Menyajikan Data Mengungkap Fakta Menjadi Sejarah

Sejarah

3/sejarah/post-list

Ide-Ide Pokok dalam Filsafat Sejarah (Par III)

 



Setting

 

Dewasa ini perubahan sosial terjadi sangat cepat sehingga perubahan itu tidak hanya menyangkut aspek material, seperti tekno­ logi, juga menyangkut aspek mental, seperti pandangan hidup dan ca­ ra berpikir. Semua umat manusia dan bangsa dilanda oleh perubahan di berbagai sendi kehidupan, tidak terkecuali bangsa Indonesia. Per­ kembangan teknologi, terutama teknologi informasi, telah mengubah cara berpikir umat manusia dewasa ini. Akibatnya manusia berpikir lebih cepat dan praktis, bahkan rnenjurus ke arah pola pikir yang in­ stan.

 

Gejala kejutan budaya rnelatarbelakangi sebagian besar kebi­ ngungan, frustasi dan disorientasi yang juga dialami oleh negara-ne­ gara rnaju seperti Amerika dan negara lainnya. Hal ini rnenyebabkan kelurnpuhan komunikasi, salah menafsirkan kenyataan dan ketidak­ marnpuan untuk menghadapinya. Namun kejutan budaya rnasih rela­ tif lunak jika dibandingkan dengan penyakit yang lebih gawat, yaitu kejutan masa depan. Kejutan masa depan adalah disorientasi yang rnernbuat kebingungan yang disebabkan oleh tibanya masa depan yang terlalu dini. Apabila tidak diambil langkah bijaksana untuk mengantisipasinya maka jutaan umat manusia akan merasa diri mere­ ka kehilangan orientasi yang rnakin lama makin tidak rnarnpu untuk rnenghadapi lingkungan mereka secara rasional (Toffler, 1970: 11).

 

Manusia rnerupakan makhluk hidup historis, hanya rnanusia yang rnernbuat sejarah. Seluruh aktivitas manusia rnernbentuk sistern budaya, sedangkan budaya sebagai tindakan kemanusiaan (actus hu­ manus) selalu terkait dengan rencana masa depan. Nilai merupakan kualitas yang inheren pada suatu objek atau pelaku budaya, yaitu rna­ nusia. Budaya membentuk sistem hidup kemasyarakatan yang sarat dengan nilai. Ketika aturan hidup, norma adat istiadat, serta segala bentuk sistern pandangan hidup masyarakat itu terbentuk maka di saat itu pula rnanusia rnenjalankan segala aktivitas dengan berorientasi pa­ da nilai yang dianut oleh komunitasnya.

 

Perubahan kehidupan yang sangat cepat itu didukung oleh ke­ rnarnpuan rnanusia dalarn berpikir dan bertindak. Perubahan dapat rnernpunyai berrnacam-rnacam pola, rnisalnya: linear, siklik atau spi­ ral. Perkembangan dalam beberapa dasawarsa terakhir menunjukkan bahwa rnanusia sekarang sedang rnenghadapi kernajuan (progress) yang melampaui kecepatan pada masa-masa sebelumnya.

 Heraclitus rnengatakan bahwa kenyataan itu selalu berubah, ti­ dak ada sesuatu pun yang tetap, semuanya berubah terus-rnenerus dan tidak rnerniliki identitas diri. Pantha rhei kai ouden menei (semuanya rnengalir dan tidak ada sesuatu rnenetap). Heraclitus rnengatakan bahwa seseorang tidak dapat rnandi dua kali di air sungai yang sama, bahkan satu kali pun tidak bisa (Bakker, 1990: 82). Pendapat Heracli­ tus ini rnengindikasikan bahwa realitas itu selalu bergerak ke arah kemajuan (progress), dan pandangan ini rnenjadi dasar bagi perkem­ bangan pernikiran dalam kajian filsafat sejarah spekulatif yang dikern­ bangkan oleh G.W.F. Hegel, Karl Marx, Auguste Comte, dan tokoh­ tokoh filsafat sejarah spekulatiflainnya.

 

Perkembangan dalarn pengertian yang bernada "optimistik" mendapat konotasi sebagai kemajuan atau progress. Hal ini tercermin dalam pandangan G.W.F. Hegel, Karl Marx, Auguste Comte, yang mengajarkan bahwa perkembangan jiwa atau sejarah umat manusia akan menujuke arah kemajuan (Koento-Wibisono, 1983: 98). Sejarah filsafat Barat telah menunjukkan bahwa dalam ide tentang "kemajuan (progress)" itu tercermin keyakinan manusia Barat akan perubahan yang positif dalam perkembangan manusia dan masyarakat.

 

Ide Tentang Kemajuan.

 

Ide tentang kemajuan merupakan hal yang tidak dapat dipisah­ kan dalam sejarah kehidupan manusia. Manusia dengan ide tentang kemajuan itu telah mengubah dunia alamiahnya menjadi lebih nya­ man untuk dihuni. Robert Nisbet dalam bukunyaHistoryof the Idea of Progress, menyatakan,

"We find in the history of idea of progress centers upon man's moral or spiritual condition on earth, his happi­ ness, his freedom from torment of nature and society, and above all his serenity or tranquility. The goal of progress or advanced is mankind's eventual achieve­ ment, on earth, of these spiritual and moral virtues, thus leading toward ever-greater perfection of human nature" (Nisbet, 1980: 5).

 

Bagi Nisbet, sejarah tentang ide kemajuan berpusat pada moral atau kondisi spiritual manusia di bumi, kebahagiaannya, kebebasannya dari kesengsaraan alam dan masyarakat, dan yang terpenting ketentra­ man atau ketenangan. Tujuan kemajuan atau peningkatan adalah pada akhimya pencapaiannya di bumi, dalam hal ini adalah kebajikan spiri­ tual dan kebajikan moral, yang akhimya mengarah pada kesempuma­ an yang lebih agung yang pemah dicapai manusia.

Ide tentang kemajuan dalam sejarah filsafat telah ada sejak fil­ sufYunani Kuno, Heraclitus, berpendapat bahwa realitas itu tidak te­ tap, semuanya mengalir,pantha rei kai ouden menei. Kemudian pada abad ke-19 istilahflux yang berasal dari istilah Latinfluxus diderivasi­ kan dari kata kerjafluere yang artinya to flow (mengalir). To flow de­ noted in philosophy a continuous succession af changes of condition, composition, or substance (Reck, 1972: 185). Realitas tidak tetap dan terus mengalir menjadi inspirasi bagi para filsuf abad ke-19, khusus­ nya para filsuf sejarah. Mereka berpandangan bahwa sejarah sebagai­ mana realitas pada umumnya bergerak terus-menerus dari masa lam­ pau ke masa kini dan akan menujuke masa depan.

 

Pierre-Joseph Proudhon dalam buku The Philosophy of Progress mengatakan bahwa ide tentang kemajuan merupakan sesuatu yang bersifat alamiah dalam kehidupan manusia. Manusia dengan ide kemajuan itu membangun peradabannya ke arah yang lebih maju. Le­ bib lanjut ia mengatakan,

"Progress, in the purest sense of the word, which is the least empirical, is the movement of idea, 'processus'; it is innate, spontaneous an essential movement, uncon­ trolable and indestructible, which is to the mind what gravity is to matter" (Proudhon, 2009: 11).

 

Bagi Proudhon kemajuan merupakan ide bawaan manusia yang spon­ tan, yang menggerakkan, tidak dikontrol oleh manusia dan sifatnya membangun.

 

Konsep kemajuan merupakan unsur pokok dalam filsafat seja­ rah karena ide tentang kemajuan merupakan inti persoalan yang diba­ has oleh para filsuf sejarah, seperti Hegel, Marx, Comte, Berdyaev, Toffler. Untuk mengetahui tentang ide kemajuan para filsuf sejarah tersebut akan dikemukakan secara singkat pemikiran filsafat sejarah mereka.

 

 

Bersambung.....Ke Part 4


Share:

Ruang Lingkup Sejarah (Part II)

  

Sumber gambar: kompas.com

Para sejarawan memiliki titik tekan yang berbeda dalam mendefinisikan kata sejarah. Sebagian ada yang memberikan definisi sejarah secara sempit, Edward Freeman misalnya, menyatakan bahwa sejarah adalah politik masa lampau (history is past politics). Sebagian lagi ada yang mendefinisikannya secara lebih luas. Ernst Bernheim pernah menyatakan bahwa sejarah adalah ilmu tentang perkembangan manusia dalam upaya-upaya mereka sebagai makhluk sosial (Azyumardi Azra, 2003: xii).

 

Menurut Azyumardi Azra, sejarah sering diidentikan sebagai sejarah politik, yakni sejarah yang direkonstruksi dan disosialisasikan kepada masyarakat terutama berkaitan dengan kekuasaan atau pemerintahan. Intinya, sejarah politik adalah sejarah kerajaan-kerajaan, dinasti, raja dan elit kerajaan, bukan sejarah tentang aspek-aspek lainnya dalam kehidupan manusia.

 

Sejarah sebagai sejarah politik belaka menjadi sasaran kritik karena beberapa hal:

 

Pertama, kehidupan dan kebudayaan manusia tidaklah melulu politik. Politik hanya merupakan salah satu aspek saja dari perjalanan sejarah anak manusia. Dengan mengidentikkan sejarah dengan sejarah politik maka telah terjadi semacam reduksi atau distorsi terhadap peristiwa sejarah secara keseluruhan. Jika politik sering melibatkan intrik, konflik, dan pertumpahan darah, maka sejarah Islam, misalnya, apabila dipandang dari segi ini bisa jadi hanya merupakan sejarah konflik dan pertikaian di antara para penguasa Muslim. Dalam konteks ini tentu saja telah terjadi reduksi dan distorsi terhadap sejarah Islam.

 

Kedua, perjalanan sejarah manusia secara obyektif tidak hanya ditentukan oleh politik dan para penguasa. Politik tentu saja merupakan suatu faktor penting, tetapi bukan satu-satunya. Faktor-faktor seperti geografi, iklim, atau lingkungan alam lainnya, juga lebih menentukan. Bahkan faktor-faktor ini pada gilirannya dapat mencip-takan struktur-struktur yang koheren yang bertahan dalam jangka waktu yang amat lama. Struktur-struktur inilah yang selanjutnya dapat menentukan corak kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lain sebagainya.]

Ketiga, sejarah tentang politik nyaris merupakan sejarah bagi para penguasa saja. Karena itu, ia sering dipandang bersifat elitis, yaitu sejarah tentang mainstream kekuasaan, atau mereka yang dipandang sebagai mainstream dalam kekuasaan politik. Dalam sejarah seperti ini, tidak ada tempat bagi 'orang kecil', 'massa', apalagi kekompok-kelompok atau gerakan yang dipandang di luar mainstream kekuasaan dan politik. Mereka ini kemudian dianggap sebagai 'people without history', atau bahkan mungkin harus dilenyapkan dari sejarah.

 

Dengan adanya ketiga kritik di atas, muncul perspektif kedua tentang sejarah, yaitu apa yang populer dengan sebutan 'sejarah baru' atau new history. Sejarah baru yang muncul pada sekitar tahun 1960-an itu pada mulanya  dipandang sebagai alternatif bagi sejarah dalam perspektif pertama atau sejarah lama. Tetapi kemudian sejarah baru malah berkembang menjadi tandingan bagi sejarah lama yang cenderung political oriented atau bersifat naratif-deskriptif.

 

Sejarah baru lahir berkaitan dengan perkembangan baru dalam metodologi sejarah yang semakin kompleks. Kompleksitas ini ditandai dengan digunakannya ilmu-ilmu bantu dalam penelitian sejarah, baik berasal dari ilmu-ilmu humaniora, semacam antropologi, maupun dari ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi, dan lain-lain. Karena itu, sejarah baru ini bisa semakin antropologis (antropological history) atau semakin sosiologis (sosiological history). Dalam kaitan ini, penting juga untuk dicatat bahwa selain mendapat bantuan dari ilmu-ilmu humaniora atau ilmu-ilmu sosial, perkembangan baru ilmu sejarah menunjukkan bahwa ilmu-ilmu ini juga tak jarang menggunakan bantuan ilmu sejarah.

 

Atas dasar pemahaman di atas, 'sejarah baru' cenderung dipahami sebagai 'sejarah sosial' atau social history. Pertanyaannya adalah apa sejarah sosial itu?. Hingga sekarang belum ditemukan jawaban yang pasti bagi pertanyaan itu, karena para sejarawan berbeda-beda dalam memberikan pengertian. Namun menurut Azra (Azyumardi Azra, 2003: xii-xvi), ada tiga pengertian sejarah yang masuk dalam kategori sejarah sosial.

 

Pertama, sejarah sosial dalam pengertian sejarah tentang gerakan sosial (social movment) yang muncul dalam panggung sejarah. Sejarah sosial dalam pengertian ini kemudian telah dipersempit lagi oleh sejarawan Sartono Kartodirdjo menjadi sejarah tentang gerakan-gerakan sosial yang cenderung marjinal dan menyempal dari arus utama masyarakat atau tatanan sosial-politik yang mapan, seperti gerakan petani di Banten tahun 1888 atau gerakan-gerakan radikal yang memang banyak dikaji Kartodirdjo.

 

Kedua, sejarah sosial dalam arti kombinasi dengan 'sejarah ekonomi'. Kombinasi ini terjadi didasarkan pada asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi mampu menjelaskan tentang struktur-struktur dan perubahan-perubahan sosial budaya dan politik masyarakat. Dimensi sosial dalam sejarah ekonomi memang tidak dapat disembunyikan. Karena itulah terdapat sejarawan yang berargumen bahwa sejarah ekonomi merupakan sejarah yang paling fundamental dari berbagai jenis sejarah, karena ekonomi itu sendiri adalah dasar bagi sebuah masyarakat.

 

Ketiga, sejarah sosial dalam pengertian sejarah total (total history) atau sejarah struktural (structural history), yaitu sejarah sosial yang mengacu kepada sejumlah aktivitas manusia yang agak sulit diklasifikasikan karena begitu luasnya, seperti kebiasaan (manners), adat-istiadat (customs) dan kehidupan sehari-hari (everyday-life). Aktivitas-aktivitas manusia seperti ini dalam istilah Jerman sering disebut sebagai kultur atau sittengeschichte. Sejarah sosial seperti ini tidak harus selalu diorientasikan kepada masyarakat kelas bawah. Sejarah sosial dalam kategori ini tidak mengikutsertakan politik terlalu banyak dalam orientasinya. Sejarah sosial dalam pengertian ini banyak dikemukakan oleh mazhab Annales di Prancis dengan tokoh-tokohnya seperti Lucien Febvre (1973), March Bloch (1954), dan Fernand Braudel (1980).

 

Para ilmuwan ini pada umumnya menyarankan agar sejarah politik atau sejarah lama hendaknya melakukan dan memberikan analisis tentang struktur- struktur jangka panjang (long-term structure), yang mencakup studi tentang berbagai sistem simbol, ritus, perilaku, dan mental politik. Dengan demikian sejarah politik tidak lagi sekedar cerita tentang pergantian kekuasaan, pertum- pahan darah, dan sebagainya. Sehingga sejarah politik menjadi sejarah struktural atau sejarah total.

 

Kutowijoyo, dalam bukunya yang berjudul Metodo-logi Sejarah, selain menyebut sejarah politik, ia pun menyebutkan sejarah-sejarah lainnya sebagai sub-bab untuk bahan kajiannya. Ia menyebut adanya sejarah lisan, sejarah sosial, sejarah kota, sejarah pedesaan, sejarah ekonomi pedesaan, sejarah wanita, sejarah kebudayaan, sejarah agama, sejarah pemikiran, biografi, sejarah kuantitatif, dan sejarah mentalitas (Kuntowijoyo, 2003: xxi).

 

Filsafat Sejarah

 

Dikatakan oleh Ibn Khaldun bahwa dalam hakekat sejarah, terkandung pengertian observasi (nadzar), usaha untuk mencari kebenaran (tahqiq), dan keterangan yang mendalam tentang sebab dan asal benda maujudi, serta pengertian dan pengetahuan tentang substansi, essensi, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa. Dengan demikian, sejarah benar-benar terhunjam berakar dalam filsafat, dan patut dianggap sebagai salah satu cabang filsafat.

 

Selanjutnya pada bagian yang lain, yaitu pada bagian satu kitab al-Ibar, Ibn Khaldun mengatakan:

 

Ketahuilah, bahwa pembicaraan tentang persoalan ini adalah barang baru, luar biasa, dan sangat berguna. Penelitian dan penyelidikan yang mendalam telah menemukan ilmu tersebut. Ilmu pengetahuan ini tidak ada hubungannya dengan sama sekali dengan retorika, yaitu seni bicara yang meyakinkan dan berguna untuk mempengaruhi orang banyak. Juga tidak ada hubungannya dengan ilmu politik, sebab ilmu politik berbicara tentang mengatur rumah tangga atau kota, sesuai dengan ajaran etika dan hikmah- hikmah kebijaksanaan, supaya masyarakat mau mengikuti jalan menuju ke arah pemeliharaan keturunan. Dua jenis ilmu pengetahuan ini memang menyerupai ilmu pengetahuan kita ini dalam soal yang dibahasnya, tetapi kedua pengetahuan itu berbeda dengannya. Ia agaknya ilmu yang baru tumbuh. Sungguh aku belum pernah tahu seorang pun pernah membincangkannya dengan berbagai aspek yang dimilikinya (Ibn Khaldun, 1986: 63).

 

Ilmu baru yang dimaksudkan oleh Ibn Khaldun, seperti dikatakan Zainab al-Khudairi adalah filsfat sejarah, yang di Eropa baru dikenal beberapa abad kemudian. Memang cikal bakalnya telah bersemi sejak zaman purba, misalnya dalam karya Aristoteles, Politics dan karya Plato Republic, akan tetapi bahkan termino-loginya sendiri terumuskan baru pada abad ke delapan belas (Zainab al- Khudairi, 1987: 43).

 

Filsafat Sejarah, dalam pengertian yang paling sederhana, seperti dikemukakan oleh al-Khudairi adalah tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa historis secara filosofis untuk mengetahui faktor-faktor essensial yang mengendalikan perjalanan peristiwa-peristiwa historis itu, untuk kemudian mengikhtisarkan hukum-hukum umum yang tetap, yang mengarahkan perkembangan berbagai bangsa dan negara dalam berbagai masa dan generasi (Zainab al-Khudairi, 1987: 54).

 

Ada beberapa penulis yang berpendapat bahwa sejarah berjalan sesuai dengan suatu kerangka tertentu dan bukannya secara acak-acakan, dan filsafat sejarah adalah upaya untuk mengetahui kerangka tersebut yang diikuti sejarah dalam perjalanannya, atau arah yang ditujunya, atau pun tujuan yang hendak dicapainya. Menurut F. Laurent, sebagaimana dikutip al-Khudairi, menyatakan bahwa sejarah tidak mungkin hanya merupakan seperangkat rangkaian peristiwa yang tanpa tujuan atau makna. Dengan demikian, sejarah sepenuhnya tunduk kepada kehendak Tuhan seperti halnya peristiwa-peristiwa alam yang tunduk pada hukum-hukum yang mengendalikannya.

 

Sementara itu, menurut W.H. Walsh (W.H. Walsh, 1967: 16) dalam bukunya yang berjudul An Intoduction to Phillosophy of History, menyatakan bahwa sebelum mendefinisikan filsafat sejarah hendaknya memperhatikan pengertian kata sejarah. Sejarah kadang-kadang diartikan sebagai peristiwa- peristiwa yang terjadi pada masa lalu (the totality of past human actions) atau history as past actuality, dan kadang-kadang diartikan pula dengan penuturan kita tentang pertistiwa-peristiwa tersebut (the narrative or account we construct of them now) atau history as record. Namun demikian, hingga abad XIX, apa yang disebut Walsh sebagai filsafat sejarah spekulatif pada dasarnya adalah satu-satunya filsafat sejarah.

Dua arti dari kata sejarah tersebut penting karena dengan demikian membuka dua kemugkinan terhadap ruang lingkup atau bidang kajian filsafat sejarah. Pertama, adalah suatu studi dalam bentuk kajian sejarah tradisional, yaitu perjalanan sejarah dan perkembangannya dalam pengertian yang aktual.

Kedua, adalah suatu studi mengenai proses pemikiran filosofis tentang perjalanan dan perkembangan sejarah itu sendiri.

 

Dalam kasus yang kedua, filsafat sejarah mengandung arti studi mengenai jalannya peristiwa sejarah, atau studi terhadap asumsi dan metode para sejarawan. Ketika seseorang berpikir tentang asumsi dan metode para sejarawan, kata Walsh, maka ketika itu ia sedang bergumul dengan filsafat sejarah kritis atau analitis. Dalam kaitan dengan filsafat sejarah ini, pembagian Walsh ke dalam filsafat sejarah kritis dan spekulatif telah diterima secara luas (Marnie Hughes-Warrington, 2008: 660).

 

 

Bersambung....... ke Part 3

 

 

Share:

Unordered List

3/sosial/post-list

Latest blog posts

3-latest-65px

BTemplates.com

3/sosial/col-right
Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Statistik Pengunjung

Ekonomi

3/ekonomi/col-left

Publikasi

3/publikasi/feat-list

Error 404

Sorry! The content you were looking for does not exist or changed its url.

Please check if the url is written correctly or try using our search form.

Recent Posts

header ads
Ag-Historis

Text Widget

Sample Text

Pengikut

Slider

4-latest-1110px-slider

Mobile Logo Settings

Mobile Logo Settings
image

Comments

4-comments

Budaya

budaya/feat-big

Subscribe Us

Recent Posts

sejarah/hot-posts

Pages

Popular Posts