 |
Negeri Pulau Run
|
Ingatan
Sejarah
Sejarah Run yang ditukarkan dengan Manhattan, New
York, Amerika Serikat, pada 31 Juli 1677, hingga kini masih segar dalam ingatan
kolektif orang Banda Naira, terutama penduduk yang menetap di Pulau Run.
Peristiwa tukar guling antar kepentingan, sesama bangsa kolonial itu adalah
kisah klasik, namun asik dituturkan sepanjang masa. Meski terdengar liar saat
warga usia senja melukiskan alurnya.
Seolah saksi sejarah, ketika terjadi konflik
Belanda versus Ingris di titik
terdepan Kepulauan Banda itu. Tradisi lisan yang mengandung pesan mendalam,
sarat makna dikisahkan orang tua dengan lincah, meski tampa membaca refrensi.
Saya begitu mengagumi dan memilih menjadi pendengar setia. Ketika beberapa
orang tua menurutkan peristiwa besar dalam arus sejarah rempah dunia,
dipelataran mesjid raya, Desa Admistratif Pulau Run, Senin, 27 September 2021,
Siang.
Sembari mendengar cerita santai dari beberapa
orang tua, usai Shalat Dzuhur, pandangan Saya tertuju pada pemandangan
terbing-tebing curam, pegunungan yang begitu kusut tampa melihat pohon pala dan
kenari. Di atas batu karang sebagian rumah warga berdiri megah. Tampa bertanya,
Saya langsung dijelaskan terkait ratusan ribu pohon pala yang dinaungi Kenari
berada di atas bukit sana. Memang pohon rempah itu tak tampak terlihat bila
dari kejauhan, akan tetapi pala yang diklaim Belanda (pala Belanda) tempo dulu,
juga tumbuh subur di sana.
Sejarah Tukar
Guling Run
Menolek abad ke-17, panen rempah buah pala dan
fuli membanjiri pulau Run. Pulau kecil nan terpencil itu, menjadi magnet paling
berhaga dan termahal dibandingkan dengan kepulauan lainnya di Nusantara.
Penduduk menghasilkan buah pala sepertiga juta ton pertahunnya. Pulau karang
yang memilki nama besar menjadi pemicu pertarugan sengit sesama bangsa
kolonial, Belanda versus Inggris.
Tentara Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC) milik Belanda semakin bringas merebut Run,
demi memuluskan ambisinya mendapatkan hak kuasa dan monopoli. Belanda, tak
ingin bangsa lain mengkaim negeri rempah. Politik mare clausum (laut tertutup) diberlakukan di kawasan Laut Banda.
Kapal-kapal tak dapat melintas, bila tak seijin Belanda.
Sekelompok pelaut Inggris bersama kapalnya di
bawah kapten Nataniel Courthope, teryata juga tak mau kalah. Bersama kongsi
dangang English East India Company (EIC),
Run dikolonialisasi Inggris. Salin klaim kepemilikan di antar bangsa kulit
putih pun terjadi dan berujung pada konflik kepentingan. Pada 1616 VOC makin
genjar menghajar Inggris dan memonopoli perdagangan rempah di Banda Naira. Pada
masa ini Belanda memperkuat pertahanan di Pulau Ay dengan menghadirkan benteng
Revengie. Bengteng pertahanan Belanda ini dibangun selain untuk kepentingan
monopoli pala, juga sekaligus memudahkan pemantauan lalulintas kapal di sisi
barat jalur pelayaran Pulau Ay dan Pulau Run. Meski demikian, Inggris tak
gentar atas aksi provokasi Belanda dan terus mengeplorasi pala di Pulau Run.
Belanda yang telah menguasai Naira, Banda Besar
dan pulau pulau rempah di sekitarnya terus menghajar Inggris tampan ampun
dengan aksi-aksi provokasinya. Berbagai cara dilakukan, termasuk menghacurkan
pohon pala di Pulau Run sampai ke akar-akarnya, agar pulau itu tak berilai.
Dokumen Belanda mencatat setidaknya 150 orang Inggris terbunuh dan 800 orang di
jual sebagai budak.
Karena itu, pada 1664 Inggris melakukan aksi
dendam, setelah mendapat laporan atas kekejaman Belanda di Negeri Rempah.
Sebanyak empat kapal fregat Inggris dikirim melintasi Samudra Atlantik merebut
wilayah koloni Belanda, New Amsterdam. Wilayah berpenduduk 2.000 orang di ujung
selatan Pulau Manhattan itu akahirnya direbut dengan cepat.
Untuk mengakhiri konflik kedua bangsa penjajah
itu, pada 1677 kedua bangsa kompeni itu melakukan gencatan senjata.
Menghadirkan kesepakatan damai yang tertuang dalam Perjanjian Breda. Dalam
perjanjian tersebut pada intinya
memutuskan bahwa Pulau Run yang sebelumnya dikuasai Inggris, kemudian
direbut Belanda menjadi miliki Belanda. Demikian sebaliknya, Pulau Manhattan di
New York, Amerika Serikat, yang merupakan koloni Belanda yang telah dikuasai
Inggris secara sah juga menjadi milik Inggris.
Tukar-guling daerah koloni oleh bangsa kolonial
itu tak diketahui orang Banda, sebagai pemilik sah pulau Run. Tak ada
musyawarah, tak ada pemberitahuan, tampa kompromi dengan anak negeri.
Sumberdaya alamnya dikuras habis, dijarah lalu ditinggalkan begitu saja. Run
terabaikan dan dibaikan. Keberadaanya kini hampir tak terlihat dalam peta
Indonesia. Tengoklah Manhattan dari googel maps, yang telah menjelma menjadi
kota raksasa dunia. Tempo dulu dibangun juga dari kekayaan alam Run. Karena itu
pemerintah negeri ini, semoga saja tak mengunakan cara kompeni, menguras sumber
daya alamnya, lalu mengabaikan kemajuan negeri dan kesejateraan warganya.
Pulau Karang Kampung Nelayan
Pulau Run adalah pulau karang yang panjangnya
kisaran 3 kilometer dengan lembar kurang lebih 1 kilo meter. Sebagian rumah
warga didirikan di atas batu karang yang terjal, di atas bukit yang menjulang
tinggi. Tak banyak dataran rendah seperti di pulau-pulau lainnya di Kepulauan
Banda. Akan tetapi, potensi sumber daya alamnya baik di darat maupun di laut
melimpah ruah.
Penghasilan pala di Pulau Run hingga kini
menjanjikan kesejateraan warganya. Apalagi ikan segar tak perlu banyak tanya?
Soal lauk yang bernutrisi tinggi itu di sana tempatnya. Laut Banda Lumbung Ikan
Nasional. Ikan menjadi pengasilan utama masyarakat, sehingga Run melakat dengan
istilah Kampung Nelayan. Puluhan ton ikan layang setiap malam dijaring warga
mengunakan pukat cicncin (jairng bobo).
Di Run terdapat 9 buah jaring bobo yang
beroperasi. Setiap jaring bobo memiliki masnait (kariawan) 25-30 orang. Dalam
semalam 2-3 kali mereka melingkar ikan (buang). Hasil tangkapan permalam 1-5
ton perjaring. Bahkan di antara jaring-jaring bobo itu, ada yang mencapai angka
10-17 ton permalam. Bila tiba musim (ikan mati) tertentu. Hasil tangkapan itu
di jual di kapal penampung yang datang dari luar daerah ini. Sebagian lainnya
masuk klostor di Naira. Ada pula yang menjualnya kepada para pemborong. Semua
tergatung juga dari harga pasaran, yang mempengaruhi tempat penjual.
Belum lagi penyari ikan tuna dan munggai
(calakang) mandiri. Menariknya bila ikan tangkapan jaring bobo di sekitar
rompong rata-rata masih berukuran kecil, sesama nelayan menerapkan sistem sasi
laut. Tidak boleh ada yang mengkap sebelum buka sasi, tujuannya jelas menunggu
ikan layang (tali-tali) telah berukuran besar.
Data desa melaporkan, jumlah penduduk Pulau Run
sebanyak 1827 jiwa, dengan total 434 kepala keluarga. Mayoritas warga Desa
Admistratif Run beretnis Buton. Mereka asal Wakatobi (Wanci, Kalidupa Tomia,
Binongko). Mereka menjadi penduduk asli negeri Run, pasca Belanda mengeksekusi
orang Banda di bawah gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen atas upaya balas
dendam. Pada 1616 orang Banda di Pulau Run memilih berkolaborasi dengan Inggris
menghajar Belanda.
Bahkan Inggris diberi pelakuan istimewa, agar penduduk
di Pulau Run mendapat perlindungan dari raja James I. Akan tetapi, pasca
Belanda menguasi pulau Run, semua penduduk dewasa yang melawan dibantai habis
tampa ampun. Penduduk yang berhasil lolos memilih berperahu meninggalkan Run
tampa kembali lagi. Pulau Run menjadi milik Belanda. Pohon pala yang telah
dibabat habis kembali ditanam oleh penduduk yang didatangakan Belanda dari luar
Banda. Tugas para pekerja kasar itu selain menanam, merawat, juga memetik buah
pala, mengeringkan hingga siap dipasarkan oleh Belanda. Budak dari kesultanan
Buton dibeli Belanda dengan harga murah.
Sebagai sukubangsa pelaut, orang Buton telah lama
terjalin hubungan niaga maritim dengan penduduk lokal di Kepulauan Banda. Pulau
Tomia, Wangi-wangi (Wance), Kaledupa dan Binongko yang terletak di sisi Barat
Laut Banda memudahkan perahu Buton menjangkau Pulau Run saat angin moson Timur
bertiup kencang.
Diaspora Buton menjangkau Kepulauan Banda sejak
abad ke-17. Pelaut Binongko telah membangun kampung di Kepulauan Kei. Jalur
pelayaran melewati pulau Run sebagai lalulintas laut utama menuju kawasan
Tenggara jauh. Kakawin Nagarakretagama karya Empu Prapañca pada 1365, jua menuliskan
bahwa Buton, Banda, Seram, merupakan wilayah taklukan Majapahit. Sesama wilayah
taklukan daerah-daerah pendudukan itu saling berhubungan satu dengan yang
lainnya. Karena itulah, penduduk Run mayotitas beretnis Buton dari Kepulauan
Wakatobi.
Kini hampir sebagian besar penduduk dewasa mencari
ikan di laut. Ikan dianggap sebagai penghasilan terbesar dan pendapatan
tercepat masa pandemi. Warga dapat membangun rumah mewa, kelas kampung dari
hasil tangkapan ikan layang dan demersal
(dasar).
Pulau Yang
Terabaikan
Pembanguan di Pulau Run masih seperti pulau yang
terabaikan, jauh tertigal dari yang diharapkan warga. Apalagi harus
mengsandingkan dengan Manhattan, mimpi di siang hari pun tak akan pernah
ketemu. Habis terang terbilah gelam. Sumbangan listrik negara (PLN) hanya batas
6 jam. Terang saat jam 6 Sore dan gelap di jam 12 Malam. Warga tak dapat
memproduksi Es sebagai pendingin ikan, bila hanya mengharapkan arus listrik
negara.
Demikian pula lembaga pendidan, anak sekolah
belajar di pendidikan formal di Pulau Run 12 tahun. Dari SD/MI hingga SM/MTs.
Selebihnya keluar pulau. Belum ada Sekolah Menegah Atas (SMA), meskipun telah
punya lembaga sekolah mengah pertama sebagai syarat menghadirikan SMA. Untuk
melanjutkan pendidikan anak-akan Run harus berpetualang menyebran laut,
melewati selat Nailaka terus berlayar ke pesisir barat Pulau Aiy menuju selat
Lontor lanjut ke kota Naira mengunakan trasportasi motor laut berbayar. Di
bekas kota tua ini, anak-akan Run bersekolah, jika mereka tak keluar sekolah ke
daerah lain.
Run juga meyimpan potensi wisata yang menjanjikan,
wisata sejarah dan wisata pantai. Batu karang, pasir putih di bagian utara
pulau ini menambah pesona indahnya pulau. Semakin ke Utara dari kampung Run,
wisatawan akan menikmati kendiahan pasir putih di Pulau Nailaka tak jauh dari
Run. Akan tetapi, potensi alam itu belum terkelolah dengan baik.
Kurangnya perhatian pemerintah menyebabkan surga yang tersembunyi itu
terabaikan. Jadi, tak perlu lagi kita memanding-badingkan dengan Manhattan,
Amerika. Kota metropolitan yang dibangun dari hasil alam Pulau Run tempo dulu. Bila
tak ada kesadaran sejarah dan mau belajar dari sejarah.
Karena itu, hanya akan membuat anggapan buruk
bahwa lebih baik Run diambil alih Inggris menjadi daerah koloninya. Dari pada
kompeni Belanda yang hanya menguras habis hasil alamnya, lalu pergi
meninggalkan jejak sejarah yang berserak, ditinggal dan menjadi tertinggal.
Kita tak mungkin lagi kembali ke masa lalu, tetapi
belajarlah sekarang dari pengalaman (sejarah) untuk meneta masa depan Run yang lebih
bak, Run yang kembali di kenal dunia, masyarakatnya sejaterah. Bukan hanya
riang saat hadir serimonial daerah dan negara, vestifal tahuanan, mengejar proyek
budaya dan wisata lalu di tinggal usai makan patita.
Run hanyalah pulau kecil, tapi lebel terpencil
masih melekat. Membangun Run mengenalkan kembali kepada dunia, tak semahal menghadirkan
ibu kota baru Indonesia. Juga tak semahal angaran jembatan merah putih di Ambon.
Ini Indonesia, kapan listrik hadir 24 Jam, Tower Merah Putih berkibar di Pulau
Run? Anak-anak Run rindu ingin melihat langsung Manhattan dari googel dan
yotube. ** (K.R).
Penulis:
Kasman Renyaan
Dosen
Pendidikan Sejarah Hatta Sjahrir Banda Naira