![]() |
Foto : Katalistiwa dipos kembali oleh Netralnews.Com |
Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono (lahir di Yogyakarta, 21 Maret 1947), anak sulung dari sang Proklamator Muhammad Hatta. Mungkin tidak terlalu familiar seperti ayahnya di kalangaan masyarakat arus bawah. Sekian lama merasakan langsung hidup dengan orang Banda di bawah pengawasan Belanda. Pasca dipindahkan dari tanah Boven Digoel, Papua bersama kawan sejatinya Bung Sjahrir pada 1936.
Di tanah pembuangan di negeri rempah, Hatta mudah begitu menikmati ikan garam dan manisan pala, menghirup udara segar di bawah pohon kenari. Tidak seperti di Boven Digoel kesehatannya terganggu, wajahnya pusat pasih akibat di hantam Malaria, tropikangen ingin kembai ke Jakarta dan berjuang bersama bung-bung lainnya. Namun apalah daya, kuasa bukan di tangganya. Ia hanya bisa menerima nasib sebagai orang buangan. Meskipun demikian, tak menyurutkan semangatnya untuk berjuang memikirkan nasip kemerdekaan bangsanya.
Di tanah Banda, Bung Hatta seperti tidak sedang di buang, tetapi seakan menemukan Surga yang tersebunyi. Pagi Sore menyerup teh dengan aroma harum kayu manis, ditemani kue kenari, ciri khas kuliner dari negeri rempah itu. Semabari membaca buku di kursi santai dibelakang rumahnya, sesekali memikirkan perahunya yang begitu besar bernama Indonesia, terus berlayar meski dihantam badai agar sampai ke pelabuhan tujuan (merdeka).
Berbeda dengan sang anak, Meutia Hatta banyak memahami Banda Naira melalui cerita sang proklamator. Tentu berbeda cara kerja dan sudut pandang dalam mengisi kemerdekaan. Apalagi soal memahami kawasan pala dan fuli itu. Akan tetapi, bagaimana pun kisah romantisme masa lalu yang pernah diukir ayahnya di pulau rempah itu akan selalu dikenang sepanjang hidup generasinya.
Event Vestival Hatta-Sjahrir, yang dirangkai dengan Seminar “Banda Naira: Romantisme masa lalu Kejayaan Masa Depan.” Kamis 12 Agustus 2021 pagi, di ruang tatap maya, Prof. Mutia Hatta memberikan sumbangan pikiran membangun Banda sebagai sebuah kawasan wisata dan sejarah. Pada prinsipnya perlu ada kolaborasi kepala-kepala daerah dalam pembangunan yang harus diwujukan dalam tindakan nyata.
Seminar Nasional yang dihadiri Menteri Parawisata dan Ekonomi Kreatif, gubernur DKI
Jakarta, gubernur Sumatera Barat, gubernur Maluku, bupati Maluku Tenggah, walikota Ambon, para akademisi, budayawan, sejarawan, antropolog, mahasiswa,
dan sejumlah pejabat penting daerah Maluku itu sangatlah menarik untuk
disikapi. Agar momentum semacam itu, bukan hanya serimonal belaka. Namun dapat berkontrubusi positif terhadap perkembangan Banda sebagai kawasan
wisata dan sejarah. Menjadikan Banda makin maju dan masyarakatnya sejatera. Dan itu hanya bisa terjadi, bila Banda seperti meminjam istilah Bung Karno, harus Berdikari. Ya Banda Naira harus beridiri di atas kaki sendiri. Pasalnya hanya orang Banda yang dapat merasakan bagaimana hidup dan mengatur daerahnya.
Kembali lagi ke pikiran berlian yang dikemukakan kakak tertua dalam keluarga mendiang Bung Hatta itu, bahwa yang harus dilakukan untuk kejayaan masa depan Banda adalah kerja sama pembangunan antar daerah. Kerja sama antar gubernur, yaitu gubernur Maluku, Gubernur DKI Jakarta dan Gubernur Sumatera Barat, sangat penting dan perlu direlisasikan dalam program-program selanjutnya yang menarik. Hal ini bukan hanya untuk memajukan Dunia Parawisata tingkat Nasional, namun juga untuk memenuhi kebutuhan para pemuda Indonesia yang kini terasa kurang menguasai tentang sejarah nasional dan PPKN. Akan lebih baik pula jika program-program ini memberikan nilai tambah bagi para guru, misalnya dalam acara pertukaran kunjungan para guru sejarah, PPKN dan guru Ilmu Pengetahuan Sosial untuk meningkatkan kualitas materi ajar mereka.
Cara pandang tersebut memberi satu pelajaran berharga bahwa untuk membangun Banda Naira tidak hanya potensi parawisatanya, namun juga dibarengi dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Melalui pendidikan dan pembelajaran sejarah di sekolah. Kualitas guru-guru ilmu pengetahuan sosial ditingkatkan, lewat pertukaran guru sejarah dan PPKN. Hal ini bertujuan untuk menanamkan kesadaran sejarah kepada generasi muda, agar pembangunan Banda Naira sebagai kawasan parawisata juga ditidak boleh merusak situs dan cagar budaya, yang menjdi bukti kekayaan sejarah bangsa.
Titik tekan dalam pikiran tersebut adalah guru, sebagai garda terdepan dalam membangun kualitas generasi muda Banda. Hal ini mengingatkan kita pada gagasan Bung Hatta dan kawannya Bung Sjahrir, bahwa cara menyadarkan anak-anak Banda dari penjajah Belanda kala itu adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya mereka. Mengajarkan anak-anak Banda tentang baca tulis, berhitung dan bahasa Belanda. Agar mereka mengerti dan sadar bahwa negeri ini sedang berada dalam penjajahan Belanda. Karena itu, anak-anak Banda harus berjuang melalui wadah pendidikan.
Meutia Hatta, menekankan bahwa kekuatan budaya masyarakat perlu dihidukan kembali dalam membangun banda Naira. Pengalaman sejarah masa lalunya yang penuh perjuangan pendahulu dan leluhur mereka dalam menghadap kepedihan kolonialisme, harus dialihkan kesemangat gigih untuk menjaga dan mengangkat keistimewaan Banda Naira dan jatidiri masyarakatnya menghadapi parwisata khas Banda: wisata sejarah, wisata bahari. Tak semua warga harus bekerja di bidang parawisata, namun mereka perlu memiliki kesadaran untuk meningkatkan kualitas pengetahuan tentang sejarah, ekologi kepulauan dan parawisata Banda Naira.
Sebagai anak yang orang tuannya pernah memiliki pengalaman hidup bersama orang Banda, Mutia Hatta, menekankan pemerintah harus memiliki peranan penting, khususnya pemerintah Kabupaten Maluku Tenggah juga amat penting, yakni menjaga agar pembangunan fasilitas wisata yang baru tidak boleh merusak situs manapun tatanan berbagai pembangunan kuno bersejarah yang sudah ada. Selain itu meningkatkan kepekaan dan perasaan bangga masyarakat lokal terhadap berbagai objek wisata yang amat berharga, serta memberdayakan masyarakat Banda Naira demi meningkatkan kualitas hidup mereka sebagai penjaga aset nasional yang istimewa di tempat kelahiran mereka ini.
Pikiran yang disampaikan guru besar tersebut, mengharuskan pemerintah daerah menaruh perahtian penuh dalam pembangunan Banda Naira sebagai kawasan yang potensial untuk pengembangan parawisata untuk dapat menarik perhatian mancanegara dan meningkatkan kunjungan wisataawan di tahun-tahun mendang. Akan tetapi, perlu refleksi kembali. Lalu segera eksekusi secara nyata. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh para pemangku kepentingan. Apabila hanya didiamkan, maka Banda Naira yang didegung-dengunkan memiliki potensi wisata terindah di negeri ini akan semakin tertinggal dan ditinggalkan oleh wisatawan, ditengah menjamurnya tempat parawisata baru di Indonesia. ** (K.R).