimpinan beliau dan juga para sahabat dalam konteks ini para Khulafaur Rasyidin yang dapat dijadikan cermin oleh semua pemimpin saat ini (kontempoer). Mereka senantiasa mengabdi, menerima keluh-kesah, memfasilitasi, dan siap jadi budak rakyatnya, bukan sebaliknya menjadi tuan bagi masyarakatnya(feodalisme).

Kepemimpinan ideal bagi seorang muslim sudah tentu yang mengamalkan empat sifat nabi Muhammad diatas dan sahabat (Khulafaur Rasyidin). Dari sahabat nabi kita dapat mengambil teladan dari sosok Abu bakar Shidiq, yang tercermin dari pidatonya saat beliau diangkat sebabagai pemimpinumat, berikut kutipannya :

“Wahai manusia! Aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukan orang yang terbaik diantaramu. Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutlah) aku, tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah. Orang yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hakdaripadanya. Sedangkan orang yang kamu lihat lemah, aku pandang kuat sampai aku dapat mengembalikan haknya kepadanya. Maka hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasulnya, namun bilamana aku tidak mematuhi Allah dan Rasulnya, kamu tidak perlu mematuhiku, berdirilah untuk sholat, semoga rahmat Allah meliputi kamu.”

Pidato Khalifah Abu Bakar tesebut memiliki poin-poin penting yang dapat dapat dipetik, yakni pertama, Kerendahan hati Abu Bakar yang mengakui terhadap dirinya bukan yang terbaik dari yang lain (tawadhu), kedua, Membantu dalam hal kebaikan dan memberikan kritikan jika berlaku salah (terbuka dikritik), ketiga, Prinsip kesetaraan dalam masyarakat tanpa memandang kelas (keadilan sosial), keempat, Pengabdian hanya kepada Allah dan Rasulnya dan tidak ada ketaatan dalam kezaliman.

Konsepsi pemimpin ideal menurut Imam Al-Ghazali adalah pemimpin yang memiliki intelektualitas yang luas, pemahaman agama yang mendalam, dan memiliki akhlak mulia, mampu mempengaruhi lingkungan yang dipimpin serta memiliki kemampuan dalam menyelesaikan kehancuran dan kerusakan dalam sebuah bangsa, serta membawa masyarakat yang adil dan makmur dengan menjunjung tinggi keilmuan, juga moral yang berasaskan agama. Dari uraian tersebut konsepsi imam Al- Ghazali terhadap pemimpin ideal tidak terlepas dari cerminan kepemimpinan nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, sebab kriteria yang dikemukakan Al-Ghazali persis apa yang dijelaskan sebelumnya.

Dari rangkaian syarat-syarat model kepemimpinan diatas, dapat ditarik intisarinya, bahwa model kepemimpinan ideal dari prespektif Islam yang menjadi syarat pertamanya, Kecerdasan intelektualitas, pemimpin harus memiliki intelektual tinggi, sebab pemimpin harus mampu merancang konsep dan gagasan sebagai peta dalam membangun sebuah bangsa, juga kemampuan menganalisis permasalahan dan memecahkan permasalahan dengan cepat, dan dalam mengimplementasikan kebijakan dengan tepat dan terukur (presisi).

Menurut Yudi Latif kedekatan antara negara dan kecerdasan intelektual, dan bahwa keselamatan negara di tentukan oleh kecerdasan pemimpin.kedua, Kecerdasan emosional, dimaksud dengan kecerdasan emosional disini adalah pemimpin harus memiliki sikap melayani masyarakatnya dan terbuka untuk di berikan kritik dengan kata lain tidak anti kritik (demokratis), peka terhadap kondisi dan kebutuhan rakyat, pemimpin juga  harus memiliki keterampilan komunikatif yang baik dihadapan publik selain itu juga penguasaan bahasa universal.

Ketiga, kecerdasan Spritualitas; kecerdasaan ini penting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Dalam Islam kepemimpinan dimaknai sebagai perwujudan dan pengabdian kepada Tuhan. Kepemimpinan yang memiliki kecerdasan spritual akan berbasis pada etika religus. Inilah yang dimaksudkan akhir dalam pidato Abu Bakar setalah diangakat jadi pemimpin dan juga konspesi Imam Al Ghazali. Kecerdasan spritual bukan hanya memiliki pemahaman keagamaan, tetapi dijadikan sebagai pangkal moral, dan dalam prakteknya nilai-nilai religus akan mengilhami prilaku dan sikap seorang pemimpin, dengan memegang teguh kejujuran, menegakan keadilan sosial, semangat beramal shalaeh, dan kerendahan hati.

Dari tiga poin kesimpulan singkat diatas dapat menjadi acuan bagi seorang muslim dalam menentukan kriteria pemimpin yang ideal untuk Indonesia yang akan datang. Saat ini problem yang kita hadapi terhadap figur kepemimpinan adalah krisis spritualitas. Tidak heran kemudian kebohongan dan kejujuran tidak dapat kita komposisikan dari keduanya. Jadi, sebuah kesalahan dalam penilaian apabila kreteria pemimpin di lihat dari prespektif popularitas dan dukungan partai politik, apalagi dilihat dari kerutan wajah dan warna rambut yang merupakan penilaian amatiran dan lelucon yang jauh dari akal sehat, kriteria pemimpin seperti ini kata Komarudin Hidayat, merusak cita-cita luhur kemerdekaan dan demokrasi. 

Kita juga harus menghindari orang-orang yang berambisi menjadi pemimpin-penguasa yang memanfaatkan celah titik lemah demokrasi untuk meraih suara rakyat dengan cara membeli dan membodohi rakyat. Oleh karena itu menjelang pemilu 2024 nanti. Mari kita pilih pemimpin bangsa yang yang tepat sebagaimana dicontohkan nabi dan para sahabat, demi mewujudkan kesejahteraan dan kemajuaan bangsa Indonesia. ***

Editor : K.R

Share:

Megungkap Ingatan Kolektif Sejarah Desa di Pesisir Barat Huamual

 

Dusun Mangge-Mangge di pesisir pantai barat Huamual

 Pengantar Wacana

Wacana pemekaran dusun jadi desa kembali bergulir seiring dengan hadirnya Undang-Undang Desa Tahun 2014. Kampung-kampung yang masih berstatus dusun ingin berkembang menjadi desa. Hal ini diperkuat dengan semangat reformasi dan visi pemerintahan Joko Widodo, membangun dari desa. Untuk menimplementasikan program itu Presiden Republik Indonesia yang ke 7 itu membentuk Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia yang membidangi urusan pembangunan desa dan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, percepatan pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi. 

Pada prinsipnya visi pemerintah untuk mewujudkan masyarakat maju, adil dan sejaterah dan itu harus dimulai dari desa. Karena itulah, pemerintah mengelontorkan angaran pembangunan desa melalui skema dana desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang diperuntungkan bagi desa yang ditrasfer melalui APBD Kabupaten/kota dan digunakan unuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan, kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat. 

Pertanyaanya kemudian apakah anggaran itu juga dialokasikan kepada dusun sebagai anak dari desa, yang tidak diatur secara khusus agar kampung yang bersatus dusun bisa menikmati pembangunan dari dana desa yang ada? Pastinya iya, semua sudah terencana dalam program desa untuk membangun dusun. Lalu bagaimana dengan desa yang memiliki puluhan anakan dusun yang memiliki jumlah penduduk justru lebih bayak dari desa, seperti yang terjadi di Huamual? Jawabanya tetap dapat anggaran dana desa. Akan tetapi, meminjam istilah liar masyarakat pesisir barat Huamual "dusun hanya dapat apas (sisa)" setelah desa induk merasa sudah berkelebihan. 

Tidak hanya itu saja, urusan-urusan admistrasi masyarakat dusun cukup menguras, tenaga, waktu dan biaya. Mengurus satu Surat Keterangan dari desa, misalnya meskipun sepucuk surat itu faktanya diperoleh secara gratis, tetapi kenyataanya masyarakat dusun-dusun harus mengelontorkan angaran ratusan ribu rupiah untuk biaya traspirtasi dan akomodasi dari dan ke desa (induk). 

Pengurusan admistrasi masyarakat dusun dirasa cepat bila kepala desa berada di tempat (kantor desa), jika tidak maka urusan menjadi panjang, masyarakat dusun harus bolak-balik demi mendapatkan sepucuk surat keterangan yang diurusnya. Masih banyak lagi sebetulnya persoalan-persoalan lain terkait rentang kendali urusan admistrasi masyarakat dan pembangunan dusun yang terabaikan dan diabaikan. Itulah sebanya, kemandirian dusun penting menjadi pertimbangan demi kemajuan dan kesejateraan masyarakat bangsa dan negara. 

Daerah tetangga, Kabupaten Buru, Buru Selatan, Kabupaten Seram Bagian Timur, dusun-dusun yang mayoritas beretnis Buton yang sudah dianggap layak menjadi desa, pemerintahnya memberikan jalan dan solusi terbaik sehingga dusun-dusun tersebut menjadi satu desa admistratif. Hanya di Kabupaten SBB yang sampai sekarang belum terealisasi. Wacana-wacana tersebut ditebarkan saat momentum politik kian dekat. Entah sampai kapan dusun-dusun di pesisir barat Huamual dan dusun-dusun di kecamatan lainnya di Kabupaten SBB mekar menjadi desa? Tanyakan saja kepada Bupati, Pemerintah Negeri (Induk), wakil rakyat, yang dapat menjawab itu?

Desa Alih Dusun

Hingga paru tahun 1980-an kampung-kampung yang terletak di pesisir pantai barat, Seram Barat, kini petuanan Desa Luhu dan Iha, Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, secara administrasi masih bersatus desa. Status desa yang disandang oleh kampung-kampung yang mayoritas beretnis Buton itu berdasarkan pada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 140-263, merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa. 

Dasar hukum itulah, sehingga identitas kependudukan setiap warga masyarakat di kampung-kampung tersebut beralamat desa. Misalnya Desa Air Papaya yang kini merupakan dusun dari petuanan Desa Iha. Kampung ini pada tahun 1970-an sampai 1980-an masih menyandang status desa, dengan nomor registrasi 81.02.08.2030 dalam wilayah adimistrasi Kecamatan Piru, Kabupaten Dati II Maluku Tenggah. Untuk lebih terang tentang kode registrasi itu dapat dilihat pada Daftar Nama dan Kode Desa/ Kelurahan di Indonesia, yang dihimpun Marsono, 1983. Entah mengapa di tahun 1980-an status desa itu kemudian berubah menjadi Dusun Airpapaya? 

Sadar Sejarah

Dalam ingatan kolektif penduduk yang kini menempati kawasan barat Huamual yang dikenal dengan istilah kampung "19-dusun" bahwa alih status desa ke dusun terjadi seiring dengan penarikan cap-cap (stempel) desa oleh pihak pemerintah negeri (negeri induk). Ketulusan dan kepolosan para orang tua di kampung-kampung yang mayoritas beretnis Buton, membuat mereka tak begitu peduli dengan urusan admistrasi pemerintahan yang ada kampung? Kenyataan ini terjadi karena kuragnya pengetahuan tentang betapa pentinya status admistrasi tersebut. Bagi mereka yang penting kebutuhan hidup terpenuhi, aman dan damai.

Pada sisi lain, periode tahun 1960-an 1980-an, orang Buton di kawasan pesisir barat Huamual khususnya para lelaki kebanyakan berfokus pada usaha pelayaran dan perdagang maritim di Laut Jawa, sehingga di antara kaum lelaki dewasa jarang dijumpai di kampung halamannya.

Sementara penduduk yang tidak melakukan kegiatan melaut hari-hari mereka kebanyakan dihabiskan di hutan bersama keluarganya, membongkar lahan membut kebun dan tinggal di kebun sampai berbulan-bulan lamanya, sehingga jarang terlihat berada di kampung. Apalagi untuk mengurus urusan pemerintahan di kampung, suatu yang dianggap merepotkan dan membuang-buang waktu. Salah satu strategi untuk mengindari itu adalah dengan tinggal di kebun bersama keluarga dalam waktu yang lama. Tugas lelaki selain berkebun juga memancing ikan di laut. Usai kegiatan melaut dilakukan di hari itu langsung kembali lagi ke kebun. Karena itu para lelaki jarang sekali di menetap di kampung.

Singkatnya, mereka yang hidup pada masa itu banyak yang mengindari urusan pemerintah desa, apalagi dalam waktu tertentu harus berurusan dengan aparat negara, seakan ada ketakutan tersendiri ketika diperhadapakan dengan polisi dan tentara atau raja dari negeri tertentu. Hal ini terjadi karena pendidikan yang rendah dan ketidaklancaran mengunakan bahasa Indonesia, sehingga dianggap sulit bila sewaktu-waktu harus berperkara atau berpidato di depan umum mengunakan bahasa Indonesia atau Melayu Ambon Maluku.

Dalam memahami persoalan penarikan stempel, kuat dugaan karena penduduk yang menempati kawasan pesisir itu "Bukan Anak Negeri." Pandangan subjektif ini boleh jadi telah terpikirkan oleh pemerintah negeri yang menganggap sebagai pemilik hak ulayat atas dasar sejarah kawasan yang ditempati. Meski keberadaan orang Buton di kampung-kampung mereka sejak jaman parinta Walanda (pemerintahan hindia Belanda). Akan tetapi, dikotomi-dikotomi bukan anak negeri menjadi suatu dugaan kuat, dari desa beralih menjadi dusun.

Beberapa di antara nama kampung yang berada dalam kawasan Hoamual (kini Huamual) itu, dapat dibaca (tertuang) dalam dokumen Walanda, "Topografi Inrichiting, Batavia 1914." 

Dalam laporanya Brusma, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia (1945), menyebutkan bahwa di kawasan pesisir itu, banyak di jumpai pemukiman penduduk "Binongko" bersama orang Sula mereka dikenal pekerja keras dan rajin. 

Keberadaan penduduk di kawasan ini bukanlah baru. Pasalnya, kakek moyang mereka sejak masa lalu abad ke 17 ada di kawasan ini sebagai pelayar pedagang dan berkontribusi dalam mempertahankan wilayah ini dari kuasa kolonialisme VOC. Dalam sejarah konflik Belanda versus penduduk lokal, misalnya ketika Kakiali, Kapitan Hitu hendak melakukan penyerangan terhadap Kompeni Belanda pada tahun 1634, Ia meminta bantuan kepada sekutunya Makassar, raja makassar lalu mengirim bala bantuannya yg pertama 43 jung dan 2.000 prajurit mendarat di Hoamual didalamnya seperti yang ditulis pejabat pemerintah Hindia Belanda, Keuning. Terdapat 30 pasukan Buton. Bersama Gimalaha Lailato di Hoamual mereka menyerang siteru mereka Kompeni. 

Penerus perjuangan Kaliali, Kapitan Tolukabesi, sebelum dieksekusi Kompeni di Benteng Victoria, Ambon bersama para pengikutnya pernah diasingkan di wilayah terluar dari kesultanan Wolio. Sultan Buton memberikan suatu tempat di Wangi-Wangi. Gugusan kepulauan itu dikenal pula  kepulauan Toekang Besi. Suber lain menyebutkan istilah tukang besi berasal dari nama raja Hitu Tolukabesi. Fakta lain menyebutkan bahwa ketika kerajaan Iha di Saparua pada tahun 1652  mulai terjepit akibat serangan Kompeni, maka Latu Sopakua, Kapitan Iha, meminta bantuan kepada Buton bersama menyerang kompeni, meski tak berhasil mencapai puncak Kemerdekaan.    

Melangkah maju sedikit ke depan, ketika Jepang mulai terjepit akibat desakan pasukan Sekutu yang berakhir dengan kemerdekaan Indonesia (1945). Di Maluku Jepang didesak dan diserang oleh kaum pemuda pembela tanah Air, banyak pemuda Buton dari pantai barat Hoamual ikut terlibat mengusir Jepang, termasuk menjadi pasukan pembantu (pengantra makanan) ABRI ketika menumpas gerakan seperatis di seram Bagian Barat, untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Masih banyak lagi peristiwa heroik lainnya dalam sejarah masyarakat pesisir Hoamual. Lantas mereka masih berada dalam cengkraman kuasa wacana bukan anak Negeri, meskipun mereka lahir dan besar di negeri yang mereka tinggali kini. Sadar sejarah untuk bangun negeri, menata masa depan.

Dikotomi Harus Diakhiri

Dikotomi asli dan pendatang harus diakhiri. Tutuntutan Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, sebetulnya telah mengisyaratkan bahwa secara kuantitas kampung-kampung yang masih berstatus dusun itu telah layak menjadi desa. Karena itu pemeritah daerah sebagai pemegang kewenangan harus mencari format yang baik agar status desa administratif segera terwujud, tampa mengabaikan mencedrai hak ulayat yang juga mendapat jaminan kepastian hukum adat. Belajar dari sejarah kebersaman orang dahulu.

Untuk mewujudkan itu, dibutuhkan peran pemerintah daerah sebagai pemberi solusi kemajuan. Pemerintah daerah, pemerintah negeri bersama-sama tokoh adat, tokoh masyarakat harus duduk berunding, dan mengandeng wakil rakyat bergandeng tangan harus bisa mencari format yang baik, mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi tatanan adat istiadat orang Maluku demi mewujudkan kesejateraan masyarakat.

Perlu diingat bahwa kampung-kampung yang berstatus dusun itu, penduduk dan wilayahnya akan terus berkembang, juga menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks, sehingga kebebasan mengatur admistrasi negerinya penting bukan hanya soal dana desa, tetapi sebagai wujud dari implematasi visi pemerintah negeri ini bahwa membangun bangsa dan negara di mulai dari desa. Jangan lagi ada dikotomi, hentikan janji politik kosong.*** (KR).

 


Share:

Unordered List

3/sosial/post-list

Latest blog posts

3-latest-65px

BTemplates.com

3/sosial/col-right
Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Statistik Pengunjung

Ekonomi

3/ekonomi/col-left

Publikasi

3/publikasi/feat-list

Error 404

Sorry! The content you were looking for does not exist or changed its url.

Please check if the url is written correctly or try using our search form.

Recent Posts

header ads
Ag-Historis

Text Widget

Sample Text

Pengikut

Slider

4-latest-1110px-slider

Mobile Logo Settings

Mobile Logo Settings
image

Comments

4-comments

Budaya

budaya/feat-big

Subscribe Us

Recent Posts

sejarah/hot-posts

Pages

Popular Posts