Menyajikan Data Mengungkap Fakta Menjadi Sejarah

Sejarah

3/sejarah/post-list

Budaya Siwalima Filosofi Hidup Orang Basudara di Maluku

 

Logo Pemprov Maluku terdapat Swalima

Setiap sukubangsa di dunia ini memiliki kebudayaan masing-masing, sebab manusia merupakan makhluk berbudaya. Budaya sendiri secara opersional dapat didefenisikan sebagai hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia atas segala aktivitasnya, sehingga disebut kebudayaan.

Cipta merupakan kemampuan pikiran untuk mengadakan sesuatu karya. Hal ini berarti bahwa sesorang atau kelompok masyarakat yang menghasilkan sebuah karya perlu menghadirkan imajinasi yang kreatif dalam pikirannya. Menyandarkan imajinasi dalam pikiran kreatif itu pada rasa agar dapat menetukan baik buruknya hasil dari karya itu. Tentunya tampa mengabaikan kekuatan fisik maupun fisikis yang disebut karsa, sebagai satu kompenen kebudayaan.

Di Maluku sesungguhnya kaya akan nilai budaya, di antaranya adalah Siwalima sebagai jati diri dan identitas orang Maluku. Secara etimologi siwalima akar kata dari siwa yang berarti sembilan dan lima artinya lima. Angka lima dan sembilan digunakan untuk menyebutkan jumlah soa dalam persekutuan adat ulisiwa dan ulilima. 

Istilah yang berbeda namun memiliki maka sama, bahwa Siwalima di Maluku Utara (Provinsi Maluku Utara) dikenal dengan sebutan uli siwa dan uli lima, istilah semacam ini juga digunakan oleh penduduk pulau Ambon. Sedangkan untuk orang Maluku Tengah, menyebutnya pata siwa pata lima. Sementara orang Maluku Tenggara menyebur istilahh ini dengan tn siwa (ursiw) dan lima (urlim).

Siwalima di Maluku sesungguhnya berasal dari ikatan persekutuan (aliansi) antara kelompok ulilpata siwa dan kelompok  lilpatalima. Kedua kelompok ini merupakan para leluhur orang Maluku, sering berada dalam konflik tradisional, pada akhirnya melakukan perjanjian damai dan membangun persekuman hidup di antara keduanya. Sebuah peranjian yang diikat dengan upaca adat, dengan mengakat pela-gandong.

Persekutuan tersebut menghasilkan apa yang disebut sebagai Siwalima. Persekutuan ini menyatukan seluruh negeri (desa) adat di Maluku yang berada dalam wilayah kedua kelompok uli tersebut. Siwalima lahir sebagai suatu konvensi (kesepakatan lisan) yang mempersatukan para leluhur Maluku (uli siwa-ulilima).

Siwalima kini menjadi simbol identitas Maluku. Ini tercermin dari pengunaan nama Siwalima yang tertera lambang pemerintahan daerah ini yang bermakna memupuk persatuan dan kesatuan untuk mencapai tujuan bersama. Bila merujuk pada filosofis ini, sedah sepantasnya masyarakat dan pemerintah daerah ini sama-sama bakukele (bergandengan tangan) untuk saling membantu dalam pembagunan daerah. Nilai ini juga mengingatkan kepada orang Maluku untuk saling mendukung dalam kemajuan daerah ini. 

Sebagaimana dasar sejarah orang tetua dahulu, menyelesaikan perselisihan dan permasalahan konflik dan secara bersama-sama. Artinya saling bahu-membahu dalam berbagai hal, apabila satu orang naik ke puncak, maka yang lainnya mendukung.

Filosofis Siwalima mengajarkan, bahwa sesama orang Maluku, prinsip hidup untuk saling dengki dihilangkan. Demikian dengan capain prestasi sesorang harus diapresiasi, dimotivasi dan diberikan dukungan baik secara moril maupun materil. Apalagi prestasi itu memberi manfaat untuk kemaslahantan umat, bangsa dan negara.  Namun belakangan filosifis budaya Siwaima  sirna dari diri orang Maluku.

Dalam pengertian, apabila sesorang sukses mencapai puncak, atau dalam proses mendaki puncak itu, maka orang dibawahnya mencari cara bagaimana cara untuk menarik orang tersebut agar terjatuh. Dalam istilah Maluku, “baku kuku, bukan baku kele.” 

Prilaku semacam ini biasanya didasarkan atas kecemburuan sosial, di mana sesorang tidak menginginkan orang lain untuk maju dan berkembang. Apalagi ketika orang tersebut telah berada pada posisi puncak yang strategis. Karena itu, Budaya Siwalima merupakan  filosofi yang sangat penting tertanam dalam jiwa orang basudara, pela dan gandong. Nilai-nilai filosofis tersebut juga penting diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dapat menjadi suatu bentuk pembelajaran muatan lokal dalam kurikulum pendidikan pada setiap sekolah di Maluku. Tujuannya agar generasi mudah Maluku tahu adab dan jatidiri guna berpartisipasi dalam mewujudkan kedamaian, ketentaraman dan kemajuan daerah ini sekarang dan di masa mendatang. ** (K.R).


Share:

Kisah Penamaan Kampung Mangge-Mangge di Pesisir Barat Huamual

 Penulis : Kasman Renyaan

 

Foto: Penulis K.R. 2016

Pengantar

Sejarah kampung merupakan sejarah yang dilukiskan oleh masyarakat kampung berdasarkan cerita yang diwariskan dari generasi pertama ke generasi berikutnya. Kisah yang dilukiskan biasanya diawetkan melalui cerita-cerita orang tua oleh orang Mangge-Mangge menyebutnya Kacucula (cerita orang tua), sebagai sejarah. Ini tentunya tidak akan disertai dokumen tertulis. Namun bukan berarti kampung itu, tak memilik sejarah. Karena sejarah ada dan menjadi milik semua orang. Sejarah kampung orang-orang kecil, memang akan sulit ditemukan dalam bukti tertulis (arsip). Paling tidak ada informasi terputus yang mengambarkan tentang kisah kampung itu. Hal ini tentu berbeda dengan kampung yang didirikan oleh mereka yang pandai berdokumentasi atau pembangunan pemukiman penduduk atas proyek penguasa. Segala aktifitas pembangunan akan terdokumentasi dengan rapi, baik untuk kebutuhan arsip atau untuk laporan pertanggujawaban terkait proses pelaksanaan kegiatan. Sehingga generasi selanjutnya dapat memanfaatkan itu sebagai sumber data (sejarah).

Dalam kaitan ini generasi awal yang datang mendirikan Kampung Mangge-Mangge, tidak memiliki kecakapan komunikasi tulis selain melafalkan doa melalui hafalan mantra laut dan pegangan lelaki. Dalam pelayaran perahu dari dearah asalnya, Buton Sulawesi Tenggara, di antara pendiri yang ikut perahu tidak sejauh cerita yang dilukiskan generasi kampung ini, tidak ada orang yang khusus bertugas sebagai juru tulis. Di dalam perahu yang ada halanya juru masak, juru mudi, juru batu dan lainnya. Tidak seperti para musafir muslim atau penjelajah Eropa di masa lampau saat mencari rempah di Kepulauan Maluku. Biasanya di dalam kapal sudah terdapat beberapa juru tulis yang dipersiapkan sebelum di mulai ekspedisi, dengan tugas mencatat segala apa yang dilalui dan dilewati sepanjang perjalaan termasuk ketika menyinggahi suatu kawasan tertentu.

Berbeda dengan ekspedisi itu. Pelayar Buton ke pesisir pantai barat Seram dan mendirikan pemukiman di kawasan itu tidak ada juru tulis, karena di dalam perahu yang bertugas menulis hanyalah juragang untuk merekam untung rugi pengeluaran barang dagangan. Itupun berlaku hanya juragang yang telah mengikuti pendidikan sekolah rakyat. Bagaimana dengan generasi sebelum mengenal tradisi tulis? Sepert saat proses awal terbentuknya komunitas pemukiman Buton di kampung itu. Karena itulah, pintu masuk untuk menuliskan sejarah kampung dan masyarakat pendukungnya hanya dapat dilakukan dengan mengunakan sumber lisan atau tradisi lisan. Lewat cerita kolektif masyarakat atau nyanian penghibur tidur oleh orang tua kepada anaknya. Akan tetapi, untuk nyayian pengantar tidur anak di saat ini telah tergantikan dengan teknologi moderen, suara lagu tidak lagi berasal dari suara fals ibu tapi nyanian merdu yang diputar dari musik henponnya.

Sebagai sumber sejarah masyarakat, tradisi lisan biasanya tersimpan dalam memori kolektif masyarakatnya. Namun sejarawan selalu diingatkan pada cara kerja untuk sampai ketahapan terakhir menulis sejarah (historiografi). Semua jenis data yang telah terkumpul tidak serta diulas dalam tulisan sejarah, tetapi perlu divervikasi dengan metode kritik sumber, baik kritik internal maupun kritik eksternal (baca: metodologi) agar kedudukan data betul-betul ditempatkan pada posisinya, tampa mengabaikan ruang dan waktu. Setelah itu menemukan makna dari atas fakta tersebut, proses ini diperlukan perenungan agar interpertasi sampai pada maksud dari peristiwa yang diulas dalam sejarah.

Penamaan Kampung

Istilah Mangge Mangge yang kemudian dijadikan sebagai penanda untuk menyebut kampung Buton di pesisir pantai barat Seram, berasal dari nama pohon jenis mangrove oleh masyarakat setempat menyebutnya mangge-mangge. Sebuah pohon yang telah berusia ratusan tahun tumbuh liar di bagian pantai utara kawasan kampung itu. Karena dianggap simbol dan identitas kampung beberapa warga setempat yang peduli lingkungan, sempat melakukan perawatan atas sebuah pohon kelompok tumbuhan dari marga Rhizophora, suku Rhizophoraceae itu. Namun kini hilang tampa berbekas akibat usia pohon menua dan selalu dihantam ombak besar di musim barat. Kurangnya perhatian untuk melestarikan tumbuhan alam itu. Padahal dari sumber informasi yang diperoleh penulis di lapangan beberapa pemuka agama dan tokoh masyarakat menyesali hilngnya pohon sakral itu, pasalnya dari sebuah pohon itulah nama kampung mangge-mangge berasal.

Mantan Kepala Kampung Mangge-Mengge La RW, didampingi sekertarisnya La A, dan penghulu masjid raya Mangge-Mangge Abd, ditempat yang berbeda (Wawancara, di Kampung Mangge-Mangge 28 Februari 2016), melukiskan bahwa bila dilihat mulai dari Kampung Eli sampai Olatu, pesisir pantai barat Huamual ini, tidak ada satupun pohon Mangge-Mangge, yang dapat tumbuh di lepas pantai di kawasan ini. Hanya ada satu pohon di sini, yakni Kampung Mangge-Mangge. Jenis pohon itu unik, berbeda dengan tumbuhan mangge-mangge lainnya, warna batang dan daunnya agak kekuning-kunigan. Hal itu terjadi bukan karena kurang subur, akan tetapi menjadi ciri khas tersendiri.

Pohon mangge-mangge itu, diibaratkan manusia yang hidup seorang diri, anak yatim, tetapi mampu bertahan melampaui zaman dan generasi. Kini tumbang dan tidak ada lagi jejaknya. Akibat abrasi pantai, sebab tidak terawat. “Saya dulu pernah mengambil anakan mangge-mangge, dan memanamnya di tempat itu, memang sudah tumbuh, tetapi tidak bertahan lama. Saya berencana mengambil anakannya dari tempat lain, menanamnya kembali di tempat itu. Sebab, pohon itu menjadi logo kampung ini, karena punya nilai sejarah.” katanya.

Dalam tradisi lisan tokoh masyarakat sempat menyebutukan, bahwa pohon itu ditanam oleh La Tinda. Menjadi kenang-kenangan ketika berada di tanah Seram ini. Mangge-Mangge dianggap sebagai benteng pertahanan dalam mitos Kapitan Pela. Ketika terjadi pertempuaran antara Kapitan Pela, La tinda, La Bansa, La Sambila, melawan Kapitan Mursego, Bokeo, dan Kasturi, dari suku Alifuru, di Gunung Malintang, antara Luhu dan kampung Mangge-Mangge, dan sebagian Talaga.

Matapencarian Hidup

Terpisah, kehidupan masyarakat Kampung Mangge-Mengge yang kini berada di bawah peutuan Luhu itu, sebagian besar berasal dari usaha perikanan. Kampung ini menjadi penyuplai ikan untuk kampung-kampung Buton di wilayah pesisir barat Seram. Usaha jaring bobong menjadi adalan masyarakatnya, sejak 1980-an hingga sekarang. Dari usaha jaring bobong, anak-anak mereka bisa berpendidikan tinggi. Jika para lelaki mencari ikan di laut, sedangkan perempuan menungu anak dan suami mereka untuk menjajakan ikan tangkapan itu. Mereka (perempuan) di kenal dengan istilah jibu-jibu. Menjual ikan dari satu kampung ke kampung lainya. Biasanya para pembeli akan mengurung ikan jualan itu. Terjadi proses tawar-menawar antara penjual dan pembeli. Apabila sudah tercapai kesepakatan, maka pembeli akan membeli sesuai kebutuhannya.

Secara geografis, letak pemukiman penduduk di kampung ini bebukit. Sebagian rumah penduduk berada di dataran tinggi. Banjir bandang yang menimpa kampung ini (2012), mengakibatkan puluhan rumah hancur berantakan. Meskipun tidak ada korban jiwa, tetapi harta benda hilang terseret arus sungai.

Penutup

Upaya untuk tetap melestarikan sejarah kampung penting. Bahwa masyarakat kampung khusunya merek yang telah memiliki kecakapan ilmu pengetahuan, perlu menulis sejarah kampungnya, mengapa ini pentiang agar generasi penelus dapat memiliki kesadaran menghargai pengalaman dan jeripayah orang tetua mereka dahulu yang menetapkan nama kampung dan mendirikan pemukiman di kawasan itu bukan asal-asalan. Akan tetapi, penuh dengan ritual dan upacara sakral dengan niat agar kelak penduduk kampung ini dimudahkan rezekinya dipenjangkan umurnya dan masyaraktnya aman sejaterah dan sentosa. Ritual semacam ini bagi orang Buton seperti di Kampung Mangge-Mangge, dimulai saat pembokaran awal (parusan) lahan untuk mendirikan pemukiman. Biasanya dilakukan dengan upacara tertentu dan diakhir dengan doa selamat dalam Islam. Pada prinsipnya orang tua-tua generasi awal mendoakan kampung yang akan ditempati itu bukan hanya untuk mereka yang hidup pada masa itu, tetapi doa mereka melampau zaman dan generasi. Karena itu, kampung yang telahh didirikan dengan adat-istiadat perlu di ramat dan dijaga oleh genersi saat ini, dengan tidak merusak citra kampung, mabuk-mabukan, judi, minuman keras, narkoba dan semua jenis yang terlarang dihilangkan dari kampung itu, sebab orang tua-tua awal mendirikan kampung dengan adat-istiada dan doa selamat, untuk kesalamatan generasinya. **(K.R)

 

Share:

Nasionalisme di Tanah Banda: Mengenal Indonesia Lewat Perahu

 

 


Tokoh pergerakan Nasional Bung Hatta dan Bung Sjahrir ketika diasingkan di Banda Naira pada 1936, tidak hanya berdiam diri, mengurung, menanti kapan tiba jemputan untuk kembali ke Jakarta. Akan tetapi, hari-hari mereka di Negeri Rempah itu disi dengan berbagai aktivitas dan kreativitas yang produktif, seperti membaca, menulis artikel sambil menyerupu kopi atau teh dengan aroma kayu manis, jalan-jalan di perkebunan pala, menghadiri undangan nikah, membentuk klub bola (perbamu) hingga mengajar anak-anak Banda. Khusus untuk anak-anak yang tidak diterima di sekolah formal bentukan Belanda.

Dalam memberikan pendidikan kepada anak-anak Banda Hatta dan Bung Sjahrir membuka kelas di waktu Sore hari. Karena itulah, meskipun Hatta keluar menikmati keindahan alam di berbagai tempat di Naira, tetapi pada jam 5 Sore, Ia harus berada di rumah untuk mengajar anak-anak Banda yang menjadi muridnya. Itulah sebabnya, anak muridnya menyebut Om Kacamata (pangilan anak-anak Banda untuk Hatta), juga dengan sebutan “Jam Berjalan.” Pasalnya Hatta paling tepat waktu. Soal disiplin waktu, Hatta tak mengenal kompromi. Pada suatu ketika Hatta terpaksa pergi meninggalkan acara pesta pernikahan yang belum usai. Lantaran acara bahagia itu dianggapnya mengulur-ulur waktu.

Kelas privat yang dibuka Hatta dan Sjahrir dikenal dengan Sekolah Sore. Anak-anak murid tidak hanya mengikuti proses belajar di dalam kelas, akan tetapi dibawa pula ke luar untuk menikmati panorama alam Banda yang hijau nan asri di bawah naungan pohon pala dan kenari. Sesekali berenang di pantai Naira, mendayung perahu dan memancing ikan di laut serta berperahu ke pulau-pulau terdekat dari Naira.

Di waktu santai itu, Hatta dan Sjahrir tak lupa mengajarkan nasionalisme dan patriotisme kepada anak-anak Banda. Lewat cerita dan praktek nyata, misalnya cerita tentang tokoh Teuku Umar dan Diponegoro oleh Belanda dilukiskan sebagai pemerontak karena menetang pemerintahan yang sah. Akan tetapi, sesungguhnya mereka adalah pejuang untuk kemerdekaan tanah airnya.

Semangat mengkampanyekan gerakan nasionalime kepada anak bangsa diam-diam terus digalangkan oleh kaum Intelektual itu di tempat pengasingannya. Hal ini tergambar ketika Hatta membeli sebuah perahu kecil (arubae), dari salah satu warga nelayan di Negeri Lontor, Banda Besar. Perahu itu setelah dimiliki Hatta, lalu di cat dengan warna merah dan putih. Mengapa perahu Hatta di Cat dengan warna merah purih? Ini tentunya dapat diinterpertasi bahwa Cat warna ini bagian dari cara Hatta memperkenalkan semangat nasionalime kepada orang Banda lewat warna perahunya. Yang sebelumnya tak dimengerti maksud dari warna Cat itu. Hatta sekaligus ingin mekampanyekan simbol nasionalisme bangsa ini, kepada Pemerintah Hindia Belanda di tempat Pengasingan. Bahwa perjuangan mereka tak akan pernah surut, meski di buang ke negeri terpencil di ujung timur Nusantara. Lewat warna perahunya pula, Hatta sebetulnya ingin menunjukan kepada anak-anak Banda dan  Penjajah Belanda, kelak warna ini akan menjadi simbol bendera negara merdeka, bernama Indonesia.

Belakangan warna cat perahu itu di protes polisi Hindia Belanda. Yang tentu tahu apa maksud kaum intektual buangan Kompeni itu, mengecet perahunya dengan merah putih jelas tidak sesuai dengan warna bendera Belanda, Merah Putih Biru. Namun ketika mendapat protes, Hatta tak kehabisan akal untuk mepertahankan warna cat perahunya. Dengan menyenggah bahwa, Cat perahunya adalah merah putih biru sebagaimana warna bendera Belanda. Dimana perahu berwarna merah dan putih, sedangan yang menjadi warna biru adalah laut, sehingga perahunya tetap berwarna merah putih biru. Dasar argumen Hatta itu dianggap masuk akal, sehingga membumkam polisi Belanda, diam berlalu tampa kata.

Medengar Hatta yang sudah memiliki perahu, sahabat seperjuangannya Bung Sjahrir seakan tak mau kalah. Sjahrir pun memesan sebuah perahu ukuran sedang. Sedikit lebih besar dari ukuran perahu Hatta. Perahu yang dibelinya dari nelayan itu lalu dimodifikasi menyerupai perahu Eropa (yacht) dan diberi nama. Namun menariknya, sebelum Sjahrir menetapkan nama perahunya Ia mengajak murid-muridnya untuk bermusyawarah. Hal ini merupakan cara Sjahrir mengajarkan demokarasi. Keputusan diambil harus dilakukan dengan musyawarah mufakat. Masing-masing anak murid memberikan usulan untuk nama dari perahu baru itu. Muridnya bernama Halik, yang pertama mengusulkan, “Gunung Api.” Nama pulau vulkanik di Pulau Banda. Namun nama itu ditolak dengan penjelasan, gunung api meletus dan Om Rir (pagilan anak-anak Banda kepada Sjahrir) tak mau perahunya meletus seperti halnya gunung api.  

Kemudian muridnya yang lain anak peranakan Cina-Banda memberi usulan nama perahu itu dengan “Amesterdam.” Sebuah nama yang sangat kental dengan bangsa kolonial. Halik, mendengar usulan itu langsung menyenggah, kenapa tidak dinamakan Hogkong saja, kamu kan orang Hongkong? Kun, yang tak terima ungkapan agak rasis itu memprotes, bahwa dirinya bukan orang Hongkong, tetapi asli orang Banda, karena lahir di Banda, hanya nenek moyangnya saja yang berasal dari Amoy. Namun kata Halik sama saja, tetap saja dari Cina Hongkong. Perbebatan dingin sempat mewarnai musyawarah itu, sehingga anak yang lain mengusulkan nama “Banda Besar,” seperti nama sebuah pulau terbesar di Kepulauan Banda. Akan tetapi, nama itu jelas ditolak oleh Des Alwi, salah satu murid yang kelak menjadi tokoh Banda Naira. Dengan dasar argumen bahwa, jangan sampai perahu itu diklaim oleh anak-anak Lontor sebagai milik mereka. Lagian kata Des, nama-nama pulau termasuk nama-nama ikan sudah banyak digunakan masyarakat untuk nama perahu di Banda. Hanya nama ikan bodok saja yang belum digunakan. “Tapi nama bodok tidak mungkin dipakai untuk nama perahu Om Rir,” ucap Des. Murid yang lain menguslkan, Sumatera, sesuai nama daerah asal Om Rir.

Namun Sjahrir menolak mengunakan nama daerahnya itu. Iya berfikir sejenak dan mentepkan nama INDONESIA untuk menyebut perahunya. Anak-anak Banda saling memandang dan bertanya tentang maksud kata itu, yang sangat asing ditelinga mereka.

Sjahrir menjelaskan kepada anak-anak itu, bahwa INDONESIA sesungguhnya nama yang sangat di benci Belanda, sehingga tidak diajarkan di sekolah-sekolah Belanda. Orang Belanda lebih senang menyebut daerah pendudukanya ini, dengan nama Inde atau “Hindia Belanda.” Sama dengan Tiongkok untuk orang Cina. Tapi Om Sjahrir dan Om Hatta dan kita orang pribumi lebih senang menyebutnya INDONEISA.  Demikian perahu Sjahrir, di namakan INDONESIA. Orang Banda pada akhirnya mengelan kata Indonesia lewat perahu Sjahrir itu.

Dalam perjalanan, perahu itu seringkali digunakan Sjahrir ke Pulau Pisang, yang berjarak beberapa kilometer dari Neira. Di pulau gersang namun subur tidak berpenghuni itu, ia mengajar mereka bernyanyi Indonesia Raya. Sebagai lagu-lagu wajib mengawali aktivitas  dan membangkitkan semangat nasionalisme anak-anak Banda. Untuk semangat nasionalisme Sjahrir di pulau itu, maka nama pulau itu kini diganti menjadi Pulau Sjahrir. Demikian pula Hatta, namanya diabadikan orang Banda menjadi nama salah satu pulau tidak jauh dari Pulau Sjahrir.  Sebagai bentuk kecintaan dan Nasionalisme orang Banda atas kedua tokoh bangsa yang pertamakali mengenalkan Indonesia di tanah Banda. *** (K.R ).

Bacaan: Tanah Banda, Esai tentang Mitos, Sejarah, Sosial, Budaya Pulau Banda Naira Karya Dr. Muhammad Farid, M.Sos

Share:

Unordered List

3/sosial/post-list

Latest blog posts

3-latest-65px

BTemplates.com

3/sosial/col-right
Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Statistik Pengunjung

Ekonomi

3/ekonomi/col-left

Publikasi

3/publikasi/feat-list

Error 404

Sorry! The content you were looking for does not exist or changed its url.

Please check if the url is written correctly or try using our search form.

Recent Posts

header ads
Ag-Historis

Text Widget

Sample Text

Pengikut

Slider

4-latest-1110px-slider

Mobile Logo Settings

Mobile Logo Settings
image

Comments

4-comments

Budaya

budaya/feat-big

Subscribe Us

Recent Posts

sejarah/hot-posts

Pages

Popular Posts