Menyajikan Data Mengungkap Fakta Menjadi Sejarah

Sejarah

3/sejarah/post-list
Tampilkan postingan dengan label ekonomi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ekonomi. Tampilkan semua postingan

Seminar Hatta-Sjahrir: Mendialogkan Sejarah dan Parawisata Banda

Gubernur Maluku sedang mengikuti kegiatan Seminar Nasional Vestival Hatta-Sjahrir di ruang kerjanya melalui meting zoom (Sumber Foto : RRI Ambon )

Kegiatan Vestival Hatta-Sjahrir Tahun 2021 yang dirangkai dengan Seminar Nasional Banda Naira: Romantisme Masa Lalu Kejayaan Masa Depan,” berlangsung pada Kamis (12/08) Pagi hingga Siang, sangatlah menarik. Memang sungguh menarik perhatian publik, pasalnya mendialogkan tokoh pergerakan Nasional Muhammad Hatta dan Sutan Sjahrir oleh mereka yang kini juga menjadi tokoh lokal dan tokoh nasional.

Sebut saja Menteri Parawisata dan Erkaf/Bidang Parawista Ekonomi Kreatif Dr. Sandiaga Salahudin Uno, anak mendiang Bung Hatta Prof. Mutiah Hatta, anak mendiang Bung Sjahrir Siti Rabiah Parvavti Sjahrir, Sejarawan Ridwan Saidi, Antropolog Prof. Mushuliselan, Gubernur DKI Jakarta Prof Anis Baswedan, Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah, Gubernur Maluku Irjen Pol (Porn) Drs. Murad Ismail, Bupati Kabupaten Maluku Tenggah yang di wakili Wakil Bupati Marlatu L. Leleury, SE., dan tokoh Banda Naira sekaligus Ketua STP & STKIP Hatta Sjahrir Dr. Muhammad Farid, M.Sos. Dialog ini dipandu akademisi Unpatti Ambon Dr. Jusuf Madubun, M.Si, serta sejumlah Forkopimda Maluku para dosen dan mahasiswa turut hadir sebagai peserta dalam tatap maya itu.

Dialog ini memang sangat bergensi tinggi. Pasalnya merupakan rangkaian agenda lokal bertaraf nasional, menjelang Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-76 yang jatuh pada tanggal 17 Agustus pekan depan. Buntung agenda bertaraf nasional kali ini berada pada masa pandemi Covid-19, sehingga banyak acara yang dipusatkan di Banda Naira, batal dilaksanakan. Termasuk diantaranya acara ekspedisi Jalur Rempah dengan titik nolnya di negeri rempah ini.

Pikiran yang muncul dibenak mereka pemangku kepentingan, momentum ini adalah kesempatan emas bagi pengembangan parawisata lokal dan prmosi ekonomi kreatif masyarakat melalui Usaha Mikro Kecil dan Meneggah (UMKM) di Banda Naira. Akan tetapi, masyarakat akar rumput lebih banyak yang pesimis. Bahkan ada yang bilang setiap momentum lokal bertaraf nasional masyarakat hanya mendapat ampas dari impas atas hajatan yang menelan biaya besar itu. Asumsi pesimis itu hadir disandarkan pada pengalaman terdahulu. Banyak agenda nasional yang dipusatkan di Banda Naira, akan tetapi hanyalah momentum sesaat dan setelah itu maka selesai sudah. Sebut saja Sail Banda. Dampak kesejateraan belum terasa untuk masyarakat Banda dari agenda yang menelan kepeng banyak itu, misalnya yang paling urgen adalah soal akses jalan lingkar pulau Banda Besar  yang telah rusak dan belum ada perhatian pemerintah hingga saat ini.

Kembali lagi ke topik. Cukup menarik perhatian dalam diskusi itu adalah paparan dari Prof. Muttiah Hatta mewakili keluarga tokoh Proklamator Bangsa Indonesia Muhammad Hatta. Anak mendiang Bung Sjahrir Siti Rabiah Parvavti Sjahrir sebagai pembicara. Tak lupa pula Gubernur Sumatera Barat mendapat porsi untuk menyampaikan gagasan dari dua bung pendiri bangsa karena mereka saudara sedaerah. Juga hadir Gubernur DKI Jakarta Anis Rasid Baswedan, ternayata diam-diam menjadi pengagum kedua tokoh pemikir bangsa yang pernah dibuang Belanda itu. Bahkan hingga kini orang nomor satu di DKI Jakarta tersebut, masih menyimpan koleksi buku tentang Hatta dan Sjahrir yang dikaguminya sejak masa kecil. Ia suka membaca pikiran sang ekonom Bung Hatta dan seorang sosialis Bung Sjahrir. Bahkan untuk membuktikan kekaguman itu, Anis menujukan beberapa buku koleksinya tentang Hatta dan Sjahrir kepada seluruh peserta seminar di ruang tatap maya. Sungguh luar bisa.

Tentu tak mungkin ditinggalkan gubernur Maluku selaku tuan rumah penyelengara kegiatan vestival tahun ini. Drs. Jendral (Purn) Murad Ismail dalam gagasannya sangat menekankan pentingnya pengembangan parawisata dan ekonomi kreatif masyarakat melalui UMKM di Banda Naira. Pasalnya daerah Maluku khususnya Banda Niara merupakan kawasan parawisata yang sangat potensial di Indonesia bagian Timur.  

Gagasan itu tak tanggung-tangung disampaikan di ruang tatap maya, bahkan sempat menyelip pembicaraan Gubernur Anis Baswedan ketika gilirannya menyampaikan gagasanya tentang sosok tokoh Hata-Sjahrir. Saking semangatnya gubernur Jenderal Maluku ini, hanya untuk mengingatkan kembali pentingnya potensi parawisata lokal menjadi parawisata nasional kepada tokoh Nasional di Jakarta. Paling tidak mendapatkan perhatian dan sinergi di antara tokoh lokal dan nasional dalam membangun Maluku khusunya Banda Naira, sebagai kawasan destinasi wisata.

Itulah sebabnya, selaku anak dari Sang Proklamator Bangsa Indonesia Mutia Hatta, mewakili keluarga Bung Hatta dan Bung Sjahrir dalam penutup materinya berharap, melalui seminar dan vestival yang mengangkat Parawisata Kelauatan sebagai bagian dari parawisata Nasional ini dapat dikembangkan dalam kerja sama antar kepala daerah di Indonesia, dengan mengerakan semangat pemuda Indonesia, yang kelak pada tahun 2045 akan menjadi para pemimpin dan pelaku pembangunan nasional dan daerah. Tampa menanamkan perasaan cinta dan bangga kepada tanah air, a.l “melalui strategi pembangunan parwisata nasional dan pendidikan nasional yang tepat untuk membangun krakter bangsa yang tangguh, mereka tak akan bisa optimal dalam membangun bangsa dan tanah air Indonesia di masa depan.” Demikian Anak Bung Hatta itu menutup makalahnya.

Pada prinsipnya pemimpin nasional dan daerah harus mengerakan semangat pemuda yang pada tahun-tahun mendatang yang akan menjadi pemimpin bangsa dan pelaku pembangunan nasional dan daerah, dengan perasaan cinta dan bangga kepada tanah air. Termasuk mengerakan kepentingan pengembangan parawisata dinegeri pengasingan Bung Hatta dan Sjahrir di Banda Naira. Tampa mengabaikan tinggalan-tinggalan sejarah yang juga menarik wisatawan untuk menikmati wisata sejarah. Banda Naira memiliki banyak potensi parawisata yang belum dikelolah secara optimal baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Negeri Andan Sari itu terabaikan dan diwacanakan hanya sesaat, saat agenda nasional itu ada apanya? ** (K.R).

Share:

Jibu-Jibu Penopang Ekonomi Kawasan di Maluku

 


Perempuan di pesisir pantai barat, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Provinsi Maluku, dianggap memiliki perperan penting dan strategis dalam membangun kekuatan ekonomi kota kabupaten dan provinsi. Pasalnya aktivitas usaha mereka di ruang publik bukan hanya sekedar untuk menopang biaya hidup keluarga, akan tetapi menjadi pemacu gairah ekonomi kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku Tenggah dan Kota Ambon. Komunitas perempuan yang dikenal dengan jibu-jibu itu dianggap sangat berkontribusi terhadap berbagai sektor usaha barang dan jasa di daerah itu. Jibu-jibu merupakan istilah lokal yang digunakan masyarakat di pesisir pantai barat, Seram Bagian Barat, setiap saat untuk menyebut perempuan khususnya mama-mama yang berpofesi sebagai pedagang kecil (peet trades), baik untuk perempuan peet trades yang bergerak pada usaha jual-beli komoditas hasil pertanian masyarakat, maupun usaha jual-beli ikan hasil tangkapan nelayan yang diperoleh dari kampung dan di pasarkan ke kota.

Penyebutan istilah jibu-jibu ini sebagai bentuk penegasaan dari kata ibu, yang berarti sebutan untuk perempuan dewasa, khususnya di kawasan pesisir itu memang faktanya tidak disandingkan kepada perempuan yang berprofesi sebagai peet trades dengan komoditas utama berupa bahan sembako atau pedagang butik eceran. Meskipun aktivitas perdagangan itu juga diperankan oleh kaum perempuan. Itulah sebabnya, istilah ini lebih khusus melekat pada komunitas perempuan yang melakukan aktivitas usaha dagang skala mikro dengan komoditasnya hasil pertanian, berupa sayur-sayuran atau ikan hasil tangkapan nelayan yang di peroleh dari kampung dan dipasarkan demi mendapatakan surflus.

Bagi penduduk di Maluku Tengah dan Pulau Ambon pada umumnya menyandingkan istilah jibu-jibu khusus kepada perempuan yang berperan sebagai penjual ikan. Sedangkan bagi perempuan penjual hasil pertanian berupa buah-buahan atau sagu di emperan Ruko atau berkeliling kampung atau dilorong-lorong kecil menyebutnya papalele. Akan tatapi, bagi penduduk di pesisir pantai barat SBB menyebut istilah itu melebar ke ruang-ruang usaha yang diperankan perempuan peet trades dengan komoditas hasil pertanian yang diperoleh dari kampung ke kota atau sebaliknya, yang kebanyakan diperankan oleh kaum perempuan beretnis Buton. Sedangkan untuk jibu-jibu yang berperan pada usaha jual beli ikan hasil tangkapan nelayan, aktifitas mereka hanya berfokus pada jual-beli ikan saja, sehingga mereka tidak menangkap peluang dalam melakukan usaha jual beli pada komoditas hasil pertanian. Meskipun di antara mereka ada yang memiliki lahan pertanian. Sebaliknya, jibu-jibu yang berperan sebagai pedagang hasil pertanian tidak melebarkan usahanya sampai jual beli hasil tangkapan nelayan. Pada titik inilah terjadi klasifikasi komiditas usaha dagang yang diperankan oleh perempuan jibu-jibu.

Peran usaha perempuan jibu-jibu dapat diklasifikasi menjadi dua bagian : pertama komunitas jibu-jibu yang bergerak pada jual beli hasil tangkapan pelaut (perikanan) dan kedua, jibu-jibu yang melakukan aktifitas jual beli hasil usaha petani (pertanian). Hal ini menunjukan bahwa jibu-jibu di pesisir pantai barat SBB yang banyak diperangkan orang Buton telah menunjukan eksistensinya dengan menempatkan peluang usaha mereka pada tataran yang seimbang antara potensi laut dan darat, yang diilhami oleh ideologi barata (perahu bercadik ganda) dalam falsafah hidup orang Buton perantaun.

Kedua komunitas jibu-jibu itu pun berbeda dari segi menagangkap peluang bisnis, namun mereka adalah perempuan hebat pantang menyerah yang berani keluar dari sekat-sekat domestik ke rana publik demi menghidupi keluarga dan kemajuan pembangunan daerah. Konsentrasi jual beli yang dilakukan oleh komunitas jibu-jibu yang bergerak pada usaha perikanan mengunakan dua pola, pertama: papalele, kedua: Penjualan langsung ke pemborong. Pola papalele dilakukan dengan cara, jibu-jibu akan berdagang keliling dengan menjunjung daganganya di atas kepala lalu mengkampanyekannya agar diketahui pembeli, sehingga dapat laku terjual dengan cepat. Kegiatan papalele ini dilakukan dari satu kampung ke kampung yang lain demi mendapatkan sedikit keuntungan. Itulah sebabnya, bila ikan junjungan yang didagangkan di kampung-kampung Negeri (penduduk lokal), misalnya tidak habis terjual kadangkala di barter dengan komoditas pangan lokal seperti Sagu sehingga memiliki nilai tambah secara ekonomis untuk kebutuhan hidup keluarga dan mengurangi resiko kerugian.

Komoditas yang diperdagangkan kadangkala merupakan hasil produksi pertanian yang diusahan oleh mereka sendiri. Pada titik ini perempuan yang berprofesi sebagai jibu-jibu tidak hanya berperan sebagai distributor barang dagangan dalam skala makro, tetapi juga produsen dari hasil usaha dagangnya tersebut. Pendek kata, mereka sebagai pedagang juga petani, tampa mengabaikan tugas mereka sebagai ibu rumah tangga. Hal ini dilakukan agar mereka mendapatkan surflus yang berkelebihan demi menujang kebutuhan hidup keluarganya dan pempertahankan eksistensi barang dagangan di pasar lokal.

Penopang Kekuatan Ekonomi Kota

Perempuan Jibu-jibu dari pantai barat Seram memiliki perananan penting dan strategis dalam membangun kekuatan ekonomi lokal, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan masyarakat setempat. Akan tetapi lebih dari itu, jibu-jibu berperan penting sebagai puyumbang pendapatan perkapita masyarakat yang bekerja pada sektor formal, seperti pelayar Speet Boat, buruh pelabuhan, Sopir Angkot dan sebagainya. Bahkan lebih dari itu, mereka menjadi salah satu pendongkrak pendapatan Asil Daerah (PAD), Kabupaten Maluku Tengah dan Kota Ambon, melalui restribusi jasa pelabuhan dan pajak yang mereka bayar setiap kali melakukan aktivitas jual-beli di kawasan tersebut.

Dalam menjalangkan aktifitasnya, komunitas jibu-jibu ini memiliki peran ganda. Selain sebagai distributor barang juga menjadi produsen dari komoditas yang diperdagakan. Pasalnya masing-masing dari mereka mempunyai lahan (kebun) yang dapat menghasilkan kebutuhan barang dagangan yang bisa di pasarkan ke kota. Produksi hasil pertanian seperti Cili (cabay rawit), Sarey, Lengkuas, Kunyit, Tomat, Sayur Ganemong, Sayur Mati, Lemon Cina, Daun Lemon 88, Pisang, merupakan komoditi unggulan yang separuh dihasilkan dari usaha kebun mereka sendiri atau diperoleh dengan cara dibeli dari masyarakat petani di pesisir pantai barat SBB kemudian didistribusikan ke kota Ambon melalui Pelabuhan Tahoku, Hila, dengan mengunakan jasa trasportasi penghubung antar pulau, yakni speet boat.  Namun tak jarang mereka pun seringkali mendapatkan tekanan dan perlakukan kasar dari petugas pemerintah hanya karena tak memiliki tempat julan tetap. Merekapun dianggap penghambat arus lalulitas oleh karena kebanyakan mereka memanfaatkan badan jalan sebagai tempat dagang berpindah di pasar-pasar tradisional di kota Ambon.

Pencipta Lapangan Kerja Untuk Lelaki

"Keberhasilan laki-laki terdapat perempuan hebat di belakangnya." Pepata lama ini telah memberikan pandangan bahwa perempuan hanya berada di belakang kesuksesan lelaki. Sehingga tampa memiliki peran lain, selain mengasuh anak dan melayani suami. Perempuan hanya mampu bekerja disektor domestik, tampa bisa masuk ke rana publik dan menciptakan peluang usaha kepada laki-laki. Namun, pernyataan lama ini tidak bisa lagi dijadikan dasar pijakan dalam menghadari era saat ini. Apalagi disandingkan kepada perempuan jibu-jibu. Pasalnya jibu-jibu menjadi garda terdepan dalam menciptakan peluang usaha kepada laki-laki.

Kegiatan jubu-jibu hampir setiap hari, telah menciptakan peluang bisnis baru bagi kaum laki-laki yang bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) speet boat lintas barat Seram, buruh pelabuhan dan sopir angkot. Pekerja laki-laki itu dengan mudah mendapatkan keuntungan dari jasa yang diaediakan dan sistem sewa muatan, baik muatan orang maupun muatan barang. Itulah sebabnya kehadiran jibu-jibu di pelabuhan Tahoku telah membuat aktifitas pelabuhan pun menjadi ramai dan lancar ketika terjadi arus barang ke luar masuk pelabuhan.

Kemudian mayarakat lokal yang bekerja sebagai buruh di pelabuhan tersebut, mendapatkan penghasilan tambahan dari jasa pikul barang masuk dan ke luar pelabuhan. Demikian pula Angotan Umum (Angkot) Hila-Ambon juga mendapat keuntungan dari arsus penumpang barang dan orang. Apabila barang dagangan mereka tidak ditangani pemborong di kota Pelabuhan itu, biasanya kelompok jibu-jibu ini menyewa sebuah mobil pikc upp dengan sistem patungan ketika muatan mereka berkelebihan. Akan tetapi, bila barang dagangan tidak terlalu banyak mereka memilih menggunakan Angkot sebagai traspotrasi penghubung menuju kota bersama penumpang lainnnya. Karena itulah dapat dikatakan bahwa jibu-jibu di pantai barat sbb penopanag ekonomi tiga kawasan di Maluku.

 

Share:

AKULTURASI KEBUDAYAAN ISLAM DI NUSANTARA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK SOSIAL DAN BUDAYA


KATA PENGANTAR

Mendahului kata pengantar ini, penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa Pengasih Lagi Maha Penyayang atas limpahan rahmat-Nya sehinga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini disusun dengan maksud untuk menambah bahan pengetahuan tentang “Akulturasi Kebudayaan Islam Dalam Persingunganya Dengan Kebudayaan Lokal Dalam Perspektif Ekonomi Politik Sosial Dan Budaya.”
Kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan budaya setempat, memudahkan Islam masuk ke lapisan paling bawah dari masyarakat. Akibatnya, kebudayaan Islam sangat dipengaruhi oleh kebudayaan petani dan kebudayaan pedalaman, sehingga kebudayaan Islam mengalami transformasi bukan saja karena jarak geografis antara Arab dan Indonesia, tetapi juga karena ada jarakjarak kultural.
Proses kompromi kebudayaan seperti ini, tentu membawa resiko yang tidak sedikit, karena dalam keadaan tertentu seringkali mentoleransi penafsiran yang mugkin agak menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, maka akhir kata penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari pembaca demi menyempurnakan penulisan makalah ini. Semoga penulisan ini bermanfaat bagi pembaca.

Makassar,   16 Juni 2015

Penulis:  K.R



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejarah  kehadiran Islam di Nusantara tidak terlepas dari perdagangan maritim. Sebab, misi utama para saudagar Arab, Persia dan India Islam adalah berdagang, sehingga ke datangan mereka bukanlah untuk menaklukan wilayah Nusantara, seperti orentasi siar Islam dalam misi Khilafah Islamiah yang terjadi di Eropa, ditegakan dengan jalan ekspansi (penaklukan) wilayah. Namun motivasi siar islam ke Nusantara lebih pada dorongan  individu dalam konteks perdagangan maritim. Karena dari individulah, islam itu tersiar dengan cara damai. Budaya maritim merupakan kontak Islam, sedangkan Hindu-Budha adalah agraris.
Sejak dikenalkannya jalur perdagangan laut di Asia Abad 1 Masehi, Nusantara bagian barat memetik manfaat dari interaksi perdagangan maritim. Disepanjang jalur itu terbentuk kantong-kantong niaga (imporium) yang berkembang menjadi kekuatan politik yang besar (emporium). Dalam proses itu, tersiar agama Hundu dan Budha, kemudian Islam dan Kristen (Hamid, 2013). Dalam konteks penyiaran agama, Islam diperkenalkan oleh para pedagang (da’i/muballigh) dari Arab, Persia dan India. Hasil dari kontak dagang dengan penduduk lokal, Islam dipertemukan dengan agama dan kepercayaan masyarakatnya lokal dengan penganut Hindu, Buddha dan penganut animisme dan dinamisme (Harmoni, 2012).
Dalam proses Islamisasi itu, berjalan dengan aman dan damai, tanpa pergolakan dan kegoncangan psikologis dan sosial yang berarti. Hal ini karena para Wali menggunakan pendekatan mistik dan kultural yang kental dengan simbol-simbol kebudayaan lokal, seperti melalui media perwayangan dan gamelan. Menurut Purwadi, akulturasi kebudayaan yang dipelopori oleh Wali Songo, dilanjutkan oleh para juru dakwah generasi berikutnya, sehinggga praktik Islam terlihat khas di Jawa. Di sini agama dan budaya berjalan secara selaras, serasi dan seimbang (Purwadi dan Enis Niken H, 2007: v dalam Asri, 2012: 9).
B.     Fokus Permasalaan
Agar tidak bias dalam mengkaji Akulturasi kebudayaan islam seperti judul yang terdapat dalam makalah ini, maka perlu mendapat  pijakan pengkajian, dengan fokus permasalahan dengan penegasan pertanyaan yaitu sebagai berikut: 
a.      Bagaimana Konsep Akulturasi Kebudayaan  Islam di Indonesia?
b.      Bagaimanan Persingungan kebudayaan Islam dan Kebudayaan Lokal?
c.       Bagaimanan Akulturasi Kebudayaan Islam dalam Perspektif Ekonomi, Politik, Sosial-Budaya?
C.    Tujuan Penuulisan
Penulisan makalah ini bertujuan yaitu sebagai berikut:
a.       Untuk mengkaji dan mengetahui Konsep Akulturasi Kebudayaan  Islam di Indonesia?
b.      Untuk mengkaji dan mengetahui bagaimanan persingungan kebudayaan islam dan kebudayaan lokal?
c.       Untuk mengkaji dan mengetahui Bagaimanan Akulturasi Kebudayaan Islam dalam Perspektif Ekonomi, Politik, Sosial-Budaya?
D.    Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini dapat bermanfaat yaitu secara teoritis diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terkait, “Akulturasi kebudayaan islam dalam persingunganya dengan kebudayaan lokal dalam perspektif ekonomi politik sosial dan budaya.” Sedangkan dari sisi praktis, diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak yang ingin mengkaji lebih jaut sejarah kebudayaan Islam di Indonesia, baik kalangan akademis maupun pemerhati budaya Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep Akulturasi Kebudayaan  Islam di Indonesia
Dalam catatan sejarah tentang siar islam, akulturasi menjadi konsep dasar pembentukan peradaban Islam di Nusantara. Konsep akulturasi dimainkan sedemikian rupa oleh para pedagang, yang ketika itu pula berperan sebagai mubaliq (wali) penyiar Islam, sehingga Islam menjadi agama yang mudah diterima penduduk lokal di Nusantara. Yang ketika itu, masih menjalangkan kebudayaan Hindu dan Budha, serta animisme dan dinamisme. Akulturasi, merupakan bentuk modifikasi kebudayaan tampa menghilangkan kebudayaan asli .
Istilah akulturasi atau kulturisasi mempunyai berbagai arti di berbagai para sarjana antropologi. Tetapi, semua sepaham bahwa itu merupakan proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan satu kebudayaan dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing, sehingga dapat diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan asli (Fathoni, 2006 : 30).  
Proses akulturasi ini dimaksudkan untuk mengola kebudayaan asing yang tidak menghilangkan unsure budaya asli hingga bisa diterima oleh penganut kebudayaan tersebut. Karena itu, dalam teori akulturasi, J Powel (dalam Baker Sj 1984: 115), mengungkapakan, akulturasi dapat diartikan sebagai masuknya nilai-nilai budaya asing ke dalam budaya lokal tradisional. Budaya berbeda itu bertemu, yang luar mempengaruhi yang telah mampan untuk menuju suatau keseimbangan. Sementara itu, Konjaraningrat (1990: 91), mengartikan, akulturasi sebagai suatu kebudayaan dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh suatu kebudayaan asing yang demikian berbeda sifatnya, sehingga unsur kebudayaan asing tadi lambat laun diakomodasikan dan diintegrasikan kedalam budaya itu sendiri tampa kehilangan kepribadiaan dan kebudayaanya.
Konsep akulturasi dimanfaatkan oleh para penyiar untuk menyiarkan agama Islam di Nusantara. Keberhasilan proses Islamisasi di Nusantara dengan konsep akulturasi ini, memaksa Islam sebagai pendatang, untuk mendapatkan simbol-simbol kultural yang selaras dengan kemampuan penangkapan dan pemahaman masyarakat yang akan dimasukinya dalam pengakuan dunia Islam. Langkah ini merupakan salah satu watak Islam yan pluralistis yang dimiliki semenjak awal kelahirannya (Sugiri 1996: 43).
Kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan budaya setempat, memudahkan Islam masuk ke lapisan paling bawah dari masyarakat. Akibatnya, kebudayaan Islam sangat dipengaruhi oleh kebudayaan petani dan kebudayaan pedalaman, sehingga kebudayaan Islam mengalami transformasi bukan saja karena jarak geografis antara Arab dan Indonesia, tetapi juga karena ada jarakjarak kultural. Proses kompromi kebudayaan seperti ini tentu membawa resiko yang tidak sedikit, karena dalam keadaan tertentu seringkali mentoleransi penafsiran yang mugkin agak menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
 Kompromi kebudayaan ini pada akhirnya melahirkan, apa yang di pulau Jawa dikenal sebagai sinkretisme atau Islam Abangan. Sementara di pulau Lombok dikenal dengan istilah Islam Wetu Telu (Zuhdi 2009: 111).  Islam dalam lintasan sejarah telah menjadikan Islam tidak dapat dilepaskan dari aspek lokalitas, mulai dari budaya Arab, Persi, Turki, India sampai Melayu. Masing-masing dengan karakteristiknya sendiri, tapi sekaligus mencerminkan nilai-nilai ketauhidan sebagai suatu unity sebagai benang merah yang mengikat secara kokoh satu sama lain. Islam sejarah yang beragam tapi satu ini merupakan penerjemahan Islam universal ke dalam realitas kehidupan umat manusia (Zuhdi 2012: 58).
B.     Persingungan kebudayaan Islam dan Kebudayaan Lokal
Nilai universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting, dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Ajaran-ajaran Islam yang mencakup aspek akidah, syari'ah dan akhlak (yang sering kali disempitkan oleh sebagian masyarakat menjadi hanya kesusilaan dan sikap hidup), menampakkan perhatiannya yang sangat besar terhadap persoalan utama kemanusiaan dan budaya di Indonesia yang sangat plural (Asnawan, 2011: 85).
Islam sebagai agama yang berkarakteristikkan universal, dengan pandangan hidup (weltanchaung) mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran Islam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam (Kuntowijoyo 1991: 229).
Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Inilah yang diistilahkan Gus Dur dengan "pribumisasi Islam".
Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia dan telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Masjid Demak adalah contoh konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep 'Meru' dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya, orang baru beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnya syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat (Wahid  1989: 92).
Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitektur asing, arsitektur Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindu. Islam, sementara itu tidak memindahkan simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia. Hanya akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan. Dengan fakta ini, terbukti bahwa Islam tidak anti budaya. Semua unsur budaya dapat disesuaikan dalam Islam. Pengaruh arsitektur India misalnya, sangat jelas terlihat dalam bangunan-bangunan mesjidnya, demikian juga pengaruh arsitektur khas mediterania. Budaya Islam memiliki begitu banyak varian (Kuntowijoyo 1991: 92).
Kebudayaan lokal yang populer di Indonesia banyak sekali menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan populer di Indonesia. Kosakata bahasa Jawa maupun Melayu banyak mengadopsi konsep-konsep Islam. Taruhlah, dengan mengabaikan istilah-istilah kata benda yang banyak sekali dipinjam dari bahasa Arab, bahasa Jawa dan Melayu juga menyerap kata-kata atau istilah-istilah yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan. Istilah-istilah seperti wahyu, ilham atau wali misalnya, adalah istilah-istilah pinjaman untuk mencakup konsep-konsep baru yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam khazanah budaya popular (Kuntowijoyo 1991: 235).
Dalam hal penggunaan istilah-istilah yang diadopsi dari Islam, tentunya perlu membedakan mana yang "Arabi-sasi", mana yang "Islamisasi". Penggunaan dan sosialisasi terma-terma Islam sebagai manifestasi simbolik dari Islam tetap penting dan signifikan serta bukan seperti yang dikatakan Gus Dur, menyibukkan dengan masalah-masalah semu atau hanya bersifat pinggiran (Wahid 1989: 92).
Begitu juga penggunaan term shalat sebagai ganti dari sembahyang (berasal dari kata 'nyembah sang Hyang') adalah proses Islamisasi bukannya Arabisasi. Makna substansial dari shalat mencakup dimensi individual-komunal dan dimensi peribumisasi nilai-nilai substansial ini ke alam nyata. Adalah naif juga mengganti salam Islam "Assalamu'alaikum" dengan "Selamat Pagi, Siang, Sore ataupun Malam". Sebab esensi doa dan penghormatan yang terkandung dalam salam tidak terdapat dalam ucapan "Selamat Pagi" yang cenderung basa-basi, selain salam itu sendiri memang dianjurkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya (Asnawan, 2011: 92).
Proses dialog Islam dengan tradisi masyarakat diwujudkan dalam mekanisme proses kultural dalam menghadapi negosiasi lokal. Perpaduan antara Islam dengan tradisi masyarakat ini adalah sebuah kekayaan tafsir lokal agar Islam tidak tampil hampa terhadap realitas yang sesungguhnya. Islam tidak harus dipersepsikan sebagai Islam yang ada di Arab, tetapi Islam mesti berdialog dengan tradisi lokal masyarakat setempat (Zuhdi 2012).
Dialog dengan tradisi lokal dengan wujud kulturasi, sehingga budaya lokal dapat dimodifikasi dengan budaya islam yang dibawa para penyiar. Dalam konteks itu, akulturasi kebudayaan Islam dalam persingungannnnya dengan kebudayaan lokal seperti dalam masyarakat Bugis, bahwa ada sinergi antara keteguhan dalam adat dengan ketaatan beragama. Dengan menjadikan adeq (adat) dan saraq (syariat) keduanya sebagai struktur dalam panggaderreng (undang-undang sosial), maka ini menyatukan fungsi keduanya dalam mengatur kehidupan. Selanjutnya dalam banyak aktivitas adat telah diadaptasi dengan prinsip-prinsip keislaman.
Islam diterjemahkan ke dalam perangkat kehidupan lokal dengan tetap mempertahankan pola yang ada kemudian ditransformasi ke dalam esensi tauhid. Dengan menggunakan potensi lokal ini digunakan sebagai strategi untuk membangun spiritualitas tanpa karakter kearaban. Islam dalam nuansa adat Bugis diinterpretasi kedalam nilai dan tradisi sehingga membentuk identitas masyarakat Bugis. Akhirnya, perjumpaan adat dan agama dalam budaya masyarakat Bugis menunjukkan telah terjadi dialog dan merekonstruksi sebuah budaya baru dalam nuansa lokal (Wekke 2013: 28).
C.    Akulturasi Kebudayaan Islam dalam Perspektif Ekonomi, Politik, Sosial-Budaya
Akulturasi kebudayaan islam dalam persingunganya dengan kebudayaan lokal dalam perspektif ekonomi, politik, sosial, dan budaya dapat dilihat dari  cara-cara para mubalik menyiarkan islam ketika itu, guna mewujudkan misi islam sebagai agama rahmatan lillalamin. Beberapa pola akulturasi kebudayaan Islam yaitu sebagai berikut:
1.      Ekonomi
   Seperti telah disingung sebelumnya, bahwa kedatangan islam di Indonesia merupakan bentuk dari pencarian sumber penghidupan (ekonomi) dalam konteks perdagangan maritim, yang dilakukan para pedagang Islam dengan penduduk lokal. Walhasil, tersiarlah agama Islam, mulai dari masyarakat pesisir pantai hingga masyarakat yang bermukim kepelosok pegunungan. Dorongan ekonomi dalam konteks perdagangan melalui jalur laut, menjadi pintu masuk penyiaran islam  di Nusantara. Itulah sebabnya, kontak budaya maritim merupakan kontak budaya Islam di Nusantara. Sedangkan Hindu-Budha lebih pada agraris.
  Kerajaan Majapahit, yang bercorak Hindu-Budha, mundur dari kejayaannya salah satu faktornya adalah orentasi pemerintahan ke wilayah agraris. Dalam konteks itu, secara alamiah yang mendukung Manapahit dapat berkembang menjadi negara maritim dalam pemikiran Mahan, tidak mendapat pijakan kuat. Sebab, kemunduran Majapahit antara lain karena peralihan orentasi kebijakan pemerintah, dari laut ke darat. Ketika Majapahit mencapai kejayaanya dan kemakmuran dari hasil perdagangan laut Jawa, masyarakat dari kalangan istana cendrung membangun candi-candi dam menyelengarakan ritual suci di pedalaman. Perlahan mereka meninggalkan kegiatan maritim, sebaliknya kegiatan berorientasi agraris senakin berkembang. Peralihan ini didukung oleh kondisi alam Jawa yang subur dan memungkinkan masyarakatnya mengembangkan kegiatan pertanian. Walhasil, potensi perdagangan maritim abad ke-15 diabaikan.  
Kondisi ini dimanfaatkan oleh pedagang-pedagang lokal pesisir yang sudah menganut Islam, yang sebelumnya bekerja mengurus perdagangan secara otonom atas nama Majapahit. Setelah mencapai kemapangan ekonomi, ditengah orentasi perubahan kerajaan saat itu, mereka tampil menjadi kekuatan baru dan mulai terlepas dari pengaruh istana. Kelompok-kelompok inilah yang kemudian mendirikan pusat kekuatan politik Islam (Kesultanan) di Jawa, seperti Demak, Jepara dan Banten (Hamid 2013: 224-225).
 Kesibukan lalu lintas perdagangan abad ke-7 sampai abad ke-16, perdagangan antara negeri-negeri di bagian barat, Tenggara dan Timur benua Asia dan dimana pedagang-pedagang Muslim (Arab, Persia, India) turut serta menggambil bagiannya di Indonesia. Penggunaan saluran islamisasi melalui perdagangan itu sangat menguntungkan. Hal ini menimbulkan jalinan di antara masyarakat Indonesia dan pedagang (Tjandrasasmita 1984: 200).
Proses islamisasi melalui saluran perdagangan itu dipercepat oleh situasi dan kondisi politik beberapa kerajaan di mana adipati-adipati   pesisir berusaha melepaskan diri dari kekuasaan pusat kerajaan yang sedang mengalami kekacauan dan perpecahan. Secara umum Islamisasi yang dilakukan oleh para pedagang melalui perdagangan itu mungkin dapat digambarkan sebagai berikut: mulal-mula mereka berdatangan di tempat-tempat pusat perdagangan dan kemudian diantaranya ada yang bertempat tinggal, baik untuk sementara maupun untuk menetap.
  Lambat laun tempat tinggal mereka berkembang menjadi  perkampungan-perkampungan. Perkampungan golongan pedangan Muslim dari negeri-negeri asing itu disebut Pekojan (Tjandrasasmita 1984: 201).
Dari sudut ekonomi, para pedagang muslim memiliki status sosial yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi, terutama putri-putri bangsawan, tertarik untuk menjadi istri saudagar-saudagar itu. Sebelum menikah, mereka diislamkan terlebih dahulu. Setelah setelah mereka mempunyai kerturunan, lingkungan mereka makin luas. Akhirnya timbul kampung-kampung, daerah-daerah, dan kerajaan-kerajaan muslim (Yatim 2007: 202).
2.      Politik
Pengaruh kekuasan raja sangat berperan besar dalam proses Islamisasi. Ketika seorang raja memeluk agama Islam, maka rakyat juga akan mengikuti jejak rajanya. Rakyat memiliki kepatuhan yang sangat tinggi dan raja sebagai panutan bahkan menjadi tauladan bagi rakyatnya. Misalnya di Sulawesi Selatan dan Maluku, kebanyakan rakyatnya masuk Islam setelah rajanya memeluk agama Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini (Tjandrasasmita 1984: 206-207).
3.      Sosial
   Sebelum kedatangan Islam, pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha mempengaruhi kehidupan masyarakat Nusantara. Terutama, orang-orang yang hidup dilingkungan istana kerajaan. Wujud akulturasi dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan dapat dilihat pembagian lapisan masyarakat berdasarkan sistem kasta. Masuknya Islam, membkongkar sistem kasta itu dan memperlakukan setiap manusia sama. Karena bagi ajaran Islam yang membedakan manusia dengan manusia lainya adalah tingkat keimanannya. Itulah sebabnya, Islam mudah diterima penduduk lokal. Selain itu, syarat masuk Islam sangat mudah, yakni cukup mengucapkan kalimat syahadat. Agama Islam tidak mengenal perbedaan sosial, tidak membedakan si kaya dan si miskin, tidak membedakan warna kulit, dan sebagainya. Sebab, menurut agama Islam, perbedaan itu hanya ada pada tingkat keimanan dan ketakwaan seseorang di hadapan Allah SWT.
4.      Budaya
     Konversi Islam nusantara awalnya terjadi di sekitar semenanjung Malaya. Menyusul konversi tersebut, penduduknya meneruskan penggunaan bahasa Melayu. Melayu lalu digunakan sebagai bahasa dagang yang banyak digunakan di bagian barat kepulauan Indonesia. Seiring perkembangan awal Islam, bahasa Melayu pun memasukkan sejumlah kosakata Arab ke dalam struktur bahasanya. Bahkan, Taylor mencatat sekitar 15% dari kosakata bahasa Melayu merupakan adaptasi bahasa Arab (Taylor 2003: 105).
     Selain itu, terjadi modifikasi atas huruf-huruf Pallawa ke dalam huruf Arab, dan ini kemudian dikenal sebagai huruf Jawi. Bersamaan naiknya Islam menjadi agama dominan kepulauan nusantara, terjadi sinkretisasi atas bahasa yang digunakan Islam. Sinkretisasi terjadi misalnya dalam struktur penanggalan Çaka. Penanggalan ini adalah mainstream di kebudayaan India. Secara sinkretis, nama-nama bulan Islam disinkretisasi Agung Hanyakrakusuma (sultan Mataram Islam) ke dalam sistem penanggalan Çaka. Penanggalan çaka berbasis penanggalan Matahari (syamsiah, mirip gregorian), sementara penanggalan Islam berbasis peredaran Bulan (qamariah). Hasilnya pada 1625, Agung Hanyakrakusuma mendekritkan perubahan penanggalan Çaka menjadi penanggalan Jawa yang sudah banyak dipengaruhi budaya Islam.
   Nama-nama bulan yang digunakan tetap 12, sama dengan penanggalan Hijriyah (versi Islam). Penyebutan nama bulan mengacu pada bahasa Arab seperti Sura (Muharram atau Assyura dalam Syiah), Sapar (Safar), Mulud (Rabi’ul Awal), Bakda Mulud (Rabi’ul Akhir), Jumadilawal (Jumadil Awal), Jumadilakir (Jumadil Akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sya’ban), Pasa (Ramadhan), Sawal (Syawal), Sela (Dzulqaidah), dan Besar (Dzulhijjah). Namun, penanggalan hariannya tetap mengikuti penanggalan Çaka sebab saat itu penanggalan harian Çaka paling banyak digunakan penduduk sehingga tidak bisa digantikan begitu saja tanpa menciptakan perubahan radikal dalam aktivitas masyarakat (revolusi sosial) (http://setabasri01.blogspot.com). Hasil Akulturasi Budaya Islam dan Budaya lokal Indonesia Akulturasi pada seni musik terlihat pada musik qasidah dan gamelan pada saat upacara Gerebeg Maulud.

BAB III
PENUUTUP
A.    Kesimpulan
Sejarah  kehadiran Islam di Nusantara tidak terlepas dari perdagangan maritim. Melalui kontak dagang itu, maka tersiarlah agama Islam. Hasil dari kontak dagang dengan penduduk lokal di Nusantara, maka Islam dipertemukan dengan agama dan kepercayaan  masyarakatnya lokal dengan penganut Hindu dan Buddha serta animisme dan dinamisme.
Kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan budaya setempat, memudahkan Islam masuk ke lapisan paling bawah dari masyarakat. Akibatnya, kebudayaan Islam sangat dipengaruhi oleh kebudayaan petani dan kebudayaan pedalaman, sehingga kebudayaan Islam mengalami transformasi bukan saja karena jarak geografis antara Arab dan Indonesia, tetapi juga karena ada jarakjarak kultural.
Proses kompromi kebudayaan seperti ini, tentu membawa resiko yang tidak sedikit, karena dalam keadaan tertentu seringkali mentoleransi penafsiran yang mugkin agak menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Kompromi kebudayaan ini pada akhirnya melahirkan, apa yang di pulau Jawa dikenal sebagai sinkretisme atau Islam Abangan. Agama dan kebudayaan Islam yang masuk ke Indonesia mempengaruhi kebudayan asli Indonesia, sehingga menimbulkan akulturasi kebudayan, maka lahirlah corak baru kebudayan Indonesia. Akulturasi kebudayaan islam dalam persingunganya dengan kebudayaan lokal dalam perspektif ekonomi, politik, sosial, dan budaya dapat dilihat dari  cara-cara para mubalik menyiarkan islam ketika itu, guna mewujudkan misi islam sebagai agama rahmatan lillalamin.
B.     Saran
Kebudayaan Islam di masa lalu mestinya harus tetap dijaga dan di lestarikan, oleh Umat Islam, sehingga kebudayaan Islam itu tidak hilang akbat arus globalisasi dalam masa kekinian. Dan dakwa Islam harus tetap ditegakan di Bumi Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA


Asnawan, 2011. Islam dan Akulturasi Budaya Lokal di Indonesia.  Jurnal Falasifa. Vol. 2 No. 2 September 2011. Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Falah As Sunniyyah Kencong-Jember.
Asri, M. Yusuf, 2012. Merekontruksi Gerakan Masa Depan, dalam Harmoni, Jurnal Multikultural & Multireligius  Volume 11, Nomor 1, Januari - Maret 2012.
Baker Sj, J.WM. 1984. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar. Jogjakarta: Kansius.
Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Antropologi Sosial Budaya Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Konjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: UI Press.
Kuntowijoyo. 1991. Paridigma Islam. Cet. III. Jogjakarta: Mizan.
Hamid, 2013. Sejarah Maritim Indonesia. Jogjakaarta: Ombak.
Harmoni, 2012. Penyiaran Agama dan Dinamika Sosial dalam Masyarakat Plural. Pengantar Redaksi, Jurnal Multikultural & Multireligius  Volume 11, Nomor 1, Januari - Maret 2012.
Sugiri, Ahmad. 1996. Proses Islamsisasi dan Percaturan Politik Umat Islam di Indonesia, dalam Al- Qalam, Majalah Ilmiah Bidang Keagamaan dan Kemasyarakatan, No. 59/XI/1996. Serang: IAIN SGD.
Tjandrasasmita, Uka, (Ed.). 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Taylor, Jean Gelman 2003.  Indonesia: Peoples and Histories. New Haven: Yale University Press.
Wahid, Abdurrahman. 1989. Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia, Menatap Masa Depan. Cet. I,  Jakarta: P3M.
Wekke, Ismail Suardi. 2013. Islam dan Adat: Tinjauan Akulturasi Budaya dan Agama dalam Masyarakat Bugis. Jurnal Volume XIII, Nomor 1, Juni 2013. Sorong: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Yatim, Badri. 2007. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Press.
Zuhdi, Muhammad Harfin. 2012. Dakwa dan Dealektika Akulturasi Budaya. Jurnal RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 46-64. IAIN Mataram.
____________     2009. Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, Jakarta: Lemlit UIN Jakarta.
Share:

Unordered List

3/sosial/post-list

Latest blog posts

3-latest-65px

BTemplates.com

3/sosial/col-right
Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Statistik Pengunjung

Ekonomi

3/ekonomi/col-left

Publikasi

3/publikasi/feat-list

Error 404

Sorry! The content you were looking for does not exist or changed its url.

Please check if the url is written correctly or try using our search form.

Recent Posts

header ads
Ag-Historis

Text Widget

Sample Text

Pengikut

Slider

4-latest-1110px-slider

Mobile Logo Settings

Mobile Logo Settings
image

Comments

4-comments

Budaya

budaya/feat-big

Subscribe Us

Recent Posts

sejarah/hot-posts

Pages

Popular Posts