Menyajikan Data Mengungkap Fakta Menjadi Sejarah

Sejarah

3/sejarah/post-list

FILSAFAT ILMU DALAM KONTEKS FILSAFAT SEJARAH

Oleh: Kasman Renyaan
Program Studi IPS/Pendidikan Sejarah Program Pascasarja Universitas Negeri Makassar
Tugas Kuliah: Filsafat Sejarah

A.    PENDAHULUAN

Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia dewasa ini,  tidak terlepas dari peran ilmu. Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan seiring dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Tahap-tahap itu kita menyebut dalam konteks ini sebagai priodesasi sejarah perkembangan ilmu; sejak dari zaman klasik, zaman pertengahan, zaman modern dan zaman kontemporer. Kemajuan ilmu dan teknologi dari masa ke masa ibarat mata rantai yang tidak terputus satu sama lain. Semua kemajuan tersebut adalah buah dari perkembangan ilmu pengetahuan yang tak  pernah surut dari pengkajian manusia.
Pengetahuan berawal dari rasa ingin tahu kemudian seterusnya berkembang menjadi tahu. Manusia mampu mengembangkan pengetehuan disebabkan oleh dua hal utama; yakni, pertama manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua, yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuannya dengan cepat adalah kemampuan berfikir menurut suatu alur kerangka berfikir tertentu, (Husnan Sulaiman, & Munasir, 2009).
Berfikir juga memberi kemungkinan manusia untuk memperoleh pengetahuan. dalam tahapan selanjutnya pengetahuan itu dapat menjadi fondasi penting bagi kegiatan berfikir yang lebih mendalam, (Maemunah Dawi, 2014:2). Filsafat itu adalah sebuah proses berfikir, tetapi tidak semua berfikir bisa disebut filsafat. Sebab, inti filsafat adalah pemikiran yang mengunakan nalar. Filsafat juga dapat diisebut pandangan hidup seseorang atau kelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dalam segi yang luas yang menyeluruh dengan segala hubungan, (Suwardi Endaswra, 2012:1).
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan  pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika, (Irmayanti Meliono, dkk, 2007:1)
Berdasarkan konsepsi tersebut di atas, maka penulis berpandangan bahwa filsafat itu sebagai upaya menjinakan akal budi untuk hakekat akhir dan nyata yang ada. Bisa pula diartikan, sebagai upaya spekulatif yang menyajikan pandangan yang benar, sismatis, lengkap untuk seluruh realitas dunia dan isinya. Pandang dari filsafat diamaksudkan agar setiap orang dapat bijaksana dalam memandang kebenaran ilmu pengetahuan dengan akal dan pikiran mereka secara sehat. Pandangan yang dimaksud dalam tulisan ini, bukan hanya filsafat dalam pandangan ilmu itu sendiri, dalam hal spesifikasi filsafat  ilmu, tetapi akan dipandang pula dalam konteks filsafat sejarah.

B.     PEMBAHASAN

1.      Pengertian Filsafat
Secara etimologi, kata filsafat berasal dari kata pilo atau filein yang berarti cinta, dan Sophia atau shopos yang berarti kebijaksanaan atau cinta kebenaran. Jadi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau cinta kebenaran. Kebijaksanaan disini tidaklah mempunyai arti yang persis sama dengan kebenaran dalam pengertian sehari-hari. Kebijaksanaan artinya kebenaran yang diambil berdasarkan pertimbangan yang mendalam, sismatis, dan komprehensip; kebenaran yang didalamanya ada unsur kearifan (wisdom); kebenaran yang tidak hanya hasil pikiran yang jernih, tetapi juga dilandasi pertimbangan suara hati (kalbu) atau insan kamil. Demikian pula dengan cinta. Cinta maksudnya ialah menghendaki, ingin menyatu dengannya, bahkan merindukan dan melindunginya.
Sedangakan secara terminologi (istilah) sebagimana yang dikemukanakan Poedjawijatna, bahwa filsafat adalah pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatau yang berdasarkan akal pikiran belaka.” Sementara itu, Hasbullah Bakry, mengatakan, filsafat adalah sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia, dan sikap manusia seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.” (Abd. Rahman Pilang, 2003:1-2).
Dari kedua pendapat ahli tersebut menjelaskan suatu hal yang penting bahwa filsafat adalah pengetahuan yang diperoleh dari berfikir. Memang cirri khas filsafat adalah pengetahuan yang diperoleh dari berfikir (yang logis, tetapi tidak empiris).

2.      Filsafat Ilmu
Ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, masdar dari ‘alima – ya’lamu yang berarti tahu atau mengetahui, sementara itu secara istilah ilmu diartikan sebagai Idroku syai bi haqiqotih (mengetahui sesuatu secara hakiki). Dalam bahasa Inggeris Ilmu biasanya  dipadankan  dengan  kata  science, sedang pengetahuan dengan knowledge. Dalam bahasa Indonesia kata science(berasal dari bahasa lati dari kata Scio, Scire yang berarti tahu) umumnya diartikan Ilmu tapi sering juga diartikan dengan Ilmu Pengetahuan, meskipun secara konseptual mengacu pada makna yang sama.
Dalam kamus besar menguraikan Ilmu  adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu  dibidang (pengetahuan) itu.
Pada dasarnya filsafat ilmu merupakan kajian filosofis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ilmu, dengan kata lain filsafat ilmu merupakan upaya pengkajian dan pendalaman mengenai ilmu (Ilmu Pengetahuan/Sains), baik itu ciri substansinya, pemerolehannya, ataupun manfaat ilmu bagi kehidupan manusia. Pengkajian tersebut tidak terlepas dari acuan pokok filsafat yang tercakup dalam bidang ontologi, epistemologi, dan axiologi dengan berbagai pengembangan dan pendalaman yang dilakukan oleh para akhli, (Maemunah Dawi, 2014:77).
Ahmad Supardi Hasibuan (2010), Filsafat Ilmu sebagaimana dimaksud di atas adalah bertugas memberi landasan filosofis untuk minimal memahami berbagai konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu, sampai membekalkan kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Secara substantif fungsi pengembangan tersebut memperoleh pembekalan dari disiplin ilmu masing-masing, agar dapat menampilkan substantif. Selanjutnya secara teknis diterapkan dengan dibentuk metodologi, pengembangan ilmu dapat mengoperasionalkan pengembangan konsep tesis, dan teori ilmiah dari disilpin ilmu masing-masing.
Dengan demikian maka Filsafat Ilmu akan sangat menambah wawasan bagi yang menggelutinya, artinya orang yang mendalami filsafat ilmu akan berwawasan luas, baik dalam arti filosofik, teoritik, metodologic, maupun teknis operasional.
3.      Filsafat Sejarah
Dikatakan oleh Ibn Khaldun bahwa dalam hakekat sejarah, terkandung pengertian observasi (nadzar), usaha untuk mencari kebenaran (tahqiq), dan keterangan yang mendalam tentang sebab dan asal benda maujudi, serta pengertian dan pengetahuan tentang substansi, essensi, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa. Dengan demikian, sejarah benar-benar terhunjam berakar dalam filsafat, dan patut dianggap sebagai salah satu cabang filsafat.
Selanjutnya pada bagian yang lain, yaitu pada bagian satu kitab al-Ibar, Ibn Khaldun mengatakan: Ketahuilah, bahwa pembicaraan tentang persoalan ini adalah barang baru, luar biasa, dan sangat berguna. Penelitian dan penyelidikan yang mendalam telah menemukan ilmu tersebut. Ilmu pengetahuan ini tidak ada hubungannya dengan sama sekali dengan retorika, yaitu seni bicara yang meyakinkan dan berguna untuk mempengaruhi orang banyak. Juga tidak ada hubungannya dengan ilmu politik, sebab ilmu politik berbicara tentang mengatur rumah tangga atau kota, sesuai dengan ajaran etika dan hikmah-hikmah kebijaksanaan, supaya masyarakat mau mengikuti jalan menuju ke arah pemeliharaan keturunan. Dua jenis ilmu pengetahuan ini memang menyerupai ilmu pengetahuan kita ini dalam soal yang dibahasnya, tetapi kedua pengetahuan itu berbeda dengannya. Ia agaknya ilmu yang baru tumbuh. Sungguh aku belum pernah tahu seorang pun pernah membincangkannya dengan berbagai aspek yang dimilikinya (Ibn Khaldun, 1986: 63). Ilmu baru yang dimaksudkan oleh Ibn Khaldun, seperti dikatakan Zainab al-Khudairi adalah filsfat sejarah, yang di Eropa baru dikenal beberapa abad kemudian. Memang cikal bakalnya telah bersemi sejak zaman purba, misalnya dalam karya Aristoteles, Politics dan karya Plato Republic, akan tetapi bahkan termino-loginya sendiri terumuskan baru pada abad ke delapan belas (Zainab al-Khudairi, 1987: 43).
Filsafat Sejarah, dalam pengertian yang paling sederhana, seperti dikemukakan oleh al-Khudairi adalah tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa historis secara filosofis untuk mengetahui faktor-faktor essensial yang mengendalikan perjalanan peristiwa-peristiwa historis itu, untuk kemudian mengikhtisarkan hukum-hukum umum yang tetap, yang mengarahkan perkembangan berbagai bangsa dan negara dalam berbagai masa dan generasi (Zainab al-Khudairi, 1987: 54).
Ada beberapa penulis yang berpendapat bahwa sejarah berjalan sesuai dengan suatu kerangka tertentu dan bukannya secara acak-acakan, dan filsafat sejarah adalah upaya untuk mengetahui kerangka tersebut yang diikuti sejarah dalam perjalanannya, atau arah yang ditujunya, atau pun tujuan yang hendak dicapainya. Menurut F. Laurent, sebagaimana dikutip al-Khudairi, menyatakan bahwa sejarah tidak mungkin hanya merupakan seperangkat rangkaian peristiwa yang tanpa tujuan atau makna. Dengan demikian, sejarah sepenuhnya tunduk kepada kehendak Tuhan seperti halnya peristiwa-peristiwa alam yang tunduk pada hukum-hukum yang mengendalikannya.
Sementara itu, menurut W.H. Walsh (W.H. Walsh, 1967: 16) dalam bukunya yang berjudul An Intoduction to Phillosophy of History, menyatakan bahwa sebelum mendefinisikan filsafat sejarah hendaknya memperhatikan pengertian kata sejarah. Sejarah kadang-kadang diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu (the totality of past human actions) atau history as past actuality, dan kadang-kadang diartikan pula dengan penuturan kita tentang pertistiwa-peristiwa tersebut (the narrative or account we construct of them now) atau history as record. Namun demikian, hingga abad XIX, apa yang disebut Walsh sebagai filsafat sejarah spekulatif pada dasarnya adalah satu-satunya filsafat sejarah.
Dua arti dari kata sejarah tersebut penting karena dengan demikian membuka dua kemugkinan terhadap ruang lingkup atau bidang kajian filsafat sejarah.
Pertama, adalah suatu studi dalam bentuk kajian sejarah tradisional, yaitu perjalanan sejarah dan perkembangannya dalam pengertian yang aktual.
Kedua, adalah suatu studi mengenai proses pemikiran filosofis tentang perjalanan dan perkembangan sejarah itu sendiri.
Dalam kasus yang kedua, filsafat sejarah mengandung arti studi mengenai jalannya peristiwa sejarah, atau studi terhadap asumsi dan metode para sejarawan. Ketika seseorang berpikir tentang asumsi dan metode para sejarawan, kata Walsh, maka ketika itu ia sedang bergumul dengan filsafat sejarah kritis atau analitis. Dalam kaitan dengan filsafat sejarah ini, pembagian Walsh ke dalam filsafat sejarah kritis dan spekulatif telah diterima secara luas (Marnie Hughes-Warrington, 2008: 660).
Dari segi yang lain, filsafat sejarah berupaya menemukan komposisi setiap ilmu pengetahuan dan pengalaman umum manusia. Di sini perhatian lebih diarahkan pada kesimpulan dan bukannya pada penelitian tentang metode atau sarana-sarana yang digunakan seperti yang digunakan dalam metode analitis filsafat. Dalam kegiatan konstruktif, filosof sejarah bisa mencari pendapat yang paling komprehensif yang bisa menjelaskan tentang makna hidup dan tujuannya.
4.      Filsafat Ilmu Dalam Kontek Filsafat Sejarah
Filsafat Ilmu memiliki empat obyek telaahan. Dua obyek menelaah substansinya, dan dua obyek lainnya menelaah instrumentasinya. Dua yang pertama (telaah substansi) adalah Fakta atau kenyataan; dan kebenaran. Sedangkan dua yang terakhir (telaah instrumentasi) adalah Uji konfirmasi; dan Logika Inferensi.
Telaah subtansi dalam filsafat ilmu yang dimaksukan adalah fakta atau kenyatan dan kebenaran, juga menjadi bagian dari telah filsafat sejarah. Antara filsafat ilmu dan filsafat sejarah kedua-duanya mengaji tentang alam, manusia, dan segala tindakanya. Sebuah fakta yang bisa dijadikan sumber kebenaran sejarah dan dapat menjadi ilmu pengetahuan, jika telah mempunyai metode dan metodologi. Olehnya itu, suatu ilmu dalam pandangan filsafat bila memenuhi tiga kreteria:
Pertama, aspek antologi, yakni berkaitan dengan hakekat yang dikaji dalam objek formal dan objek material. Objek formal ialah manusia. Apapun yang dilakukan manusia adalah objek material. Sama seperti halanya dalam kajian sejarah objeknya adalah manusia dan tindakanya.
Kedua, aspek epistimologi yakni, yakni cara mendapatkan pengetahuan. Rekonstruksi mengenai kejadian dimasa lampau dilakukan secara sismatis melalui heuristic, kritik (internal dan ekternal), interpertasi, dan histografi. Cara atau metode ini tidak dapat saling dipertukakarkan urutan kerjanya. Dengan cara itu, rekonstruksi masa lalu dapat dilakukan.
Ketiga, aspek aksiologi guna atau manfaat suatu pengetahuan yang dikatakan sebagai suatu ilmu. Tujuan suatu ilmu dalam krangka ini bukan semata untuk ilmu itu sendir, melaingkan lebih luas yakni dapat member manfaat bagi kepentingan kemanusiaan. Apek ini sering menjdi bahan perdebatan, bahwa masa lalu kurang atau bahkan tidak punya konstribusi terhadap masa depan unmat manusia, (Abdurahman Hamid & Muhamad Saleh Majid, 2011: 86).
Ilmu sejarah dan ilmu filsafat merupakan dua ilmu yang berbeda, akan tetapi keduanya saling membutuhkan satu sama lain, ilmu sejarah berbicara mengenai masa lalu, sedangkan ilmu filsafat berbicara mengenai bagaimana berfikir secara rasional, analisis dan kritis, kedua ilmu ini akan sangat bersinergi dalam memecahkan masalah-masalah yang bermunculan di zaman kontemporer ini, ilmu sejarah memberikan gambaran dari masa lalu, yang mana pada masa lalu pernah terjadi bebagai macam persoalan-persoalan, baik persoalan yang meliputi masalah politik, pemerintahan, masalah sosial, ekonomi maupun masalah yang bersifat religius Sebahagian orang mengharapkan masa lalu dapat menjelaskan atau bahkan memberikan pembenaran terhadap apa yang terjadi sekarang, sebahagian yang lain berharap, dari sejarah dapat dicari akar-akar identitas bahkan orientasi kemasa depan, harapan ini termasuk fungsi sosial dari sejarah yaitu“ mengorganisasi masa lalu sebagai fungsi dari masa sekarang”
Ilmu filsafat memberikan sentuhan pemikiran yang mendorong manusia untuk berfikir secara kritis setiap kejadian sejarah yang kemudian menjabarkan bagaimana menjadikan masa lalu tersebut menjadi sebuah ibrah atau pelajaran dimasa sekarang yang terkait dengan permasalah yang tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada masa lampau, dengan demikin manusia mampu memetik sebuah pesan kontemporer dalam rangka membina kehidupan manusia moderen yang ideal.
Dengan demikian kita bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa tugas filsafat dalam sejarah adalah menggerakkan pemikiran manusia agar merekontruksi masa lalu sebagai pelajaran atau hikmah dimasa sekarang, dan merancang masa depan.
Menurut Murtadha Mutahhari (1986:65), sejarah dapat didefinisikan dalam tiga cara:
Pertama, pengetahuan tentang kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa, dan keadaan-keadaan kemanusiaan di masa lampau dalam kaitannya dengan kejadian-kejadian masa kini. Semua situasi, keadaan, peristiwa, dan episode yang terjadi pada masa kini, dinilai, dilaporkan, dan dicatat sebagai hal-hal yang terjadi hari ini oleh surat kabar-surat kabar. Namun demikian, begitu waktunya berlalu, maka semua hal itu larut bersama masa lalu dan menjadi bagian sejarah. Jadi, sejarah adalah pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa, kejadian-kejadian, dan keadaan-keadaan kemanusiaan di masa lampau. Biografi-biografi, catatan-catatan tentang peperangan dan penaklukan, dan semua babad semacam itu, yang disusun pada masa lampau, atau di masa kini, adalah termasuk dalam kategori ini.
Pengertian sejarah seperti dikemukakan di atas, apabila ditelusuri lebih jauh meliputi empat hal: (1) sejarah merupakan pengetahuan tentang sesuatu berupa pengetahuan tentang rangkaian episode pribadi atau individu, bukan merupakan pengetahuan tentang serangkaian hukum dan hubungan umum; (2) sejarah merupakan suatu telaah atas riwayat-riwayat dan tradisi-tradisi, bukan merupakan disiplin rasional; (3) sejarah merupakan pengetahuan tentang mengada (being), bukan pengetahuan tentang menjadi (becoming); dan (4) sejarah berhubungan dengan masa lampau, bukan masa kini. Tipe sejarah ini menurut Mutahhari disebut sebagai sejarah tradisional (tarikh naqli) atau sejarah yang ditransmisikan (transmitted history).
Kedua, sejarah merupakan pengetahuan tentang hukum-hukum yang tampak menguasai kehidupan masa lampau, yang diperoleh melalui penyelidikan dan analisis atas peristiwa-peristiwa masa lampau. Dalam hal ini, bahan-bahan yang menjadi urusan sejarah tradisional, yakni peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian masa lampau, adalah bahan dasar untuk kajian ini. Kajian atau telaah terhadap sejarah dalam pengertian ini, yang berupa peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian, adalah sama halnya dengan bahan-bahan yang dikumpulkan oleh seorang ilmuwan, yang selanjutnya dianalisis dan diselidiki di laboratorium guna menemukan hukum-hukum umum tertentu.
Sejarawan dalam  upaya menganalisis ini, berusaha mengungkapkan sifat sejati peristiwa-peristiwa sejarah tersebut serta hubungan sebab-akibatnya, dan akhirnya dapat menemukan hukum-hukum yang bersifat umum dan berlaku pada semua peristiwa yang serupa. Sejarah dalam pengertian ini menurut Mutahhari disebut sebagai sejarah ilmiah.
Meskipun obyek penelitian dan bahan pokok sejarah ilmiah adalah episode-episode dan peristiwa-peristiwa masa lampau, tetapi hukum-hukum yang disimpulkannya tidak hanya terbatas pada masa lampau. Hukum-hukum tersebut dapat digeneralisasikan sehingga dapat diterapkan pada masa kini dan mendatang. Segi sejarah ini menjadi sangat bermanfaat dan menjadi salah satu sumber pengetahuan bagi manusia untuk memproyek-sikan dan memperkirakan masa depan.
Perbedaan tugas seorang peneliti dalam bidang sejarah ilmiah dan tugas seorang peneliti dalam ilmu pengetahuan alam sangat jelas. Bahan penelitian seorang ilmuwan dalam bidang kealaman adalah berupa rantai kejadian nyata dan dapat dibuktikan. Oleh karena itu, seluruh penyelidikan, analisis, dan hasilnya, dapat dilihat. Sementara itu, bahan kajian penelitian seorang sejarawan ada di masa lampau dan tidak ada di masa sekarang. Bahan yang dikaji seorang sejawaran adalah setumpuk catatan tentang rangkaian peristiwa masa lampau. Seorang sejarawan adalah seperti seorang hakim di pengadilan, yang memutuskan suatu perkara atas dasar bukti-bukti dan petunjuk-petunjuk yang ada padanya.
Dengan demikian, analisis seorang sejarawan bersifat logis dan rasional, bukan berdasarkan bukti-bukti dari luar yang dapat diuji kebenarannya. Seorang sejarawan melakukan analisisnya di laboratorium pikiran dan akalnya, dengan peralatan logika dan penyimpulan, bukan di laboratorium fisik lahiriah dengan penelitian observasi dan pengukuran. Karena itu, pekerjaan seorang sejarawan lebih dekat dengan pekerjaan seorang filosuf ketimbang pekerjaan seorang ilmuwan. Apa yang dikatakan Mutahhari ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Croce ketika mengatakan bahwa sejarah adalah bentuk tertinggi dari filsafat. Bagi Croce, perbuatan berpikir adalah filsafat dan sekaligus sejarah pada waktu yang bersamaan. Karenanya, sejarah identik dengan tindakan berpikir itu sendiri. Dari paradigma ini kemudian lahirlah rumusan tentang identiknya sejarah dengan filsafat (Ahmad Syafii Maarif, 2003: 35).
Ketiga, filsafat sejarah (kesejarahan) didasarkan pada pengetahuan tentang perubahan-perubahan bertahap yang membawa masyarakat bergerak dari satu tahap ke tahap yang lain. Filsafat sejarah membahas tentang hukum-hukum yang menguasai perubahan-perubahan ini. Dengan kata lain, filsafat sejarah adalah ilmu tentang proses menjadinya (becoming) masyarakat, bukan hanya tentang maujudnya (being) saja.
Spengler Toynbee mengemukakan sejarah sebagai perkembangan yang sesuai dengan putaran-putaran perubahan yang tetap dan selalu kembali, sementara sejarawan lain mengatakan sejarah sebagai suatu keseluruhan laporan mengenai masa lalu manusia yang memperlihatkan bahwa masa lalu tersebut membentuk diri sesuai dengan prinsip-prinsip tertentu yang sah secara universal. Pendapat lain tentang sejarah dikemukakan oleh Hugiono dan Poerwantara bahwa dalam penulisan sejarah perlu dibedakan terlebih dahulu antara sejarah dalam kerangka ilmiah, dan sejarah dalam kerangka filosofis. Sejarah dalam kerangka ilmiah adalah sejarah sebagai ilmu, artinya sejarah sebagai salah satu bidang ilmu yang meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan di masa lampau beserta seluruh kejadian-kejadian, dengan maksud untuk menilai secara kritis seluruh hasil penelitian dan penyelidikan tersebut, untuk akhirnya dijadikan pedoman bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah program masa depan.
C.    KESIMPULAN
Pada dasarnya manusia adalah makhluk berfikir, dan berpengetahuan, dengan fikiranya manusia mendapatkan ilmu, dan dengan kehendaknya manusia memperoleh pengetahuan. Berfikir merupakan cara manusia mendapatkan ilmu dan pengetahuan. Filsafat adalah hasil dari berfikir. Namun tidak semua berfikir bisa disebut filsafat. Karena filsafar adalah berfikir dengan mengunakan nalar. Untuk mengkaji ilmu diperlukan filsafat ilmu. Sebab filsafat ilmu merupakan kajian filosofis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ilmu, dengan kata lain filsafat ilmu merupakan upaya pengkajian dan pendalaman mengenai ilmu (Ilmu Pengetahuan/Sains), baik itu ciri substansinya, pemerolehannya, ataupun manfaat ilmu bagi kehidupan manusia. Pengkajian tersebut tidak terlepas dari acuan pokok filsafat yang tercakup dalam bidang ontologi, epistemologi, dan axiologi dengan berbagai pengembangan dan pendalaman yang dilakukan oleh para akhli.
Filsafat ilmu dalam kontek filsafat sejarah akan sangat berguna untuk membantu sejarawan dan ahli sejarah untuk berfikir bijakasana dan mencintai kebenaran dalam mengaji fakta dan data yang diperoleh dilapangan, sehingga waktu lampau yang tidak dilihat secara langsung, bisa dianalisis dan ditulis sesuai fakta dan data yang diperoleh. Mengikuti suara hati (qalbu), agar tidak terjebak dengan unsur subjuktifitas demi melegitimasi kekuasaan tertentu. Hal ini sengat penting dan berguna demi pengembangan ilmu pengetahuan pada masa sekarang dan dimasa depan. Dengan demikian, analisis seorang sejarawan atas data dan fakta harus bersifat logis dan rasional, bukan berdasarkan bukti-bukti dari luar yang tidak dapat diuji kebenarannya. Seorang sejarawan melakukan analisisnya di laboratorium pikiran dan akalnya, dengan peralatan logika dan penyimpulan, bukan di laboratorium fisik lahiriah dengan penelitian observasi dan pengukuran. Karena itu, pekerjaan seorang sejarawan lebih dekat dengan pekerjaan seorang filosuf ketimbang pekerjaan seorang ilmuwan.

DAFTAR PUSTAKA

Endaswra, Suwardi, 2012. Filsafat Ilmu Konsep, Sejarah, dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Jogjakarta: (Cet-1), Caps.
Dawi Maemunah, 2014. Bahan Kuliah filsafat Ilmu, Makassar: Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar, tidak diterbitkan.
Diperoleh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat, diakses pada tanggal 30 Desember 2014.
Hamid,  Abdurahman & Muhamad Saleh Majid, 2011. Pengangar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: (Cet-1), Ombak.
Hasibuan Supardi Ahmad, 2010. Ontologi,  Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu, Artikel, Tidak diterbitkan.
Mutahhari, Murtadha, 1986. Masyarakat dan Sejarah Kritik Islam dan Masrxisme dan Teori Lainya, Bandung: Mizan.
Pilang, Abd. Rahman, 2003. Filsafat Ilmu, Makassar: Badan Penerbit UNM.
Irmayanti Meliono, dkk. 2007. MPKT Modul 1. Jakarta: Lembaga Penerbitan FEUI.
Walsh, W.H. 1967. An Intoduction to the Phillosophy of History, London: Hutchinson.
Zainab Al Khudairi, 1987. Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, terj. Ahmad Rofi Usmani 2011. Bandung: Pustaka, dalam Ajat Sudrajat, Diktat Filsafat Sejarah, ,Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.




Share:

Jaringan Pelayaran Orang Amaholu di Pantai Barat Seram


Motor Piber: Sumber, IPMAM.

Orang Buton yang kini bermukim di pesisir pantai Hoamual Barat, khususnya di Kampung Amaholu,  Huamual, Seram Bagian Barat (SBB), Maluku, masih mengembangkan tradisi maritim (berlayar) dan papalele (berdagang keliling). Meskipun para pelayar ini juga mengembangkan usaha lain, pihamota (berkebun) ubi-ubian, sayur-sayuran, kelapa, cengkeh, dan pala, tetapi tradisi perlayaran dan perdagangan maritim ini, masih tetap dijadikan sebagai mata pencarian ungulan. Aktivitas berlayar-berdagang keliling ini, sudah dilakukan secara regenerasi, dari masa ke lampauan hingga kondisi ke kinian.

Ketangguhan dan keuletan mereka dalam melakukan aktivitas pelayaran ditengah ruang samudra, tidak bisa lagi diragukan. Menghadapi berbagai peristiwa alam seperti, angin kencang, gelombang laut, atau cuaca buruk, pada musim barat dan musim timur, sudah dianganggapnya sebagai hal yang biasa-biasa saja, dan bukan sesuatu yang menakutkan. Anggapan pelayar Buton di Dusun Amaholu bahwa fenomena alam seperti itu, lazim terjadi dalam dunia pelayaran dan perdagangan yang melintasi ruang samudra. Meskipun perahu dan nyawa mereka terkadang menjadi taruahnya. Dengan berpegang pada prinsip berlayar seperti meminjam istilah Abd. Rahhman Hamid, dalam buku Orang Buton Suku Bahari Indonesia (2011), “Sabangka Asarope” satu teman berlayar, satu arah haluan atau tujuan.

Perahu Bangka, sumber: Google.
Solidaritas sesama awak dalam konteks Sabangka Asarope ini, di dalam aktivitas pelayaran dan perniagaan dalam satu perahu perlu diperhatikan serta dijunjung tinggi. Seluruh awak kapal harus berpegang dalam satu  pemikiran, satu tujuan, tunduk, dan patuh terhadap satu komando, serta mengikuti apa yang diarahan dan dianjurkan juragang, selaku pimpinan tertinggi dalam perahu. Kalaupun ada kesalapahaman sesama awak dalam perahu, maka juragang terlebih dahulu harus menyelesaikanya. Sebelum melakukan aktivitas pelayaran.  Jika, kesalapahaman itu terjadi ditengah laut, maka sebelum turun ke darat harus diselesaikan. Demikian pula sebaliknya. Sebab jika tidak, maka akan berimbas pada nasip sial, seperti kecelakaan perahu. Singkatnya, permasalah sesama awak di laut, harus diselesaikan di laut, dan masalah di darat harus diselesaikaan di darat. Dengan berpegang pada komitmen, sekali menancapkan layar pantang berbalik.
Para pelayar ini akan kembali ke kampung halaman mereka, ketika sudah membawa hasil dan berhasil.  Telah menjadi prestise social (harga diri) bagi pelayar, jika mereka berlayar dan kembali tidak membawa hasil dan berhasil. 

Prinsip ini telah tertanam di dalam benak mereka sebagai pelayar, dan menjadi penyemangat disetiap aktivitas pelayaran. Selain itu, ada sesuatu yang di sakralkan pomali (larangan) bagi para pelayar Buton, lebih khusus orang Buton di Dusun Amaholu ketika sedang berlayar. Dimana perahu harus berbalik haluan ketempat semula (star awal), disaat perjalanan itu belum sampai ke tempat tujuan. Kemudian disisi lain, hal yang biasa dipomalikan pelayar Buton di Dusun Amaholu yaitu awak kapal yang sudah menikah terutama juragang, harus berbaik hati dengan isrtinya. Dalam artian, rumahtangga harus akur. Sebelum melakukan aktivitas berlayar-berdagang.

Keberanian dan ketangguhan orang Buton di Dusun Amaholu dalam mengarungi ruang samudra ini. Sudah sepatutnya, dan sepantasnya, mendapatkan julukan sebagai “Komunitas Maritim” di Kabupaten SBB. Betapa tidak? para pelayar di Dusun Amaholu ini, telah melakukan pelayaran ke berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, nenek moyang mereka (Binongko) dalam kurun niaga, sudah berlayar dan membangun kontak jaringan perdagangan maritim menjangkau wilayah mancanegara, seperti Malaysia, Singapura, Filipina Selatan, Deli, Palau disebelah timur Filipina, dan jalur pelayaran itu dianggap sebagai rutinitas biasa. Kedatangan orang Buton di Pulau Seram, termasuk di Dusun Amaholu pun, tidak terlepas dari sejarah pelayaran tradisional dan perniagaan itu sendiri.

Wilayah timur seperti Irian, Nusa tenggara Timur, (Flores) Nusa Tenggara Barat (Bima), kepulauan Maluku,  Maluku Utara, dan pulau-pulau terdepan dan terluar,  dan wilayah Barat seperti Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali. Wilayah Indonesia tengah, seperti Sulawesi Selatan, (Makassar) Sulawesi Tenggara (Kepulauan  Buton,  Bau-Bau dan Kendari), Sulawesi tengah (banggai, dan luwuk), Sulawesi Utara (Manado dan Bitung)  dan hampir seluruh kepulauan Indonesia,  telah dijangkau oleh para pelayar Buton di Dusun Amaholu. Mereka telah mendekatkan pulau-pulau dalam konteks geografi, dan ruang kulrutal yang utuh tentang Indonesia. Hal itu, terdengar dari cerita-certia yang terekam dalam ingatan kolektif para pelayar sebagai pelaku sejarah di Dusun Amaholu. Mereka dengan gampangnya menyebut nama daerah, jenis angin, sebaran karang di laut, dan krateristik masyarakatnya, di tempat yang pernah di kunjungi. Fakta ini membuktikan,  bahwa aktivitas berlayar orang Buton di Dusun Amaholu, dalam mengarungi laut telah mendekatkan ruang komunikasi. Mereka pun dapat membentuk jaringan dagang, dengan berbagai etnis di kepulauan Indonesia.

Orang Buton di Dusun Amaholu sudah mengeluti dunia pelayaran taradisonal ini, sejak dari berlayar menguanakan perahu Bangka, yang masih mengandalkan kekuatan angin sebagai tenaga pengerak perahu, Motorisisasi perahu layar, sampai dengan Motor Piber, sekarang. Kepawaian mereka dalam aktivitas kebaharian ini, ternyata bukan hanya bisa berlayar mengarungi ruang samudra, dan membentuk jarigan dagang dengan masyarakat disetiap daerah yang dijumpai, tetapi mereka juga pandai membuat perahu Bangka

Share:

Pemikiran Nietszche Terhadap Posmedernis

REVIU BUKU
TEORI DAN METODOLOGI
Ilmu Pengetahuan Sosial Budaya Kontemporer

Pengarang: Dr. Akhyar Yusuf Lubis
Ed.1-Cet.1- Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Buku ini menjelaskan tentang konsep, teori, da metodologi yang sangat penting utuk kajian sosial-budaya kontemporer (Radikal). Pembahasan di buku ini di mulai dari pemikiran Neetszche yang pemikiranya disebut sebagai inspirator bagi pemikiran postmederen.    Pembahasan dimuali dari dari pemikiran Nietszche yang pemikiranya disebut sebagai inspirator bagi pemikiran posmoderenis. Selanjutnya dibahas tentang sturukturalisme dari Max, Freud, Levis Strauss dan Ferdinan De Saussure. Strukturalisme Saussure mendapat porsi pembahasan yang cukup rinci karena konsep dan teorinya diperlukan untuk memahmi apa yang dikritik secara radikal oleh Poststrukturalis (khususnya Derrida) pada strukturalisme Saussure.
Poststrukturalisme kemudian dipaparkan sebagai reaksi atas pemikiran strukturalis yang mendekonstruksi: sistem/struktur, makna dan oposisi biner, keterlepasan makna dari konteks pada strukturalisme Saussure.
Pemikiran postrukturalisme dan posmodernis seperti Francios Lyotard, Jacques Derrida, Michel Foucault dan Richad Rorty, yang disebut sebgai nabi posmoderen, menjadi pembahsan penting pada bagian berikutnya. Julukan nabi posmoderen pada keempat pemikir ini menunjukan betapa pentingnya pemikiran mereka untuk memahami berbagai konsep dan teori posmoderen itu. Memahami pemikiran mereka berarti membuka jalan bagi pemikiran kita untuk memahami pemikiran posmoderen yang berkembang pada berbagai bidang studi yang dipengaruhi oleh teori posmoderen itu seperti: Sosiolegi posmoderen, teori hukum posmoderen, pisikologi posmoderen, politik virtual atau politik posmoderen, manajemen posmoderen, teori postokolonial, teori feminis, curtural studies, multikikulturalisme dan lain-lain.
    Dalam buku ini penulis mencoba mengkaji pemikiran Riedrich Wilhelm Nietszche dan pengaruhnya terhadap pemikiran Posmodernis. Pemikiran Nietzsche patut dan layak difahami oleh teoritisi sosial dan politik, terutama karena pengaruhnya yang besar bagi pemikiran postruk-turalis dan posmodernis yang mewarnai pemikran ilmu pengetahuan sosial-budaya sekarang ini.
    Nietszhe tidak mendukung kapitalisme yang disebut sebagai ideologi yang berusaha mempercepat kemajuan budaya dan kekuatan individu. Ia menganggap orang-orang yang terlibat dalam ekonomi kapitalis sebagai ”semut semut pekerja” yang giat yang digerakkan oleh pemilik modal. Meskupun ia mengkritik kapitalis, namun Nietszche bukan pendukung sosilisme, baginya sosialisme hanya sekedar pendukung saja bagi perubahan sosial. Sementara aa  akan lemah dan tumbang.  
    Nietszce cendrung menekankan budaya dan kehendak untuk acuh (willto deception) terhadap ilmu pengetahuan dan kebenaran.  Ilmu pengetahuan diasosiasikannya dengan rasionalitas dan asketisme, sementara budaya dikaitkan dengan permainan irasionalitas bebas. Banyak posmodernis mengambil inspirasi dari Nietzsche, namun umumnya dalam beberapa hal mereka berbeda dengan Nietszhe, seperti kecendrungan posmodernis pada sayap pada egalitarianisme, hak-hak asasi, dan liberalisme.
egalitarianisme” yang menyertai kapitalisme menurut Nietszche  mengakibatkan individu dan buday


1.      Biografi Nietzsche
Riedrich Wilhelm Nietzsche lahir di Rocken, wilayah Sachsen pada tanggal 15 Oktober 1844. Dia lahir dari sebuah keluarga Protestan Lutheran yang saleh.  Ayahnya adalah seorang pendeta Lutheran yang meninggal pada saat dia berumur 5 tahun. Dan dia sendiri diproyeksikan mengikuti jejak ayah, paman dan kakeknya untuk menjadi pendeta.
Pada tahun 1854, Nietzsche masuk Gymnasium di kota Naumburg, namun empat tahun kmudian ibunya memintanya belajar di sebuah sekolah asrama Lutheran di kota Pforta. Di sanalah dia membaca karya banyak sastrawan dan pemikir besar. Selain itu dia juga tertarik dengan kebudayaan Yunani Kuno.
Dia meneruskan studinya di Universitas Bonn pada tahun 1864 bersama teman-temannya dari Pforta. Tahun 1965, dia belajar filologi di Leipzig. Studinya tersebut kemudian terputus ketika pada tahun 1867, dia diminta untuk menunaikan wajib militer. Lalu, karena jatuh dari kudanya dan terluka, dia kembali lagi ke Leipzig dan belajar lagi. Pada inilah dia berteman dengan Richard Wagner, komponis Jerman yang nantinya akan berpengaruh banyak pada kehidupan Nietzsche. Persahabatan itulah yang kemudian berpengaruh pada periode pertama riwayat intelektualnya. Pada periode itu, bersama temannya dia berkutat pada pemikiran mengenai kelahiran kembali seni Yunani Kuno.
Sekitar tahun 1869, dia menjadi dosen di Universitas Basel. Waktu itu usianya baru 24 tahun dan belum meraih gelar doktor. Dia memilih untuk menjadi seorang ateis. Di masa itu jugalah hubungan dengan Wagner semakin memburuk. Dia merasa diperalat demi kemahsyuran Wagner. Terlebih karena Wagner kemudian menjadi Kristen. Kemudian dimulailah periode intelektual Nietzsche yang kedua. Periode ini menghasilkan beberapa karya.
Yang disebut periode ketiga adalah di mana ketika Nietzsche menemukan kemandiriannya dalam berfilsafat. Selama periode inilah, dia sakit-sakitan dan kesepian. Dia mengalami ketegangan mental. Nietzsche terobsesi untuk selalu menyanjung dirinya. Pada bulan Januari 1889, Nietzsche menjadi gila. Dia banyak mengaku sebagai orang-orang terkenal dari Ferdinand De Lesseps, arsitek terusan Suez, sampai bahkan mengaku sebagai “yang tersalib”. Dia meninggal dunia di dalam kesepiannya di Weimar pada tanggal 25 Agustus 1900 karena Pneumonia.
2.      Latar Belakang Pemikiran Nietzsche
   Nietzsche adalalah seorang filsuf penting. Dialah yang peramakali yang menyadari apa arti ‘moderen bagi masyarakat Eropa Barat. Ia juga melihat betapa nilai-nilai dan kepercayaan Kristen yang telah berkembang selama selama dua ribu tahan akan segera berakhir. Dengan hilangnya kepercayaan ini berarti kehidupan individual kita tidak bermakna lagi. 
     Konsekwensi yang paling buruk dari hilangnya kepercayaan itu adalah bahwa semua nilai-nilai nterpenting dari kepercayaan Barat dianggap hanya berupa “metafisika” yang tidak memiliki landasan. Bagi Nietzsche situasi dan fakta ini harus dihadapi dengan jujur.
      Nietzsche banyak mengkritk pemikiran para filsuf besar lainya, seperti Phitagoras, apalagi Socrates, yang danggapnya terlalu merendahkan dirinya sebagai orsang awam (roturier) yang tidak tahu apa-apa. Socrates dianggapnya sebagai perusak moral leluhur pemuda Atena dan moral demokratiknya, yang oleh Nietzsche dianggapnya sebagai moral budak. Plato juga tidak terlepas dari Nietzsche yang dianggapanya sebagai filsuf yang tidak memiliki keutamaaan; filsafatnya hanya sekedar mencampur adukan filsafat (philoshopos hybrides) sebelumnya saja. Untuk menghindar moral budak tentu saja ia tidak suka dengan pemikiranya Kant, yang dituduhnya sok moralis; ia juga tidak suka dengan pemikiran fanatise moral seperti pada Rosseau. Dilsafat pemikiran Nietzsche sejalan dengan The Prince-nya Machiavelli. Keduanya sama-sama anti Kristen dan sama-sama menagungkan kekuasaan.. ia secara terusterang menyukai apa yang selama ini oleh orang-orang dianggapnya buruk daripada yang baik.

3.      Tuhan Sudah Mati
   Tuhan sudah mati, demikian ungkapan Nietzsche yang terkenal. Dengan diberikannya konsep “mati” di dalam Tuhan, Nietzsche ingin mengatakan bahwa keberadaan Tuhan tergantung pada sintetis. Tuhan menjadi argumen yang dapat dipertanggungjawabkan hanya terkait dengan waktu, menjadi, sejarah, dan manusia. Oleh sebab itulah, Nietzsche memberikan konsep kematian di dalam argumennya tentang Tuhan.
    Dengan kematian Tuhan, Nietzsche kemudian mengajukan konsep kelahiran Tuhan baru. Jika Tuhan mati, manusialah yang menjadi Tuhan. Yesus adalah kurban yang harus mati di kayu salib. Kematian yang kemudian disamarkan menjadi sebuah kepercayaan saleh akan cinta Tuhan. Tuhan mengorbankan Yesus demi terbebas dari diriNya sendiri dan orang Yahudi. Tuhan perlu membunuh putraNya untuk terbebas dari diriNya sendiri dan lahir kembali menjadi Tuhan baru yang universal. Demikianlah arti kematian Tuhan yang pertama.
     Yang kedua, kesadaran Yahudi  menginginkan Tuhan yang lebih universal. Dengan matinya Tuhan di kayu salib, Tuhan tidak tampak lagi keyahudiannya. Yahudi lebih memilih menciptakan Tuhan yang penuh kasih dan rela menderita karena kebencian. Dengan nilai kasih yang lebih universal, Tuhan Yahudi telah menjadi Tuhan universal. Tuhan yang lama mati dan Putera menciptakan Tuhan baru bagi kita yang penuh kasih.
     Arti ketiga dari kematian Tuhan berkaitan dengan agama Kristiani. Nietzsche mengartikan lain teologi St. Paulus. Teologi Paulus yang banyak dijadikan dasar ajaran kristiani adalah pemalsuan besar-besaran. Dikatakan demikian karena Kematian Putera adalah untuk membayar hutang Tuhan. Nietzsche melihat terlalu besar hutangNya. Tetapi kemudian, Tuhan mengorbankan PuteraNya bukan lagi untuk membebaskan diriNya melainkan demi manusia. Tuhan mengirimkan PuteraNya untuk mati karena cinta, kita menanggapinya dengan perasaan bersalah, bersalah atas kematian tersebut dan menebusnya dengan menyalahkan diri sendiri. 
    Demikianlah kemudian Nietzsche menyebut kita semua sebagai pembunuh Tuhan dengan semua kedosaan kita. Inilah moralitas budak yang dikritik Nietzsche. Budak bertindak bukan atas dasar dirinya sendiri melainkan ketakutan akan tuannya. Tindakannya selalu didasarkan pada perintah tuannya. Bertindak sendiri akan menyangkal kodratnya dan dianggap sebagai kesalahan. Berbeda dengan moralitas budak, moralitas tuan merupakan sikap yang sebaliknya. Moralitas tuan tidak mewujudkan apa yang seharusnya dilakukan tetapi apa yang senyatanya dilakukan. Moralitas tuan menghargai dirinya sendiri. Mereka selalu yakin, perbuatannya baik.
4.      Nihilisme Nietzsche
    Nihilisme adalah paradigma yang dibangun oleh Friedrich Wilhelm Nietzsche yang melihat segala sesuatunya dengan nihil. Nihilisme tidak dibangun melalui suatu keadaan yang ada, melainkan pada dasarnya terkonstruksi oleh nilai-nilai nihil itu sendiri. Nilai-nilai ini tidak dilihat dari satu sisi kiri, kanan, maupun di tengah-tengah. Ia berada pada sebuah ruang dan waktu yang berada di manapun. Ia bisa menjadi kiri sedikit kanan, ataupun sebaliknya, ataupun tidak keduanya, bahkan ia pun tidak bisa juga disebut sebagai ia dalam bentuk yang lebih mudah. Ia tidak terbatas, dan berada beyond pada semua bentuk, termasuk pada aspek posisinya.
     Nietzsche berperan penting dalam melihat bagaimana sebuah ide dapat menjadi bentuk yang nihil, bukan lagi nyata atau semu, ataupun gabungan keduanya. Nihil adalah suatu sifat, keadaan, bentuk, atau apapun yang tak terhingga. Ia memerlihatkan suatu ide maupun benda yang diakomodasi oleh nilai-nilai yang tidak dibentuk oleh akomodasi nilai-nilai posisi lainnya. Oleh karena itu, Nietzsche mengambil bentuk tertinggi pikiran manusia untuk dihancur-leburkan dalam suatu bentuk yang tidak ada, yaitu Tuhan.
5.      Kembalinya Segala Sesuatu dan Ubermensch
     Konsep “kembalinya segala sesuatu” secara abagi termasuk konsep Nietzche yang penting. Nietzsche menyatakan segala sesuatu pergi, segala sesuatu dating kembali; berputarlah roda hakikat itu secara abadi. Ada dua konsep penting yang dikemukakan Nietzsche malalui buku, Thus Spake Zarathustra (1884) yaitu: “Kembalinya segala sesuatu´ (eternal recurrence of the same) atau pengulangan abadi´ serta Uberbermensch (Overman, superman). Konsep eternal recurrence of the same´ atau Kembalinya segala sesuatu´ secara abadi termasuk konsep Nietzsche yang penting. Konsep perulangan secara abadi ini mungkin diambil Nietzsche dari Schoupenhauer yang dipengaruhi oleh konsep Buddhisme (reinkarnasi). Kembalinya segala sesuatu dan
    Ubermensch diajukan sebagai cara untuk mengatasi kekacauan dan nihilisme yang melanda dunia Barat sesudah runtuhnya pandangan dunia agama Kristen dan pandangan dunia ilmiah. Jika tidak ada Tuhan dan tidak ada nilai-nilai yang abadi, alam semesta yang kita tinggali menjadi absurd (bandingkan dengan Albert Camus), maka pandangan Nietzsche bisa benar, dan masing-masing harus mencipta dirinya sendiri.
Nietzsche menyatakan bahwa;
Segala sesuatu pergi, segala sesuatu datang kembali berputarlah roda hakekat itu secara abadi´.
      Konsep ini juga mengemukakan tentang alam yang tidak berawal dan berakhir. Segala sesuatu itu mati, segala sesuatu itu berkembang kembali; berlangsunglah rangkaian hakekat itu secara abadi. Konsep Kembalinya Sesuatu´ secara abadi juga dianggap sebagai antitesis terhadap konsep penciptaan serta kekekalan. Sejarah berjalan sebagai siklus-siklus besar, sehingga makna hidup hanya ada dalam kehidupan itu sendiri. Jika kita sadar bahwa bahwa pilihan-pilihan bebas akan tindakan kita akan berulang kembali secara terus menerus, maka diandaikan bahwa kita harus berhati-hati dalam menentukan pilihan dan bertindak. Karena masa depan kita ditentukan sendiri oleh pilihan-pilihan tindakan kita sekarang.
       Alasannya adalah, karena keberulangan ini dapat mendorong manusia untuk mencari kebahagian dalam hidup, karena kebahagian itu kelak berulang lagi, sehingga manusia tidak  perlu takut mati. Dalam pandangan ini tidak ada sesuatu yang baru pun dalam alam ini, ia hanyalah perulangan semua yang ada sebelumnya. Pilihan bebas dalam menentukan tindakan, sesungguhnya paradoks dengan prinsip pengulangan abadinya, karena pengulangan bukan merupakan proses yang berkembang terus secara linear dan kreatif. Jika kehidupan kita sekarang hanya pengulangan masa lalu kita yang buram dan menderita seperti pengalaman Nietzsche sendiri, bagaimana ia berulang menjadi kehidupan bahagia dan menjadi Ubermensch?
6.      Kehendak untuk Berkuasa
     Manusia atas selalu berhubungan dengan suatu tujuan-tujuan; kehendak untuk berkuasa (Will to power). Kehendak berkuasa adalah hakekat segala sesuatu, termasuk di dalam pengetahuan. Bukan saja manusia atas, melainkan juga semua manusia. Akan tetapi tujuan manusia atas tidak pernah mengacu pada hal lain selain dirinya sendiri. Kehendak berkuasa harus secara tegas melampaui manusia. Pemikiran ini adalah cara bagi Nietzsche untuk menyingkirkan moralitas dan menggantinya dengan konsep Ubermensch di mana manusia atas selalu bertindak murni dari dirinya sendiri.
   Sekilas tampak bahwa manusia atas adalah manusia egois yang mengabaikan manusia lain. Tetapi Nietzsche tidak sependapat. Menurut Nietzsche, manusia atas tidak pernah mendominasi yang lain atau mengorbankan yang lain secara biologis maupun politis. Nietzsche menyebut hasrat kekuasaan yang salah sebagai “setan kekuasaan” atau “ hasrat fanatis akan kekuasaan.”
Pengertian yang ditekankan Nietzsche dari kehendak berkuasa adalah lebih merupakan suatu kualitas kehendak. Hal itu adalah suatu kedalaman eksistensial demi mentransendenkan diri sendiri. Manusia harus berusaha habis-habisan mencapai tujuannya. Dan itu tidak menggunakan insting tetapi dengan penguasaan diri yang penuh.
    Nietzsche mengembangkan filsafat etika berdasarkan teori evolusi. Baginya, kalau hidup adalah perjuangan untuk bereksistensi dimana organisme yang paling pantas untuk bereksistensi dimana organisme yang paling pantas untuk hiduplah yang berhak untuk terus melangsungkan kehidupannya, maka kekuatan adalah kebajikan yang utama dan kelemahan adalah keburukan yang memalukan. Yang baik adalah yang mampu melangsungkan kehidupan, yang berjaya, dan menang; yang buruk adalah yang tidak bisa bertahan, yang terpuruk, dan kalah.
     Hidup adalah medan laga tempat seluruh makhluk bertarung agar bisa terus melangsungkan hidupnya. Dan dalam pertarungna yang kita namakan keidupan itu, kita tidak memerlukan kebaikan melainkan kekuatan; yang yang dibutuhkan dalam hidup bukanlah kerendahan hati melainkan kebanggan diri;bukan altruisme, melainkan kecerdasan yang sangat tajam. Dan, hukum kehidupan bukanlah hukum yang dibuat oleh manusia, melainkan hukum yang dibuat oleh alam: kesamaan dan demokrasi bertentangan dengan kenyataan seleksi alam dan kelangsungan hidup; keadilan berlawanan dengan kekuasaan, merupakan wasit sejati dari seluruh perbedaan dan seluruh nasib makhluk hidup.

7.      Reralifisme dan Sekeptisme Epistimologi
     Dari pemikiran Nietzsche dapat dikemukakan bahwa “ kebenaran adalah hasil konstruksi/ciptaan manusia sendiri, yang berguna bagi mereka untuk melestarikan diri sebagai sepsis. Pengetahan dan kebenaran adalah sebagai prangkat yang efektif untuk mencapai tujuan, tetapi bukan entitas yang teranseden dari manusia. Kebenaran ilmiah tidak mungkin ‘objektif’ karena hasil konstruksi manusia dab selalu sebagai upaya melayani kepantingan dan tujuan tertentu manusia. Mengetahi tidak lain adalah memasang katagori-katagori terhadap proses yang tidak beraturan, yang menjadiakan dunia ini berguna bagi kita dan member kita kesan akan kekuatan dan kekuasaan. 
   Nietszche menolak antara pemisahan baik dan jahat dengan mengatakan hal ini menonjolkan suatu moralitas teologis yang tidak pantas bagi seorang yang tidak punya keyakinan beragama. Esensi manusia baru yang dicanangkan Nietzsche kepada dunia adalah kebijaksanaan yang penuh bahagia, kesanggupan untuk mengadakanpilihan dalam keseluruhan dirisendiri dan dengan begitu tidak menyeleweng dari semua motif tindakan seorang.
8.      Kritik Nietzsche Terhadap Rasionalitas dan Kebenaran
     Filsafat Nietzsche sangat mengkritik pradikma rasionalitas Barat. Kritiknya terhadap rasionalitas modern adalah upayanya untuk menerima kekayaan dimensi manusia, dan tidak terperangkap oleh kebenaran moral dan rasionalitas saja. Untuk itu ia menawarkan seni untuk memasuki dimensi manusia yang paling dalam, yang tidak mampu dirai oleh rasio manusia.
     Menurunnya seni dan trageddapat mengatasi dekadensi kebudayaan Modern. Baik Shopenhauer maupun Nietzsche menolak gagasan Kant yang mengangungkan rasio. Menurut Kant hanya rasiolah yang dapat memahami fenomena. Dengan keberanian menggunakan rasio secara otonom pulalah manusia memperoleh kedewasaannya (Pencerahan) dan modernitas. Schopenhauer dan Nietsche lebih menekankan pada keinginan, hasrat daripada rasio. Ia menyetakan bahwa rasionalitas sesungguhnya bersifat kontingen, dan klaim apapun tentang kebenaran objektif adalah kekeliruan yang paling dalam.
    Jadi, kebenaran ibarat kawanan tentara (divisi lokal) yang masing-masing menjaga keamanan dalam wilayahnya sendiri-sendiri. Nietzsche berpendapat bahwa bahasa tidak tepat  untuk mengungkapkan kebenaran tergantung pada pengakuan terhadap keragaman kultural dan komitmen terhadap gagasan bahwa masing-masing kebudayaan memandang dunia dari skema konseptual yang terpisah atau sekama konseptual masing-masing.  Setiap klaim kebenaran menurut Nietzsche  tergantung pada pandangan dan perspektif tertentu, setiap klaim  kebenaran secara keseluruhan bersifat imanen dalam sebuah kebudayaan dan bahasa  serta argumen khusus. Nietzsche juga mengakui pluralisme kebudayaan dan nilai-nilai yang satu sama lain tidak dapat dibandingkan. Pluralisme  Nietzsche juga sebagai penolakan terhadap logika dialektika, karena dialektika mematikan pluralitas dengan pencarian konsensus.
9.      Penutup
     Argumen-argumen relativis(me) Nietzsche yang didasarkan atas relativisme kultural dan sejarah menunjukkan bahwa begitu banyak penjelasan-penjelasan yang berbeda-beda tentang realitas sesuai dengan perbedaan perspektif dan budaya. Nietzsche menunjukkan bahwa sistem pemikiran Barat didasarkan atas sistem metafisika tertentu, misalnya, ajaran esoterik Nietzsche seperti kehendak untuk berkuasa, kembalinya segala sesuatu secara abadi yang sengaja diajukan untuk menunjukkan bahwa segala sesuatu itu menuju pada arah “ketiadaan” (nothing). 
      Pemikiran Nietzsche penuh dengan kontradiksi bahkan sebagian tidak benar, atau setidaknya bertentangan dengan penemuan ilmiah misalnya konsepnya tentang alam yang tidak berawal dan berakhir. Apalagi gaya tulisannya yang lepas dari kungkungan aturan ilmiah, cara menulis yang penuh dengan ironi, metafora dan hiperbola.  Gaya tulisannya bergerak antara filsafat dan puisi, tubuh dan kesadaran, antara emosi dan nalar. Nietzcshe dan pengikutnya yang  muncul melalui filsafat posmodern menggunakan metafora sebagai pengembangan makna  di luar yang diterima, untuk menginspirasi kata, pikiran, dan hidup.
       Serangan Nietzsche pada Agama Kristen serta pada ilmu pengetahuan dan kebudayaan Barat modern seakan-akan sebagai upaya untuk meruntuhkan narasi-narasi besar zaman modern. Francois Lyotard lah yang kemudian menyatakan secara tegas tentang runtuhnya narasi-narasi besar zaman modern itu. Robert Pippin misalnya dengan jelas menyatakan bahwa, filsafat Nietzsche dalam bahasa yang lebih fashionable adalah sebuah solusi (bagi krisis modernitas) yang mendekonstruksi dirinya, akan tetapi orang yang bertanggungjawab terhadap dekonstruksi  bukan tekstualitas itu sendiri, akan tetapi Nietzsche.
Salah satu pemikiran Nietzsche yang menggema dalam filsafat ilmu pengetahuan sekarang adalah pandangan bahwa ilmu pengetahuan sebagai aktivitas sosial dan kultural yang sifatnya sangat terbatas, sesuai dengan keterbatasan manusia itu sendiri (manusiawi). Pemikiran seperti ini dikemukakan Kuhn, Francois Lyotard, Jean Baudrilard, Jacques Derrida, Michel Foucault, Richard Rorty atau postrukturalis dan posmodernis umumnya. Nietzsche dan pemikir-pemikir tersebut menawarkan pandangan tentang ilmu pengetahuan yang baru, yang lebih bersifat  pragmatis serta menyadari bias dan beberapa keterbatasannya.
     Pengaruh pemikiran Nietszche terlihat pada pemikiran posmodernis seperti: metode dekonstruksi, penolakannya pada kebenaran objektif dan universal,  kematian subjek, antifundasi-onalisme, antiesensialisme,   pluralis, skeptisisme, anti metafisika, dan ati dialektika, dan lain-lainPengaruh Nietszche yang begitu besar terhadap sebagian besar  pemikiran  posmodernis (Francois Lyotard, Jacques Derrida, Michel Foucault, Richard Rorty, Filex Guattari, Gilles Deleuze, Jean Baudrillard) yang menggunakan dan memperluas gagasan Nietzche pada pemikiran mereka. Semua ini mengangkat nama dan pemikiran Nietzsche kembali, sehingga Ia  dijuluki sebagai Bapak Posmodernis(me).
    Meskipun Nietzsche mensubordinasikan  ilmu pengetahuan di bawah budaya, namun Ia menyetujui pentingnya kehendak untuk kebenaran (will to truth), yaitu kehendak untuk melihat realitas apa adanya, melihatnya realitas dan kehidupan ”dalam keanekaragaman, ketidakpastian”. Di sini individu yang berdaulat, visi yang penuh gairah dan kecermatan disiplin diperlukan untuk menghadapi ”lautan luas kehidupan” sebagai tugas berat dan serba mungkin. Sebuah ungkapan dari Nietzsche. “membuat orang gelisah, itulah tugas saya.



Share:

Unordered List

3/sosial/post-list

Latest blog posts

3-latest-65px

BTemplates.com

3/sosial/col-right
Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Statistik Pengunjung

Ekonomi

3/ekonomi/col-left

Publikasi

3/publikasi/feat-list

Error 404

Sorry! The content you were looking for does not exist or changed its url.

Please check if the url is written correctly or try using our search form.

Recent Posts

header ads
Ag-Historis

Text Widget

Sample Text

Pengikut

Slider

4-latest-1110px-slider

Mobile Logo Settings

Mobile Logo Settings
image

Comments

4-comments

Budaya

budaya/feat-big

Subscribe Us

Recent Posts

sejarah/hot-posts

Pages

Popular Posts