Subscribe Us

header ads

Mencari Pemimpin Ideal untuk Indonesia

 

Oleh: ARWAN WABULA

Ketua PD HIMA PERSIS Jakarta Timur


Menjelang perhelatan Pemilihan Umum (pemilu) pada 2024 mendatang. Sangat perlu kiranya untuk mengadakan pembinanan dan pembekalan pendidikan politik kepada masyarakat. Sebelum hajatan demokrasi langsung itu digelar. Pesta rakyat itu diasumsikan sebagai sarana pencarian sosok pemimpin yang ideal untuk masa depan Indonesia. Pendidikan politik dianggap perlu dengan melibatkan lembaga yang berwenang dan para insan akademisi diperguruan tinggi, guna mengedukasi masyarakat dalam memahami pemilu yang berkualitas.

Para elit politik bukan sebatas mengajak rakyat untuk meyalurkan hak pilihnya dibilik suara. Akan tetapi, perlu juga dibekali pemahaman politik agar  memiliki kemampuan dalam menentukan sosok figur pilihannya, dapat membawa arah kepemimpinan negara rasional dan objektif. Pasalnya kualitas pemilih dalam penyelenggaraan pemilu akan melahirkan pemimpin yang berkualitas pula. Dengan demikian, penyadaran masyarakat akan konsepsi sosok pemimpin ideal menjadi tuntutan dan keharusan, dengan cara memberikan edukasi secara konsekuen. Hal ini akan berimplikasi signifikan bagi kualitas demokarsi elektoral Indonesia. Menganulir dari pada kekacuan dan kegagalan dalam penyelenggaraan pemilu, seperti pada pemilu 2019 silam.

Sebuah fase pemilu yang dianggap gagal berdasarkan data yang dilansir sejumlah media cetak dan elektronik. Terdapat ratusan petugas pemilu meninggal dunia, hingga sejumlah aparat negara tewas akibat kelelahan mengawal bilik suara. Sebab sistem penyelangaraan pemilu yang dijalangkan serentak. Lima pemilihan secara bersamaan, yakni pemilihan presiden dan wakil prasesiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Pemilu 3 tahun yang lalu itu, merupakan pemilu yang paling kelam dalam perjalanan sejarah demokrasi elektoral sejak bergulirnya reformasi.

Melahirkan Pemimpin Ideal

Penurunan kualitas pemilu tersebut menunjukkan pergeseran pola demokrasi elektoral, menjadi demokrasi yang cacat (flowed democrasy). Efek dari minimnya literasi masyarakat terhadap konsepsi sosok pemimpini deal, sehingga pada setiap kontestasi pemilu tidak melahirkan sosok pemimpin yang mampu membawa masyarakat yang adil dan makmur. Sebagaimana yang dicita-citakan oleh konstitusi negara.  Mengutip ungkapan akademisi Universitas Padjadjaran Caroline Paskarina, “bahwa demokrasi elektoral melalui pemilu tidak melahirkan pemimpin yang mensejaterakan rakyat.” Pernyataan itu merupakan kausal dari penjelasan sebelumnya, yaitu minimnya literasi masyarakat yang menjadi salahsatu fakor utama dalam memahami konsepsi pemimpin ideal.

Di sisi lain problematika dari pada pasangan calon dalam kontestasi pemilu yang tidak berkompetitif dengan narasi, konsep dan gagasan yang menjadi salah satu faktor mempengaruhi buruknya penyelenggaraan pemilu. Begitupun dengan organisasi partai politik yang dominan dalam mengusung figur khususnya yang bertalian dengan pemilihan presiden (pilpres). Menjadi penilaian prioritasnya elit dan partai politik adalah figur popularitas serta mengutamakan partikularis medan kepentingan oligarki. Ketimbang pendekatan yang rasionalitas dan objektifitas terhadap sosok figur yang akan disajikan di tengah-tengah masyarakat luas pada saat kontestasi pemilu berlangsung.

Fenomena pemilu sepadan itu merupakan sesuatu yang rumit di masyarakat akar rumput. Pasalnya adanya permainan politik kebencian, saling menghasut hingga memicu ketegangan dan stabilitas sosial. Kampanye hitam (black campaing) disebarkan, di rencanakan, diarahkan dan dikelola melalui intrumen media sosial dan jejaring teknologi lainya yang dilakukan dengan rapi oleh sebagian besar para politisi di negeri ini. Begitupun dengan transaksi politik uang (money politic), menyebabkan tidak sehatnya demokrasi untuk melahirkan pemimpin yang ideal.

Demokrasi elektoral perlu dimaknai bukan hanya sebatas menjadi instrumen untuk kontestasi kekuasaan belaka, tetapi harus menjadi instrumen yang dapat menghadirkan sosok figur pemimpin yang dapat mensejahterakan rakyat. Penyelenggaraan pemilu 2024 nanti, diharapkan melahirkan kepemimpinan yang dapat mendekatkan kepada kesejahteraan rakyat dan mampu membawa bangsa ini lebih baik  dan maju.

Di tengah-tengah situasi persoalan kebangsaan yang melanda dari berbagai aspek, baik mengusiknya persatuan, pendidikan, kemiskinan, pengangguran dan degradasi moral bangsa yang melahirkan budaya korupsi di setiap unsur lembaga negara, belum lagi tantangan global yang bergejolak yang mengakibatkan krisis ekonomi yang melanda hampir seluruh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia di dalamnya. 

Krisis geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang masih belum menemukan titik terangnya, berimbas signifikan untuk stabilitas global. Bergeser krisis geopolitik di kawasan Asia Pasifik, juga menjadi ancaman untuk eksistensi Negara Republik Indonesia sebagai negara kawasan Asia Pasifik. Persoalan perubahan iklim ekstrem, juga menjadi ancaman serius untuk keberlangsungan hidup manusia (sustainabel)  di masa yang akan datang.

Dari berbagai permasalahan kusial itu mengharuskan kita untuk mencari sosok pemimpin ideal untuk Indonesia nanti. Pemimpin yang memiliki kemampuan mumpuni dalam mengobati persoalan kebangsaan. Mampu mamangani persoalan global yang menjadi idealisme dalam pembukaan UUD 1945, yakni ikut serta dalam ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pertanyaan kemudian seperti apa pemimpin ideal dalam konteks Indonesia?

Pemimpin Ideal dalam Islam

Untuk menjawab pertanyaan di atas bagi seorang muslim yang taat sudah barang tentu mengacu pada sumber ajaran Islam. Al-Quran dan As- Sunnah, sebagai pedoman sekaligus pandangan hidup (Way oflife) yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Baik  yang berhubungan dengan Tuhan (vertikal), maupun hubungan sesama manusia (horizontal). Salah satu diantaranya mengatur masalah kepemimpinan di pemerintah. Dalam Islam, mayoritas ulama menyepakati, bahwa pemimpin adalah abdi masyarakat. Sebab, kepemimpinan sesungguhnya merupakan amanah (titipan) yang suatu saat akan di pertanggung jawabkan dan di ambil wewenangnya.

Substantif kepemimpinan dalam prespektif Islam merupakan sebuah amanat yang harus diberikan kepada orang yang benar-benar ahli (kapabilitas), berkualitas yang memiliki tanggung jawab yang jelas dan benar, berintegritas serta adil. Inilah kriteria yang Islam tawarkan dalam memilih seorang pemimpin yang sejatinya dapat membawa masyarakat kepada kehidupan yang adil dan makmur.

Disamping itu, pemimpin harus orang yang bertaqwa kepada Allah SWT. Ketaqwaan sebagai standarisasi dalam melihat sosok pemimpin yang benar-benar akan menjalankan amanah. Sifat amanah inilah, yang menjadi salah satu prinsip kepemimpinan yang dimiliki Nabi Muhammad SAW. Sebagai pemimpin umat, Nabi SAW memliki empat ciri kepemimpinan yang harus diteladani bagi setiap muslim, empat ciri tersebut yaitu : Shidiq (jujur), fathanah (cerdas dan berpengetahuan) amanah ( dapat dipercaya) dan tabligh ( komunikatif ).

Dari empat ciri kepemimpinan Nabi Muhammad diatas dapat kita cermati dalam pengambilan kebijakan dan tingkah laku beliau sehari-hari, baik sebagai pemimpin umat sekaligus pemimpin masyarakat dan negara (Madinah) kala itu. Namun begitu sifat kepemimpinan beliau dan juga para sahabat dalam konteks ini para Khulafaur Rasyidin yang dapat dijadikan cermin oleh semua pemimpin saat ini (kontempoer). Mereka senantiasa mengabdi, menerima keluh-kesah, memfasilitasi, dan siap jadi budak rakyatnya, bukan sebaliknya menjadi tuan bagi masyarakatnya(feodalisme).

Kepemimpinan ideal bagi seorang muslim sudah tentu yang mengamalkan empat sifat nabi Muhammad diatas dan sahabat (Khulafaur Rasyidin). Dari sahabat nabi kita dapat mengambil teladan dari sosok Abu bakar Shidiq, yang tercermin dari pidatonya saat beliau diangkat sebabagai pemimpinumat, berikut kutipannya :

“Wahai manusia! Aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukan orang yang terbaik diantaramu. Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutlah) aku, tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah. Orang yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hakdaripadanya. Sedangkan orang yang kamu lihat lemah, aku pandang kuat sampai aku dapat mengembalikan haknya kepadanya. Maka hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasulnya, namun bilamana aku tidak mematuhi Allah dan Rasulnya, kamu tidak perlu mematuhiku, berdirilah untuk sholat, semoga rahmat Allah meliputi kamu.”

Pidato Khalifah Abu Bakar tesebut memiliki poin-poin penting yang dapat dapat dipetik, yakni pertama, Kerendahan hati Abu Bakar yang mengakui terhadap dirinya bukan yang terbaik dari yang lain (tawadhu), kedua, Membantu dalam hal kebaikan dan memberikan kritikan jika berlaku salah (terbuka dikritik), ketiga, Prinsip kesetaraan dalam masyarakat tanpa memandang kelas (keadilan sosial), keempat, Pengabdian hanya kepada Allah dan Rasulnya dan tidak ada ketaatan dalam kezaliman.

Konsepsi pemimpin ideal menurut Imam Al-Ghazali adalah pemimpin yang memiliki intelektualitas yang luas, pemahaman agama yang mendalam, dan memiliki akhlak mulia, mampu mempengaruhi lingkungan yang dipimpin serta memiliki kemampuan dalam menyelesaikan kehancuran dan kerusakan dalam sebuah bangsa, serta membawa masyarakat yang adil dan makmur dengan menjunjung tinggi keilmuan, juga moral yang berasaskan agama. Dari uraian tersebut konsepsi imam Al- Ghazali terhadap pemimpin ideal tidak terlepas dari cerminan kepemimpinan nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, sebab kriteria yang dikemukakan Al-Ghazali persis apa yang dijelaskan sebelumnya.

Dari rangkaian syarat-syarat model kepemimpinan diatas, dapat ditarik intisarinya, bahwa model kepemimpinan ideal dari prespektif Islam yang menjadi syarat pertamanya, Kecerdasan intelektualitas, pemimpin harus memiliki intelektual tinggi, sebab pemimpin harus mampu merancang konsep dan gagasan sebagai peta dalam membangun sebuah bangsa, juga kemampuan menganalisis permasalahan dan memecahkan permasalahan dengan cepat, dan dalam mengimplementasikan kebijakan dengan tepat dan terukur (presisi).

Menurut Yudi Latif kedekatan antara negara dan kecerdasan intelektual, dan bahwa keselamatan negara di tentukan oleh kecerdasan pemimpin.kedua, Kecerdasan emosional, dimaksud dengan kecerdasan emosional disini adalah pemimpin harus memiliki sikap melayani masyarakatnya dan terbuka untuk di berikan kritik dengan kata lain tidak anti kritik (demokratis), peka terhadap kondisi dan kebutuhan rakyat, pemimpin juga  harus memiliki keterampilan komunikatif yang baik dihadapan publik selain itu juga penguasaan bahasa universal.

Ketiga, kecerdasan Spritualitas; kecerdasaan ini penting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Dalam Islam kepemimpinan dimaknai sebagai perwujudan dan pengabdian kepada Tuhan. Kepemimpinan yang memiliki kecerdasan spritual akan berbasis pada etika religus. Inilah yang dimaksudkan akhir dalam pidato Abu Bakar setalah diangakat jadi pemimpin dan juga konspesi Imam Al Ghazali. Kecerdasan spritual bukan hanya memiliki pemahaman keagamaan, tetapi dijadikan sebagai pangkal moral, dan dalam prakteknya nilai-nilai religus akan mengilhami prilaku dan sikap seorang pemimpin, dengan memegang teguh kejujuran, menegakan keadilan sosial, semangat beramal shalaeh, dan kerendahan hati.

Dari tiga poin kesimpulan singkat diatas dapat menjadi acuan bagi seorang muslim dalam menentukan kriteria pemimpin yang ideal untuk Indonesia yang akan datang. Saat ini problem yang kita hadapi terhadap figur kepemimpinan adalah krisis spritualitas. Tidak heran kemudian kebohongan dan kejujuran tidak dapat kita komposisikan dari keduanya. Jadi, sebuah kesalahan dalam penilaian apabila kreteria pemimpin di lihat dari prespektif popularitas dan dukungan partai politik, apalagi dilihat dari kerutan wajah dan warna rambut yang merupakan penilaian amatiran dan lelucon yang jauh dari akal sehat, kriteria pemimpin seperti ini kata Komarudin Hidayat, merusak cita-cita luhur kemerdekaan dan demokrasi. 

Kita juga harus menghindari orang-orang yang berambisi menjadi pemimpin-penguasa yang memanfaatkan celah titik lemah demokrasi untuk meraih suara rakyat dengan cara membeli dan membodohi rakyat. Oleh karena itu menjelang pemilu 2024 nanti. Mari kita pilih pemimpin bangsa yang yang tepat sebagaimana dicontohkan nabi dan para sahabat, demi mewujudkan kesejahteraan dan kemajuaan bangsa Indonesia. ***

Editor : K.R

Posting Komentar

0 Komentar