Kepulauan Banda, Maluku Tenggah, telah terkenal dengan kekayaan alamnya yang berlimpah ruah sejak dulu hingga sekarang. Potensi sumber daya alam Banda, baik yang terdapat di laut maupun di darat memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal maupun mancanegara ketika berkunjung ke kepulauan vulkanik itu. Manisan Pala Banda, ikan garam, Bakasang, Kayu Manis, Kenari, dan masih banyak lagi kuliner yang menjadi ciri khas Negeri Andan Sari itu tersedia di sana. Selain menjadi kawasan destinasi wisata bahari dan sejarah, Banda Naira juga dicanamkan menjadi kawasan Lumbung Ikan Nasional (LIN) Provinsi Maluku sekarang. Para wisatawan yang berkunjung ke Banda, baik wisatawan lokal maupun mancanegara dapat menikmati panorama alamnya yang indah memukau mata dan menyejukan hati.
Labobatorium Alam
Kawasan ini juga
dijadikan tempat studi ilmiah dibidang perikanan dan kelautan oleh berbagai
kampus di dalam dan luar negeri. Berbagai jenis ikan, terumbu karang dan
biotalaut lainnya merupakan ciri khas alam laut Banda. Karena itu, tak berlebihan
bila Banda dikatakan sebagai surga bagi para peneliti atau laboratorium alam
yang di miliki Maluku saat ini. Sejarah mencatat, Banda juga dijadikan sebagai tempat buangan tokoh Pergerakan Nasional. Bung Hatta, Sjahrir, Iwa Kusuma Sumantri dan Dokter Tjipto Mangkusumo pernah merasakan surga di tanah Banda.
Kemudahan akses trasportasi udara (pesawat) dan laut (kapal) terutama ketika pelabuhan Banda dapat disinggahi kapal Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) sebagai urat nadi trasportasi masyarakat dari dan ke Banda Naira menjadikan daerah ini terbuka luas bagi dunia luar. Namun ironis, hingga sekarang masih berstatus kecamatan (Kecamatan Banda) yang berada di bawah kuasa pemerintahan Kabupaten Maluku Tenggah. Padahal fakta sejarah mengungkapkan bahwa Banda Naira merupakan daerah yang dulu pernah menjadi pusat admistrasi pemeritahan Belanda (Goverment van Banda) di Maluku. Itulah sebabnya masyarakat di kapulauan ini menganggap potensi kekayaan alam yang dimiliki daerah ini belum sepenuhnya terkelolah dengan baik untuk kesejateraan masyarakat Banda.
Titik Nol Jalur Rempah
Sejarah telah mencatat Banda Naira sebagai pusat produsen pala dan fuli (bunga pala) dengan kualitas terbaik dunia sejak berabd-abad lampau. Tanaman endemik itu merupakan agugrah Tuhan untuk Banda. Pelaut Portugis Tome Pires (1465-1540) dalam Suma Oretal mencatat, bahwa komoditas itu tidak ditemukan di tempat lain. Daya tarik rempah, bukan saja karena sangat dibutuhkan manusia dalam berbagai kepentingan tatapi juga mampu membawa perubahan besar dalam arus sejarah dunia.
Rutenya kata Pires dari Malaka melalui Laut Jawa dengan menyingahi kota pelabuhan Jepara dan Gersik, biasaya pedagang menurungkan barang dagangannya untuk berdagang di dua kota pelabuhan tersebut kemudian barulah melajutkan pelayaran menuju Sumbawa dan Bima. Kapal-kapa dagang membuat persiapan perbelakan, mengakut air dan selanjutnya berlayar ke Kepulauan Banda di Maluku Tenggah.
Pelayaran Tome Pires itu bila dinterpertasi pada pelayaran kapal dengan menggunakan tenagga angin, maka jalur tersebut mengikuti arah angin muson Timur. Apabila kapal mengikuti arah angin muson Barat maka jalurnya dapat di telusuri dari Malaka ke Banda Naira melalui Jawa, Makassar, Buton, dan selanjutnya menuju Kepulauan Maluku.
Komoditas rempah, cengkeh, pala dan bunga pala adalah barang langkah dan bernilai ekonomis tinggi saat itu, mendorong penjelajahan ruang samudra oleh para pedagang lokal maupun manca negara untuk mencari keuntungan dinamis. Dari tempat asalnya yang jauh di pulau-pulau kecil tropis Banda Naira, pala dan bunga pala mengalir ke pasar Vensesia, Belgia dan London, dengan melewati jalur yang berliku-luku, hampir mengelilingi setengah bumi, lewat jasa manusia dari berbagai suku bangsa bahasa dan krakter yang berbeda. Inilah ekspedisi Jalur Rempah yang dilakukan oleh berbagai bangsa dengan penuh tantangan dan resiko kematian yang mengintai pada setiap jalur laut yang lalui.
Dalam konteks itu, jalur rempah tidak hanya soal pertukaran komoditas niaga maritim, tetapi juga bicara tentang silang budaya dan siar keagamaan di Nusantara. Jejak-jejak sejarah itu kini masih tersimpan rapi di Banda Naira sebagai warisan sejarah. Itulah sebabnya, ketika pemerintah akan mengusulkan Jalur Rempah untuk menjadi Warisan Budaya Dunia (UNESCO), maka sudah sepantasnya Banda Naira menjadi Titik Nol Jalur Rempah Nusantara. Pasalnya kawasan kepulauan itu merupakan penghasil utama pala dan fuli yang menjadi magnet dunia maritim global di masa lalu.** (K.R)