Menyajikan Data Mengungkap Fakta Menjadi Sejarah

Sejarah

3/sejarah/post-list

Pahela : Sejarah Maritim Orang Buton di Maluku

 

 


Pahela adalah istilah lokal komunitas Buton Cia-Cia. Sebuah istilah yang bermakna maritim. Pahela yang berarti tarik dan berlayar menjadi kekuatan ekonomi orang Buton yang menetap di pesisir pantai barat Seram, Maluku hingga saat ini. Istilah kemaritiman ini sekaligus memantapkan Buton bersama sebagai sukubangsa lainnya, Bugis, Bajo, Makassar, Mandar dan Madura, menjadi pewaris tradisi maritim di Indonesia hari ini.

 

Pahela menjadi dayatarik dan daya dorong orang Buton menetap di pesisir barat Pulau Seram, Maluku. Dalam catatan sejarah maritim sukubangsa pelaut itu menjelaskan, bahwa kehadiran orang Buton di kawasan pesisir itu untuk mencari peluang yang bernilai ekonomis, diantaranya damar (pidamara). Ramainya pencarian damar di hutan pedalaman Seram Barat menjadikan mereka memahami betul kondisi alam dan lingkungan tempat yang di datangi.

 

Banyaknya keungulan potensi sumberdaya alam daerah yang didatangi itu lalu menarik mereka mengelolah lahan pertanian, mendirikan pemukiman dan akhirnya menetap di sana. Faktor ini didasarkan pada kondisi alam dan kehidupan Wuta Wolio (Tanah Buton), tidak memberikan harapan kesejateraan bagi mereka di masa masa mendatang. 

 

Dimana orientasi kehidupan mereka ketika itu hanya melaut dan bertani, suatu tradisi matapencarian hidup yang diilhami dari ideologi barata Kesultanan Buton, sebagai kesimbangan hidup antara darat dan laut. Hal ini juga didasarkan pada ikatan sejarah dengan kawasan itu, bahwa sejak ramainya pedagangan rempah cengkeh di kawasan Hoamual abad ke-17. Orang Buton telah terlibat aktif sebagai palayar pedagang dan membangun jaringan niaga maritim di kawasan itu. 

 

Ketika tentara VOC hendak melakukan usaha monopoli dagang yang berakhir pada konflik kepentingan dengan penduduk lokal di Hoamual, sebagian di antara mereka ikut bersama Kesultanan Makassar terlibat di dalam konflik melawan bangsa penjajah itu, meski kehadiran itu bukan resmi sebagai utusan Kesultanan Buton. 

 

Dalam konteks itu Buku ini tidak memfokuskan pada periode abad ke 17, namun lebih banyak menyoroti abad ke-20 sebagai fokus utama kajian, Pahlea sejarah maritim orang Buton dan dinamikanya di pesisir pantai barat Pulau Seram. 

 

Dinamika kehidupan migran Buton pada awal penjajakan wilayah, harus berhadapan dengan penjajahan (Jepang) di kawasan pantai barat Seram, sehingga mendorong sebagian mereka kembali ke Buton, sedangkan sebagian lainnya memilih bertahan di Kepulauan Maluku

 

Kehidupan bahari orang Buton di pantai barat Seram dikembangkan setelah mereka benar-benar menetap di daerah itu. Setelah berdaya mereka melakukan ekspansi pelayaran ke daerah lain, guna memperoleh komoditi niaga dan menjajakan barang dagangan.

 

Kondisi dinamis orang Buton ketika konflik diperhadapkan dengan wacana usir BBM (Buton, Bugis, Makassar) dari Maluku. Banyak orang Buton kembali mencari tanah leluhur mereka. Bagi pelaut, kondisi itu dianggap peluang untuk memperoleh keuntungan dinamis. Karena itu, mereka bertahan dan eksis melaut. Hal ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga juga biaya pendidikan anak mereka. ** (K.R).

 

Catatan: Uraian lengkapnya tentang studi tersebut dapat ditemukan di buku PAHELA seperti gambar diatas. Namun dicetak untuk kalangan terbatas karena menjadi milik negara dan tidak diperdagankan.

Share:

Waspada..!! Penghargaan Abal-Abal Menyasar Lembaga Pendidikan

 


Belakangan ini marak terjadi kabar bohong alias hoax yang tersebar di sosial media, yang sengaja disebarkan oleh orang-orang yang tak bertanggungjawab untuk meraih keuntungan semata. Termasuk soal pemberian tandajasa atau penghargaan yang diperoleh istansi tertentu. Kecanggihan teknologi saat ini membuat banyak pengghargaan palsu tersebar melalui email resmi lembaga pendidikan. Karena itu waspadalah.

Seorang jurnalis dan pengiat budaya OR, bercerita diberanda fecebooknya, bahwa Ia pernah dianugrahi beberapa penghagraan yang diukirnya selama menjadi pengiat budaya di Maluku. OR juga sering menghasi acara pertelevisian Nasional. Ini jelas karena ada usaha, upaya dan kerja keras, sehingga wajar dan sepantasnyalah orang semacam OR yang hidupnya penuh kreasi dianugrahi prestasi.

Beberapa kali OR menerima penghargaan itu dari lembaga resmi yang profesional. Namun, Ia juga memberikan penilaian subjektif bahwa lembaga yang memberikan penghargaan itu uga dianggapnya tidak kredibel hanya untuk mencari keuntungan semata. Istilah kasarnya kancing bayar baru dapat prestasi, beres segala urusan.Apabila Anda menemukan hal semacam itu, jelas tidak benar.

Persis sama dengan kejadian itu, beberapa waktu lalu, Saya dikirim sebuah gambar sertifikat dari pesan inboks fecebook berinisal IA, Saya tak begitu tahu akun fecebooknya siapa? Karena tidak ada foto profil yang menjelaskan tentang identitas pemilik akun itu.

Saya hanya menduga, bila akun fecebook tersebut ada boleh jadi hubungannya dengan orang-orang yang mengajar (guru) di lembaga pendidikan SMA (Sekolah Menggah Atas) swasta di Seram Bagian Barat, Maluku.  Sekolah tempat Saya mengabdi dulu. Pasalnya dari gambar sertifikat tersebut, tertulis jelas persetasi yang diggapai lembaga pendidikan swasta tersebut di bawah kepemimpinan RU, juga disertai pesan singkat yang ditulis oleh akun fecebook itu, “menggapai matahari terang.”’ Pesan untuk tampa disertai penjelasan.

Terusterang Saya tak begitu memahami maksud memberikan gambar beserta isi pasannya itu di inboks fecebook Saya. Apa mungkin sertifikat penghargaan itu sebagai bentuk kampanye dan publikasi? Agar Saya tahu bahwa lembaga pendidikan swasta yang saya menyingkatnya SMIQA di bawah kepemimpinan RU, yang baru kurang lebih menjabat 6 bulan telah memiliki prestasi yang cemerlang? Jika sertifikat penghargaan itu benar mengapa tidak dipublikasi saja di media berita online resmi?

Kemudian divralkan ke akun-akun fecebook dan sosial media lainnya, sehingga sekolah yang mendapat penghargaan itu semakin terkenal dan dikenal publik. Atas prestasi yang diperoleh dapat berdampak positif dan menjadi inspirasi banyak orang dan lembaga pendidikan lainnya diberbagai pelosok negeri, sehingga diksi kebanyakan orang mutu pendidikan tergantung infrastrukut, dapat ditepis karena tidak sepatutnya benar. Publik juga bisa tahu dan tercerhkan atas capaian prestasi yang baru saja dipeloleh sekolah. Ataukah sertifikat yang dibagikan kepada Saya itu, hanya kamuflase untuk mencari sensasi.

Kita mesti lebih berhati-hati menerima sanjungan penghargaan dari lembaga manapun. Selain lembaga resmi negara, atau lembaga yang benar-benar kredibel dibidang itu. Bila lembaga resmi negara setiap dokumen yang dikeluarkan tentu disertai dengan surat keputusan pemerintah setelah melalui tahapan vervikasi yang ketat. Apalagi di tenggah maraknya informasi hoax saat ini. 

Saya menggap bijak, kalaupun benar. Ini tidak sesuai mekanisme penjurian, tidak memiliki metodologi untuk menetukan layak tidaknya nahkoda yang memimpin lembaga itu. Atau lembaganya resmi, tetapi dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Karena itu, putuslah matarantai virus penyebar hoax, jangan membantu menyebarkan kabar bohong itu, sehingga mencerdeai nama suci lembaga pendidikan yang baru berkembang merangkak mencapai pucuk.

Ketelitian dan kehati-hatian sebagai kaum yang berpendidikan perlu, agar isi otak tak terbaca kosong. Meminam pepatah lama, “Tong Kosong Nyaring bunyinya.” Kita mesti bijak dan memperhitungkan konsekwensi dari Undang-Undang ITE? Yang dapat menjerat pelaku yang membantu penyebar hoax pada persoalan pidana. Mari kita saling mengingakan untuk bijak mengunakan Sosial Media (Sosmed). 

Mari putus rantai hoax, dengan konten kratif yang didasarkan pada sajikan data dan fakta. Mengucapkan kebenaran itu lebih mulia di mata Tuhan, sekaligus menjadi rujukan tentang isi hati dan kepala. ** (K.R).

Share:

Pembenci Tabliq Akbar itu Setan

 

Tabliq Akbar di Mesjid Raudathul Jannah, Dusun Amaholu

Tabliq Akbar, kegiatan luar biasa yang punya nilai ibadah tinggi. Pahalanya berlipat ganda, pasalnya dikerjakan di bulan suci dan penuh berkah. Ramadhan, saatnya berbuat baik untuk mensucikan kalbu yang kotor dengan menghadirkan pikiran bersih.

Kegiatan Tabliq Akbar yang digagas oleh kaum terpelajar dari Kampung Amaholu ini, selain sebagai media dakwa juga menjadi wadah belajar dan bersilaturahmi sesama umat Islam umumnya lebih khususnya warga Kampung Amaholu, pantai barat Seram, Maluku.  Sebagaimana pesan yang disajikan pada tema " Mempererat Ukhuwa dengan Takwa di Bulan Suci Ramadhan."

Acara itu telah berlangsung beberapa kali di Mesjid Raudatul Jannah Kampung Amaholu dan mesjid yang ada di Kampung Amaholu Los pada minggu ketiga di bulan suci Ramadhan. Dengan menghadirkan dua nara Sumber muda produktif, Ustat Risman Jakariah dan Ustat Anin Lihi, M.Ag.

Kegiatan yang dibarengi dengan momentum buka bersama di mesjid yang diartikan "Taman Surga" itu berlangsung hikmat pada Minggu, (02/06/2019) Sore lalu.

Tampak banyak orang tua, pemuda, mahasiswa, pelajar (SMA, MTS, MI) dan bahkan Anak Usia Dini (RA) hadir mendengarkan suguhan cerama dari ustat muda Risman Jakariah. Dari dalam kerumunan jamaah terdengar suara-suara liar sembari mengagumi kipiawaian Al-hafis saat memboboti materi-materi ceramahnya dengan dalilil Al-Quran dan Al-Hadist, yang sesekali melafaskan syair-syair Arab untuk mempertegas peryataan dalam dakwanya.

Para jamaah terlihat sangat antosias mendengar ceramah itu, mereka bukan hanya masyarakat Amaholu, tetapi tetangga kampung, Amaholu Los pun hadir berkelompok, termasuk kelompok ibu-ibu Majelis Ta'alim dari kampung tersebut.

Menariknya lagi, kegiatan ini di motori oleh kaum terpelajar generasi milineal dari Kampung Amaholu, yang melibatkan unsur pemuda dan mahasiswa. Didukung penuh oleh kelompok ibu-ibu Majelis Ta'alim Raudatul Janah 01 dan 02 dari kampung ini. Para ibu-ibu majelis ta'alim tidak hanya menjadi peseta tablik, tetapi juga aktif sebagai pembuat takjil untuk menu buka bersama. Aneka kue disuguhkan. Termasuk Asida, kue kesukaan banyak orang ada di dalamnya.

Acara yang dibarengi dengan batal bersama itu mendapat sambutan positif dari masyarakat dua kampung bertetangga. Amaholu dan Amaholu Los. Bahkan beberapa masyarakat berharap agar kegiatan tersebut harus juga dilaksanakan di bulan suci tahun depan.

Dalam cerahmanya di hari terakhir, Ustat Risman, mengajak para jamaah untuk menghadirkan cinta dalam hati. Cinta kepada Allah SWT dan Rasullulah Saw. Karena dengan hadirnya cinta di hati, manusia akan terus mengingat Allah. Termasuk menjalangkan ibadah shalat tepat waktu, tampa harus menunda-nunda waktu untuk menunaikan ibadah wajib tersebut. Tidak hanya itu, Al-Hafis mengingatkan pula agar para istri mencintai dan menjaga harta suaminya demikian pula para suami mencintai istrinya, sehingga cercipta keluarga paripurna  dengan harapan ridoh Allah.

Karena itu, ayo kita hadirkanlah cinta dalam hati agar pikiran menjadi bersih, tidak selalu berprasangka buruk terhadap orang-orang yang berbuat baik. Sebab, yang membenci dan tidak suka dengan kegiatan positif, seperti tablik akbar itu adalah SETAN. Akan tetapi, perlu diingat pula bahwa keberhasilan dan suksesnya acara bukan karena banyaknya para jamaah yang hadir, tetapi keistiqamaan penceramah dan jamaah itu sendiri.

(Catatan kecil ini ditulis disudut ruang (degu-degu) dari sebuah ponsel ditemani sang buah hati, Fahzin Al-Ghofiqi K. Renyaan, Minggu, 02 Juni 2019, Malam)

Share:

Gelar Ode dalam Kehidupan Sosial Orang Buton

 

 

Benteng Kesultanan Buton Gambar Googel

Sebuah Pengatar

Gelar Ode yang disandang pada setiap awal atau akhir, dari nama sebagian besar orang Buton, LA, atau WA, merupakan gambaran dari status sosial tertinggi dalam sisilah dan sistem kekerabatan orang Buton. Sebab, gelar ini diyakini sebagai warisan budaya Buton dalam lingkaran istana kesultanan dahulu. Dan orang-orang yang menyandang gelar tersebut, merupakan kasta pertama, ketika Buton tampil sebagai sebuah kerajaan bercorak maritim, di wilayah Sulawesi Tenggara, pada abad ke-13, bersamaan dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Sehingga generasi ode, telah terintegrasi ke dalam orang yang paling istimewa dan disitimewakan. Karena itu, orang Buton lain yang bukan berasal dari keturunan ode, dulu dinggap sebagai orang-orang pesuruh (budak). Mereka bekeja sebagai abdi, yang harus menjaga dan melayani sang majikan di lingkungan istana kerajaan Buton.

Padahal, jika ditelusuri lebih jauh lagi bahwa peranan abdi, di dalam kerajaan tutut berpengaruh terhadap kejayaan kerajaan itu sendiri. Sebab, merekalah yang setiap saat bersama sang raja, menyiapkan makan, membersihkan tempat tidur, menemani jalan keliling istana, dan termasuk orang yang mengetahui rahasia kerajan, serta bisa saja menghabiskan nyawa sang raja, jika mereka inginkan. Karena mereka orang-orang yang turut-serta bersama sang raja, kemana pun sang raja pergi.

Walaupun disisi lain, para abdi itu terkadang menjadi sasaran amarah sang baginda raja, tetapi mereka tatap setia melakukan tugasnya, menghamba kepada sang raja. Ini menunjukan betapa istimewanya abdi, di hadapan sang rajanya, dan juga di lingkungan istana kerajaan. Olehnya itu, para abdi itu sudah selayakanya termasuk ke dalam katagori pahlawan kerajaan, karena mereka termasuk orang yang berjasa besar kepada kerajaan. Tetapi, kenyataanya sejarah sering kali mengabaikan peranan mereka. Sejarawan lebih suka mencatat dan memunculkan peranan tokoh-tokoh bersar, seperti para raja, dan mahapati. Kemudian mengabaikan ketanguhan prajurit rendahan, kesetian para abdi, dan masyarakat kecil yang terpingirkan.

Dalam konteks kekinian, gelar ini telah menjadi sebuah prestise (harga diri) sosial tersendiri, bagi sebagian orang Buton yang berketurunan ode. Terutama, di kampung-kampung Buton yang kurang tersentuh oleh akses pendidikan dan ilmu pengetahuan. Menurut anggapan sebagaian dari mereka, bahwa gerlar ode, dianggap sebagai warisan leluhur dan budaya Buton yang mesti dijaga kemurniannya. Karena ode termasuk orang-orang yang menempati kasta tertinggi dalam sisilah orang Buton. Namun saking mepertahankan kemurnian gelar itu,banyak dari mereka keliru dalam menafsirkan warisan kesultanan tersebut. Lebih-lebih pada kampung berpendudukan Buton yang masih kental dengan adat-istiadatnya. Gelar ini menjadi sesuatu yang sangat disakralkan.

Problematika yang terjadi untuk mempertegas kedudukan ode, dalam lingkungan sosial orang Buton. Katakanlah!Tegur-sapa yang merupakan wujud dari hubungan sesama manusia, terkadang menjadi permasalahan tersendiri. Ketika sesama orang Buton, sedang berjalan-jalan di kampung terpencil, yang penduduknya mayoritas berketurunan ode, maka tertentu tegur-sapa kepada orang tua, harus di dahulukan dengan kata ode atau idah. Sapaan itu, akan segera direspon, jika ada kata ode mengawali ucapan. Seperti, Ode lalopo, (Ode langar/lewat dulu) atau ode hora ka, (ode duduk), maka sang bapa ode, akan segera menyahuat sapaan itu dengan kalimat, ombee (iya). Tetapi, terkadang problem yang mewarnai sahutan itu juga, dengan respon candaan. Namun maknanya terkesan serius, seperti kalimat koniemo hora penauka (sudah tau duduk tanya lagi).

Ketika yang didahulukan kata ode, maka sang bapa ode, bisa saja bertanya dengan kalimat yang terdengar akrab, dan terkesan sopan, seperti imapa ka miana? (dari mana) atau impa kamintnte? (mau kemana). Ini tentu bukan saja sebagai bentuk penghormatan, tatapi lebih pada prestise sosial, sebab yang tertanam dalam mainset berfikir mereka adalah masih menganggap kedudukan mereka ditengah masyarakat perlu kiranya distimewakan. Karena sejarah mencatat, generasi mereka termasuk ke dalam katagori yang menempati kasta tertingi dalam sisilah orang Buton.

Berikut fakta sosial, penuturan dari informan beinisial F ketika berada di salah satu Dusun Buton, pesisir pantai Huamual Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), provinsi Maluku, saat berbincang dengan penulis melalui telpon gengam, Kamis (o5/02/2015).

“ Dulu saya bersama empat orang teman, pernah pergi di kampung sebelah, (kampung Buton yang mayoritas ode). Saat itu, kami bejalan melewati kerumunan, orang tua. Mereka sedang duduk di sebuah walang sedang, sambil asik bermain domino. Saat kami hendak melewati kerumunan itu, salah satu dari kami menegur mereka dengan kalimat, “hora kah,” (duduk), dari mereka ada yang menjawab ya, ada juga yang menjawab, “koniae hora penauka” (sudah tau duduk mau tanya lagi), memang terdengar candaan, hingga yang lain memandang kami sambil tertawa. Kami pun hanya bisa senyum dan berlalu. Setelah kami kembali dari kampung itu, kami pun berjalan hendak melewati seorang bapak tua, giliran saya yang menegur. Namun ketika saya mau menegur, teman saya mengingaktkan, di sini kalau tegur orang tua, harus dengan kata ode,” tampa bertanya aku langsung meperaktekannya. “Ode, lalopo (ode, lewat dulu),” dengan seyum, bapa ode menjawab, ombe (iya), lalu bapa ode pun bertanya kembali, “impae kamina?” (dari mana). Kami pun mengatakan tujuan kami yang sebenarnya dan berlalu.”

Dari penuturan di atas mengindikasikan, bahwa memang gelar ode bukan hanya sebagai status sosial, tatapi lebih pada prestise dari mereka yang mengunakan gelar itu. Disatu sisi, gelar ode merupakan budaya, status dan prestise sosial, tetapi disisi lain, gelar ode juga akan dianggap sebagaian orang Buton yang bukan dari keturunan ode, sebagai status sosial yang sedikitnya memperumit. Terutama ketika mereka sedang mengatur urusan pernikahan. Cinta manusia pun bisa saja terhalang, hanya karena gelar ini. Sebenarnya, kesalahan ini, lebih pada permasalahan, karena kurangnya pemahaman sejarah generasi mereka, yang tidak mengetahui asal-mula pengunaan gelar ini. Karena itu, kedudukan gelar ode sebagai sebuah prestise sosial orang Buton, perlu kiranya diluruskan kembali. Agar eksistensinya sebagi warisan budaya leluhur itu, bisa tetap terjaga dengan baik, hingga tidak disalah artikan dan disalah tafsirkan.

Dalam kesusatraan Indonesia, Kata Ode diadopi dari bahasa latin, yang dimasukan ke dalam kesuastraan Melayu-Indonesia pada 1930-an sebagai suatu jenis puisi baru. Versi lain menyebutkan, gelar Ode pertama kali digunakan pada Abad ke- 13 atau ke-14 oleh seorang perempuan hebat, dan termasuk penguasa Buton pertama, Ratu Wa Kaakaa. Pendapat ini dikuatkan dengan alasan bahwa kata La Ode berasal dari nama seorang filsuf Cina yang termashur yakni Laotze. Sebab, Wa Kaakaa diyakini sebagai anak dari raja Kubilai Khan, dari Cina. Ada pula menyebutkan penggunaan Ode pada masa pemerintahan sultan Buton, La Ngariirii atau Sultan Tzqiuddin Darul Alam, pada abad ke-18, terutama oleh menantunya, Saidi Raba, yang menyebut setiap anak di istana dengan sebutan Ode. Gelar ode pertama kali digunakan oleh para raja-raja di Buton ketika dilantik. Akan tetapi, setelah pelantikan, gelar Ode itu tidak digunakan lagi. Itulah sebabnya, jarang dijumpai penguasa (raja/sulatan) di Buton, mengunakan gelar Ode. (Abd. Rahman Hamid, 2011).

Bila dikaji lebih jauh, ternyata kata Ode berasal dari prama sastra melayu yang bermakna pujaan kepada seorang yang berjasa kepada Negara dan bangsa. Cara berfikir ini berkorelasi dengan tradisi lisan pendidiri kuasa Buton yang berasal dari Tanah Melayu, semenanjung Malaka, yakni Mia Patamia. Mereka berasal dari tanah Melayu dan karena jasanya meletakan dasar pemerintahan sehingga kemudian terbentuknya kerajaan Buton, maka mereka didiberi gelararan Ode sebagai tanda penghargaan atas jasanya. Karena itu mereka dan keturunannya terintegrasi ke dalam struktur social masyarakat Buton dan termasuk golongan social atas yang disebut walaka (Hamid, 2011).

Pengunaan gelar ini dalam realita sosialnya, di sebagian Dusun-dusun Buton, Kabupaten SBB, masih dianggap sesuatu yang sacral. Terutama ketika hendak mengatur urusan pernikahan. Gelar Ode ini siring menjadi peroblematika, saat pihak lelaki melakukan lamaran.

Apalagi, jika si gadis yang di lamar sang lelaki itu, bergelar atau keturunan ode, maka pertanyaan yang paling medasar dari pihak keluarga perempuan adalah apakah sang lelaki juga berasal dari keturunan ode? Jika ya, maka akan ditanyakan lagi, dari mana gelar ode itu diperoleh? Pertanyaan ini akan berlanjut terus-menerus hingga tuntas. Kalaupun memang lelaki sang pelamar itu, butul berasal dari keturunan Ode, maka ia masih juga melalui tahap uji validitas (uji kesahihan gelar). Dalam sebutan trenya sebagian para tetua orang Buton, di SBB, terkhusus di Dusun-dusun berpendudukan Buton ode, yang masih mensakralkan gelar ini dengan istilah “gali kepala air.” Sang pelamar (lelaki), atau pihak keluarga lelaki yang mewakili akan menuturkan secara detail, dari awal hingga akhir tentang status ode yang di sandangnya.

Secara simbolik, tikar, biasanya menjadi tempat sacral oleh para tetua kedua bela pihak bermusaawarah dan bermufakat. Istilahnya, dudu tikar (duduk di atas tikar). Berbagai sajian kue, rokok, dan tabako (tembakau), dijamukan. Dari atas tikar pula, keputusan itu diabil. Jika, sang lelaki benar berasal dari keturunan atau bergelar ode, lamaran akan diterima dan perkawinan akan segera dilangsungkan. Namun sang lelaki tetap dikenai biaya pernikahan, dengan memenuhi berbagai sarat adat yang ditentukan pihak perempuan. Tetapi, jika sang lelaki itu bukan berasal dari keturunan ode, dan perkawinan dengan terpaksa digelar, maka ia akan di kenakan biaya lebih besar, jikadibandingan pernikahan dengan sesama orang ode. Biaya besar yang dikeluarkan dalam pernikahan itu pula, masih belum termasuk ke dalam sejumlah syarat nikah yang harus dipenuhi.

Begitu berharganya status social gelar Ode, hingga tak jarang, cinta ditolak dan pernikahan tak direstui, lantaran terhalang oleh status ode. Ketika yang berketurunan ode adalah lelaki, dan perempuan yang di cintai bukan berasal dari keturunan ode, maka penihahan bisa saja di lakukan, tetapi terkadang kurang mendapat restu dari orang tua dan pihak keluarga.

Berikut penuturan bebarapa informan yang tidak mau menyebut nama mereka saat berbincang-bincang dengan penulis, Rabu, (40/02/2015):

“Ibu saya ketika menikah dengan Ayah, awalnya tidak direstui pihak keluarga Ayah. Lantaran gadis yang akan dinikahi ayah ini, tidak berasal dari ketutunan ode. Memang jelasnya, jika dirunut jauh ke balakang, ibu saya bukan berasal dari keturunan ode. Tetapi, karena Ayah mencintainya (ibu), beliau tetap memaksakan untuk menikah dengan ibu. Karena dasar sanling mencintai antar ibu dan Ayah. Pernikahan itu berlangsung terpaksa. Namun apa yang terjadi setelah pernikah. Keluarga Ayah, terutama ibunya ayah (nenek), seperti memusuhi ibu, tidak mengajak bicara dengan ibu, sampai ibu melahikan kakak saya yang pertama. Meskipun ibu tidak tidak disenangi oleh pihak kelurga ayah, tetapi ibu dengan penuh ketulusannya, tetap bersikap baik dengan pihak keluarga ayah. Bahkan ibulah yang paling memperhatikan dan mengurus kedua mertuanya (nenek dan kakek), diantara seluruh anak-anaknya yang lain (saudara-sadara ayah), terutama ketika kakek dan nenek sedang jatuh sakit. Ibulah yang sering berada disamping mereka. Menjaga dan merawat hingga mereka sembuh. Disitulah nenek, baru tersadar. Padahal orang yang selama ini di benci, dialah yang paling berjasa untuk kita.”

Dari kasus di atas, terkesan bahwa betapa berhargannya gelar ode, hingga pernikahan dilakukan terpaksa. Problem yang terjadi selanjutnya, ketika menjalani laku kehidupan rumah-tangga. Perasaan tidak suka (benci) masih melakat di fikiran keluarga, dasarnya hanya tidak bergelar ode. Padahal nyatanya orang yang tidak bergelar ode itu, lebih berharti mulia untuk keluaraga.

Lain lagi dengan penuturan yang disampaiakan informan N, yang belum menikah karena terhalang ode:

“Dikampung saya, ada orang yang karena pertahankan gelar Ode, ada perempuan sampai-sampai tidak lagi menikah, sekarang menjadi ode nenek nona.”

Dari kasus di atas menunjukan, perasaan cinta yang dimiliki manusia itu terhalang oleh gelar ode. Itulah dua contah kasus, yang hanyalah sedikit dari berbagai peristiwa bersejarah yang di alami orang buton yang tidak bergelar ode, saat menikah dan mempertahankan eksitensi dari kemurinan ode. Masih banyak lagi contoh kasus yang sama dan belum diungkap dalam tulisan ini. Menarik kiranya, jika di lakukan penelitian lebih mendalam.

Karena seiring pergeseran parameter status social, dan dari berbagai kasus seperti di atas, maka sebagian orang-orang tua, di kampung-kampung Buton di daerah SBB, yang berasal dari keturunan Ode, sengaja menyembunyikan gelar ode itu dari generasi mereka, agar nantinya tidak terjebak dengan prestise social gelar Ode. Dengan bergesernya parameter itu, maka saat ini sebagian generasi ode, sudah memaknai perikahan itu, tidak lagi dilihat pada gelar Ode, tetapi lebih pada status ekonomi, pendidikan, dan kesejateraan hidup, dengan landasan cinta dan kasih sayang. ** (K.R)*

 

Bacaan :

1.      Abd. Rahman Hamid. 2011.  Orang Buton Suku Bahari Indonesia: Yogyakarta. Ombak.

 2.   Tullisan diposkan penulis di media kompasiana denga judul “Problematika Gelar Ode Sebagai Status Sosial Orang Buton” diposkan 5 Maret 2015   10:29.


Share:

Unordered List

3/sosial/post-list

Latest blog posts

3-latest-65px

BTemplates.com

3/sosial/col-right
Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Statistik Pengunjung

Ekonomi

3/ekonomi/col-left

Publikasi

3/publikasi/feat-list

Error 404

Sorry! The content you were looking for does not exist or changed its url.

Please check if the url is written correctly or try using our search form.

Recent Posts

header ads
Ag-Historis

Text Widget

Sample Text

Pengikut

Slider

4-latest-1110px-slider

Mobile Logo Settings

Mobile Logo Settings
image

Comments

4-comments

Budaya

budaya/feat-big

Subscribe Us

Recent Posts

sejarah/hot-posts

Pages

Popular Posts