Acara Nobar Film G30S/PKI oleh BEM STP-STKIP Hatta Sjahrir Banda Naira, Jumat 1 Oktober 2021 |
Film Penumpasan Gerakan Tiga Puluh September Garis Miring Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI), yang disutradarai Arifin C. Noer, merupakan salah satu di antara film yang paling terpopuler di masa Orde Baru. Setelah Pusat Produksi Film Negara mempersembahkan film berlatar sejarah, diantaranya "Enam Djam di Jogja pada tahun 1951, Janur Kuning tahun 1979 dan Serangan Fajar pada 1981." Tiga film sebelumnya, menampilkan kisah heroik tentara yang membela negara dari cengkraman kolonialisme Belanda pasca Indonesia Merdeka.
Sedangkan film G30 S/PKI diproduksi tahun 1984, menampilkan konflik sesama anak bangsa Indonesia, antara yang berhaluan Komunis versus Pancasila. Garuda yang sakti terus berjuang mengkepalkan sayapanya melalui peran tentara, sebagai garda terdepan menumpas tentara yang berhaluan komunis dan antek-anteknya pasca kontra revolusi tanggal 1 Oktober 1965. Karena itulah, 1 Oktober dikenang sebagai hari "Kesaktian Pancasila."
Tulisan ini tidak akan mengulas lebih jauh siapa PKI? Akan tetapi, jelas film G30 S/PKI yang diproduksi pada masa Orde Baru itu, menjadi tontonan wajib bagi anak sekolah setiap tanggal 30 September. Kemudian berhenti tayang setalah era reformasi. Ketika kebebasan berpendapat tak lagi dibungkam. Banyak orang mulai ragu dan bersikap kritis dengan kebenaran film itu, bahkan ada orang terang-terangan meyalahkan presiden Orde Baru yang berhasil mengkudeta presiden Orde Lama karena hadirnya peristiwa kelam tersebut.
Jelas di masanya, tidak hanya pelajar, orang tua pun ikut berlomba-lomba menonton. Bagi Anda yang telah lahir dan mengerti di masa itu, mungkin memiliki kenangan tersendiri yang sungguh asik saat dilukiskannya kembali. Betapa sulitnya untuk bisa menonton tayangan TV berwarna hitam putih abu-abu berkedip-kedip, tapi asik.
Saya hanya ingin berbagi kenangan menonton film G30 S/PKI, yang beberapa tahun terkhir ini sering menjadi wacana heboh yang kontroversial di sosial media saat tanggal 30 September tiba. Seakan sakral ketika sekelompok orang ingin memutarnya kembali. Padahal untuk memutar kembali film itu, tak perlu menunggu 30 September, kapan pun Anda bisa nonton.
Syaratnya mudah, cukup sediakan pulsa data, akses internet download dari yotube atau channel lainnya. Lalu tontonlah dengan sepuas hati sambil menyeruput kopi bersama pasangan Anda. Rasakan sensasinya, sembari menikmati kue di atas meja. Asik kan! Tak ada yang melarang, tak ada yang nynyir. Apalagi harus mencibir sana-sini. Anda bisa membedanya bersama pasangan, sambil memakai bedak juga boleh. Agar setelah nonton, Anda bisa jalan-jalan ke taman kota. Tak usah pusing dengan covid, asal sudah vaksin, tetap patuhi prokes, jangan lupa pakai masker.
Gampang mengakses film itu, tak sesusah tahun 1990-an yang butuh perjuangan panjang untuk bisa menonton satu episode. Dulu di kampung kami, Amaholu, Seram Bagian Barat, Maluku, di era 1990-an, hanya ada sebuah televisi milik kepala kampung, guru haji (tokoh yang karismatik pencetus sekolah Muhammadiya MI dan MTs Amaholu). Banyak orang dari kampung tetangga karena belum punya televisi, rela datang berkelompok, bergadang di kampung kami demi untuk nonton film G30 S/PKI. Di tengah kondisi jalan yang berbatu terjal tak beraspal. Nonton pun tak gratis, penonton harus membayar karcis sebelum masuk rumah yang punya televisi.
Meski bukan studio, tapi tidak ada layar lebar yang di diakses bebas. Semua jendela di tutup rapat, tak ada uang tak bisa nonton. Untuk mendapatkan tempat duduk yang dekat dengan televisi, orang-orang biasanya sudah hadir di depan televisi sejak jam 7 malam. Namun dikenakan bayaran dua sampai tiga kali, tergantung sinema yang ditonton. Sebelum film inti masuk pada jam tayang di Channel Televisi Republik Indonesia (TVRI), menjelang seperdua malam.
Penonton pun berdesak-dekasakan bila tak ada tempat duduk, berdiri pun rela asalkan mendapatkan posisi menyaksikan siaran televisi dari jarak dekat. Beberapa orang harus naik di atas pohon kelor agar bisa menyaksikan film itu dari balik pantulan jendela kaca. Tetap menikmatinya dengan asik.
Di tengah adegan film berlangsung seruh, sesekali peneonton berteriak histersis terbawa emosi. Seakan pula merasakan sakit ketika alur cerita menampilkan aksi kekejaman tentara PKI yang menculik para jenderal bintang, yang melawan di tembak, yang diam digiring, diitrogasi, disilet lalu dieksekusi ke Lubang Buaya, Jakarta, dengan nyanyian “Genjer-Genjer” dari perempuan-perempuan yang berperan sebagai Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia).
Usai menonton pada paginya di setiap tempat di samping sekolah, anak-anak murid mulai membedah film yang ditontonya malam. Kepada mereka yang juga sama-sama menonton dan menyaksikan film itu. Akhir dari kesimpulan cerita liar itu, PKI Biadap tak berprikemanusiaan.
Ets...jangan tertawa sendiri bila membanyangkan kenangan menonton film pemberontakan G30 S/PKI, tempo dulu. Pasalnya di film itu ada duka negara, ada pula semangat juang membela Pancasila. Darah dan air mata dikorbangkan demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pahlawan Revolusi disiksa setengah mati. Setelah mati, masih juga di timbun pisang, dihilangkan jejaknya di Lubang Buaya. Tak ada belas kasih, tak ada rasa kasihan kepada para tentara jendral bintang sasaran eksekusi, yang juga dieksekusi oleh tentara bawahan yang dirasuki ideologi komunis. Komunis memang kejam. Begitulah film itu berkisah. Semoga arwah mereka tenang dikeabadian sana. Allah melapangkan kubur bagi mereka yang diberi gelar oleh negara sebagai “Pahlawan Revolusi” dengan suka duka dan doa-doa dari anak bangsa yang cinta negara, cinta Pancasila, cinta NKRI.
Meski kisah itu hanyalah adegan film, tetapi negara
pancasila di bawah kuasa Orde Baru berhasil membuat sejarah. Inilah yang
disebut dengan sejarah yang diciptakan, sejarah yang dikehendaki bukan sejarah sebagaimana
adanya. Anak sekolah di masa Orde Baru tak pernah bertanya Siapa PKI? Mengapa
yang menculik Jenderal seperti yang ada di film itu tentara, punya senjata? Dari mana mereka memperoleh senjata? Mengapa
Soeharto yang berperan penting dalam penumpasan G30 S/PKI bukan sasaran
Penculikan? Bukankah Letnal Klonel Untung sebagai pemeran utama dalam video penculikan
itu memiliki hubungan kedekatan dengan Soeharto? Mengapa pula petinggi angkatan
Udara Marsekal Madya TNI Omar Dhani Kepala Staf TNI Angkatan Udara terlibat
PKI? Yang membuat peran TNI Angatan Udara terkucilkan
di masa Orde Baru? Bagaimana dengan nasip para Tapol (tahan politik) rakyat di Pulau Buru yang
dituding PKI? Mereka yang dilebeli PKI di Pulau Buton tahun 1960-an, di bunuh
tampa diadili? Sebetulnya masih banyak lagi pertanyaan-pertanyan yang kritis untuk
mengungkap fakta sejarah yang jangal, bukan seperti kebenaran sepihak dalam skenario film itu? Memang yang namanya film tak terlepas dari peran agensi dan aktor.
Ah.....Sudalah itu memang pertanyaan anak sekolah jaman sekarang, yang hidup bebas, bebas bertanya tampa tekanan dan bayang-bayang Orde Baru. Ada yang bilang menonton film itu wajib, agar anak bangsa tahu betapa kejamnya komunis yang telah menculik dewan jenderal, membunuh ulama, tak ber-Tuhan dan sebagianya.
Ada pula yang menganggap, bahwa menonton film tersebut hanya akan mengangkat luka lama, dosa negara kepada mereka yang dilebeli PKI, yang sebetulnya tidak tahu-menahu soal komunis. Mereka yang di Pki-kan hanya karena menerima sembako gratis dan bantuan logistik kebutuahan hidup sesaat saat lalu seketika dianggap menjadi antek-anteknya. Menerima eksekusi tampa proses peradilan.
Belajarlah dari sejarah dengan tampa harus menghakimi. Mengungkap kebenaran atas data dan fakta. Film G30 S/PKI merupakan satu keberhasilan negara menanamkan kebencian kepada PKI di tangah-tengah masyarakat Indonesia. Menambah legitimasi Soeharto untuk berkuasa selama 32 tahun. Karena itu, tontolah film tersebut secara kritis, tampa harus menunggu 30 September, sebagai pembelajaran sejarah. Karena dengan menoton film itu, maka ideologi Pancasila menjadi kuat. Tak perlu lagi khwatir berlebihan, yang justru memberi ruang membesar-besarkan idelogi Komunis di Indonesia.
Kita bangsa Indonesia, menolak ideologi markisme, jangan hidup di negara yang pancasilais dan agamais. Akan tetapi, belajar untuk mengenal idelogi tampa kelas markisme, juga suatu keharusan bagi yang berfikir, agar kita tetap pada tataran yang seimbang, sebagai warga negara yang tak membenci sejarah. Bukan pula menjadi warga yang sok berhaluan kanan, lalu membakar buku kiri, jendela ilmu. Jangan biarkan komunisme hidup di negeri ini, karena kita bangsa Indonesia punya ideologi sendiri. Ideologi yang digali dari akar budaya dan sejarah leluhur. Selamat Hari Kesaktian Pancasila.*** (K.R).
Penulis : Kasman Renyaan
Dosen Prodi Pendidikan Sejarah STKIP Hatta Sjahri Banda Naira
0 Komentar