 |
Benteng Kesultanan Buton Gambar Googel
|
Sebuah Pengatar
Gelar Ode yang disandang pada setiap awal atau akhir, dari nama sebagian
besar orang Buton, LA, atau WA, merupakan gambaran dari status sosial tertinggi
dalam sisilah dan sistem kekerabatan orang Buton. Sebab, gelar ini diyakini
sebagai warisan budaya Buton dalam lingkaran istana kesultanan dahulu. Dan orang-orang yang menyandang
gelar tersebut, merupakan kasta pertama, ketika Buton tampil sebagai sebuah
kerajaan bercorak maritim, di wilayah Sulawesi Tenggara, pada abad ke-13,
bersamaan dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Sehingga generasi ode,
telah terintegrasi ke dalam orang yang paling istimewa dan disitimewakan.
Karena itu, orang Buton lain yang bukan berasal dari keturunan ode, dulu
dinggap sebagai orang-orang pesuruh (budak). Mereka bekeja sebagai abdi, yang
harus menjaga dan melayani sang majikan di lingkungan istana kerajaan Buton.
Padahal, jika ditelusuri lebih jauh lagi bahwa peranan abdi, di dalam kerajaan
tutut berpengaruh terhadap kejayaan kerajaan itu sendiri. Sebab, merekalah yang
setiap saat bersama sang raja, menyiapkan makan, membersihkan tempat tidur,
menemani jalan keliling istana, dan termasuk orang yang mengetahui rahasia
kerajan, serta bisa saja menghabiskan nyawa sang raja, jika mereka inginkan.
Karena mereka orang-orang yang turut-serta bersama sang raja, kemana pun sang
raja pergi.
Walaupun disisi lain, para abdi itu terkadang menjadi sasaran amarah sang
baginda raja, tetapi mereka tatap setia melakukan tugasnya, menghamba kepada
sang raja. Ini menunjukan betapa istimewanya abdi, di hadapan sang rajanya, dan
juga di lingkungan istana kerajaan. Olehnya itu, para abdi itu sudah
selayakanya termasuk ke dalam katagori pahlawan kerajaan, karena mereka
termasuk orang yang berjasa besar kepada kerajaan. Tetapi, kenyataanya sejarah
sering kali mengabaikan peranan mereka. Sejarawan lebih suka mencatat dan
memunculkan peranan tokoh-tokoh bersar, seperti para raja, dan mahapati.
Kemudian mengabaikan ketanguhan prajurit rendahan, kesetian para abdi, dan
masyarakat kecil yang terpingirkan.
Dalam konteks kekinian, gelar ini telah menjadi sebuah prestise
(harga diri) sosial tersendiri, bagi sebagian orang Buton yang berketurunan
ode. Terutama, di kampung-kampung Buton yang kurang tersentuh oleh akses
pendidikan dan ilmu pengetahuan. Menurut anggapan sebagaian dari mereka, bahwa
gerlar ode, dianggap sebagai warisan leluhur dan budaya Buton yang mesti dijaga
kemurniannya. Karena ode termasuk orang-orang yang menempati kasta tertinggi
dalam sisilah orang Buton. Namun saking mepertahankan kemurnian gelar
itu,banyak dari mereka keliru dalam menafsirkan warisan kesultanan tersebut.
Lebih-lebih pada kampung berpendudukan Buton yang masih kental dengan
adat-istiadatnya. Gelar ini menjadi sesuatu yang sangat disakralkan.
Problematika yang terjadi untuk mempertegas kedudukan ode, dalam lingkungan
sosial orang Buton. Katakanlah!Tegur-sapa yang merupakan wujud dari hubungan
sesama manusia, terkadang menjadi permasalahan tersendiri. Ketika sesama orang
Buton, sedang berjalan-jalan di kampung terpencil, yang penduduknya mayoritas
berketurunan ode, maka tertentu tegur-sapa kepada orang tua, harus di dahulukan
dengan kata ode atau idah. Sapaan itu, akan segera direspon, jika ada
kata ode mengawali ucapan. Seperti, Ode lalopo, (Ode langar/lewat dulu)
atau ode hora ka, (ode duduk), maka sang bapa ode, akan segera menyahuat
sapaan itu dengan kalimat, ombee (iya). Tetapi, terkadang problem yang
mewarnai sahutan itu juga, dengan respon candaan. Namun maknanya terkesan
serius, seperti kalimat koniemo hora penauka (sudah tau duduk tanya
lagi).
Ketika yang didahulukan kata ode, maka sang bapa ode, bisa saja bertanya
dengan kalimat yang terdengar akrab, dan terkesan sopan, seperti imapa ka
miana? (dari mana) atau impa kamintnte? (mau kemana). Ini tentu
bukan saja sebagai bentuk penghormatan, tatapi lebih pada prestise
sosial, sebab yang tertanam dalam mainset berfikir mereka adalah masih
menganggap kedudukan mereka ditengah masyarakat perlu kiranya distimewakan.
Karena sejarah mencatat, generasi mereka termasuk ke dalam katagori yang
menempati kasta tertingi dalam sisilah orang Buton.
Berikut fakta sosial, penuturan dari informan beinisial F ketika berada di
salah satu Dusun Buton, pesisir pantai Huamual Barat, Kabupaten Seram Bagian
Barat (SBB), provinsi Maluku, saat berbincang dengan penulis melalui telpon
gengam, Kamis (o5/02/2015).
“ Dulu saya bersama empat orang teman, pernah pergi di kampung sebelah,
(kampung Buton yang mayoritas ode). Saat itu, kami bejalan melewati kerumunan,
orang tua. Mereka sedang duduk di sebuah walang sedang, sambil asik bermain
domino. Saat kami hendak melewati kerumunan itu, salah satu dari kami menegur
mereka dengan kalimat, “hora kah,” (duduk), dari mereka ada yang menjawab ya,
ada juga yang menjawab, “koniae hora penauka” (sudah tau duduk mau tanya lagi),
memang terdengar candaan, hingga yang lain memandang kami sambil tertawa. Kami
pun hanya bisa senyum dan berlalu. Setelah kami kembali dari kampung itu, kami
pun berjalan hendak melewati seorang bapak tua, giliran saya yang menegur.
Namun ketika saya mau menegur, teman saya mengingaktkan, di sini kalau tegur
orang tua, harus dengan kata ode,” tampa bertanya aku langsung meperaktekannya.
“Ode, lalopo (ode, lewat dulu),” dengan seyum, bapa ode menjawab, ombe (iya),
lalu bapa ode pun bertanya kembali, “impae kamina?” (dari mana). Kami pun
mengatakan tujuan kami yang sebenarnya dan berlalu.”
Dari penuturan di atas mengindikasikan, bahwa memang gelar ode bukan hanya
sebagai status sosial, tatapi lebih pada prestise dari mereka yang
mengunakan gelar itu. Disatu sisi, gelar ode merupakan budaya, status dan
prestise sosial, tetapi disisi lain, gelar ode juga akan dianggap sebagaian
orang Buton yang bukan dari keturunan ode, sebagai status sosial yang
sedikitnya memperumit. Terutama ketika mereka sedang mengatur urusan
pernikahan. Cinta manusia pun bisa saja terhalang, hanya karena gelar ini.
Sebenarnya, kesalahan ini, lebih pada permasalahan, karena kurangnya pemahaman
sejarah generasi mereka, yang tidak mengetahui asal-mula pengunaan gelar ini.
Karena itu, kedudukan gelar ode sebagai sebuah prestise sosial orang
Buton, perlu kiranya diluruskan kembali. Agar eksistensinya sebagi warisan
budaya leluhur itu, bisa tetap terjaga dengan baik, hingga tidak disalah
artikan dan disalah tafsirkan.
Dalam kesusatraan Indonesia, Kata Ode diadopi dari bahasa latin, yang
dimasukan ke dalam kesuastraan Melayu-Indonesia pada 1930-an sebagai suatu
jenis puisi baru. Versi lain menyebutkan, gelar Ode pertama kali digunakan pada
Abad ke- 13 atau ke-14 oleh seorang perempuan hebat, dan termasuk penguasa
Buton pertama, Ratu Wa Kaakaa. Pendapat ini dikuatkan dengan alasan bahwa kata
La Ode berasal dari nama seorang filsuf Cina yang termashur yakni Laotze.
Sebab, Wa Kaakaa diyakini sebagai anak dari raja Kubilai Khan, dari Cina. Ada
pula menyebutkan penggunaan Ode pada masa pemerintahan sultan Buton, La
Ngariirii atau Sultan Tzqiuddin Darul Alam, pada abad ke-18, terutama oleh
menantunya, Saidi Raba, yang menyebut setiap anak di istana dengan sebutan Ode.
Gelar ode pertama kali digunakan oleh para raja-raja di Buton ketika dilantik.
Akan tetapi, setelah pelantikan, gelar Ode itu tidak digunakan lagi. Itulah
sebabnya, jarang dijumpai penguasa (raja/sulatan) di Buton, mengunakan gelar
Ode. (Abd. Rahman Hamid, 2011).
Bila dikaji lebih jauh, ternyata kata Ode berasal dari prama sastra melayu
yang bermakna pujaan kepada seorang yang berjasa kepada Negara dan bangsa. Cara
berfikir ini berkorelasi dengan tradisi lisan pendidiri kuasa Buton yang
berasal dari Tanah Melayu, semenanjung Malaka, yakni Mia Patamia. Mereka
berasal dari tanah Melayu dan karena jasanya meletakan dasar pemerintahan
sehingga kemudian terbentuknya kerajaan Buton, maka mereka didiberi gelararan
Ode sebagai tanda penghargaan atas jasanya. Karena itu mereka dan keturunannya
terintegrasi ke dalam struktur social masyarakat Buton dan termasuk golongan
social atas yang disebut walaka (Hamid, 2011).
Pengunaan gelar ini dalam realita sosialnya, di sebagian Dusun-dusun Buton,
Kabupaten SBB, masih dianggap sesuatu yang sacral. Terutama ketika hendak
mengatur urusan pernikahan. Gelar Ode ini siring menjadi peroblematika, saat
pihak lelaki melakukan lamaran.
Apalagi, jika si gadis yang di lamar sang lelaki itu, bergelar atau
keturunan ode, maka pertanyaan yang paling medasar dari pihak keluarga
perempuan adalah apakah sang lelaki juga berasal dari keturunan ode? Jika ya,
maka akan ditanyakan lagi, dari mana gelar ode itu diperoleh? Pertanyaan ini
akan berlanjut terus-menerus hingga tuntas. Kalaupun memang lelaki sang pelamar
itu, butul berasal dari keturunan Ode, maka ia masih juga melalui tahap uji
validitas (uji kesahihan gelar). Dalam sebutan trenya sebagian para tetua orang
Buton, di SBB, terkhusus di Dusun-dusun berpendudukan Buton ode, yang masih
mensakralkan gelar ini dengan istilah “gali kepala air.” Sang pelamar
(lelaki), atau pihak keluarga lelaki yang mewakili akan menuturkan secara
detail, dari awal hingga akhir tentang status ode yang di sandangnya.
Secara simbolik, tikar, biasanya menjadi tempat sacral oleh para tetua
kedua bela pihak bermusaawarah dan bermufakat. Istilahnya, dudu tikar
(duduk di atas tikar). Berbagai sajian kue, rokok, dan tabako
(tembakau), dijamukan. Dari atas tikar pula, keputusan itu diabil. Jika, sang
lelaki benar berasal dari keturunan atau bergelar ode, lamaran akan diterima
dan perkawinan akan segera dilangsungkan. Namun sang lelaki tetap dikenai biaya
pernikahan, dengan memenuhi berbagai sarat adat yang ditentukan pihak
perempuan. Tetapi, jika sang lelaki itu bukan berasal dari keturunan ode, dan
perkawinan dengan terpaksa digelar, maka ia akan di kenakan biaya lebih besar,
jikadibandingan pernikahan dengan sesama orang ode. Biaya besar yang
dikeluarkan dalam pernikahan itu pula, masih belum termasuk ke dalam sejumlah
syarat nikah yang harus dipenuhi.
Begitu berharganya status social gelar Ode, hingga tak jarang, cinta
ditolak dan pernikahan tak direstui, lantaran terhalang oleh status ode. Ketika
yang berketurunan ode adalah lelaki, dan perempuan yang di cintai bukan berasal
dari keturunan ode, maka penihahan bisa saja di lakukan, tetapi terkadang
kurang mendapat restu dari orang tua dan pihak keluarga.
Berikut penuturan bebarapa informan yang tidak mau menyebut nama mereka
saat berbincang-bincang dengan penulis, Rabu, (40/02/2015):
“Ibu saya ketika menikah dengan Ayah, awalnya tidak direstui pihak keluarga
Ayah. Lantaran gadis yang akan dinikahi ayah ini, tidak berasal dari ketutunan
ode. Memang jelasnya, jika dirunut jauh ke balakang, ibu saya bukan berasal
dari keturunan ode. Tetapi, karena Ayah mencintainya (ibu), beliau tetap
memaksakan untuk menikah dengan ibu. Karena dasar sanling mencintai antar ibu
dan Ayah. Pernikahan itu berlangsung terpaksa. Namun apa yang terjadi setelah
pernikah. Keluarga Ayah, terutama ibunya ayah (nenek), seperti memusuhi ibu,
tidak mengajak bicara dengan ibu, sampai ibu melahikan kakak saya yang pertama.
Meskipun ibu tidak tidak disenangi oleh pihak kelurga ayah, tetapi ibu dengan
penuh ketulusannya, tetap bersikap baik dengan pihak keluarga ayah. Bahkan
ibulah yang paling memperhatikan dan mengurus kedua mertuanya (nenek dan
kakek), diantara seluruh anak-anaknya yang lain (saudara-sadara ayah), terutama
ketika kakek dan nenek sedang jatuh sakit. Ibulah yang sering berada disamping
mereka. Menjaga dan merawat hingga mereka sembuh. Disitulah nenek, baru
tersadar. Padahal orang yang selama ini di benci, dialah yang paling berjasa
untuk kita.”
Dari kasus di atas, terkesan bahwa betapa berhargannya gelar ode, hingga
pernikahan dilakukan terpaksa. Problem yang terjadi selanjutnya, ketika
menjalani laku kehidupan rumah-tangga. Perasaan tidak suka (benci) masih
melakat di fikiran keluarga, dasarnya hanya tidak bergelar ode. Padahal nyatanya
orang yang tidak bergelar ode itu, lebih berharti mulia untuk keluaraga.
Lain lagi dengan penuturan yang disampaiakan informan N, yang belum menikah
karena terhalang ode:
“Dikampung saya, ada orang yang karena pertahankan gelar Ode, ada perempuan
sampai-sampai tidak lagi menikah, sekarang menjadi ode nenek nona.”
Dari kasus di atas menunjukan, perasaan cinta yang dimiliki manusia itu
terhalang oleh gelar ode. Itulah dua contah kasus, yang hanyalah sedikit dari
berbagai peristiwa bersejarah yang di alami orang buton yang tidak bergelar
ode, saat menikah dan mempertahankan eksitensi dari kemurinan ode. Masih banyak
lagi contoh kasus yang sama dan belum diungkap dalam tulisan ini. Menarik
kiranya, jika di lakukan penelitian lebih mendalam.
Karena seiring pergeseran parameter status social, dan dari berbagai kasus
seperti di atas, maka sebagian orang-orang tua, di kampung-kampung Buton di
daerah SBB, yang berasal dari keturunan Ode, sengaja menyembunyikan gelar ode
itu dari generasi mereka, agar nantinya tidak terjebak dengan prestise
social gelar Ode. Dengan bergesernya parameter itu, maka saat ini sebagian
generasi ode, sudah memaknai perikahan itu, tidak lagi dilihat pada gelar Ode,
tetapi lebih pada status ekonomi, pendidikan, dan kesejateraan hidup, dengan
landasan cinta dan kasih sayang. ** (K.R)*
Bacaan :
1. Abd.
Rahman Hamid. 2011. Orang Buton Suku
Bahari Indonesia: Yogyakarta. Ombak.
2. Tullisan diposkan
penulis di media kompasiana denga judul “Problematika Gelar Ode Sebagai Status
Sosial Orang Buton” diposkan 5 Maret 2015
10:29.