Sejarah Kampung Saluku: Satu Kali Tinggal
Mengukir Kisah Kampung Asamjawa di Pantai Barat Seram
Penulis: Kasman Renyaan
Tradisi Lisan : Sejarah Masyarakat Kecil
Merekontruksi sejarah kampung atau sejarah masyarakat akar
rumput (baca politik), akan sulit ditemukan dalam dokumen tertulis. Tentang apa
yang dilakukan di masa lampau, tidak ditulis lalu disimpan sebagai dokumen
sejarah. Selain para pelakunya tidak memiliki kepandaian menulis, juga dianggap
oleh kebanyakan orang tidak penting untuk dilukiskan dalam catatan sejarah. Sebuah
kampung akan dianggap penting dan banyak orang yang tertarik untuk menelusuri jejak sejarahnya apabila kawasan
tersebut menjadi titik pusat pusat pemerintahan di masa lampau, atau menjadi
tempat lahir para pejuang, ilmuan, tokoh-tokoh besar yang berpengaruh dalam
perkembangan kehidupan umut manusia. Konsep inilah yang disebut “peminggiran
sejarah.” Padahal setiap orang atau tempat tertentu pastinya memiliki sejarah.
Karena itulah, pintu masuk untuk merekontrusi sejarah kampung dan orang kampung mengunakan pendekatan sejarah lisan atau tradisi lisan yang hidup pada masyarakat pendukunnya. Pasalnya
tentang apa yang dilakukan oleh generasi pertama di kampung itu, biasanya hanya terekam dalam memori kolektif masyarakatnya. Kisah dan peristiwa masa lalu yang terjadi kampung itu, bisanya disampaikan oleh masyarakatnya lewat tuturan lisan yang terus disampaikan dari generasi kegenerasi, baik memalui cerita rakyat, mitos, legenda atau jenis lain yang hidup sebagai kebudayaan masyarakat. Karena bagi mereka itulah Sejarah (lisan).
Mengenal istilah Kampung
Kampung Asamjawa merupakan salah satu kampung Buton di pesisir pantai Barat Seram Maluku. Dalam tradisi lisan mengisahkan bahwa di kawasan kampung ini dahulu tumbuh sebuah pohon besar asam atau asem. Pohon yang jenis buahnya masam, rasanya biasa digunakan sebagai bumbu penyedap masakan Indonesia, tubuh liar dilahan yang akan dibongkar kala itu. Pohon asem itu, oleh orang Buton Cia-Cia menyebutnya dengan istilah Sampalu, jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia mengandung arti Asam Jawa. Berdasarkan fakta yang dijumpai saat sedang parusan (pembongkaran) lahan dilokasi ini, pohon yang paling besar adalah Asam Jawa, sehingga mereka menyebut kampung tersebut dengan nama Asmajawa (kini Dusun Asamjawa). Tidak diketahui pasti, siapa orang pertama diantara mereka (gelombang awal) yang mengusulkan nama ini hingga menjadi nama kampung tersebut. Namun lebih jelasnya, nama Asamjawa dikukuhkan menjadi nama kampung dengan pendasaran bahwa terdapat sebuah pohon asam yang paling besar berada dilokasi kampung saat migran awal mendirikan pemukiman.
Mengenal Migran Awal
Beberapa orang yang tergolong datang pada gelobang migran awal dari Tawolio (tanah Wolio) dan berukim di kampung Asamjawa yaitu: La Dubu, La Kandanga, La Kampu dan Haji Abdul Patani. Ditawolio, keempat orang ini, juga berasal dari daerah yang berbeda-beda. La Dubu dan Lakandanga, dan Lakampo berasal dari Burangasi (Buton Selatan), sedangkan Haji Abdul Patani dari Mole-Holimombo. Dalam perkembangan selanjutnya, La Dubu, lalu memilih meninggalkan Asamjawa dan pergi ke Tiang Bandera (Dusun Ting Bendera sekarang) dan mendirikan pemukiman di sana.
Bukti yang mendukung bahwa empat orang ini, sebagai parusan awal kampung Asamjawa adalah lokasi tanah yang dimiliki tergolong dekat. Mereka terasuk orang-orang yang memiliki warisan tanah yang ditingalkan kepada generasinya, di Dusun Asamjawa, masih tergolong dekat dengan pantai. Selain itu pula, tanah yang dimiliki masih berada di dalam wilayah kampung Asamjawa sekarang. Ini dapat diketahui dari pemetaan kepemilikan lahan yaitu; Sebelah Selatan unjung kampung lokasi La Dubu. Ditengah kampung lokasinya La Kandanga dan La Kampu, sedangkan di sebelah Utara Asamjawa (Hou), lokasi miliki Haji Abdul Patani. Terkait dengan Haji Abdul Patani, ia merupakan orang pertama yang datang di Dusun Amaholu, bersama adiknya Haji Muminin (orang Buton pertama datang dan menduduki kampung Amaholu, bersama temanya La Asturian). Namun Haji Abdul Patani, kemudian memilih tinggal dan berkebun di Hou-Asamjawa. Sedangkan bagi mereka yang datang pada gelobang berikutnya akan memiliki lahan yang sedikitnya jauh dari lahan milik gelobang awal.
Dalam konteks kedatangan, dan sebab keluarnya penduduk
Buton dari tanah Wolio Sulawesi Tenggara, kemudian memilih merantau di Seram
Barat, di Dusun Asamjawa. Berdasarkan tradisi lisan di kampung ini, diketahui
bahwa keinginan perantau itu, dilakukan sebagai upaya masyarakat untuk
menghindari pungutan pajak yang diberlakukan pemerintah kesultanan Buton,
dibawah dominasi pemerintahan Hindia Belanda.
Pada tahun 1906 pemerintah Hindia Belanda memberlakukan sistim pemerintahan penjajahan atas wilayah kesultanan Buton dengan mengangkat kepala-kepala distrik. Tugas utamanya yaitu penarikan pajak dari rakyat dan mengaktifkan para Bonto dan Bobato (lembaga syarah), sebagai pimpinan Kadie (Kepala Kampung). Pajak itu, wajib dibayar oleh mereka golongan papara (penduduk desa).
Pajak yang dikeluarkan, membuat golongan papara (penduduk desa), ingin mencari kehidupan baru diderah rantau. Sebuah daerah yang masih subur kondisi alamnya untuk tanaman pangan. Salah satu wilayah perantauan termasuk di Seram Barat, kala itu. Apalagi pajak yang dipungut dari golongan Papara, tidak sebanding dengan penghasilan yang didapat dari hasil pekerjaan mereka sehari-hari. Ditambah dengan kondisi alam Burangsasi yang tandus, penuh bebatuan, dan sulit mendapatkan air kecuali menunggu hujan. Kondisi demikian semakin memuat hidup mereka mencekam. Karena itu, berlayar dengan Bangka dan merantau diangap sebagai alternative untuk membebaskan diri dari pungutan pajak serta menata hidup untuk masa depan generasi ditanah rantau.
Dalam upaya mempertahankan hidup dan melangsunkan kehidupan ditanah rantau, pihamota (berkebun) singkong dan umbi-umbian lain, menjadi pekerjaan utama selama Bangka belum dilayarkan. Selain itu, bagi orang Buton, terasuk yang hidup di kampung Asamjawa, pekerjaan berkebun dianggap sebagai pekerjaan yang bisa dilakukan oleh suami dan istri. Karena berlayar dan mencari ikan di laut, merupakan pekerjaan yang hanya dilakukan oleh para lelaki. Dalam konteks itu, biasanya urusan berkebun hanya akan menjadi urusan istri-istri mereka, usai pekerjaan pagar kebun dilakukan. Kemudian suami mereka akan fokus pada pekerjaan berlayar dan mencari ikan dilaut, kala itu. Meskipun kebun ditinggalkan oleh para suami untuk sementara waktu, tetapi dengan keberadaan kebun itu, para istri dan anak-anak mereka tidak lagi kesulitan dengan persoalan hidup. Dan dengan kebun pula, mereka (pelayar) bisa menghidupi anak dan istri yang ditinggalkan dirumah. Dari kondisi itu, maka sebelum pelayaran dilakukan, kebun dan isinya sudah siap dinikmati keluarga. Atau paling tidak, keberadaan kebun akan ada harapan untuk menghidupi keluarga nantinya, saat suami berlayar.
Terkait dengan proses kedatangan orang Buton di Dusun Asamjawa ada relaisnya dengan tradisi martim (berlayar), sebab kedatangan mereka tidak lain hanya mengunakan perahu Bangka sebagai alat transportasi penghubung. Apalagi ketika itu, Bangka bagi orang Buton, terutama rakyat kecil yang hidup dipedesaan adalah kenderaan penghubung untuk satu pulau dengan pulau lainya, dan satu daratan dengan daratan lainya serta sebagai bagian dari rona kehidupan mereka di laut, utamanya bagi para pelayar demi mencapai kesejateraan hidup didarat. Mereka yang datang pertama itu, selain utuk mengindari para pungutan pajak di wilayah kesultanan Buton, mereka pada awalnya juga merupakan pelayar yang sedang mencari muatan perahu komoditas damar, di seram Barat. Namun dari pencarian damar itu, membuat mereka tertarik untuk berkebun dilokasi yang kini di kenal dengan Dusun Asamjawa.
Dalam proses selanjutnya, ketika wilayah Asamjawa sudah menjadi sebuah kampung dan berada dibawa pemerintahan raja Luhu, dibawah pimpinan Abdul Gafur, kampung Asamjawa, lalu digabungkan dengan Kampung Batulubang, untuk menjadi sebuah Dusun petuanan Desa Luhu. Dalam masa pemerintahan Abdul Gafur sebagai raja Luhu, banyak orang Buton di Dusun Asamjawa pindah ke daerah lain, menurut mereka pemerintahan raja dianggap paling jahat. Apalagi, jika diantara mereka ada yang berbuat kesalahan, maka raja langsung memberikan hukuman kepada orang tersebut. Sebab itulah, banyak orang Buton di Kampung Asajawa pergi meninggalkan kampung mereka dan memilih hidup di derah lain, seperti pindah di Buru Seit, Dusun Ely Tanah Merah, Dusun Rahai, Dusun Tiang Bendera dan ada pula yang balik ke tanah asal mereka Bau-Bau (Buton) Sulawesi Tenggara. (K.R**).
Catatan: Hasil Penelitian, L.A.28 Agustus 2015.
MASUK PERDANA SISWA SMA IQRO AMAHOLU PENUH ANTUSIAS SAMBUT TES
Bangun Gedung SMA Iqro Amaholu dari Kayu dan Papan
Meskipun belum mengantongi izin operasional sekolah, tetapi itu tak lantas menyurutkan semangat masyarakat Dusun Amaholu, Negeri Luhu, Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), untuk membangun gedung sekolah darurat, SMA IQRO Amaholu, dari kayu dan papan.
Panitia pebangunan SMA IQRO Amaholu, Riki Amin, S.Pd, kapada wartawan mengungkapkan, pekerjaan satu bilik ruang kelas, dan ditambah satu bilik ruang guru ini, ditargetkan selesai hanya seminggu, sebab gedung sekolah ini, akan digunakan untuk kegiatan proses belajar mengajar usai peringatan hari kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus nanti.
“Keinginan untuk membangun gedung sekolah ini datang dari masyarakat, jadi masyarakat menargetkan pekerjaan ini akan selesai hanya seminggu.” Kata, Amin, di Dusun Amaholu, Minggu, (09/08/2015).
Amin, menambahkan, berdirinya SMA IQRO Amaholu ini atas swadaya masyarakat. Karena itu, masyarakat berharap agar SMA IQRO ini, bisa secepatnya mendapatkan izin operasional dari dinas pendidikan. “Kami berharap kepada dinas pendidikan, bisa mengeluarkan ijin operasional untuk SMA Iqro Amaholu, agar proses pencerdasan anak bangsa di daerah kami yang tergolong terpencil itu, bisa berjalan baik. Ungkapnya.














