Oleh : Arwan Wabula
.jpg) |
Ketua PD HIMA PERSIS Jakarta Timur |
Beberapa
pekan lalu muncul wacana kunjungan Jessica Stren ke Indonesia sebagai utusan
khusus Amerika Serikat. Rencana kunjungan itu dalam rangka kampanye memajukan Hak
Asasi Manusia (HAM) khususnya pada kelompok masyarakat Lesbian, Gay, Biseksual Dan Transgender (LGBT) yang ada negeri
ini. Kunjungan yang direncanakan pada 7-9 Desember 2022 itu, kemudian batal
lantaran menimbulkan reaksi penolakan keras dari berbagai elemen masyarakat.
Namun, ada juga sebagian kelompok minoritas yang merespon dengan baik atas rencana
kehadiran pejuang HAM itu.
Terlepas
dari polemik antara pro dan kontra di khalayak publik, yang menjadi perhatian
saya disini atas wacana rencana kunjungan Streen tersebut adalah yang berkaitan
dengan intervensi Barat dalam upaya memaksakan budaya LBGT di Indonesia, agar
kemudian dapat diterima di tengah-tengah masyarakat Indonesia dan praktek
seksual mereka perlu dianggap sesuatu yang normal dan harus ditoleransi. Hal
ini dapat di cermati dari negosiasi Kedutaan Besar (Kedubes) Amerika Serikat
untuk Indonesia Sung Kim dalam siaran pers perihal batalnya kunjungan Streen itu.
Menurutnya kunjungan itu dalam rangka dialog dan memastikan rasa saling
menghormati satu sama lain. Mengingat kelompok LGBT di seluruh dunia mengalami
tingkat kekerasan dan diskriminasi yang tidak proporsional. Dan Kim, menyebutkan
pihaknya menantikan dialog dengan sejumlah elemen di Indonesia terkait isu hak
asasi manusia.
Pernyataan
Kim tersebut secara terang-terangan telah melakukan berbagai upaya lobiying dan
negosiasi untuk memaksakan LGBT di Indonesia dengan dalih Hak Asasi Manusia. Lebih
lanjut menurut Kim, salah satu alasan hubungan Amerika Serikat dan Indonesia
begitu kuat adalah menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia,
keragaman, dan toleransi.
Kontroversial
rencana kunjungan Stren sebagai utusan khusus dari Amerika Serikat tersebut
penting untuk dicermati. Mengingat kampanye Hak Asasi LGBT telah menjadi
instrumen propaganda Barat yang di sebarkan pada setiap negara-negara di dunia.
Di Indonesia pada 2016 lalu, Human Rights Watch mendesak pemerintah Indonesia
untuk membela hak asasi LGBT dan secara terbuka mengutuk komentar-komentar
pejabat yang di anggap diskriminatif. Kelompok pendukung LGBTQI menganggap
bahwa ini merupakan sebuah Hak Asasi Manusia karena merupakan orientasi
seksual. Sedangkan bagi sebagian besar masyarakat yang menolak, dengan dalil
bahwa negara Indonesia adalah negara yang ber ke-Tuhanan. Maka berdasarkan pada
ajaran agama-agama yang di akui di Indonesia, tidak teradapat alasan yang
membenarkan perilaku seksual menyimpang kaum LGBTQI, sehingga dalam hal ini
mereka sangat menjunjung tinggi moral dan agamanya.
Persoalannya
bagi masyarakat yang beragama menilai dengan hadirnya kelompok ini keamanan dan
ketertiban mereka menjadi terancam. Pasalnya negara yang berKetuhanan dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan budaya leluhur harus dipaksakan
menerima praktik LGBT. Yang selama ini di anggap sebagai praktik seksual yang
menyimpang, dengan alasan Hak Asasi Manusia yang harus ditoleransi sebagai
bentuk penjewantahan nilai-nilai demokrasi. Simak pernyataan Kim yang
disampaikan pada waktu yang bersamaan dalam siaran pers Kedubes AS sebelumnya menungkapkan
“nilai-nilai demokrasi, HAM, keragaman dan toleransi harus berlaku untuk setiap
anggota masyarakat, termasuk kelompok LGBTQI. Tidak sampai disitu, Kim menilai
“bahwa demokrasi yang maju menolak kebencian, intoleransi, dan kekerasan
terhadap kelompok manapun, dan mendorong dialog yang mencerminkan keragaman
luas di masyarakat”.
Dari
penjelasan Kedubes Amerika Serikat itu semua mengkrucut pada persoalan HAM yang
menjadi asumsi dan penilaian prioritasnya dalam menudukung kelompok LGBTQI di
Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, pernyataan Kedubes AS
diatas juga sekaligus memberikan gambaran potret wajah demokrasi Indonesia
setelah reformasi yang bertransisi ke demokrasi liberal dengan membawa spirit
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi.
Doktrin
demokrasi liberal sesungguhnya berpijak diatas filsafat humanisme yaitu suatu
faham yang menjadikan manusia sebagai sentral (antroposentris) dalam menilai
segala sesuatu yang berorientasi kepada dunia, dengan memberikan kebebasan
seluas-luasnya kepada setiap individu, dan termasuk dalam penilaian, benar dan
salah, baik dan buruk dan seterusnya, semua mengacu pada manusia itu
sendiri bukan pada penilaian Tuhan.
Berangkat
dari pemikiran tersebut praktek LGBT mendapatkan pembenaran, sehingga kemudian
di tengah-tengah masyarakat melahirkan pada dualitas sudut pandang dalam
melihat eksistensi LGBT yaitu antara HAM dan moral religusitas Ketuhanan dalam
Pancasila. Disamping itu transisi demokrasi setelah reformasi memicu terjadinya
westernisasi ditengh-tengah pergaulan masyarakat, yang sangat mempengaruhi pada
melunturnya semangat dan kecintaan pada budaya bangsanya sendiri. Realitas dekadensi
moral generasi muda sangat kita rasakan akhir-akhir ini, bagaimana model
penampilan, sikap, dan cara pola pikir mereka yang semakin tidak mencerminkan
moral religus dan budaya bangsa Indonesia, inilah kemudian saya sebutkan
sebagai ledakan demokrasi liberal setelah reformasi, yang semakin jauh dari
konsepsi sistem demokrasi Pancasila.
Spirit
gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa 24 tahun yang lalu, ternyata bukan
solusi alternatif dari persoalan yang ada. Akan tetapi, justru memunculkan
persoalan-persoalan baru khususnya yang berkaitan dengan ideologi Pancasila dan
kedaulatan budaya bangsa. Dalam perjalanan waktu semakin bergeser daripada ke
originalitasnya. Ditengah pusaran ledakan demokratisasi yang menerpa pada
setiap ruang lingkup kehidupan berbangsa dan bernegara, membawa pengaruh yang
signifikan terhadap pengamalan nilai-nilai Ketuhanan dalam membentengi moral
anak bangsa dari gelombang westrenisasi di Indonesia. Disamping itu, minimnya
literasi dalam memahami nilai-nilai Pancasila khususnya yang berkaitan dengan
sila Ketuhanan yang menjadi faktor utama dari persoalan deklinasi moral publik.
Dalam
konteks ini Pancasila terkesan hanya berfungsi pada penjustifikasian
kepentingan politik kekuasaan saja, dengan menegasikan persoalan moral bangsa
yang berkembang di masyarakat khususnya terkait praktek LGBT. Dan sampai detik
ini, nilai-nilai Pancasila tidak di implementasikan secara konsisten di segala
lapis dan bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam
situasi persoalan moral seperti ini, eksistensi Indonesia sebagai republik
dituntut untuk berdiri kokoh diatas prinsip dasar Pancasila. Tidak bisa
lepas tangan dalam menghadapi pada suatu persoalan perilaku yang bertentangan
dengan moral religisuitas dan budaya bangsa dengan menegasikan peranya dengan
alasan HAM. Dalam menghadapi persoalan ini juga sesungguhnya telah memiliki
daya antisipatifnya dalam ideologi Pancasila, apabila pemerintah sebagai
representatif negara secara komprehensif menggunakan perspektif Pancasila dalam
menilai perilaku LGBT tersebut. Pada konteks yang sama, keberadaan HAM tidak
bisa mendahului prinsip dasar negara dan hukum yang berlaku. Walaupun dalam
hukum positif yang berkaitan dengan perilaku LGBT belum memiliki ketentuan yang
mengaturnya secara eksplisit, dan juga dalam KUHP yang baru tidak
mengkategorikan praktek LGBTQI sebagai tindak Pidana.
Namun
konsepsi dasar pemikiran HAM dalam konstitusi negara republik Indonesia harus
di pahamai secara proposional dalam mendudukan fungsi dan perannya sebagaimana
yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 27 ayat (1) dan 28 A-J. Misalnya
dalam Pasal 28 J menyatakan :
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Selain
itu juga di tegaskan dalam undang-undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia. Dalam pasal 70 yang meyatakan: “Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh
Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis”. Dan di lanjutkan dengan UU Nomor 39 tahun 1999 tentang hak
asasi manusia dalam pasal 73 yang menyatakan sebagai berikut: “Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis.”
Dari
uraian pasal tersebut kebebasan atau hak asasi manusia bukanlah tanpa batas
seperti negara-negara liberalisme. Namun kebebasan yang dimaksud adalah
kebebasan yang terikat dengan ketentuan undang-undang yang sesuai dengan
prinsip pertimbangan moral, kesusilaan, kepentingan umum dan tatanan budaya
bangsa secara keseluruhan. Indonesia sebagai negara yang berdaulat tentu
memiliki caranya tersendiri untuk menata pergaulan masyarakatnya khsusunya
mengenai konsep keluaraga yang baik dan benar dalam koridor hukum yang berlaku,
sebagaimana yang tercantum dalam hukum negara Republik Indonesia pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan bahwa "Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Dalam pasal ini ada beberapa
point penting yang berkaitan dengan pembahasan tulisan ini; Pertama, perkawinan
yang di akui negara adalah perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita, bukan sebaliknya, laki-laki menikah dengan laki-laki begitupun dengan
perempuan, yang sudah jelas berlawanan dengan ketentuan hukum; Kedua, bahwa
tujuan perkawinan yang dimaksud dalam undang-undang tersebut yaitu untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal yang secara implisit memiliki makna
melestarikan umat manusia atau warga negara. Tujuan ini tentu sangat kontras
apabila di sandingkan dengan kaum LGBT yang penyuka sesama jenis.
Berangkat
dari penjelasan tersebut tidak terdapat satu celahpun untuk mendudukan
eksistensi LGBT dalam pergaulan masyarakat Indonesia. Maka sangat di sayangkan
apabila ada oknum-oknum masyarakat dan pejabat yang masih berasumsi bahwa
kelompok LGBT memiliki Hak Asasi yang harus di lindungi. Padahal, jika mengacu
pada pengertian Hak Asasi Manusia yaitu hak-hak yang dimiliki manusia sejak
lahir sebagai anugerah pemberian Tuhan Yang Maha Esa. Dari pengertian tersebut
praktek LGBTQ sudah menyimpang dari anugerah dan pemberian Tuhan, sebab Tuhan
dalam menciptakan manusia kodratnya menyukai sesama lawan jenis, bukan
sebaliknya. Maka secara akal sehat perilaku seksual LGBTQ suatu perilaku diluar
nalar, dengan kata lain suatu perilaku yang tidak sehat, yang harus di
rehabilitasi bukan untuk di lindungi, dan tidak terdapat hak asasi atas
perilaku mereka.
Tidak
efektifnya pengamalan nilai-nilai Ketuhanan menjadi salah satu penyumbang
carut-marutnya dalam pergaulan masyarakat di tengah pusaran arus globalisasi.
Dalam melihat persoalan ini secara subjektifitas penulis, melimpahkan titik
persoalanya pada pemangku pejabat negara, bagaimana tidak, pada konteks tataran
pengamalan nilai-nilai ideologi Pancasila terkesan nihil, Pancasila hanya
menjadi opini yang sarat muatan politik kekuasaan. Sehingga merumuskan konsepsi
(cita) nasional dalam aspek hukum dan budaya kita terkesan mengekor
ideologi-ideologi dominan yang ada. Sehingga pada saat mengahadapi suatu
persoalan kebudayaan dalam hal ini berkaitan dengan perilaku etika kenegaraan,
sangat, sangat lamban untuk menentukan status hukumnya. Misalnya dalam
pembuatan kebijakan regulasi tentang pemidanaan LGBTQI dalam RKUHP yang baru,
masih saja diributkan dalam menentukan status hukumnya, dengan alasan HAM maka
pada saat bersamaan kedaulatan hukum harus digadaikan. Dan HAM diperlintir
menjadi kenderaan hasrat oknum politisi tertentu, yang harus menumbangkan
jutaan generasi muda bangsa dalam jurang degradasi moral.
Dengan
pertimbangan hak asasi manusia ini pula yang dapat mencederai daripada norma
agama dan kepatutan di masyarakat Indonesia yang diakomodir dalam Pancasila,
dan pada akhirnya gesekan kebudayaan yang hidup di masyarakat dan budaya yang
ditransformasikan dari luar khususnya Barat akan menjadi suatu keniscayaan yang
tidak dapat dihindarkan. Semua polemik dan keteganggan masyarakat ini bisa
diakhiri apabila rekonstruktif etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
yang berdasarkan ideologi Pancasila harus di implementasikan secara
komperhensif dari berbagai aspek.
LGBTG dari Perspektif Sila Ketuhanan
Jika mengacu pada prinsip sila Ketuhanan dalam butir pertama Pancasila, setiap warga negara mengharuskan untuk mengakui adanya Tuhan. Memberikan kebebasan setiap individu dalam menyembah Tuhan, sesuai tuntutan keyakinannya masing-masing dan sekaligus negara memberikan jaminan untuk mengamalkan dan menjalankan agamanya. Lebih jauh lagi, dalam ideologi Pancasila dan konstitusi negara memberikan pengakuan dengan tegas, bahwa negara Indonesia adalah negara yang bertuhan. Dengan demikian, agama yang ada di Indonesia mendapat tempat dan perlakuan yang sama dari negara. Dalam buku Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI menegaskan sila Ketuhanan menekankan fundamen etis-religus dari negara Indonesia yang bersumber dari moral Ketuhanan yang di ajarkan agama-agama dan keyakinan yang ada.
Penjelasan
tersebut memposisikan moral ketuhanan sebagai dasar negara dalam ruang
pergaulan kehidupan berabangsa dan bernegara yang sekaligus memberikan
pertimbangan dalam penilaian pada setiap perilaku yang ada di masyarakat. Jika
kemudian dikaitkan dengan praktek LGBT dengan moral ketuhanan sangat
parodoksal, baik Ketuhanan dalam konteks teologi Islam, Kristen, hindu, budha
dan Konguchu.
Di
sini nilai-nilai Ketuhanan harus dianggap sebagai fundamen etik kehidupan
bernegara. Dalam kaitan ini, saya mengutip pendapat Yudi Latif, Menurutnya;
Indonesia bukanlah negara sekuler ekstrim, yang memisahkan “agama” dan “negara”
serta berpretensi menyudutkan peran agama ke ruang privat/komunitas. Negara
menurut alam Pancasila diharapkan dapat melindungi dan mengembangkan kehidupan
beragama; sementara agama diharapkan bisa memainkan peran publik yang berkaitan
dengan penguatan etika sosial. Pada saat bersamaan, Indonesia bukan “negara
agama” yang hanya mempresentasikan salah satu (unsur) agama dan memungkinkan
agama mendikte negara. Sebagai negara yang dihuni oleh penduduk dengan
multiagama dan multi keyakinan, Indonesia diharapkan dapat mengambil jarak yang
sama terhadap semua agama/keyakinan, melindungi semua agama/keyakinan.
Peran
Pancasila menurut Yudi Latif tersebut, tidak hanya berhenti pada memberikan
jaminan kemerdekaan pada setiap pemeluk agama, tetapi Pancasila diharapkan
dapat mengembangkan kehidupan beragama. Disamping itu, agama harus berperan
berkaitan dengan penguatan etika sosial. Dua poin penting ini pihak
penyelenggara negara harus memberikan tempat dan ruang agar dapat menjalankan
fungsinya masing-masing. Dalam konteks etika Pancasila harus dipahami yang
bersumber dari agama-agama yang di akui negara. Sebagaimana penjelasan
sebelumnya bahwa etis-religius dari negara Indonesia yang bersumber dari moral
ketuhanan yang di ajarkan agama-agama dan keyakinan yang ada (Materi sosialisasi empat pilar MPR RI. hal. 46).
Kembali
lagi pada persoalan, jika moral agama sebagai representasi sila Ketuhanan. Maka
dalam melihat praktek LGBT ini sepenuhnya kita serahkan dari persepktif
agama-agama yang diakui di Indonesia. Dan sebagaimana yang kita ketahui
bersama, bahwa dari semua agama yang di akui di Indonesia saat ini tidak ada
yang mentolerir praktek LGBTQI. Dan dalam teologis Islam sendiri telah
mengajarkan fitrah laki-laki menikah dengan perempuan, begitupun perempuan
menikah dengan laki-laki, bukan sebaliknya. Dan dalam Al-Quran sangat jelas
mengancam perilaku LGBT yang ditegaskan dalam surah al-Qamar ayat 33-36 dan
surah Adz-Dzariyat ayat 31-37. Dua ayat tesebut merupakan landasan penolakan
umat Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Begitu juga dengan Kitab bibel
agama Kristen yang dianjurkan untuk berketurunan dengan bunyi lain mengatakn
diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (Kejadian 1:
27 dan 1: 28) dan agama-agama lain terdapat hal yang serupa, walapun bervariasi
teks penyebutannya akan tetapi memiliki makna yang sama, yaitu tidak diajarkan.
Jangan kemudian pemerintah bersikap apatis dalam menyikapi fenomena ini.
Dan
berakhir pada kesimpulan, bahwa dalam melihat Pancasila tidak seharusnya di
pandang secara parsial. Tetapi sebaliknya, Pancasila harus dilihat sebagai keseluruhan
norma, keseluruhan filosofis,keseluruhan moral publik dan keseluruhan
kebijakan. Maka keseluruhan proses bernegara ini, tata kelolanya, tata
nilainya, tata material, tata perundangan dan sebagainya harus wujud
operasionalisasi dari Pancasila.
Begitupun
dengan melihat moral bangsa dan HAM dalam demokrasi harus mengacu
pada nilai-nilai Ketuhanan dalam Pancasila sebagai dasar negara. Jika Pancasila
di jadikan rujukan dalam menilai LGBTQI. Saya kira tidak ada perdebatan panjang
atas eksistensinya dan seluruh agama-agama yang ada di Indonesia sepakat akan
hal ini, bahwa perilaku pada LGBTQI bukan perilaku sebagai seorang manusia yang
normal apalagi seorang bertuhan, karena pada sejatinya perilaku LGBTQI yang
justru memusnahkan eksistensi manusia apabila sudah tidak menghasilkan
keturunan. Maka prilaku seperti ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai
Ketuhanan dalam setiap agama yang ada. **
Editor: K.R