Menyajikan Data Mengungkap Fakta Menjadi Sejarah

Sejarah

3/sejarah/post-list

Kesadaran Sejarah: Benteng Concordia di Pulau Banda

 

Penulis Sedang berada di pintu Benteng Concordia 

Benteng Concordia, benteng ini teretak di pesisir timur Pulau Banda (Banda Besar). Lebih tepatnya kini berada di Desa Waer, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tenggah. Bangunan tua karya kolonial itu, memiliki tinggi sekitar 5 meter. Luas benteng ini, kurang lebih 1600 M2 dengan dua pitu utama. Di pintu bagian barat berhadapan dengan perumahan penduduk (perkebunan pala), sedangkan pintu gerbang pada sisi timur berhadapan dengan pesisir pantai hingga ke laut lepas.

Dalam dokumen sejarah tertulis, Benteng Concordia dibangun Belanda pada tahun 1630. Tujuan utama di bangunya benteng ini untuk mengontrol arus perdagangan pala dan fuli di kawasan pesisir timur Pulau Banda Besar. Benteng ini dibangun Belanda agar mudah memonitor kapal yang datang dan berlalu lalang di kawasan pesisir itu. Termasuk perampompak yang sewaktu-waktu hadir mengancam eksistensi perkenier dan penduduk setempat. Sisi lain untuk menjangkau pesisir selatan Pulau Banda besar dan mengendalikan lalu lintas laut di selat antara Naira dan Lonthoir, Belanda pun membangun Fort Lonthoir yang kemudian dikenal dengan Benteng Hollandia pada 1642 di Negeri Lontor. Belanda membangun kedua benteng itu setelah menaklukan Banda. Sebelumnya VOC membangun benteng Nassau dan Belgica di kota Naira, sebagai upaya menghadapi perlawanan orang Banda yang menetang kebijakan monopoli perdagangan yang diterapkan Belanda. Sekaligus kontrol atas pala dan fuli dan segala komoditas niaga di Banda Naira.

Benteng Concordia hingga kini masih berdiri tegak di desa Waer. Akan tetapi, bila situ sejarah ini tidak diperhatian dengan baik, akan hilang dari permukaan. Pasalnya di sisi timur benteng ini mulai retak dan terancam ambruk akibat dari pengikisan pantai saat hadirnya ombak besar pada setiap musim timur. Kurangnya kesadaran sejarah, menjadikan lingkungan benteng ini tak lagi terurus layaknya sebuah cagar budaya yang bernilai sejarah. Padahal bila dikelolah dengan baik, situs tersebut dapat mendatangkan keutungan ekonomi bagi penduduk sekitar benteng. Negeri setempat pun akan merasakan manfaatya, sebagai desa wisata sejarah. Para wisatwan akan berkunjung untuk bersua foto dan menikmati keindahan cagar budaya itu, tampa merasa jijik karena lingkungan yang kotor dan seram. Wisatawan dapat bernostalgia ke masa lalu membayangkan kemegahan benteng ini, sembari merasakan sensasi angin timur yang bertiup dari Laut Banda ditemani kuliner lokal yang menyehatkan.

Sunguh sayang situs bersejarah itu, mungkin saja dianggap tak lagi penting. Kesadaran sejarah yang tidak tertanam di dalam diri pemimpin daerah ini, juga pemimpin masyarakat setempat membuat bangunan tua yang menjadi saksi bisu sejarah Banda itu terabaikan diabakan. Tanaman bunga gadihu, pohon nangka, pisang, mangga dan rumput liar sejauh yanng diamati penulis tumbuh tak beraturan di dalam benteng. Beberapa pohon besar akarnya merangkak masuk menembus dididing bangunan bersejarah itu, sehingga benteng retak dan rusak. Belum ada rehabilitasi untuk tetap menjega kelesarian situs bersejarah itu. Demikian pula tidak ada pagar yang melingkari benteng iini hingga dapat melindungi benteng ini dari tangan-tangan jahir. Benteng tua pun telihat menyeramkan, kurang memiliki untuk dikunjungi wisatan yang melihat jejak sajarah benteng itu.  

Apabila anda yang berkunjung di Desa Waer dapat mengamati dengan cermat bahwa bahwa desa itu sesunguhnya memiliki potensi parawisata yang sangat menjajikan. Wisata bahari dan wisata sejarah sekaligus agrowisata sektor pala dan kenari menjadi keungulan dan ciri khas desa. Khususnya untuk potensi agrowisata pala dan kenari akan menjadi daya tarik tersediri bagi wisatawan yang berasal dari luar Kepulanan Banda. Namun sayang sekali potensi parawisata itu belum di kelolah. Mungkin belum adanya akal sehat betapa pentignya kesadaran sejarah, atau boleh jadi sumber daya yang memadai untuk mengembangkan potensi desa itu menjadi desa wisata. Meskipun demikian, hingga kini masih banyak wisatawan yang berasal dari luar Banda saat melingkari Banda Besar, mampir sejenak untuk bersua foto dan mengabadikan gambar di benteng Concordia. 

Situs yang menjadi bukti sejarah kehadiran kompeni Belanda di tanah Banda itu kini tidak lagi terurus dengan baik. Kurangnya kesadaran sejarah masyarakat merupakan salah satu sebab situs yang dapat menghadirkan nilai parawisatan ini dibiarkan berserakah begitu saja. Papan informasi yang melukiskan ringkas sejarah benteng dan larangan merusak cagar budaya kini telihat mulai pudar. Pentingnya kesadaran sejarah untuk melihat, merawat dan tidak merusak Benteng Concordia dan benteng-benteng Belanda lainnya di tanah Banda sebagai warisan sejarah dan kekayaan budaya. ** (K.R)

Share:

Kayu Manis Banda Naira dalam Dunia Maritim Global

 

Tanaman Kayu Manis di Banda Naira

Tanaman Kayu Manis di Banda Naira

Banda Naira adalah negeri rempah di Maluku Tenggah. Terkenal dengan komoditas unggulannya, Pala dan fuli (Bunga Pala). Komoditas ini menjadi ciri khas pulau vulkanik itu. Negeri Andna Sari (nama lain Banda), tidak banyak menghasilkan cengkeh, seperti halnya di Tarnate dan Tidore Maluku Utara. Akan tatapi sejarah mengisahkan, bahwa kawasan ini dahulu menjadi incaran berbagai sukubangsa belahan dunia. 

Penjelajah Italia Christopher Columbus (1451-1506) harus rela menembus badai samudra Atraltik lalu terhampas di dataran Amerika bila saja harum cengkeh, buah dan bunga pala tak mampir di hudungnya. Pelaut Purtugis pimpinan Alfonso de Albuquerque (1453–1515) pun tak puas menaklukan Malaka, bandar transito terbesar di Asia Tenggara itu, pasalnya belum menemukan Banda Naira, sehingga harus melayarkan dua buah kapalnya lagi di bawah nahkoda Antonio de Arbeu dan Pransisco Serrao dari Malaka untuk menelusuri titik pusat produsen pala dan fuli. Setelah berlayar selama dua bulan lamanya, kapal Portugis akhirnya berhasil bertemu Banda Naira pada 1512. Sebuah kawasan laut terdalam yang ditaburi pulau-pulau yang telah lama menjadi incaran para penjelajah Eropa. 

Demikian pula Inggris dan Belanda, harus bertukar guling atas tanah Banda di Pulau Run dengan Manhattan kota New York Amerika (Perjanjian Breda tahun 1667), hanya untuk mengakhiri perseteruan keduanya. Ketika masing-masing bangsa kolonial itu berebut potensi alam Banda Naira. 

Sebetulnya bila dilihat dari peta Indonesia, Kepulauan Banda hanyalah sekumpulan pulau-pulau kecil nan terpencil di kawasan timur Nusantara. Akan tetapi kebesaran namanya dahulu melampaui pulau-pulau bersar di belahan bumi lainnya. 

Kepulauan Banda memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah ruah, bukan saja pala dan fuli, tetapi juga kayu manis. Komoditas ini faktanya menjadi komoditas unggulan sejak dahulu hingga sekarang. Harganya pun kini terbilang fantastis untuk ukuran ekonomi skala mikro, yakni Rp 120 ribu perkilogram dijual oleh para pedagang untuk pasaran di Banda Naira. 

Ketika berada di bawah pohon kayu manis sembari bernostalgia ke masa lalu, penulis membayangkan bagaimana nilai jual kayu manis dipasarkan global dahulu? Pasalnya para saudagar Arab sempat merahasiakan daerah asal tanaman endemik ini, terutama ketika melakukan aktivitas niaga maritm di negeri mereka, "Kayu manis di Kepulauan Maluku hanya tumbuh di lembah-lembah yang curam, sangat sulit dijangkau, biasanya menunggu dibawa burung-burung untuk bisa memperolehnya." 

Mitos yang dibuat pedagang Arab itu, telah menjadikan kayu manis bernilai ekonomis tinggi di jazirah Arab, Afrika dan Eropa. Selain mahal harganya, kayu manis memiliki multiguna, baik untuk penyedap rasa hingga obat-obatan. Karena itulah, di abad pertengahan kayu manis hanya dibeli oleh kalangan tertentu yang mapan secara ekonomi dan memiliki status sosial tinggi. Fakta ini sekaligus memberi kesan, bahwa Kayu Manis yang di jual oleh pedagang Arab ke Eropa dibumbui cerita yang penuh dramatis demi mempertahankan nilai jual dan daya beli di pasaran global.  

Tak ketinggalan, bapak sejarawan Yunani Kuno Herodotos pada abad ke-5 Sebelum Masehi melanjutkan cerita pedagang Arab tentang betapa sulitnya memperoleh kayu manis. Ia pun meneruskan cerita itu, “burung-burung besar membawa tongkat kayu manis ke sarang mereka, bertengger tinggi di atas gunung yang sulit dijangkau oleh manusia mana pun.”

Padahal faktanya, kayu manis tumbuh liar di tanah Banda diperoleh dengan cara mudah. Tumbuh di hutan-hutan di pesisir pantai hingga ke pedalaman kawasan itu. Bila pohon kenari menjadi pelindung tanaman pala dari sinar matahari langsung, maka kayu manis sebagai penyejuknya. Kayu manis yang dibawah burung-burung tumbuh liar di antara celah-celah tanaman pala.

Kini kayu manis tak lagi tumbuh liar seperti dulu, masyarakat Banda telah membudidayakan tanaman itu beramaan dengan pala di lahan perkebunan mereka. Kayu manis ditanam di lahan -lahan perkebunan pala, bersamaan dengan kenari dan kelapa. Selain sebagai tanaman pelindung (menaungi pala). Katanya, aroma harum kayu manis dapat merangsang kualitas buah, bunga dan pala.  Orang Banda mengunakan kayu manis sebagai bumbu masak dan penyedap rasa aneka kue. Bahkan teh manis biasanya ditambah kayu manis di sajikan penuh nikmat. Harga kayu manis saat ini terbilang cukup mahal, lebih mahal dari harga cengkeh dan pala, tapi tidak semahal fuli (bunga pala). Kayu manis kualitas terbaik memang tak bisa disangkal lagi terdapat di tanah Banda. Karena itulah, sejak dahulu pala, fuli, kenari dan kayu manis Banda mengemparkan dunia maritim global. **( K.R)

 

Catatan ringan: Kasman Renyaan

Share:

Jibu-Jibu Penopang Ekonomi Kawasan di Maluku

 


Perempuan di pesisir pantai barat, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Provinsi Maluku, dianggap memiliki perperan penting dan strategis dalam membangun kekuatan ekonomi kota kabupaten dan provinsi. Pasalnya aktivitas usaha mereka di ruang publik bukan hanya sekedar untuk menopang biaya hidup keluarga, akan tetapi menjadi pemacu gairah ekonomi kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku Tenggah dan Kota Ambon. Komunitas perempuan yang dikenal dengan jibu-jibu itu dianggap sangat berkontribusi terhadap berbagai sektor usaha barang dan jasa di daerah itu. Jibu-jibu merupakan istilah lokal yang digunakan masyarakat di pesisir pantai barat, Seram Bagian Barat, setiap saat untuk menyebut perempuan khususnya mama-mama yang berpofesi sebagai pedagang kecil (peet trades), baik untuk perempuan peet trades yang bergerak pada usaha jual-beli komoditas hasil pertanian masyarakat, maupun usaha jual-beli ikan hasil tangkapan nelayan yang diperoleh dari kampung dan di pasarkan ke kota.

Penyebutan istilah jibu-jibu ini sebagai bentuk penegasaan dari kata ibu, yang berarti sebutan untuk perempuan dewasa, khususnya di kawasan pesisir itu memang faktanya tidak disandingkan kepada perempuan yang berprofesi sebagai peet trades dengan komoditas utama berupa bahan sembako atau pedagang butik eceran. Meskipun aktivitas perdagangan itu juga diperankan oleh kaum perempuan. Itulah sebabnya, istilah ini lebih khusus melekat pada komunitas perempuan yang melakukan aktivitas usaha dagang skala mikro dengan komoditasnya hasil pertanian, berupa sayur-sayuran atau ikan hasil tangkapan nelayan yang di peroleh dari kampung dan dipasarkan demi mendapatakan surflus.

Bagi penduduk di Maluku Tengah dan Pulau Ambon pada umumnya menyandingkan istilah jibu-jibu khusus kepada perempuan yang berperan sebagai penjual ikan. Sedangkan bagi perempuan penjual hasil pertanian berupa buah-buahan atau sagu di emperan Ruko atau berkeliling kampung atau dilorong-lorong kecil menyebutnya papalele. Akan tatapi, bagi penduduk di pesisir pantai barat SBB menyebut istilah itu melebar ke ruang-ruang usaha yang diperankan perempuan peet trades dengan komoditas hasil pertanian yang diperoleh dari kampung ke kota atau sebaliknya, yang kebanyakan diperankan oleh kaum perempuan beretnis Buton. Sedangkan untuk jibu-jibu yang berperan pada usaha jual beli ikan hasil tangkapan nelayan, aktifitas mereka hanya berfokus pada jual-beli ikan saja, sehingga mereka tidak menangkap peluang dalam melakukan usaha jual beli pada komoditas hasil pertanian. Meskipun di antara mereka ada yang memiliki lahan pertanian. Sebaliknya, jibu-jibu yang berperan sebagai pedagang hasil pertanian tidak melebarkan usahanya sampai jual beli hasil tangkapan nelayan. Pada titik inilah terjadi klasifikasi komiditas usaha dagang yang diperankan oleh perempuan jibu-jibu.

Peran usaha perempuan jibu-jibu dapat diklasifikasi menjadi dua bagian : pertama komunitas jibu-jibu yang bergerak pada jual beli hasil tangkapan pelaut (perikanan) dan kedua, jibu-jibu yang melakukan aktifitas jual beli hasil usaha petani (pertanian). Hal ini menunjukan bahwa jibu-jibu di pesisir pantai barat SBB yang banyak diperangkan orang Buton telah menunjukan eksistensinya dengan menempatkan peluang usaha mereka pada tataran yang seimbang antara potensi laut dan darat, yang diilhami oleh ideologi barata (perahu bercadik ganda) dalam falsafah hidup orang Buton perantaun.

Kedua komunitas jibu-jibu itu pun berbeda dari segi menagangkap peluang bisnis, namun mereka adalah perempuan hebat pantang menyerah yang berani keluar dari sekat-sekat domestik ke rana publik demi menghidupi keluarga dan kemajuan pembangunan daerah. Konsentrasi jual beli yang dilakukan oleh komunitas jibu-jibu yang bergerak pada usaha perikanan mengunakan dua pola, pertama: papalele, kedua: Penjualan langsung ke pemborong. Pola papalele dilakukan dengan cara, jibu-jibu akan berdagang keliling dengan menjunjung daganganya di atas kepala lalu mengkampanyekannya agar diketahui pembeli, sehingga dapat laku terjual dengan cepat. Kegiatan papalele ini dilakukan dari satu kampung ke kampung yang lain demi mendapatkan sedikit keuntungan. Itulah sebabnya, bila ikan junjungan yang didagangkan di kampung-kampung Negeri (penduduk lokal), misalnya tidak habis terjual kadangkala di barter dengan komoditas pangan lokal seperti Sagu sehingga memiliki nilai tambah secara ekonomis untuk kebutuhan hidup keluarga dan mengurangi resiko kerugian.

Komoditas yang diperdagangkan kadangkala merupakan hasil produksi pertanian yang diusahan oleh mereka sendiri. Pada titik ini perempuan yang berprofesi sebagai jibu-jibu tidak hanya berperan sebagai distributor barang dagangan dalam skala makro, tetapi juga produsen dari hasil usaha dagangnya tersebut. Pendek kata, mereka sebagai pedagang juga petani, tampa mengabaikan tugas mereka sebagai ibu rumah tangga. Hal ini dilakukan agar mereka mendapatkan surflus yang berkelebihan demi menujang kebutuhan hidup keluarganya dan pempertahankan eksistensi barang dagangan di pasar lokal.

Penopang Kekuatan Ekonomi Kota

Perempuan Jibu-jibu dari pantai barat Seram memiliki perananan penting dan strategis dalam membangun kekuatan ekonomi lokal, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan masyarakat setempat. Akan tetapi lebih dari itu, jibu-jibu berperan penting sebagai puyumbang pendapatan perkapita masyarakat yang bekerja pada sektor formal, seperti pelayar Speet Boat, buruh pelabuhan, Sopir Angkot dan sebagainya. Bahkan lebih dari itu, mereka menjadi salah satu pendongkrak pendapatan Asil Daerah (PAD), Kabupaten Maluku Tengah dan Kota Ambon, melalui restribusi jasa pelabuhan dan pajak yang mereka bayar setiap kali melakukan aktivitas jual-beli di kawasan tersebut.

Dalam menjalangkan aktifitasnya, komunitas jibu-jibu ini memiliki peran ganda. Selain sebagai distributor barang juga menjadi produsen dari komoditas yang diperdagakan. Pasalnya masing-masing dari mereka mempunyai lahan (kebun) yang dapat menghasilkan kebutuhan barang dagangan yang bisa di pasarkan ke kota. Produksi hasil pertanian seperti Cili (cabay rawit), Sarey, Lengkuas, Kunyit, Tomat, Sayur Ganemong, Sayur Mati, Lemon Cina, Daun Lemon 88, Pisang, merupakan komoditi unggulan yang separuh dihasilkan dari usaha kebun mereka sendiri atau diperoleh dengan cara dibeli dari masyarakat petani di pesisir pantai barat SBB kemudian didistribusikan ke kota Ambon melalui Pelabuhan Tahoku, Hila, dengan mengunakan jasa trasportasi penghubung antar pulau, yakni speet boat.  Namun tak jarang mereka pun seringkali mendapatkan tekanan dan perlakukan kasar dari petugas pemerintah hanya karena tak memiliki tempat julan tetap. Merekapun dianggap penghambat arus lalulitas oleh karena kebanyakan mereka memanfaatkan badan jalan sebagai tempat dagang berpindah di pasar-pasar tradisional di kota Ambon.

Pencipta Lapangan Kerja Untuk Lelaki

"Keberhasilan laki-laki terdapat perempuan hebat di belakangnya." Pepata lama ini telah memberikan pandangan bahwa perempuan hanya berada di belakang kesuksesan lelaki. Sehingga tampa memiliki peran lain, selain mengasuh anak dan melayani suami. Perempuan hanya mampu bekerja disektor domestik, tampa bisa masuk ke rana publik dan menciptakan peluang usaha kepada laki-laki. Namun, pernyataan lama ini tidak bisa lagi dijadikan dasar pijakan dalam menghadari era saat ini. Apalagi disandingkan kepada perempuan jibu-jibu. Pasalnya jibu-jibu menjadi garda terdepan dalam menciptakan peluang usaha kepada laki-laki.

Kegiatan jubu-jibu hampir setiap hari, telah menciptakan peluang bisnis baru bagi kaum laki-laki yang bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) speet boat lintas barat Seram, buruh pelabuhan dan sopir angkot. Pekerja laki-laki itu dengan mudah mendapatkan keuntungan dari jasa yang diaediakan dan sistem sewa muatan, baik muatan orang maupun muatan barang. Itulah sebabnya kehadiran jibu-jibu di pelabuhan Tahoku telah membuat aktifitas pelabuhan pun menjadi ramai dan lancar ketika terjadi arus barang ke luar masuk pelabuhan.

Kemudian mayarakat lokal yang bekerja sebagai buruh di pelabuhan tersebut, mendapatkan penghasilan tambahan dari jasa pikul barang masuk dan ke luar pelabuhan. Demikian pula Angotan Umum (Angkot) Hila-Ambon juga mendapat keuntungan dari arsus penumpang barang dan orang. Apabila barang dagangan mereka tidak ditangani pemborong di kota Pelabuhan itu, biasanya kelompok jibu-jibu ini menyewa sebuah mobil pikc upp dengan sistem patungan ketika muatan mereka berkelebihan. Akan tetapi, bila barang dagangan tidak terlalu banyak mereka memilih menggunakan Angkot sebagai traspotrasi penghubung menuju kota bersama penumpang lainnnya. Karena itulah dapat dikatakan bahwa jibu-jibu di pantai barat sbb penopanag ekonomi tiga kawasan di Maluku.

 

Share:

Banda Naira : Titik Nol Jalur Rempah Nusantara


Kepulauan Banda, Maluku Tenggah, telah terkenal dengan kekayaan alamnya yang berlimpah ruah sejak dulu hingga sekarang. Potensi sumber daya alam Banda, baik yang terdapat di laut maupun di darat memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal maupun mancanegara ketika berkunjung ke kepulauan vulkanik itu. Manisan Pala Banda, ikan garam, Bakasang, Kayu Manis, Kenari, dan masih banyak lagi kuliner yang menjadi ciri khas Negeri Andan Sari itu tersedia di sana. Selain menjadi kawasan destinasi wisata bahari dan sejarah, Banda Naira juga dicanamkan menjadi kawasan Lumbung Ikan Nasional (LIN) Provinsi Maluku sekarang. Para wisatawan yang berkunjung ke Banda, baik wisatawan lokal maupun mancanegara dapat menikmati panorama alamnya yang indah memukau mata dan menyejukan hati.

Labobatorium Alam

Kawasan ini juga dijadikan tempat studi ilmiah dibidang perikanan dan kelautan oleh berbagai kampus di dalam dan luar negeri. Berbagai jenis ikan, terumbu karang dan biotalaut lainnya merupakan ciri khas alam laut Banda. Karena itu, tak berlebihan bila Banda dikatakan sebagai surga bagi para peneliti atau laboratorium alam yang di miliki Maluku saat ini. Sejarah mencatat, Banda juga dijadikan sebagai tempat buangan tokoh Pergerakan Nasional. Bung Hatta, Sjahrir, Iwa Kusuma Sumantri dan Dokter Tjipto Mangkusumo pernah merasakan surga di tanah Banda.

Kemudahan akses trasportasi udara (pesawat) dan laut (kapal) terutama ketika pelabuhan Banda dapat disinggahi kapal Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) sebagai urat nadi trasportasi masyarakat dari dan ke Banda Naira menjadikan daerah ini terbuka luas bagi dunia luar. Namun ironis, hingga sekarang masih berstatus kecamatan (Kecamatan Banda) yang berada di bawah kuasa pemerintahan Kabupaten Maluku Tenggah. Padahal fakta sejarah mengungkapkan bahwa Banda Naira merupakan daerah yang dulu pernah menjadi pusat admistrasi pemeritahan Belanda (Goverment van Banda) di Maluku. Itulah sebabnya masyarakat di kapulauan ini menganggap potensi kekayaan alam yang dimiliki daerah ini belum sepenuhnya terkelolah dengan baik untuk kesejateraan masyarakat Banda.

Titik Nol Jalur Rempah

Sejarah telah mencatat Banda Naira sebagai pusat produsen pala dan fuli (bunga pala) dengan kualitas terbaik dunia sejak berabd-abad lampau. Tanaman endemik itu merupakan agugrah Tuhan untuk Banda. Pelaut Portugis Tome Pires (1465-1540) dalam Suma Oretal mencatat, bahwa komoditas itu tidak ditemukan di tempat lain. Daya tarik rempah, bukan saja karena sangat dibutuhkan manusia dalam berbagai kepentingan tatapi juga mampu membawa perubahan besar dalam arus sejarah dunia. 

Rutenya kata Pires dari Malaka melalui Laut Jawa dengan menyingahi kota pelabuhan Jepara dan Gersik, biasaya pedagang menurungkan barang dagangannya untuk berdagang di dua kota pelabuhan tersebut kemudian barulah melajutkan pelayaran menuju Sumbawa dan Bima.  Kapal-kapa dagang membuat persiapan perbelakan, mengakut air dan selanjutnya berlayar ke Kepulauan Banda di Maluku Tenggah. 

Pelayaran Tome Pires itu bila dinterpertasi pada pelayaran kapal dengan menggunakan tenagga angin, maka jalur tersebut  mengikuti arah angin muson Timur. Apabila kapal mengikuti arah angin muson Barat maka jalurnya dapat di telusuri dari Malaka ke Banda Naira melalui Jawa, Makassar, Buton, dan selanjutnya menuju Kepulauan Maluku. 

Komoditas rempah, cengkeh, pala dan bunga pala adalah barang langkah dan bernilai ekonomis tinggi saat itu, mendorong penjelajahan ruang samudra oleh para pedagang lokal maupun manca negara untuk mencari keuntungan dinamis. Dari tempat asalnya yang jauh di pulau-pulau kecil tropis Banda Naira, pala dan bunga pala mengalir ke pasar Vensesia, Belgia dan London, dengan melewati jalur yang berliku-luku, hampir mengelilingi setengah bumi, lewat jasa manusia dari berbagai suku bangsa bahasa dan krakter yang berbeda. Inilah ekspedisi Jalur Rempah yang dilakukan oleh berbagai bangsa dengan penuh tantangan dan resiko kematian yang mengintai pada setiap jalur laut yang lalui.

Dalam konteks itu, jalur rempah tidak hanya soal pertukaran komoditas niaga maritim, tetapi juga bicara tentang silang budaya dan siar keagamaan di Nusantara. Jejak-jejak sejarah itu kini masih tersimpan rapi di Banda Naira sebagai warisan sejarah. Itulah sebabnya, ketika pemerintah akan mengusulkan Jalur Rempah untuk menjadi Warisan Budaya Dunia (UNESCO), maka sudah sepantasnya Banda Naira menjadi Titik Nol Jalur Rempah Nusantara. Pasalnya kawasan kepulauan itu merupakan penghasil utama pala dan fuli yang menjadi magnet dunia maritim global di masa lalu.** (K.R)

 

 

 

Share:

Unordered List

3/sosial/post-list

Latest blog posts

3-latest-65px

BTemplates.com

3/sosial/col-right
Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Statistik Pengunjung

Ekonomi

3/ekonomi/col-left

Publikasi

3/publikasi/feat-list

Error 404

Sorry! The content you were looking for does not exist or changed its url.

Please check if the url is written correctly or try using our search form.

Recent Posts

header ads
Ag-Historis

Text Widget

Sample Text

Pengikut

Slider

4-latest-1110px-slider

Mobile Logo Settings

Mobile Logo Settings
image

Comments

4-comments

Budaya

budaya/feat-big

Subscribe Us

Recent Posts

sejarah/hot-posts

Pages

Popular Posts