Jejak Perahu (Bangka) di Pantai bantai barat Seram Hatwano |
Tulisan ini menampilkan gambaran singkat, tentang pelaut Buton dari Kampung Amaholu, pantai barat Seram, Maluku, di zona perdagangan maritim Laut Jawa abad ke-20. Begitu banyak kisah tentang pelayaran dan perdagangan maritim dari kampung itu. Masing-masing di antara mereka (orang tua) yang hidup di kampung itu, mempunyai kisah tersendiri ketika menuturkan pengalaman masa lalunya. Meskipun tidak ada catatan tertulis dari aspek kebaharian itu. Akant tetapi, bukan berarti no dokumen no historis (tidak ada dokumen tidak ada sejarah).
Karena itu, tradisi lisan menjadi sumber penciptaan sejarah. Begitulah orang-orang kecil yang hidup di daerah terpencil. Tentang apa yang dialaminya di masa lalu, hanyalah sekedar ingatan dalam memori kolektif dalam masyarakatnya. Namun, apabila ditanya tentang metode dan teknik berlayar tampa kompas dan tampa peta, mereka bisa menjelaskannya dengan mudah. Teknik berlayar dengan tenagga angin sebagai pengerak perahu, pengetahuan tentang arus dan sebaran karang di laut, maka dapat menjelaskan itu dengan gampang.
Bahkan pengalaman dan kepawaian mereka dalam berlayar, melebihi para sarjanan pelayaran. Mereka hanya punya pendidikan dasar, tetapi dalam hitungan barang dagang menyangkut untung-rugi, jarang memakai kalkulator. Istilahnya, “kali-kali Binogoko” menjadi andalan mereka dalam hitungan dagang.
Di kampung Amaholu, hampir semua masyarakat khusunya para lelaki dewasa, bekerja disektor maritim. Berlayar dan berdagang keliling, menjadi pekerjaan unggulan hingga hari ini. Anggapa masyarakat kampung itu berlayar adalah kehidupan itu sendiri. Komunitas maritim orang Buton Cia-Cia, yang membangun peradaban di pesisir pantai barat Huamual, Maluku, sampai sekarang masih melestarikan budaya maritim.
Warisan leluhur tersebut, telah dilakukan dari generasi ke generasi. Dari pekerjaan berlayarlah, generasi mereka dapat nengenyam dunia pendidikan. Berhenti dari pekerjaan itu, sama saja mencekik leher.
Di Kampung Amaholu, berlayar dengan perahu (bangka) menjadi budaya maritim kaum lelaki dari remaja hingga dewasa. Bangka merupakan sarana penghubung dan mendekatakan pulau-pulau di Kepulauan Nusantara. Mirisnya sarana berlayar itu kini hanyalah kenangan yang banyak mengukir kisah masa lalu. Perahu bangka tak lagi terlihat berjejer di pelabuhan kampung seperti era 1990-an, bahkan jejaknya pun sulit di jumpai lagi. Bangka sekarang tergantikan oleh kapal motor dari bahan dasar piber (Motor Piber).
Puluhan Motor Piber kini mewarani pelabuhan Amaholu. Meskipun menggunakan Motor Piber sebagai sarana berlayar, tetapi pola dan metode dagangannya masih tergolong sama, yakni menjajakan barang dari satu kampung ke kampung yang lain, dan dari satu daerah ke daerah yang lain, di pulau yang sama maupun di pulau yang berbeda.
Pekerajaan ini penuh resiko, karena komuditas adalannya adalah BBM (Bahan Bakar Minyak), yang dioperasionalkan untuk sejumlah daerah pelosok di Kepulauan Maluku, bahkan hingga ke kawasan Maluku Utara. Mereka termasuk pemasok ekonomi untuk daerah terpencil ketika pemerintah daerah setempat, tak bisa menjangkau langsung warganya. Bahkan penduduk yang didatangi sangat tertolong dengan keberadaan para pelayar-pedagang keliling itu. Itulah sebabnya, jaminan keamanan terkadang datang dari seluruh warga desa, tempat di mana pelayar menjajakan BBM-nya.
Boleh dibilang pekerjaan ilegal, tetapi keberadaanya sangat membatu dan dibutuhkan masyarakat di daerah plosok negeri terpencil di Kepulauan Maluku. Apa boleh dikata, itulah pekerjaan keseharian sebagai pelaut yang hidup di kawasan pesisir. Tak jarang mereka tertangkap oleh aparat negara, terlebih jika setoran kurang dari yang diinginkan oleh oknum-oknum aparat itu. Bahkan untuk mendapat jatah lebih, oknum aparat yang boleh dibilang nakal itu, sering kali mengunakan cara-cara Bajak Laut, alias illegal. Sebab kehadiranya, tak ada perintah resmi dari “Raja Laut” (surat tugas).
Menangkap
kapal motor mereka di tengah laut dan kemudian memintahi jatah. Bukankan itu
bagian dari pekerjaan dari Bajak Laut? Apalagi ketika jatah tak bisa dipenuhi,
Bui menjadi jurus andalan untuk menakut-nakuti para pelayar-pedagang, Amaholu.
Karena itulah, dalam berlayar seorang Juragang tidak hanya pandai membaca
fenomemena alam di laut, tetapi juga memiliki kepawaian dalam berkomunikasi
dengan siapa saja, termasuk dengan aparat pemerintah. Bila sewaktu-waktu harus berurusan dengan alat negara.
Untuk memudahkan pekerjaan juragang, terkadang disiapkan dua juragan dalam satu perahu, yakni juragang darat dan juragang laut. Dengan tugas masing-masing menagani porsihnya. Begitulah pekerjaan para pelaut yang penuh resiko. Keluar masuk Bui, tak lantas bisa menyurutkan langkah dan semangat mereka untuk bekerja disektor maritim itu. Istilahnya, kerja keras yang penting halal. Karena kata mereka, “kami bukan pencuri” seperti para koruptor di negeri ini.
Kalaupun dirunut kebalakang, pekerjaan berlayar dan berdagang oleh pelaut Amaholu adalah warisan masa lalu. Budaya bahari ini, telah dilakukan sejak orang tua mereka terdahulu, sejak negara Indonesia belum ada, sejak Polisi dan tentara (aparat negara) Indonesia belum ada, sejak Kolonialisme Belanda, hingga munculnya Impralisme Jepang, sampai hari ini mereka masih terus memugungi laut, memungungi selat, dan teluk. Meminjam istilah Presiden Jokowi “Jalveva Jayamahe” Justru di laut bangsa ini berjaya. Demikian pula, para pelaut Buton di Kampung Amaholu, justru di laut mereka berjaya pula.
Bagi mereka, laut adalah kehidupan. Ombak dan badai, di musim timur dan barat, tak bisa menciutkan nyali mereka untuk mencari nafkah di ruang samudra. Olehnya itu, sudah sewajarnya, mereka disebut “Duta Bahari.”
Indonesia kini berbangga dengan sebutan “Poros Maritim Dunia,” tetapi semua itu tidak terlepas dari peran suku bangsa maritim di negari ini, termasuk pelaut Buton di Amaholu. Akan tetapi, negara tidak pernah menghargai itu dengan tidak memberikan kebebasan penuh kepada pelayaran rakyat untuk mengais sejumlah keuntungan dalam dunai pelayaran dan perdagangan maritim rakyat.
Undang-Undang diperketat, hingga ruang gerak pelayaran rakyat menjadi terbatas. Itulah sebabnya, bangka ditinggalkan oleh para pelayar-pedagang di Amaholu. Sebab, banyak diantara mereka merasakan Bui. Keluar dari tahanan, bangka mulai ditinggalkan. Ilegal, menjadi alasan negara membunuh pelayaran rakyat. Ruang gerak pelayaran rakyat dipersempit, hanya karena batasan terotorial antar satu daerah dengan daerah lainya, meskipun di negara yang sama, Indonesia.
Padahal pelaut tidak pernah mengenal batas teritorial daerah, mereka akan terus berlayar selama itu masih dalam batas teritorial negara Indonesia. Inilah cara pandang dan serahkannya orang daratan, yang tidak pernah memahami aktifitas orang laut. Padahal laut bukanlah pemisah, tetapi penghubung. Karana itulah, Indonesia disebut negara kelautan terbesar di dunia. Kata archipelagic state, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kini sebagai negara Kepulauan.
Sekali lagi, laut adalah penghubung bukan pemisah. Ini sejalan dengan ungkapan Sejarawan Denys Lombard, bahwa laut yang tampaknya memisahkan, sebenarnya mempersatukan. Hubungan ekonomi dan kebudayaan lebih sering terjaling antara pantai yang satu dengan pantai yang lain, daripada antara satu daerah dengan daerah yang lain di pulau yang sama.
Dalam
kontes itu, pelayaran dan perdagangan maritim dapat mendatangkan dua
keuntungan dinamik bagi para pelakunya; pertama, vent for surflus (peluang
untuk suplus). Hal ini membuka kemungkinan komuditas yang awalnya tidak benilai
ekonomis menjadi bernilai ekonomis. Misalanya cengkeh, pala, fuli, lazimnya
disebut rempah-rempah, pada awalnya tidak bernilai ekonomi bagi penduduk
Maluku, sehingga dibiarkan tumbuh liar di hutan-hutan Kepulauan Maluku di zaman lampau.
Akan tetapi, ketika rempah-rempah itu dibawa dan diperkenalkan oleh para pedagang Cina kepada pedagang Eropa, membuat komudiatas ini menjadi paling di minati di pasaran global, kala itu. Itulah sebabnya, mendorong orang Eropa bergiat mecari komuditas tersebut langsung dari negeri induknya (Maluku). Komuditas niaga tersebut, tutut mempengaruhi jalanya sejarah Indonesia, yakni munculnya sistem kolonialisme dan imperalisme. Komoditas lainnya Teripang, semula komuditi ini sangat menjijikan bagi penduduk pribumi karena lendirnya. Setelah diperkenalkan dalam perdagangan maritim, komuditi itu merangsang gairah masyarakat Sulawesi Selatan (Bugis dan Makassar) untuk mencarinya ke kawasan Indonesia bagian timur bahkan sampai pantai Australia. Komuditi terakhir membuka jaringan niaga maritim Makassar dan China serta kemudian negara-negara Eropa.
Kedua, transfer of teknologi know how (tarasfer pengetahuan dan teknologi). Hal ini menunjukan pada mempelajari pengetahuan dan teknologi pihak yang dipandang lebih maju untuk membangun dan memajukan kegiataanya. Orang Buton misalanya, banyak mendapat pengetahuan dan teknologi pembuatan perahu dari bangsa asing. Model perahu Jungku (Junk) dengan sistem layar nade, dan pengunaan layar jipu (jip) untuk memudahkan teknik berlayar menyamping (opal), atau teknik zig-zag (mengergaji).
Pengetahuan itu diperoleh mereka dari orang Inggris ketika berlayar dan berdagang di Nusantara. Bahkan dalam istilah budaya kebaharian mereka banyak mendapat sarapan dari bahasa asing. Misalnya kata Boti, istilah ini di kalangan pelaut Buton untuk menyebut jenis perahu berukuran besar (Lambo/Bangka). Istilah ini diadopsi dari bahasa Inggris, “Boat” (perahu). Ungkapan ini sering kali dengar oleh pelayar-pedagang Buton ketika sedang berada di Sangkapura (Singapura).
Mereka sering kali mendengar orang Inggris menyebut perahu mereka dengan “Boat” (boat from Indonesia). Untuk mengawetkan ingatan kolektif mereka ketika kembali ke kampung halamanya, mereka pun menyebut perahunya dengan Boti” sesuai bahasa daerah yang dilafaskan. Atau lego (dari kata lets go) untuk aktifitas melempar sauh saat hendak melabuhkan Boti (Baca; Hamid, 2011).
Pelayaran dan perdagangan maritim, dalam kurun niaga abad ke-16 Masehi hingga abad ke akhir abad ke-19, telah mendorong sejumlah kerajaan di Nusantara untuk turut serta mengais sejumlah keuntungan. Partisipasi aktif sejumlah suku bangsa dalam pelayaran niaga itulah, kini menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Namun kebesaran atas dunia maritim itu, tidak bisa terlepas dari peran besar sejumlah kelompok suku bangsa maritim di negeri ini. Buton, Bugis, Makassar, Mandar, dan Madura, dalam batas tertentu merupakan duta maritim negara ini. Kepandaian mereka membuat perahu dan berlayar mengarungi ruang samudera telah mengukuhkanya sebagai pewaris tradisi maritim Melayu-Polinesia dan bangsa Indonesia hari ini. Demikian kata Adrian Horiddge (1986), dalam bukunya, “Sailing Boat of Indonesia.”
Bagi orang Buton, laut adalah kehidupan itu sendiri. Mereka tidak hanya bisa berlayar, tetapi juga pandai membuat perahu (Bangka) dan membentuk jaringan dagang disetiap daerah yang di datanggi. Fakta tersebut telah menguatkan Buton sebagai kerajaan yang bercorak maritim. Partisipasi aktif dalam jarigan pelayaran dan perdagangan maritim itu, tidak hanya dipelopori oleh mereka (golongan atas) yang hidup dilingkaran istana, tetapi masyarakat bawah pun ikut-serta ambil bagian didalamnya.
Lagi-lagi penulisan sejarah cundrung menampilkan peran besar para penguasa atau dari golongan atas, sehingga cendrung mengabaikan peran masyarakat bawah dalam pangung sejarah kemaritiman bangsa Indonesia. Alhasil, masyarakat kecil yang hidup di daerah terpencil, luput dari perharian sejarawan, sehingga rekam jejak kebaharian mereka tenggelam bersama nama besar kerajaan itu sendiri.
Hal ini tentunya, sangatlah berbada dengan penghargaan yang diberikan oleh bangsa barat kepada pelaut-pelaut mereka. Mungkin karena pelaut-pelaut barat itu, mendapat bantuan dari pihak kerajaan atau diketahui negara ketika berlayar. Dan didukung dengan bukti historis (catatan) dari perjalanan pelayaran mereka. Sehingga negara menghargai jasa itu, sehingga mereka dijuluki sebagai pahlawan maritim. Sebut saja Colombus, Tome Pires, Verdinand Magelang, dan lain sebagainya. Meskipun mereka telah tiada, tetapi nama besar mereka masih akan terus dikenang sepanjang sejarah kelauatan. Bahkan keterangan pelaut Eropa itu, menjadi pengetahuan maritim dunia hari ini.
Padahal dari sisi ukuran waktu lama berlayarnya, tak selama waktu berlayarnya para pelaut Binongko. Termasuk Pelaut Amaholu, ada yang lebih 30 tahun mengarungi laut. Itulah sebabnya, tulisan ini menampilakan kelompok maritim yang hidup di daerah terpencil dan tidak diketahui keberadaanya dalam panggung sejarah kebaharian Indonesia, lebih khususnya Buton sebagai salah satu suku bangsa bahari di negeri ini.
Dalam sejarah kebaharian di kampung Amaholu, pelaut mereka pun turut ambil bagian dalam pelayaran dan perdagangan maritim sejak abad ke-19. Sejak ditetapkannya, Sangkapura (Singgapura), sebagai pelabuahan pasar bebas pada 1819 yang digagas oleh pererintah Inggris di bawah pimpinan Letnan Gubernur Thomas Stamfor Raffles.
Dengan dukungan pedagang dari Sulawesi Selatan (termasuk pedagang Bugis, Makassar, Mandar dan Buton) yang ketika itu dikenal dengan sebutan pedagang Bugis. Turut memikat pedagang maritim di kawasan ini, termasuk di dalamnya Pelayar-pedagang Amaholu.
Fakta tersebut didukung pula oleh adanya keterangan tiga orang calon jamaah haji, seperti yang dikisahkan generasinya di Amaholu. Ketiga calon jamaah haji itu, berangkat dari Amaholu pada tahun 1912, yakni Haji Muminin, Haji Hamza, dan Haji Rapiudin. Ketiga haji ini berlayar dari Kampung Amaholu, Seram Barat, dengan perahu Bangka. Diantar oleh Haji Patani, dan beberapa sabangka (teman) dalam dalam satu bangka, berlayar menuju Singapura. Dari Singgapura, calon haji ini menuggu kapal di sana untuk melanjukan perjalanan mereka ke tahah suci Mekah. Singkatnya, jalan di zona itu, sering mereka datangi, hingga jalur untuk sampai ke Singapura dengan mudah di datanggi dan di lewati mengunakan angin muson timur.
Karena itulah, pelayar Amaholu pun turut mengharumkan nama besar Buton sebagai suku bangsa bahari Indonesia hari ini. “Kami orang Buton” demikian kata Pelaut orang Amaholu, apabila setiap kali ditanya orang lain tentang asal mereka ketika sedang berdagang dan menjajakan dagangan.
Dalam konteks itu, “Kecakapan juragang dan kepatuatan tehadap komandonya, akan menetukan keberhasilan dan keselamatan perahu dalam berlayar.” Begitu pula prinsip pelaut Amaholu, dalam melakoni pekerjaan mereka sebagai pelayar-pedagang. Bahkan anggapan tak lengkap, hidup Amaholu, apabila diantara generasi mereka belum meresakan ganasnya badai dan hantaman ombak di ruang samudra
Itulah sebabnya, generasi mereka (1990-an) yang sudah berumur belasan tahun, sering kali diajak melaut. Mulai dari koki hingga kemudian tampil sebagai nahkoda, mengantarakan perahu (Bangka) untuk di layarakan.
Kepawaian mereka berlayar dan membaca fenomena alam di laut, telah menjadi sebuah prestise sosial bagi mereka dalam setiap kali berlayar. Prinsip satu teman, dan satu tujuan, di dalam berlayar menjadi spirit dan nilai utama kebaharian mereka. Olehnya itu, sekali menancapkan layar pantang membalikan rope (haluan), apalagi harus berbalik ke wana (balik ke kampung), sebelum berhasil dan membawa hasil dalam pelayaran itu.
Laut dianggap sebagai kehidupan itu sendiri. Aktifitas yang dilakoni orang Buton rantau ini, tidak hanya menjadikan laut sebagai pendapatan mereka, tetapi laut pun dipandang sebagai penghubung yang menyatukan Kepulauan Indonesia. Wilayah Indonesia dari Sambang Sampai Maroke, telah mereka datangi atau hanya sekedar di lalui, itupun dianggapnya dekat. Laut Jawa menjadi zona perdagangan yang paling popular dikalangan pelaut Amaholu di abad ke-20. Istilahnya, dalam bahasa mereka “Pikajajawaa” (sering berlayar ke Jawa).
Kisah Redupnya Cahaya Bahari di Sisi Timur Laut Jawa
Di tahun 2000-an, sebuah perahu (Bangka) dari Kampung Amaholu, Cahaya Bahari dengan kapasitas muatan 40 ton, dalam pelayarannya dari Seram Barat (Amaholu), menuju Gersik, Jawa Timur, mengalami kecelekaan di Selat Madura, sekitar pukul 16.30 WIB. Perhunya terbelah, dan penuh air. Meskipun panik, namun insting mereka sebagai pelaut pun berjalan
Tas pakaian dan uang yang bisa diselamatkan dibawa pergi. Meskupun sudah kemasukan air, para awak masih berfikir untuk melabuhkan bangka, sehingga tidak terbawa arus laut. Beberapa awak yang lain bergerak mengambil kole-kole (sampan) perahu, mendayung menuju darat untuk mencari pertolongan. Sementara sebagian yang lainnya, menjaga perahu. Walaupun jarak tempuh masih jauh dari tempat mereka mengalami musibah itu. Namun semangat menyelamatkan perahu dan teman mereka, membuat empat orang pendayung kole-kole itu begegas agar cepat untuk sampai ke darat.
Berikut penuturan pelaku sejarah yang mengisahkan masa lalunya kepada penulis di Kampung Amaholu, 05 September 2015;
“Kami berlayar dengan Bangka Cahaya Bahari (tonase 40 ton), berjumlah 9 orang. Enam orang awak perahu, dan tiga orang penumpang. Perahu kami sarat dengan muatan cengkeh dan kopra. Muson timur kami berlayar. Dan mulai pelayaran dari (Amaholu), Seram Barat-Maluku, tujuan ke Gersik, Jawa Timur. Namun kami mengalami musibah saat memasuki tanjung pangkal, dekat pulau Buatan (Jepang), di selat Madura.
Permasalahannya adalah perbedaan pendapat diantara para awak dan jurangang. Didorong oleh ketertarikan sebagaian teman kami ketika melihat cahaya lampu, di Surabaya, yang kian dekat, sehingga membuat sebagaian awak tak sabar dan ingin cepat-cepat sampai ke tujuan. Tetapi, ada pula sebagian awak yang lain, inginya bermalam. Karena dari pengalaman orang yang berlayar ke Jawa, apabila sudah sampai di jalur itu di malam hari, maka mereka harus bermalam. Di pagi harinya, barulah melanjutkan perjalanan.
Pasalnya, apabila berlayar di malam hari pada jalur tersebut, selain jarak pandang terbatas, juga beresiko tinggi karena banyak kerusakan kepal tersebar di sekitaran jalur laut tersebut."
Sempat terjadi perdebatan sesama awak di dalam perahu beberap waktu. Karena terjadi perbedaan pendapat, juragang memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Diskitar Tanjung Pangklal Madura, penujujuk jalan memerintahakan kepada juru mudi untuk hasa (mendekat) sebuah lampu merah yang dipasang ditengah laut. Tidak diketahui untuk apa lampu merah ditengah laut itu dipadang. Padahal lampu merah tersebut sebagai penanda, kalau di wilayah itu, ada kapal rusak.
Lampu mereh itu dipasang dengan masksud agar orang yang berlayar melewati jalur tersebut memahami sebagai tanda bahaya. Bangkai kapal yang hanya mengapung diatas permukaan air laut. Kami mengirahnya meti (darat), dengan kelajuan mesin dua buah, hingga kami tidak sempat memalingkan arah kemudi dan akhirnya menabrak kapal rusak yang yang mengapung ditengah laut itu, sekitar jam 06.30 menjelang malam. Rope (depan) perahu kami terbelah, air mulai masuk.
Perahu kami tidak tenggelam sepenuhnya, tetapi terapung di atas permukaan air laut. Laut di Jawa itu tidak begitu dalam, meskipun masih berada di tengah laut, sehingg kami bisa menjatuhkan jangkar dan melabuhkan perahu. Sementara air sudah masuk di dalam perahu. Selama sehari-semalam kami menahan dingin, mengapung dan berada di atas kap perahu. Teman kami ada sebagian yang mencari pertolongan ke darat dengan mendayung koli-koli perahu. Dari jam 6 menjelang manelang malam hingga besoknya setengah sembilan pagi, baru pertolongan datang.
Orang-orang Madura yang melihat kami tidak mau membantu. Sementara untuk mendapatkan pertolongan dari darat harus menyewa mereka. Katanya, “bayar dulu, baru bisa ditolong.” Bagaimana bisa kami membayar mereka, sedangkan perahu kami sudah tenggelam dan kami tak punya uang. Bukannya membantu, tetapi justru satu muatan perahu tonase 30 ton kopra, diambil orang-orang Madura di sana.
Tali jangkar perahu dipotong, kami hanya bisa pasrah melihat keadaan itu. Kata mereka, perahu yang sudah tenggelam, maka isi perahunya sudah menjadi hak mereka untuk mengambilnya. Apalah daya, kami hanya bisa pasrah melihat prilaku mereka menjul muatan kami di salah satu CV di sana (Surabaya). Demikian kisah seorang pelayar-pedagang di Kampung Amaholu yang mengisahkan masa lalunya.[1]
[1] Tulisan di atas sekedar mengisi waktu, membaca sumber menulis sejarah, Inspirasi muncul saat membuka kembali catatan penulis di waktu bercerita dengan seorang pelayar, mantan juragan perahu di Kampung Amaholu, Seram Bagian Barat-Maluku, beberapa bulan lalu. Minggu, 06 Desember 2015.
Konten ini di tulis Kasman Renyaan (KR) telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Duta Bahari: Kisah Pelaut Amaholu di Zona Pelayaran dan Perdagangan Maritim Abad ke-XX",
0 Komentar