Menyajikan Data Mengungkap Fakta Menjadi Sejarah

Sejarah

3/sejarah/post-list

Sangkola Menguatkan Kesabaran

 

Kuliner Sangkola: Gambar Googel

Belakangan ini sangkola, kuliner asli orang Buton menjadi viral di sosial media. Berawal dari cetingan serang perempuan cantik berusia mudah. Ia terbaca belum matang emosinya. Jemari-jemarinya mengetik, terungkap keinginanya untuk tidak bisa menerima pemuda Buton dalam hidupnya. Keiginan itu hadir dari lubuk hatinya yang paling dalam. Tak ada yang salah dari impian itu. Memilih pendamping hidup memang harus tepat, agar kelak tak menyesal. Cinta yang dipakasakan akan hancur berkeping-keping. Jangan ada cinta jangan terkesan dipaksakan.

Apalagi selerah rasa itu berdasarkan pengalaman yang dilihat di negerinya. Bahwa kehidupan etnis yang coba masuk di ruang hatinya itu dianggapnya badaki, makan sangkolah dan tak bermarga. Sungguh! Sebuah warna kehudupan yang mungkin jauh berbeda dengan kehidupan etnisnya, Nona. Untaian kata yang tersembunyi itu bocor. Setelah dibororkan oleh sesorang pemuda yang diduga ditolak asmaranya. Tangkapan layar yang berisi kata hinaan itu dibagikan ke ruang publik. Mungkin kesal hatinya tertolak. Pesan yang tadinya untuk dua orang terbagi menjadi konsumsi publik. Tak bisa lagi disembunyikan.

Serentak pesan itu tersiar penuh amarah. Netizen yang salama ini, menjadikan sangkolah penyambung hidup mereka amarahnya memuncak laksana gunung api yang siap meledak. Karena tidak semua yang dilihat itu benar adanya. Hanya orang yang dengki melihat kehidupan Buton itu badaki. Pikiran dan hati masih masih diselimuti dakit. Memandang rendah orang lain.“Oh Nona! Sungguh kejamnya hatimu. Haruskan membuat semua orang Buton di dunia maya, ikut terseret dalam arus asmara kalian? Begitu sebagian netizen berkata.

Seorang yang cintanya ditolak juga berhasil memantik simpati publik Buton. Untuk terlibat kesal dan  marah. Sekaligus sama-sama menghakimi perempuan seorang diri anak kesehatan berkulit“Kasbi kupas”itu. Atas untaian katanya yang Badaki. Tampa harus menyelahkan dirinya, telah membagikan skandal asmara yang rasis itu.

Pakatang Buton bisa saja membuat Nona menjilat dakinya La Nyong, karena cinta yang bersemi. Semoga kelak ade Nona tidak menjalin hidup bersama dengan lelaki yang makan Sangkola. Sebab kata bisa berbalik. Agama mengajarkan, jodoh itu di tangan Tuhan. Manusia tak kuasa menolak dan  hanya bisa menjalaninya.

Kini ini jamanya beda, situasinya beda, kondisinya beda. Istilah Kocika belum tepat. La Nyong yang tertolak cintanya memanfatkan peluang. Memviralkan kata-kata ade nona yang membuat banyak orang marah. La Nyong mendapatkan kepuasan atas penghakiman dari netizen. Kecaman publik memang bisa saja membuat jantung berhentik berdatak sejenak. Lebih kejam dari dukung yang bertindak diam-diam karena cinta tertolak.

Netizen Buton marah dan benar-benar kesal, seolah tak ada kata kosabara (sabar). Setelah tahu isi skandal yang menghina etnis ,mereka. Andaikan perempuan itu ada dihadapan mama-mama penual Sangkola, mungkin saja bibirnya langsung dipuruni (diramas) seperti kampuruni (kuliner berbahan jagung yang digiling di batu giling sebelum dimasak).

Tapi sungguh ironis, marah berlebihan juga bukan tipe orang Buton sejatinya. Filosofi hidup Buton mengajarkan kosabara (sabar) dan koemani (beriman). Landasan iman yang tertanam dalam diri membuat orang Buton selalu sabar tampa berkeluh kesah menjalani hidup dan kehidupannya. Meski hidup dari hasil menjual kasbi yang badaki. Karena itulah, menyerahkan persoalan perempuan itu kejalan hukum untuk mendapatkan keadilan adalah tepat. Agar tidak melebar ke mana-mana. Orang Buton lebih mencintai kedamaian. Hidup tak mau ribut dengan orang lain. Sekaligus menjadi pembelajaran berharga. Hidup beragam jangan saling meredahkan karena manusia sama di mata Tuhan.

Perempuan berkerudung itu saudara seiman mereka. Tentu memaafkan menjadi perbuatan mulia. Tidak akan merendahkan martabat, justru meningikan derajat karena orang Buton itu sejatinya pemaaf. Memberikan pengampuanan kepada orang yang mengina itu adalah sifat hakiki leluhur. Sebab dari dulu orang Buton di Maluku sering mendapat strotif “Binongko badaki makan sangkolah.” Akan tetapi, justru dengan makan Sangkola mereka menjadi penyabar, pekerja keras, kuat dan pantang menyerah menghadapi cobaan hidup. Itulah yang membuat mereka sukses. Banyak yang berpendidikan tinggi dari hasil kerja keras orang tuanya yang menjual sangkolah. Faktanya di Maluku orang Buton menjadi pengerak ekonomi masyarakat kecil penyambang hidup bagi orang negeri di Ambon dan Seram.

Kalimat pendek yang tertulis seolah membenarkan dan mengeneralisir, bahwa orang Buton yang mengonsumsi Sangkolah itu kotor dan jorok. Adalah hasil dari pengamatan perempuan tersebut, yang diamatinya di rumah orang Buton di negerinya. Jika fakta demikian benar, mestinya untuk ditujukan hanya untuk rumah yang dilihatnya.

Sangkolah makanan pokok orang Buton. Memang dari bahan dasar ubi kayu dari tanah yang kotor, Badaki, tetapi proses untuk sampai ketahapan Sangkolah, tidaklah mudah. Ubi kayu yang dicabut dikupas dicucui dengan air bersih, mengunakan sikat, mengeluarkan kotor-kotaran yang menepel di ubi, dibilas dengan air hingga hilang benar-benar dakinya. Selanjutnya di parut, dimasukan dalam karung bersih yang didesain khusus untuk digepe (ditindi dengan batu) agar air racunya keluar. Lalu kering menjadi Gepe. Tak cuup sampai disitu meproduksi kuliner Sangkolah, masih perlu diaya (ditapis) untuk mengerluarkan kasarnya dan mengambl halusnya. Untuk mendapatkan cita rasa yang enak dibiarkan beberapa saat, kemudian dikukus mengunakan Kukusan di dandang dengan uap panas (soa) yang menguap ke dalam tepung umbi sehingga berubah bentuk. Setelah benar-benar “soa” tepung ubi berubah bentuk menjadi Soami (Sangkolah) yang siap disajikan. Proses untuk menghasilkan Sangkolah tidaklah mudah, butuh kerja keras penuh kesabaran. Karena itulah orang Buton yang makan Sangkolah memiliki jiwa penyabar (kosabara), meski dihina. Orang Buton Bukan tidak memiliki memakai marga tujuannya untuk tidak bertinggi diri.

Dalam startus sosial orang Buton memilih mengunakan nama orang tua mereka dibelakang namnya untuk menghindari rasa tinggi diri. Mereka yang tak bermarga sebagian besar berasal dari kasta tertinggi dalam struktur sosial Buton di Nusantara dahulu. Ada yang berasal dari turunan Sultan, penyiar Islam. Orang Buton yang berdiaspora di Maluku dahulu diberi pelakukan khusus Pulau Seram, sebagai penguasa Sahulau tanah Seram. Mereka rela menutupi marga dan gelar mereka sebagai Ode hanya karena untuk mendapat perlakukan yang sama. Tidak ingin berbangga diri karana landasan Iman Islam yang ada dalam diri oleh mereka menyebutnya Koemani. untuk menghasilkan mengambil bahan produksi dengan cara bersih. sebab faktanya berbanding terbalik. Orang-orang Buton yang meproduksi dan mengonsumsi Sangkolah di Pulau Ambon, hidup tak lagi tradisional, juga tak terhitung jumlahnya, memiliki Rumah Mewah, bersih, dan boleh jadi jauh lebih bersih kulit perempuan yang mengucapkan tersebut.

Sangolah bukan hanya soal cita rasa, tetapi juga menyakut kohesi sosial. Sangkolah dapat mepererat hubungan antar tetanga, meski bukan saudara sedarah. Karena itulah, sangkolah selalu dirindukan oleh orang Buton, meski mereka berada di tanah rantau. Membuat kuliner sangkolah, membutuhkan kesabaran dan menjadi penguat kesabaran.

Share:

Apa Guna Jalur Rempah untuk Banda Naira?

 


Jalur Rempah, tidak hanya untuk seriomonial makan patita, tetapi juga harus bisa mengenyangkan masyarakat pemilik rempah. Banda Naira, adalah titik nol jalur rempah Nusantara, dengan komoditas utamanya pala dan fuli. Fakta itu tak bisa terbatahkan. 

Pertanyaannya apa manfaat jalur rempah untuk Banda Niara sebagai pemilik identitas rempah? Pemerintah harus bisa merekomendasikan kepada pusat, bila Indonesia punya Jalur rempah sebagai Identitas bangsa, seperti Cina punya Jalur Sutra, maka Banda Naira harus menjadi “TITIK NOL JALUR REMPAH” dan itu perlu ditergaskan dalam keputusan pemerintah bila nantinya UNESCCO menyetujuai Jalur Rempah Sebagai Warisan Dunia.

Dengan demikian, Identitas kepemilikian tanaman endemik itu tidak dikelaim daerah lainnya. Agar Banda Naira tak diabaikan, seperti Belanda dulu usai menguras hasil rempah lalu mengabaikannya. Banda Naira kini masih tertinggal jauh dari daerah lain di Indonesia. Janji pemekaran Kecamatan Banda Tak kunjung terealisasi. Apalagi harus menjadi daerah sendiri, seperti tempo dulu bersatus Provinsi lalu diturunkan menjadi kabupaten lalu dikucilkan lagi oleh Belanda menjadi kecamatan, sampai skarang statusnya kecamatan, sungguh miris.

Jalan lingkar Banda Besar kini hancur berentakan. Padahal daerah parawisata yang dikunjungi oleh Wisatawan Lokal dan Mancanegara setiap tahunnya. Semoga pemerintah kita tidak menutup mata, menjadikan Banda seperti kolonialisme Belanda dulu mengabaikkan negeri rempah ini.

Tak perlu lagi membandingkan Manhatan, Amerika, dengan Pulau Run di Banda Naira yang tempo dulu di bangun Inggris dari hasil rempah pala dan fuli. Tapi sungguh miris Pulau Run sekarang, daerah parawisata, tetapi listrik negara hanya sampai 12 Jam.

Padahal Negeri Run, selain punya pala juga punya potensi ikan yang luar bisa, sehingga disebut Kampung Nelayan. Akan Tetapi, sunggu miris Listrik negara tak sesuai harapan. Masyarakat tak bisa memproduksi Es karena listri tak 24 Jam. Apalagi sinyal dari Tower Merah Putih timbul tenggelam. Jadi apa guna jalur rempah untuk daerah pemilik rempah Banda Naira di masa depan?(K.R).

Share:

Pulau 'Run' Sejarah Kampung Nelayan yang Terabaikan

 

Negeri Pulau Run

Ingatan Sejarah

Sejarah Run yang ditukarkan dengan Manhattan, New York, Amerika Serikat, pada 31 Juli 1677, hingga kini masih segar dalam ingatan kolektif orang Banda Naira, terutama penduduk yang menetap di Pulau Run. Peristiwa tukar guling antar kepentingan, sesama bangsa kolonial itu adalah kisah klasik, namun asik dituturkan sepanjang masa. Meski terdengar liar saat warga usia senja melukiskan alurnya.

Seolah saksi sejarah, ketika terjadi konflik Belanda versus Ingris di titik terdepan Kepulauan Banda itu. Tradisi lisan yang mengandung pesan mendalam, sarat makna dikisahkan orang tua dengan lincah, meski tampa membaca refrensi. Saya begitu mengagumi dan memilih menjadi pendengar setia. Ketika beberapa orang tua menurutkan peristiwa besar dalam arus sejarah rempah dunia, dipelataran mesjid raya, Desa Admistratif Pulau Run, Senin, 27 September 2021, Siang.

Sembari mendengar cerita santai dari beberapa orang tua, usai Shalat Dzuhur, pandangan Saya tertuju pada pemandangan terbing-tebing curam, pegunungan yang begitu kusut tampa melihat pohon pala dan kenari. Di atas batu karang sebagian rumah warga berdiri megah. Tampa bertanya, Saya langsung dijelaskan terkait ratusan ribu pohon pala yang dinaungi Kenari berada di atas bukit sana. Memang pohon rempah itu tak tampak terlihat bila dari kejauhan, akan tetapi pala yang diklaim Belanda (pala Belanda) tempo dulu, juga tumbuh subur di sana.

Sejarah Tukar Guling Run

Menolek abad ke-17, panen rempah buah pala dan fuli membanjiri pulau Run. Pulau kecil nan terpencil itu, menjadi magnet paling berhaga dan termahal dibandingkan dengan kepulauan lainnya di Nusantara. Penduduk menghasilkan buah pala sepertiga juta ton pertahunnya. Pulau karang yang memilki nama besar menjadi pemicu pertarugan sengit sesama bangsa kolonial, Belanda versus Inggris.

Tentara Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) milik Belanda semakin bringas merebut Run, demi memuluskan ambisinya mendapatkan hak kuasa dan monopoli. Belanda, tak ingin bangsa lain mengkaim negeri rempah. Politik mare clausum (laut tertutup) diberlakukan di kawasan Laut Banda. Kapal-kapal tak dapat melintas, bila tak seijin Belanda.

Sekelompok pelaut Inggris bersama kapalnya di bawah kapten Nataniel Courthope, teryata juga tak mau kalah. Bersama kongsi dangang English East India Company (EIC), Run dikolonialisasi Inggris. Salin klaim kepemilikan di antar bangsa kulit putih pun terjadi dan berujung pada konflik kepentingan. Pada 1616 VOC makin genjar menghajar Inggris dan memonopoli perdagangan rempah di Banda Naira. Pada masa ini Belanda memperkuat pertahanan di Pulau Ay dengan menghadirkan benteng Revengie. Bengteng pertahanan Belanda ini dibangun selain untuk kepentingan monopoli pala, juga sekaligus memudahkan pemantauan lalulintas kapal di sisi barat jalur pelayaran Pulau Ay dan Pulau Run. Meski demikian, Inggris tak gentar atas aksi provokasi Belanda dan terus mengeplorasi pala di Pulau Run.

Belanda yang telah menguasai Naira, Banda Besar dan pulau pulau rempah di sekitarnya terus menghajar Inggris tampan ampun dengan aksi-aksi provokasinya. Berbagai cara dilakukan, termasuk menghacurkan pohon pala di Pulau Run sampai ke akar-akarnya, agar pulau itu tak berilai. Dokumen Belanda mencatat setidaknya 150 orang Inggris terbunuh dan 800 orang di jual sebagai budak.

Karena itu, pada 1664 Inggris melakukan aksi dendam, setelah mendapat laporan atas kekejaman Belanda di Negeri Rempah. Sebanyak empat kapal fregat Inggris dikirim melintasi Samudra Atlantik merebut wilayah koloni Belanda, New Amsterdam. Wilayah berpenduduk 2.000 orang di ujung selatan Pulau Manhattan itu akahirnya direbut dengan cepat.

Untuk mengakhiri konflik kedua bangsa penjajah itu, pada 1677 kedua bangsa kompeni itu melakukan gencatan senjata. Menghadirkan kesepakatan damai yang tertuang dalam Perjanjian Breda. Dalam perjanjian tersebut pada intinya  memutuskan bahwa Pulau Run yang sebelumnya dikuasai Inggris, kemudian direbut Belanda menjadi miliki Belanda. Demikian sebaliknya, Pulau Manhattan di New York, Amerika Serikat, yang merupakan koloni Belanda yang telah dikuasai Inggris secara sah juga menjadi milik Inggris.

Tukar-guling daerah koloni oleh bangsa kolonial itu tak diketahui orang Banda, sebagai pemilik sah pulau Run. Tak ada musyawarah, tak ada pemberitahuan, tampa kompromi dengan anak negeri. Sumberdaya alamnya dikuras habis, dijarah lalu ditinggalkan begitu saja. Run terabaikan dan dibaikan. Keberadaanya kini hampir tak terlihat dalam peta Indonesia. Tengoklah Manhattan dari googel maps, yang telah menjelma menjadi kota raksasa dunia. Tempo dulu dibangun juga dari kekayaan alam Run. Karena itu pemerintah negeri ini, semoga saja tak mengunakan cara kompeni, menguras sumber daya alamnya, lalu mengabaikan kemajuan negeri dan kesejateraan warganya.

Pulau Karang Kampung Nelayan

Pulau Run adalah pulau karang yang panjangnya kisaran 3 kilometer dengan lembar kurang lebih 1 kilo meter. Sebagian rumah warga didirikan di atas batu karang yang terjal, di atas bukit yang menjulang tinggi. Tak banyak dataran rendah seperti di pulau-pulau lainnya di Kepulauan Banda. Akan tetapi, potensi sumber daya alamnya baik di darat maupun di laut melimpah ruah.

Penghasilan pala di Pulau Run hingga kini menjanjikan kesejateraan warganya. Apalagi ikan segar tak perlu banyak tanya? Soal lauk yang bernutrisi tinggi itu di sana tempatnya. Laut Banda Lumbung Ikan Nasional. Ikan menjadi pengasilan utama masyarakat, sehingga Run melakat dengan istilah Kampung Nelayan. Puluhan ton ikan layang setiap malam dijaring warga mengunakan pukat cicncin (jairng bobo).

Di Run terdapat 9 buah jaring bobo yang beroperasi. Setiap jaring bobo memiliki masnait (kariawan) 25-30 orang. Dalam semalam 2-3 kali mereka melingkar ikan (buang). Hasil tangkapan permalam 1-5 ton perjaring. Bahkan di antara jaring-jaring bobo itu, ada yang mencapai angka 10-17 ton permalam. Bila tiba musim (ikan mati) tertentu. Hasil tangkapan itu di jual di kapal penampung yang datang dari luar daerah ini. Sebagian lainnya masuk klostor di Naira. Ada pula yang menjualnya kepada para pemborong. Semua tergatung juga dari harga pasaran, yang mempengaruhi tempat penjual.

Belum lagi penyari ikan tuna dan munggai (calakang) mandiri. Menariknya bila ikan tangkapan jaring bobo di sekitar rompong rata-rata masih berukuran kecil, sesama nelayan menerapkan sistem sasi laut. Tidak boleh ada yang mengkap sebelum buka sasi, tujuannya jelas menunggu ikan layang (tali-tali) telah berukuran besar.

Data desa melaporkan, jumlah penduduk Pulau Run sebanyak 1827 jiwa, dengan total 434 kepala keluarga. Mayoritas warga Desa Admistratif Run beretnis Buton. Mereka asal Wakatobi (Wanci, Kalidupa Tomia, Binongko). Mereka menjadi penduduk asli negeri Run, pasca Belanda mengeksekusi orang Banda di bawah gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen atas upaya balas dendam. Pada 1616 orang Banda di Pulau Run memilih berkolaborasi dengan Inggris menghajar Belanda.

Bahkan Inggris diberi pelakuan istimewa, agar penduduk di Pulau Run mendapat perlindungan dari raja James I. Akan tetapi, pasca Belanda menguasi pulau Run, semua penduduk dewasa yang melawan dibantai habis tampa ampun. Penduduk yang berhasil lolos memilih berperahu meninggalkan Run tampa kembali lagi. Pulau Run menjadi milik Belanda. Pohon pala yang telah dibabat habis kembali ditanam oleh penduduk yang didatangakan Belanda dari luar Banda. Tugas para pekerja kasar itu selain menanam, merawat, juga memetik buah pala, mengeringkan hingga siap dipasarkan oleh Belanda. Budak dari kesultanan Buton dibeli Belanda dengan harga murah.

Sebagai sukubangsa pelaut, orang Buton telah lama terjalin hubungan niaga maritim dengan penduduk lokal di Kepulauan Banda. Pulau Tomia, Wangi-wangi (Wance), Kaledupa dan Binongko yang terletak di sisi Barat Laut Banda memudahkan perahu Buton menjangkau Pulau Run saat angin moson Timur bertiup kencang.

Diaspora Buton menjangkau Kepulauan Banda sejak abad ke-17. Pelaut Binongko telah membangun kampung di Kepulauan Kei. Jalur pelayaran melewati pulau Run sebagai lalulintas laut utama menuju kawasan Tenggara jauh. Kakawin Nagarakretagama karya Empu Prapañca pada 1365, jua menuliskan bahwa Buton, Banda, Seram, merupakan wilayah taklukan Majapahit. Sesama wilayah taklukan daerah-daerah pendudukan itu saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Karena itulah, penduduk Run mayotitas beretnis Buton dari Kepulauan Wakatobi.

Kini hampir sebagian besar penduduk dewasa mencari ikan di laut. Ikan dianggap sebagai penghasilan terbesar dan pendapatan tercepat masa pandemi. Warga dapat membangun rumah mewa, kelas kampung dari hasil  tangkapan ikan layang dan demersal (dasar).

Pulau Yang Terabaikan

Pembanguan di Pulau Run masih seperti pulau yang terabaikan, jauh tertigal dari yang diharapkan warga. Apalagi harus mengsandingkan dengan Manhattan, mimpi di siang hari pun tak akan pernah ketemu. Habis terang terbilah gelam. Sumbangan listrik negara (PLN) hanya batas 6 jam. Terang saat jam 6 Sore dan gelap di jam 12 Malam. Warga tak dapat memproduksi Es sebagai pendingin ikan, bila hanya mengharapkan arus listrik negara.

Demikian pula lembaga pendidan, anak sekolah belajar di pendidikan formal di Pulau Run 12 tahun. Dari SD/MI hingga SM/MTs. Selebihnya keluar pulau. Belum ada Sekolah Menegah Atas (SMA), meskipun telah punya lembaga sekolah mengah pertama sebagai syarat menghadirikan SMA. Untuk melanjutkan pendidikan anak-akan Run harus berpetualang menyebran laut, melewati selat Nailaka terus berlayar ke pesisir barat Pulau Aiy menuju selat Lontor lanjut ke kota Naira mengunakan trasportasi motor laut berbayar. Di bekas kota tua ini, anak-akan Run bersekolah, jika mereka tak keluar sekolah ke daerah lain.

Run juga meyimpan potensi wisata yang menjanjikan, wisata sejarah dan wisata pantai. Batu karang, pasir putih di bagian utara pulau ini menambah pesona indahnya pulau. Semakin ke Utara dari kampung Run, wisatawan akan menikmati kendiahan pasir putih di Pulau Nailaka tak jauh dari Run. Akan tetapi, potensi alam itu belum terkelolah dengan baik.

Kurangnya perhatian pemerintah  menyebabkan surga yang tersembunyi itu terabaikan. Jadi, tak perlu lagi kita memanding-badingkan dengan Manhattan, Amerika. Kota metropolitan yang dibangun dari hasil alam Pulau Run tempo dulu. Bila tak ada kesadaran sejarah dan mau belajar dari sejarah.

Karena itu, hanya akan membuat anggapan buruk bahwa lebih baik Run diambil alih Inggris menjadi daerah koloninya. Dari pada kompeni Belanda yang hanya menguras habis hasil alamnya, lalu pergi meninggalkan jejak sejarah yang berserak, ditinggal dan menjadi tertinggal.

Kita tak mungkin lagi kembali ke masa lalu, tetapi belajarlah sekarang dari pengalaman (sejarah) untuk meneta masa depan Run yang lebih bak, Run yang kembali di kenal dunia, masyarakatnya sejaterah. Bukan hanya riang saat hadir serimonial daerah dan negara, vestifal tahuanan, mengejar proyek budaya dan wisata lalu di tinggal usai makan patita.

Run hanyalah pulau kecil, tapi lebel terpencil masih melekat. Membangun Run mengenalkan kembali kepada dunia, tak semahal menghadirkan ibu kota baru Indonesia. Juga tak semahal angaran jembatan merah putih di Ambon. Ini Indonesia, kapan listrik hadir 24 Jam, Tower Merah Putih berkibar di Pulau Run? Anak-anak Run rindu ingin melihat langsung Manhattan dari googel dan yotube. ** (K.R).

Penulis: Kasman Renyaan

Dosen Pendidikan Sejarah Hatta Sjahrir Banda Naira

Share:

Unordered List

3/sosial/post-list

Latest blog posts

3-latest-65px

BTemplates.com

3/sosial/col-right
Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Statistik Pengunjung

Ekonomi

3/ekonomi/col-left

Publikasi

3/publikasi/feat-list

Error 404

Sorry! The content you were looking for does not exist or changed its url.

Please check if the url is written correctly or try using our search form.

Recent Posts

header ads
Ag-Historis

Text Widget

Sample Text

Pengikut

Slider

4-latest-1110px-slider

Mobile Logo Settings

Mobile Logo Settings
image

Comments

4-comments

Budaya

budaya/feat-big

Subscribe Us

Recent Posts

sejarah/hot-posts

Pages

Popular Posts