Menyajikan Data Mengungkap Fakta Menjadi Sejarah

Sejarah

3/sejarah/post-list

Banda Naira : Titik Nol Jalur Rempah Nusantara


Kepulauan Banda, Maluku Tenggah, telah terkenal dengan kekayaan alamnya yang berlimpah ruah sejak dulu hingga sekarang. Potensi sumber daya alam Banda, baik yang terdapat di laut maupun di darat memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal maupun mancanegara ketika berkunjung ke kepulauan vulkanik itu. Manisan Pala Banda, ikan garam, Bakasang, Kayu Manis, Kenari, dan masih banyak lagi kuliner yang menjadi ciri khas Negeri Andan Sari itu tersedia di sana. Selain menjadi kawasan destinasi wisata bahari dan sejarah, Banda Naira juga dicanamkan menjadi kawasan Lumbung Ikan Nasional (LIN) Provinsi Maluku sekarang. Para wisatawan yang berkunjung ke Banda, baik wisatawan lokal maupun mancanegara dapat menikmati panorama alamnya yang indah memukau mata dan menyejukan hati.

Labobatorium Alam

Kawasan ini juga dijadikan tempat studi ilmiah dibidang perikanan dan kelautan oleh berbagai kampus di dalam dan luar negeri. Berbagai jenis ikan, terumbu karang dan biotalaut lainnya merupakan ciri khas alam laut Banda. Karena itu, tak berlebihan bila Banda dikatakan sebagai surga bagi para peneliti atau laboratorium alam yang di miliki Maluku saat ini. Sejarah mencatat, Banda juga dijadikan sebagai tempat buangan tokoh Pergerakan Nasional. Bung Hatta, Sjahrir, Iwa Kusuma Sumantri dan Dokter Tjipto Mangkusumo pernah merasakan surga di tanah Banda.

Kemudahan akses trasportasi udara (pesawat) dan laut (kapal) terutama ketika pelabuhan Banda dapat disinggahi kapal Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) sebagai urat nadi trasportasi masyarakat dari dan ke Banda Naira menjadikan daerah ini terbuka luas bagi dunia luar. Namun ironis, hingga sekarang masih berstatus kecamatan (Kecamatan Banda) yang berada di bawah kuasa pemerintahan Kabupaten Maluku Tenggah. Padahal fakta sejarah mengungkapkan bahwa Banda Naira merupakan daerah yang dulu pernah menjadi pusat admistrasi pemeritahan Belanda (Goverment van Banda) di Maluku. Itulah sebabnya masyarakat di kapulauan ini menganggap potensi kekayaan alam yang dimiliki daerah ini belum sepenuhnya terkelolah dengan baik untuk kesejateraan masyarakat Banda.

Titik Nol Jalur Rempah

Sejarah telah mencatat Banda Naira sebagai pusat produsen pala dan fuli (bunga pala) dengan kualitas terbaik dunia sejak berabd-abad lampau. Tanaman endemik itu merupakan agugrah Tuhan untuk Banda. Pelaut Portugis Tome Pires (1465-1540) dalam Suma Oretal mencatat, bahwa komoditas itu tidak ditemukan di tempat lain. Daya tarik rempah, bukan saja karena sangat dibutuhkan manusia dalam berbagai kepentingan tatapi juga mampu membawa perubahan besar dalam arus sejarah dunia. 

Rutenya kata Pires dari Malaka melalui Laut Jawa dengan menyingahi kota pelabuhan Jepara dan Gersik, biasaya pedagang menurungkan barang dagangannya untuk berdagang di dua kota pelabuhan tersebut kemudian barulah melajutkan pelayaran menuju Sumbawa dan Bima.  Kapal-kapa dagang membuat persiapan perbelakan, mengakut air dan selanjutnya berlayar ke Kepulauan Banda di Maluku Tenggah. 

Pelayaran Tome Pires itu bila dinterpertasi pada pelayaran kapal dengan menggunakan tenagga angin, maka jalur tersebut  mengikuti arah angin muson Timur. Apabila kapal mengikuti arah angin muson Barat maka jalurnya dapat di telusuri dari Malaka ke Banda Naira melalui Jawa, Makassar, Buton, dan selanjutnya menuju Kepulauan Maluku. 

Komoditas rempah, cengkeh, pala dan bunga pala adalah barang langkah dan bernilai ekonomis tinggi saat itu, mendorong penjelajahan ruang samudra oleh para pedagang lokal maupun manca negara untuk mencari keuntungan dinamis. Dari tempat asalnya yang jauh di pulau-pulau kecil tropis Banda Naira, pala dan bunga pala mengalir ke pasar Vensesia, Belgia dan London, dengan melewati jalur yang berliku-luku, hampir mengelilingi setengah bumi, lewat jasa manusia dari berbagai suku bangsa bahasa dan krakter yang berbeda. Inilah ekspedisi Jalur Rempah yang dilakukan oleh berbagai bangsa dengan penuh tantangan dan resiko kematian yang mengintai pada setiap jalur laut yang lalui.

Dalam konteks itu, jalur rempah tidak hanya soal pertukaran komoditas niaga maritim, tetapi juga bicara tentang silang budaya dan siar keagamaan di Nusantara. Jejak-jejak sejarah itu kini masih tersimpan rapi di Banda Naira sebagai warisan sejarah. Itulah sebabnya, ketika pemerintah akan mengusulkan Jalur Rempah untuk menjadi Warisan Budaya Dunia (UNESCO), maka sudah sepantasnya Banda Naira menjadi Titik Nol Jalur Rempah Nusantara. Pasalnya kawasan kepulauan itu merupakan penghasil utama pala dan fuli yang menjadi magnet dunia maritim global di masa lalu.** (K.R)

 

 

 

Share:

Pulau Hatta : Pulau Bersejarah di Banda Naira

 


Pulau Hatta, kawasan yang dulu menjadi bagian dari ibu kota Provinsi (Goverment van Banda) Banda Naira itu, hanyalah pulau kecil dan terpencil yang hampir tak telihat dari peta Indonesia. Pulau ini berada posisi timur Kepualan Banda sekitar 25 kg, dengan jarak tempuh kurang lebih 15-30 menit dari pusat kota Banda Naira, bila mengunkakan pok-pok (motor laut bermesin jonson).

Sebagai titik pusat produsen pala dan fuli (bunga pala), di masa lampau, Banda termasuk Pulau Hatta menjadi daerah incaran para pedagang, baik pedagang lokal maupun mancanegara. Potensi sumber daya alam yang melimpah ruah yang di miliki kawasan ini merupakan nikmat dan anugrah Tuhan yang harus disyukuri. Pelaut Portugis Tomé Pires (1512-1515) dalam pelayarannya di Kepulauan Banda ketika itu mencatat, bahwa Tuhan menciptakan Banda untuk pala dan tanaman endemik itu tidak ditemukan di tempat lain.

Banda pada abad ke-17 di masa kuasa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) berstatus daerah provinsi dan menjadi pusat pemerintahan admistrasi VOC yang dipimpin seorang gubernur Jenderal. Kemudian pada abad ke-19 satatus wilayah itu diturungkan menjadi daerah setingkat kabupaten oleh pemerintah Hindia Belanda lalu dikecilkan lagi menjadi wilayah kecamatan pada abad ke-20.

Ironisnya, sejak Indonesia Merdeka sampai saat ini status wilayah itu belum juga berubah, masih tetap daerah Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tenggah, Provinsi Maluku. Meski belakangan perubahan status dari daerah kecamatan menjadi kebupaten/kota, kembali disuarakan anak daerah ini, tetapi belum kunjung direspon oleh pemangku kepentingan. Eantah apa kurang syaratnya?

Itulah sekelumit persoalan yang membuat Pulau Hatta sebagai bagian dari kecamatan Banda Naira itu, hingga kini masih berstatus daerah terpencil. Saking terpencilnya, hanya untuk megupdate satatus dilaman fecebook pun, sulit dilakukan oleh karena sinyal terkomsel di kawasan itu teryata timbul- tengelam.  

Padahal boleh dikata pulau kecil ini merupakan kawasan parawisata yang memiliki pantai dan pasir putih yang sangat indah. Laut pesisir yang menjadi tempat Spot Diving terbaik di Indonesia, dan diakui  oleh para Turis dari berbagai negara di dunia, khususnya mereka yang pernah merasakan sensasi alam bawah laut di kawasan pesisir itu. Namun sayang, kuragnya publikasi dan promosi sehingga belum tercatat dalam lembaran resmi negara, bahwa Laut Banda selain sebagai Kawasan Lumbung Ikan Nasional (LIN) juga menjadi tepat “Spot Diving” terbaik yang di miliki Indonesia saat ini.

Sebagai kawasan yang paling diminati oleh para wisatawan, baik wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara, Pulau Hatta diperlukan banyak publikasi dan promosi oleh setiap orang yang berkunjung, meski dengan cara mereka masing-masing. Apalagi dalam era digital saat ini, fecebook dan sosial media lainnya, menjadi media paleng efektif untuk promosi parawaisata. Olehnya itu, diperlukan kemudahan akses transportasi, telkomoniskasi dan jaringan internet. Namun, semua itu terjadi bila ada perhatian penuh dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan strategis di negari ini.

Kembali ke Pulau Hatta, mengunjungi pulau ini mengingatkan kita pada nama wakil Presiden Republik Indonesia pertama Mohammad Hatta. Ya Bung Hatta, saapaan akrab sang proklamator itu. Namanya telah diabadikan untuk menyebut gugusan pulau terluar dari Kepulauan Banda Naira, Maluku Tenggah.

Pengabadian nama pulau terdepan dari Kepulauan Maluku Tenggara itu, adalah wujud kecintaan orang Banda terhadap orang buangan Belanda tersebut. Mereka yang punya hak ulayat atas tanah dan air relah membuang nama Rozengain, nama yang sebelumnya disandikan untuk menyebut pulau ini. Kemudian mempopulerkan dengan nama pahlawan kemerdekaan itu merupakan pembuktian nasionalisme mereka, maka dari itu jangan pernah meragukan nasionalisme orang Banda?

Karena tampa Banda tak ada penjajahan, tak ada kemerdekaan dan boleh jadi tak akan ada Indonesia. Pasalnya dari pulau kecil inilah, kaum penjajah Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda rela mengitari dunia, melakukan penjelajahan hanya untuk menguasai pala dan fuli. Rempah yang turut memberikan sumbangsi terbesar untuk pembangunan kota para kaum penjajah di masa lalu. Pala dan Fuli adalah rempah, yang tak ada di belahan dunia lainnya waktu itu. Dari penjelajahan itulah, sehingga lahirlah penjajahan. Beberapa abad kemudian Bung Hatta bersama tokoh nasionalis lainnya dari tanah Banda menemikirkan “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,” gagasan besar itulah memicu semangat juang merebut kemerdekan Indonesia.

Bung Hatta, Bung Sjahril, Cipto Mangkusumo, Iwa Kusumantri adalah pejuang Kemerdekaan Indonesia yang pernah menjadi bagian dari orang Banda. Pahit dan maisnya buah pala telah mereka rasakan saat diasingkan di pulau kecil terpencil, jauh dari cahaya indah kota Jakarta. Itulah cara Belanda membunuh gagasan sang pejuang itu, sehingga tidak bisa lagi berjuang untuk nasib kemerdekaan bangsanya. Tetapi siapa sangka, dari tanah Banda semangat juang untuk Indonesia merdeka justru berkobar dalam jiwa dan raga kaum nasionalis itu. Pencerahan melalui pendidikan kepada anak-anak Banda ditularkan oleh para pejuang itu, untuk menyadarkan kepada mereka bahwa tanah, air dan pohon pala Banda sedang dijajah. Menyadarkan kepada mereka bahwa penjajalah yang membunuh leluhur mereka saat mempertahankan tanah, air dan pohon pala, yang direbut Kompeni Belanda.

Penduduk di Pulau Hatta, sangat ramah menyabut setiap tamu yang datang berkunjung di pulau kecil ini. Senyum akrab memancar dari raut wajah penduduk. Itulah cara mereka memanjakan tamu, penghargaan kepada tamu lebih tinggi daripada sesama mereka yang bermukim di kampung itu.

Sebelum Covid-19 melanda negeri ini, pendapatan penduduk sebagian berasal dari kunjungan para tamu. Pulau ini tersedia banyak homestay dengan harga seragam, yakni Rp 250 ribu per malam. Layaknya Bali, Para Bule yang datang berwisata sering menamakan pakayan seksi sembari meninikmati hamparan pasir putih dan karang laut yang indah. Namun oleh penduduk setempat penampakan seperti itu, bukanlah hal baru dan sudah dianggap biasa-biasa saja.

Pengalaman hidup secara internasional maupun regional sejak lampau hingga kini menjadikan masyarakat terbiasa dengan kehidupan kosmpolitan, majemuk dan pluralistik. Bagi mereka, hidup dan menggantungkan hidupnya dengan orang asing adalah modal utama dan menjadi tambahan modal berusaha. Sebab, semakin terbuka, semain banyak relasi, semakin banyak konseksi dan semakin banyak pula pendapatan.

Hamparan pohon pala yang tumbuh membiru di samping kiri dan kanan sepanjang jalan stapak dari Kampung Baru menunju Kampung Lama, Negeri Pulau Hatta itu, membuat Saya yang baru pertama berkunjung di pulau ini terkagum-kagum, dan ingin sekali mengabadikan momen itu, tapi sayang Saya dan tim safari Ramadhan STP- STKIP Hatta Sjahir Banda Naira melewatinya di malam hari.** (KR).

 

Share:

Hatta-Sajahir Membangun Sekolah di Tanah Banda

 

Muhammad Hatta dan Sutan Sjahrir adalah Tokoh Pejuang Kemerdekaan Indonesia yang pernah di buang Belanda di Boven Digul Papua pada 1935 kemudian dipindahkan ke Tanah Banda pada 1936 hingga 1942.

Tidak seperti di Boven Digul kedua tokoh pejuang itu, tak bisa berbuat banyak karena terserang penyakit malaria. Di Tanah Banda, keduanya memiliki semangat juang, merasa bebas dan merdeka secara pisikologis.

Tanah Banda sungguh mengagumkan, lingkungan alamnya asri dan damai. Hatta dan Sjahrir merasa seperti tak dibuang, namun sedang menemukan surga yang tersembunyi. Di sini tuan-tuan itu bebas berintraksi dengan masyarakat, sehingga menaruh perhatian besar terhadap persoalan pendidikan, utamanya pendidikan kepada anak-anak negeri, tempat dimana mereka berada.

Meski ditengah pegawasan Belanda, Bung Hatta dan Sjahrir memiliki tekat kuat untuk tetap menularkan kesadaran pentingnya pendidikan sebagai alat perjuangan merebut kemerdekaan. Pasalnya dengan menularkan pendidikan berkualitas, anak-anak Banda dapat menyadari sepenuhnya bahwa negeri ini sedang dijarah dan dijajah, sehingga perlu kebebasan dan kemerdekaan hakiki.

Atas dasar itulah, Hatta dan Sjahrir berinisiatif membuka sekolah dan memberikan pendidikan dan pengajaran kepada anak-anak Banda. Sekolah yang dikenal dengan nama "Sekolah Sore" itu, berlangsung saat Sore hari dengan memamfaatkan teras belakang rumah Bung Hatta, sebagai ruang kelasnya. Proses pembelajaran berlangsung sangat sederhana.

Tujuh buah meja lengkap dengan kursinya menjadikan anak murid bisa membaca dan menulis dengan baik, merasa santai dan merdeka. Des Alwi, kelak sebagai tokoh Sentral Banda, menjadi salah satu murid di sekolah itu.

Bung Hatta yang memiliki sikap disiplin tinggi, selalu memulai pembelajaran dengan tepat waktu. Sikap disiplin, selalu ditanamkan Om Kaca Mata (sapaan Hatta) kepada anak muridnya. Nilai sopan santun juga ditanamkan kepada anak murid. Menghargai dan menghormati guru wajib hukumnya saat menimbah ilmu.

Tentu situasi itu, jauh berbeda dengan kondisi pendidikan saat ini. Dimana masih banyak guru dan murid di sekolah belum memiliki kesadaran menghargai waktu, datang telambat, tidak tepat waktu saat memulai dan mengakhiri proses pembelajaran di kelas.

Hatta dan Sjahrir yang berperan sebagai guru di sekolah itu membagi tugas mengajar. Anak yang lebih besar diajar Hatta dan anak yang masih kecil diajar Sjahrir. Bung Hatta mengajarkan matapelajaran membaca, menulis, aritmatika dan bahasa Jerman.

Semua matapelajaran itu disampaikan Hatta dengan mengunakan bahasa Belanda. Sementara Sjahrir, mengajar bahasa Belanda dan berhitung untuk murid-murid yang lebih kecil. Khusus soal bahasa asing, keduanya sangat serius memprioritaskan bagi anak Banda, agar mereka dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi.

Sekolah Sore, yang dicetuskan guru (bung Hatta dan Sjahrir) belakang menginspirasi murid (Des Alwi) mencetuskan Sekolah Tinggi Hatta Sjahrir Banda Naira sebagai perguruan terkemuka di tanah Banda, yang ke depan Insyah Allah akan menjelma menjadi Universitas Banda Naira.

Hatta dan Sjahrir adalah anugrah terindah bagi orang Banda. Kedua tokoh bangsa itu dalam catatan buku "Tanah Banda" karya M. Farid, dikenang sebagai Ibu Kota Republik Pengetahuan Indonesia. 

Hatta dan Sjahrir ditengah pengawasan Belanda tetap menyalurkan ilmu dan pengetahuan yang mereka dengan mendirikan sekolah yakni SEKOLAH SORE. (***)

 

Share:

Unordered List

3/sosial/post-list

Latest blog posts

3-latest-65px

BTemplates.com

3/sosial/col-right
Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Statistik Pengunjung

Ekonomi

3/ekonomi/col-left

Publikasi

3/publikasi/feat-list

Error 404

Sorry! The content you were looking for does not exist or changed its url.

Please check if the url is written correctly or try using our search form.

Recent Posts

header ads
Ag-Historis

Text Widget

Sample Text

Pengikut

Slider

4-latest-1110px-slider

Mobile Logo Settings

Mobile Logo Settings
image

Comments

4-comments

Budaya

budaya/feat-big

Subscribe Us

Recent Posts

sejarah/hot-posts

Pages

Popular Posts