Orentasi kehidupan mereka yang seperuhnya bergantung pada kegiatan mencari sumber-sumber hidup di laut turut mempengaruhi citra Buton sebagai kerajaan bercorak maritim. Karena itulah, sejarawan maritim Asia Tenggara Adrian B. Lapian mengatakan, orang Buton bersama Bugis, Makasar dan Mandar, menjadi pewaris tradisi maritim Melayu-Polinesia dan bangsa Indonesia hari ini. Dalam mengarungi ruang samudra, mereka memiliki komitmen dan semangat juang bersama untuk mencapai tujuan pelayaran. Komitmen itu dikenal dengan istilah “Sabangaka Asarope,’ yang berarti satu teman satu tujuan. Komitmen dalam kata dan perbuatan dibangun sebelum dimulainnya pelayaran.
Dalam catatatan sejarah terungkap, bahwa orang Buton telah mejelajahi Kepulauan Maluku sejak abad ke-17. Kebanyakan mereka berasal dari Binongko. Binongko merupakan nama subetnis Buton yang mengunakan bahasa Cia-Cia (tidak-tidak). Istilah Binongko juga merujuk pada nama sebuah pulau karang yang berada di antara gugusan Kepulauan Tukang Besi atau Wakatobi (sekarang). Itulah sebabnya hingga kini orang Buton di Maluku terintegrasi ke dalam satu kesatauan subetnis Buton yang biasanya di sebut dengan orang Binongko. Di manapun mereka berasal, meskipun sesungguhnya mereka tidak berasal dari Pulau Binongko. Akan tetapi oleh penduduk di negeri Ambon, Seram, Buru dan Lease, seringkali menyebut mereka dengan kata Binongko. Sebuat kata yang mengandung makna stereotip jelek dalam kacamata penduduk lokal.
Sumber Media Kita dari Key Maluku Tenggara, pada tanggal 7 Mei 1990 melaporkan, bahwa di Kepulauan Maluku Tenggara orang Buton telah mendirikan sebuah kampung kecil yang dinamakan Kampung Tamu. Di kampung itu mereka berhasil membuat sebuah Perahu Lambo (Bangka) yang diberi nama P. L. Montoroso, yang dalam bahasa Kaumbeda berarti “awak perahu pemberani dan bertanggung jawab.”
Fakta lain tentang kepulauan Maluku Tenggara juga diungkap sejarawan La Ode Rabani (2010:80), bahwa bangsawan Buton adalah pemimpin dari kepulauan Tanimbar, Key, Luchipara, Schielpad, Pulau Tujuh dan sekitarnya. Bahwa bangsawan Buton merasa memiliki kepulauan itu, karena di abad ke 19 belum berpenghuni. Mereka menemukan pulau itu untuk pertama kalinya ketika mencari teripang, lola, kerang dan penyu. Klaim ini kemudian memicu rekasi dari penguasa Ambon, dengan dalil bahwa kepulauan seperti yang disebutkan tersebut, merupakan satu kesatuan geografis pasalnya berdekatan dengan ibu kota Ambon. Untuk menyelesaikan sengketa itu, pemerintah Hindia Belanda turut terlibat sebagai penegah. Dan pada akhirnya perkera pun dimenangkan oleh penguasa Afdeling Ambon. Penyelesaian kasus ini, tertuang dalam agenda pemerintah Hindia Belanda No.380/98 tahun 1895.
Fakta tersebut mengambarkan dengan jelas bahwa kepulauan Maluku hingga ke Tenggara Jauh, bukanlah wilayah yang asing bagi orang Buton. Mereka menjumpai di kepulauan itu sebelum berpenghuni. Hal ini bertalian dengan tradisi maritim yang mendorong mereka berlayar mencari komoditas alam di pesisir kepulauan itu. Karena itulah, tentang apa yang disampaikan Blair Palmer (2004) dari Ustralian National University, yang meneliti eksodus Buton Maluku yang kembali ke Buton masa konflik 1999-2002, dengan menyebutkan bahwa migrasi orang Buton ke Maluku di mulai sejak abad ke-19, sesunguhnya bukanlah migrasi tahap awal tetapi berada pada posisi tahapan migrasi ke dua setelah terbentuknya pemukiman orang Buton di sana.
Pemukiman-pemukiman Buton semakin banyak terbentuk di Kepulauan Maluku setelah memasuki fase akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Saat komoditas damar harganya melambung tinggi pasaran internasional di banding cengkeh pada masa itu, pelayar pedagang Buton memfokuskan usahanya untuk mencari komoditas damar langsung di sejumlah pegunungan Ambon dan pendalaman Seram Barat. Pilihan untuk mencari komoditi ini karena selain mahal, juga diperoleh secara gratis alias tidak membutuhkan modal usaha. Komoditas ini pula yang turut mendorong mereka menjelajahi hutan dan mengenal lebih jauh potensi alam di Kepulauan Maluku, dan pada akhirnya menarik mereka untuk menetap di sana.
Pemukiman mereka dapat dijumpai baik di pesisir utara Ambon, Seram, Buru dan pulau-pulau kecil di sekitarya. Setelah terbentuknya pemukiman di kawasan pesisir itu, mulailah kelompok tujuan migrasi dengan perahu tahap selanjutnya berdatangan. Pola ini terus berlanjut hingga semakin lama semain ramai. Fakta ini berhubungan dengan kebiasaan mereka ketika berada pada suatu tempat di perantauan, apabila daerah itu memiliki peluang ekonomi yang berkelebihan atau memiliki potensi alam yang cukup menjanjikan hidup untuk kelangsungan generasi masa depannya, maka tentang apa yang dilihatnya itu akan diceritakan kepada sanak saudaranya. Informasi itu disampaikan ketika mereka kembali ke kampung halamanya. Atau hanya sekedar memberi kabar kepada pelayar yang kembali ke daerah asalanya, bahwa daerah yang didatangi berpeluang ekonomis tinggi dan kondisi alamnya menjanjikan masa depan.
Informasi semacam ini sangatlah penting dan kemudian menjadi salah satu daya tarik dan faktor pendorong mereka keluar merantau meninggalkan kampung halamanya, lalu menuju daerah tujuan perantauaannya itu hingga tak kembali lagi. Baik dengan cara berlayar-berdagang (perantau-pelayar) atau hanya tujuan perantauan (migrasi) itu sendiri. Biasanya mereka yang tidak memiliki biaya perjalanan akan menumpang di perahu teman untuk samapai ke daerah tujuan perantauan. Selama masa pelayaran berlangsung mereka yang hanya bertujuan merantau akan membantu segala aktivitas yang dilakukan pelayar di dalam perahu, seperti menjaga kemudi, menaikan dan menurungkan layar atau sekedar melempar sauh. Ini merupakan cara untuk menghindari biaya frak. Pola berdiaspora inilah sesungguhnya yang penulis katakan sangat berkaitan dengan tradisi maritim.
Proses pengenalan wilayah bagi orang Buton di Maluku telah berlangsung sejak abad ke 17-19 terutama dalam masa ramainya pelayaran niaga maritim di Jalur rempah. Mereka terlibat aktif dalam pelayaran jalur rempah pada kurun niaga di Maluku. Pada periode ini mereka telah menjelajahi Kepulauan Maluku untuk mencari komoditas niaga dan menjajakan barang dagangan, dengan pola dangan papalele. Ketika terjadi konflik antara Belanda (VOC) dengan penguasa-penguasa lokal Hitu dan Huamual saat Belanda berambisi ingin monopoli rempah, mereka pun turut terilibat di sebagai pejuang mempertahankan tanah air negeri rempah itu dari kuasa kolonialisme, baik atas keinginan individu maupun kelompok.
Fakta sosial, hasil sensus tahun 2000 menunjukkan bahwa penduduk beretnis Buton menduduki posisi kedua terbesar setelah Kei, yakni 10.59 % dari jumlah penduduk Maluku 1.148.294 jiwa. Kelompok etnis terbesar lainnya adalah Kei (10,97%), Ambon (10,53%), Seram (6,88%), Saparua (5,94%), dan Jawa (4,66%). Karena itulah, Ziwar Effendy (1987) dalam bukunya, “Hukum Adat Ambon Lease” mengatakan bahwa “orang Buton akan banyak menentukan masa depan politik di Maluku.” Fakta ini terjadi di Kabupaten Seram Bagian Barat, pasca pemekaran dari kabupaten induk Maluku Tenggah (2003), orang Buton tak pernah ketinggalan dalam perhelatan politik. Baik sebagai calon legislatif maupun eksekutif. Dua priode berturut-turut wakil bupati diduduki orang Buton (H. La Kadir dan La H. Husni). Meskipun demikian secara politik mereka masih kalah jauh dari penduduk lokal di negeri Maluku.
Stategi dan pola migrasi orang Buton dan Bugis-Makassar tentu berbeda, jika orang Bugis merantau di Malaysia pasca perjanjian Bongaya tahun 1667, mereka lebih memasuki/merebut kota mendapat kekuasaan (istana), lalu menikahi anak raja, dan kemudian menjadi raja. Sedangkan orang Buton merantau, merebut daerah-daerah yang dari sisi wilayah agraris tidak bigitu menguntungkan. Korelasi migrasi orang Buton ini, dalam memilih daerah pemukiman hampir sama persisi dengan daerah asal mereka (Buton). Misalnya, orang Buton di Kabupaten SBB, Kecamatan Huamual, Dusun Ely, kondisi perkampungan mereka juga daerah-daerah bebatuan (karang) yang hampir persis dengan daerah asal mereka, daerah Tira, Sulawesi Tenggara, juga daerah yang berkarang.
Sejauh yang penulis ketahui bahwa gelombang migrasi orang Buton ke Maluku juga terjadi pada masa pendudukan Jepang (1942) di Pulau Buton. Hal ini berkaitan dengan pemanfaatan perahu Bangka orang Buton untuk pengangkutan barang (aspal) dari Pelabuhan Buton ke Pelabuhan Kendari, atas suruhan tentara Jepang dalam rangka pembuatan infrastruktur bandara di Kendari, demi kepentingan strategis Jepang menghadapi perang Asia Timur Raya. Bersamaan dengan kerja rodi, penduduk desa di Buton dalam pengawasan tentara Jepang. Sehingga untuk menghidari hal itu, mereka melarikan diri bersama perahu Bangka, menuju ke Kepulauan Maluku. Adalah fakta beberapa orang tua usia lansia di beberapa kampung Buton di Kabupaten SBB hingga kini masih sangat fasih berbahasa Jepang. Masa kelam saat pendudukan Jepang itu disebutnya dengan jaman Japaa (jepang). Fakta ini menarik dan perlu dilakukan penelitian mendalam. Olehnya itu perlu ditegaskan lagi bahwa diaspora orang Buton ke Maluku bertalian dengan tradisi maritim mereka sendiri. ** (KR)
0 Komentar