Menyajikan Data Mengungkap Fakta Menjadi Sejarah

Sejarah

3/sejarah/post-list

Sejarah Kampung Saluku: Satu Kali Tinggal





Penulis : Kasman Renyaan
(Mahasiswa Pendidikan Sejarah pada PPS (S2) UNM

 Istilah Saluku diambil dari bahasa Cia-cia. Akar kata “Sa” dan “Luku.” Sa, berarti “satu” dan “luku” artinya tinggal. Saluku mengandung makna “’satu kali tinggal.” Ungkapan Saluku, dimaksudkan untuk mereka yang tinggal di kampung ini, baik penduduk setempat maupun pendatang, kemudian menikah di Saluku akan tetap berkeinginan untuk tinggal (menetap) di kampung ini. Selain itu, nama Saluku juga dimaksudkan kepada orang lain (pendatang), bila mereka datang ke kampung ini, akan tetap berkeinginan terus-menerus tinggal di kampung ini. Maksudnya, ia akan mempunyai keinginan kuat untuk tetap menetap di Saluku. Ketika orang itu pergi meninggalkan kampung ini, maka ia akan terus mengingatnya dan akan berusaha untuk kembali lagi di lain waktu.
Tidak ada catatan tertulis yang bisa mengungkapkan secara pasti kapan sebenarnya orang Buton bermukim di sini? Namun, dari sejumlah informasi yang direkam peneliti di Saluku terungkap, kedatangan orang tua mereka di kampung ini, pada awalnya hanya beberapa orang tua  saja. Mereka termasuk kelompok awal yang mendiami Saluku, Haji Abdurahman, Haji Usman, Bapa Sangkati, Bapa Pasamba, dan Haji Adam. Meskipun mereka sama-sama berasal dari Tawolio (tanah Wolio), Buton, Sulawesi Tenggara, akan tetapi daerah asal mereka berbeda-beda. Sebut saja, Haji Abdurahman, dan Haji Usman dari Holimombo. Sedangkan bapa Sangkati, dan bapa Pasamba dari Kasse, serta Haji Adam dari Buton Wagola.
Kelima orang tua Buton itu, jelas berasal dari daerah yang berbeda, tetapi perbedaan itu, menyatukan mereka dalam semangat sabangka-asarope (teman dan satu tujuan), ketika mereka berlayar dari Buton ke Seram Barat  dalam satu bangka. Kedatangan mereka ke Seram Barat didorong oleh keinginan untuk mencari ikan. Mereka yang datang ini, berniat akan mencari ikan dengan cara memasang alat tangkap kantano (Bubu), di laut dangkal pesisir SBB. Akan tetapi, di daerah yang dijumpai itu, ternyata kondisi alamnya terlihat subur dan menjanjikan masa depan, sehingga menarik mereka dan berkeingginan untuk hidup menetap di SBB. Keinginan itu, diwujudkan dengan dibentuknya perkampungan Saluku.
Sebelum memilih pemukiman di Saluku, kelompok ini menetap di Saluta, Waelapia. Namun mereka tidak bertahan lama di kampung itu, dan pindah lagi  ke kampung tetangganya, Liaela. Karena terjadi keselapahaman diantara mereka dengan para orang tua, kelompok ini pindah lagi ke wilayah utara Kampung Liaela, yakni lokasi yang disebut Wahawai. Dalam perkembangan kemudian, mungkin melihat kondisi pemukiman yang dirasa sempit dan kurang cocok, mereka bergeser lagi ke suatu tempat yang lokasinya kurang lebih setengah kilo ke arah utara dari Wahawai. Tempat inilah yang dinamai dengan Saluku, yang berarti “satu kali tinggal” untuk selamannya.
Saluku, adalah nama yang mengadung makna filsofis tentang kelangsungan penduduk yang hidup di kampung itu. Pemberian nama ini atas dasar musyawarah dan kesepakataan bersama, antara beberapa orang tua dari Luhu yang mempunyai lahan di wilayah  itu, dengan kelompok awal orang Buton selaku orang yang membongkar lahan perkampungan tersebut. Orang Luhu menyebut “Saluku” dengan kata Salu’u. Akar kata Sa, dan Lu’u. Kata Sa, berarti satu, sedangkan Lu’u, berarti potong, jadi Salu’u berarti “satu kali potong.” Maksud dari ungkapan tersebut, yakni kepada siapa pun yang datang mengugat tempat ini (Saluku), selain orang Luhu, akan dipotong hingga satu kali potong langsung meninggal.
Beberapa orang tua Buton kelompok awal yang mendiami kampung ini, mengusulkan agar nama tersebut diganti dengan Saluku, yang berarti “satu kali tinggal.” Maksudnya, mereka tinggal sampai selamannya di kampung ini. Menurut mereka, kata Salu’u dianggap mengandung arti kurang baik, bagi kelangsungan kehidupan generasi mereka kelak di kampung itu. Alhasil, Saluku disepakati dan ditetapkan menjadi nama kampung mereka. Dalam kesepakatan itu, orang Luhu akan tetap menyebut Saluku dengan Salu’u, dan bagi orang Buton, akan menyebut tempat tinggal mereka dengan Saluku, hingga sekarang.
Berdasrkan ingatakan kolektif masyarakat di kampung Saluku, lokasi kampung ini disaat pembongkaran lahan di penuhi pepohonan beringin. Pohon yang ketika itu, diyakini sebagai tempat bersarangnya Mahluk halus (setan). Karena itu, sebelum di mulainya pembabatan semak-belukar yang tubuh liar lokasi dikampung ini, beberapa orang tua dari Buton, melakukan ritual pikadawu (memberikan sejajian) yang diyakini bisa mengusir mahkluk halus di kampung itu. Usai ritual, barulah pembongkaran lahan di lakukan. Kemudian beberapa orang tua dari Luhu (pemilik lokasi Saluku), bersepakat untuk tinggal bersama di kampung hingga generasi mereka sekarang. Itulah sebabnya, orang tua di Saluku banyak yang bisa berbahasa Negeri Luhu, hingga sekarang (Abdin Kiat, & Gardo, Wawancara, 15 Agustus 2015).
Berdasarkan gambaran tersebut dapat disimpulkan yaitu, Pertama; kehidupan masyarakat di Kampung Saluku bergantung pada sektor laut, ini didasarkan pengelaman sejarah kampung itu, bahwa kedatangan orang tua mereka dahulu, mulanya dengan tujuan mencari ikan. Kedua; para nelayan mulai kesulitan mendapatkan ikan di laut kampung mereka, sehingga memaksa mereka untuk hijrah ke kampung lain. Ketiga; Kampung Saluku, didirikan oleh ke lima orang Buton, diantaranya Haji Abdurahman, Haji Usman, Bapa Sangkati, Bapa Pasamba, dan Haji Adam. Berdasarkan komunikasi yang dibangun antara orang Luhu (penduduk lokal), yang mempunyai lahan di lokasi itu dengan orang Buton yang membongkar lahan pemukiman, atas persetujuan orang Luhu. Kempat; nama Saluku yang melekat pada kampung itu, disetujui atas dasar musyawarah mufakat, Saluku berati satu kali tinggal. Karena itu, orang lain yang mengugat kampung ini selain orang Luhu, maka tetap Saluku “Satu Kali Potong.”Kelima, sifat kebersamaan itu membuat mereka hidup bersama dalam satu ikatan basudara (kekeluargaan), antara orang Luhu dan orang Buton, Saluku. Karena itu, komunikasi budaya diantara keduanya tercipta dengan baik, banyak orang tua di kampung ini, bisa berbahasa Luhu.
Saluku kini merupakan salah satu diantara puluhan kampung Buton, yang secara administrasi berstatus dusun petuanan Negeri Luhu, Kecamatan Huamual, Kabupaten SBB. Terletak kurang lebih sekitar 2 km, dari desa induk. Setiap hari penduduk dari kampung ini, sering pulang dan pergi menjajakan dagangannya, berupa ikan dan sayur-sayuran ke Ambon dan ke pasar Negeri Luhu. Kampung yang mayoritasnya beretnik Buton Cia-cia ini, diapit oleh beberapa kampung Buton lainnya. Di bagian selatan terdapat Kampung Leiela, sementara di utara berbatasan dengan Kampung Warau, dan Luhu Lama. Meskipun diantara kampung-kampung Buton tersebut dipisahkan oleh tanjung yang berbatu-karang, tetapi tak lantas membatasi ruang gerak penduduknya berjalan kaki untuk berpergian di tetangga kampung mereka, baik untuk menjajakan ikan hasil tangkap para nelayan, atau hanya sekedar baronda (jalan-jalan). Terlebih lagi, bila ada acara sukuran keluarga. Saling mengunjunggi diantara mereka sudah menjadi kebiasan sejak dahulu.
Disekitar tanjung perbatasan antara Kampung Saluku dengan beberapa kampung Buton lainnya itu, terdapat banyak perkebunan ubi kayu. Hamparan pepohonan kelapa, ketapang, tumbuh subur disepanjang pesisir pantai. Di bagian timur kampung ini, berhadapan langsung dengan laut Jazirah Leihitu, Pulau Ambon. Di sebelah barat, dihubungkan oleh pegunungan Saluku dengan Kampung Hatawano, sebagian Asam Jawa, dan sebagian lagi Batulubang, kawasan pesisir barat Hoamual. Dipegunungan itu, terdapat banyak perkebunan cengkeh milik warga Saluku, yang  berbatasan dengan perkebunan cengkeh milik kampung lain. Di setiap perbatasan cengkeh mereka, masing-masing ditanami pepohonan liar, sebagai penanda kintal (arel) perkebunan. Setiap warga Saluku mempunyai lahan cengkeh, pala, coklat, dan jenis tanaman jangka panjang lainnya.
Bagi masyarakat Saluku yang hendak berpergian ke kampung-kampung yang berada di barat Hoamual, terkadang menempuh jalur darat dengan berjalan kaki, memanjat pegunungan, melewati gungung melintang, terus berjalan menurun ke Kampung Hatawano, Asamjawa atau Batulubang. Tergantung di mana tujuan mereka berpergian. Biasanya juga ada dari mereka yang berjalan kaki melewati pegunungan Luhu dan turun ke Kampung Amaholu Los. Bagi penduduk kampung tersebut mengangap“Hangka kake” (berjakan kaki) ke kampung-kampung sebelah (barat Huamual) itu, dianggapnya dekat, demikian sebaliknya. Namun, apabila memilih jalur laut, trasportsi Joson (Pentura), spit boat, atau katinting menjadi kenderaan penghubung. Jalur ini melewati Tanjung Sial, Semenajung Hoamual, dengan waktu tempuh kurang lebih, 1-2 jam.
Bagi masyarakat di kampung ini, pekerjaan sebagai pelaut merupakan pekerjaan unggulan para lelaki. Mulai anak remaja putus sekolah hingga orang tua, memilih hidup sebagai nelayan. “Buang jareng dapat uang cepat. Kalau rezeki, semalam saja kita bisa meghasilkan uang ratusan ribu rupiah. Itu masih uang saku, belum terhitung yang lain.” Demikian kata La Ian (Wawancara di Saluku Agustus 2015). Anak muda tamatan SMA ini, tidak mau melanjutkan pendidikannya dan memilih bekerja sebagai kariawan Jareng Bobo (pukat tarik), karena menurutnya, dengan bekerja sebagai nelayan, dia bisa punya penghasian sendiri.
Untuk perempuan khususnya para ibu rumah tangga, bekerja di kebun dan membantu menjajakan ikan hasil tangkapan anak atau suami mereka ketika kembali dari melaut. Aktifitas mereka dikenal dengan istilah jibu-jibu (perempuan yang menjual ikan). Pemasaran hasil tangkapan itu, biasa dibawa ke pasar Luhu, tetapi ada pula yang menjualnya ke kampung-kampung tetangga terdekat. Namun, jika hasil dari tangkapan para nelayan itu sudah berkelebihan, pasar Hitu atau Hila menjadi alternatif pemasaran. Untuk sampai ke jazirah Lehitu itu, apabila menggunakan jonson (pentura) atau spit boat kurang lebih 30 menit. Itulah sebabnya, ikan yang di jual ke kota pelabuhan itu, adalah ikan-ikan segar, sehingga ketika di lelang langsung ditangani oleh para pemborong di sana. Jarak tempuh itu, sama dengan menggunakan trasportasi spit boat ketika penduduk Saluku hendak berpergian ke kota Ambon melalui pelabuhan Tahoku-Hila.
Seiring berjalannya waktu hasil tangkapan para nelayan mulai berkurang. Dalam semalam kadang hasil tangkap yang di bawah pulang pun tidak seberapa, sehingga membuat nelayan-nelayan itu mengambil inisiatif untuk menyebrang ke kampung lain. Di utara Pulau Buano, Dusun Naselan (Buton Tomia), menjadi pangkalan baru  para nelayan itu, mencari ikan. Mereka bertahan hingga berberbulan-bulan lamanya, demi mendapatkan hasil tangkapan yang lebih dari sebelumnya. Para nelayan dari Saluku tersebut, biasanya kembali ke kampung halamannya, apabila  ada kebutuhan yang dianggap penting dan mendesak, seperti anak dan istri mereka sakit, memperbaiki pagar kebun, atau ketika momentum Ramadhan dan waktu Lebaran tiba. Setelah itu, mereka kembali lagi ke Buano-Naiselan. Kalau ada diantara mereka ada yang pulang ke kampung halamannya, kiriman uang dan ikan dititipkan kepada anak istri mereka.
Begitulah pekerjaan para nelayan di Kampung Saluku. Meskipun mereka bekerja sebagai nelayan, tetapi mereka juga mempunyai lahan pertanian cengkeh, pala, kakao dan tanaman jangka panjang lainnya. Hamota (kebun), usai dikerjakan dan ditanami berbagai tanaman pangan. Ditinggalkanya kepada istri-istri mereka di rumah untuk merawatnya dan menjaganya, sehingga walaupun tidak ada suami mereka yang menjadi kepala rumah tangga, para istri bisa menghidupi anak-anak mereka dari hasil tanaman yang di tinggalkan oleh suaminya itu. Para suami fokus dengan pekerjaan melaut. Penghasilan yang diperoleh dari usaha melaut dan berkebun, digunakan untuk biaya hidup dan kebutuhan pendidikan anak mereka. (***)

Wawancara:  A.K, dan G.R, di Dusun Saluku, 15 Agustus 2015.




Share:

Mengukir Kisah Kampung Asamjawa di Pantai Barat Seram

 Penulis: Kasman Renyaan


Tradisi Lisan : Sejarah Masyarakat Kecil

Merekontruksi sejarah kampung atau sejarah masyarakat akar rumput (baca politik), akan sulit ditemukan dalam dokumen tertulis. Tentang apa yang dilakukan di masa lampau, tidak ditulis lalu disimpan sebagai dokumen sejarah. Selain para pelakunya tidak memiliki kepandaian menulis, juga dianggap oleh kebanyakan orang tidak penting untuk dilukiskan dalam catatan sejarah. Sebuah kampung akan dianggap penting dan banyak orang yang tertarik untuk menelusuri jejak sejarahnya apabila kawasan tersebut menjadi titik pusat pusat pemerintahan di masa lampau, atau menjadi tempat lahir para pejuang, ilmuan, tokoh-tokoh besar yang berpengaruh dalam perkembangan kehidupan umut manusia. Konsep inilah yang disebut “peminggiran sejarah.” Padahal setiap orang atau tempat tertentu pastinya memiliki sejarah. Karena itulah, pintu masuk untuk merekontrusi sejarah kampung dan orang kampung mengunakan pendekatan sejarah lisan atau tradisi lisan yang hidup pada masyarakat pendukunnya. Pasalnya tentang apa yang dilakukan oleh generasi pertama di kampung itu, biasanya hanya terekam dalam memori kolektif masyarakatnya. Kisah dan peristiwa masa lalu yang terjadi kampung itu, bisanya disampaikan oleh masyarakatnya lewat tuturan lisan yang terus disampaikan dari generasi kegenerasi, baik memalui cerita rakyat, mitos, legenda atau jenis lain yang hidup sebagai kebudayaan masyarakat. Karena bagi mereka itulah  Sejarah (lisan).

Mengenal istilah Kampung

Kampung Asamjawa merupakan salah satu kampung Buton di pesisir pantai Barat Seram Maluku. Dalam tradisi lisan mengisahkan bahwa di kawasan kampung ini dahulu tumbuh sebuah pohon besar asam atau asem. Pohon yang jenis buahnya masam, rasanya biasa digunakan sebagai bumbu penyedap masakan Indonesia, tubuh liar dilahan yang akan dibongkar kala itu. Pohon asem itu, oleh orang Buton Cia-Cia menyebutnya dengan istilah Sampalu, jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia mengandung arti Asam Jawa. Berdasarkan fakta yang dijumpai saat sedang parusan (pembongkaran) lahan dilokasi ini, pohon yang paling besar adalah Asam Jawa, sehingga mereka menyebut kampung tersebut dengan nama Asmajawa (kini Dusun Asamjawa). Tidak diketahui pasti, siapa orang pertama diantara mereka (gelombang awal) yang mengusulkan nama ini hingga menjadi nama kampung tersebut. Namun lebih jelasnya, nama Asamjawa dikukuhkan menjadi nama kampung dengan pendasaran bahwa terdapat sebuah pohon asam yang paling besar berada dilokasi kampung saat migran awal mendirikan pemukiman.

 Mengenal Migran Awal

Beberapa orang yang tergolong datang pada gelobang migran awal dari Tawolio (tanah Wolio) dan berukim di kampung Asamjawa yaitu: La Dubu, La Kandanga, La Kampu dan Haji Abdul Patani. Ditawolio, keempat orang ini, juga berasal dari daerah yang berbeda-beda. La Dubu dan Lakandanga, dan Lakampo berasal dari Burangasi (Buton Selatan), sedangkan Haji Abdul Patani dari Mole-Holimombo. Dalam perkembangan selanjutnya, La Dubu, lalu memilih meninggalkan Asamjawa dan pergi ke Tiang Bandera (Dusun Ting Bendera sekarang) dan mendirikan pemukiman di sana.

Bukti yang mendukung bahwa empat orang ini, sebagai parusan awal kampung Asamjawa adalah lokasi tanah yang dimiliki tergolong dekat. Mereka terasuk orang-orang yang memiliki warisan tanah yang ditingalkan kepada generasinya, di Dusun Asamjawa, masih tergolong dekat dengan pantai. Selain itu pula, tanah yang dimiliki masih berada di dalam wilayah kampung Asamjawa sekarang. Ini dapat diketahui dari pemetaan kepemilikan lahan yaitu; Sebelah Selatan unjung kampung lokasi La Dubu. Ditengah kampung lokasinya La Kandanga dan La Kampu, sedangkan di sebelah Utara Asamjawa (Hou), lokasi miliki Haji Abdul Patani. Terkait dengan Haji Abdul Patani, ia merupakan orang pertama yang datang di Dusun Amaholu, bersama adiknya Haji Muminin (orang Buton pertama datang dan menduduki kampung Amaholu, bersama temanya La Asturian). Namun Haji Abdul Patani, kemudian memilih tinggal dan berkebun di Hou-Asamjawa. Sedangkan bagi mereka yang datang pada gelobang berikutnya akan memiliki lahan yang sedikitnya jauh dari lahan milik gelobang awal. 

 Dalam konteks kedatangan, dan sebab keluarnya penduduk Buton dari tanah Wolio Sulawesi Tenggara, kemudian memilih merantau di Seram Barat, di Dusun Asamjawa. Berdasarkan tradisi lisan di kampung ini, diketahui bahwa keinginan perantau itu, dilakukan sebagai upaya masyarakat untuk menghindari pungutan pajak yang diberlakukan pemerintah kesultanan Buton, dibawah dominasi pemerintahan Hindia Belanda.

Pada tahun 1906 pemerintah Hindia Belanda memberlakukan sistim pemerintahan penjajahan atas wilayah kesultanan Buton dengan mengangkat kepala-kepala distrik. Tugas utamanya yaitu penarikan pajak dari rakyat dan mengaktifkan para Bonto dan Bobato (lembaga syarah), sebagai pimpinan Kadie (Kepala Kampung). Pajak itu, wajib dibayar oleh mereka golongan papara (penduduk desa).

Pajak yang dikeluarkan, membuat golongan papara (penduduk desa), ingin mencari kehidupan baru diderah rantau. Sebuah daerah yang masih subur kondisi alamnya untuk tanaman pangan. Salah satu wilayah perantauan termasuk di Seram Barat, kala itu. Apalagi pajak yang dipungut dari golongan Papara, tidak sebanding dengan penghasilan yang didapat dari hasil pekerjaan mereka sehari-hari. Ditambah dengan kondisi alam Burangsasi yang tandus, penuh bebatuan, dan sulit mendapatkan air kecuali menunggu hujan. Kondisi demikian semakin memuat hidup mereka mencekam. Karena itu, berlayar dengan Bangka dan merantau diangap sebagai alternative untuk membebaskan diri dari pungutan pajak serta menata hidup untuk masa depan generasi ditanah rantau.

Dalam upaya mempertahankan hidup dan melangsunkan kehidupan ditanah rantau, pihamota (berkebun) singkong dan umbi-umbian lain, menjadi pekerjaan utama selama Bangka belum dilayarkan. Selain itu, bagi orang Buton, terasuk yang hidup di kampung Asamjawa, pekerjaan berkebun dianggap sebagai pekerjaan yang bisa dilakukan oleh suami dan istri. Karena berlayar dan mencari ikan di laut, merupakan pekerjaan yang hanya dilakukan oleh para lelaki. Dalam konteks itu, biasanya urusan berkebun hanya akan menjadi urusan istri-istri mereka, usai pekerjaan pagar kebun dilakukan. Kemudian suami mereka akan fokus pada pekerjaan berlayar dan mencari ikan dilaut, kala itu. Meskipun kebun ditinggalkan oleh para suami untuk sementara waktu, tetapi dengan keberadaan kebun itu, para istri dan anak-anak mereka tidak lagi kesulitan dengan persoalan hidup. Dan dengan kebun pula, mereka (pelayar) bisa menghidupi anak dan istri yang ditinggalkan dirumah. Dari kondisi itu, maka sebelum pelayaran dilakukan, kebun dan isinya sudah siap dinikmati keluarga. Atau paling tidak, keberadaan kebun akan ada harapan untuk menghidupi keluarga nantinya, saat suami berlayar.

Terkait dengan proses kedatangan orang Buton di Dusun Asamjawa ada relaisnya dengan tradisi martim (berlayar), sebab kedatangan mereka tidak lain hanya mengunakan perahu Bangka sebagai alat transportasi penghubung. Apalagi ketika itu, Bangka bagi orang Buton, terutama rakyat kecil yang hidup dipedesaan adalah kenderaan penghubung untuk satu pulau dengan pulau lainya, dan satu daratan dengan daratan lainya serta sebagai bagian dari rona kehidupan mereka di laut, utamanya bagi para pelayar demi mencapai kesejateraan hidup didarat. Mereka yang datang pertama itu, selain utuk mengindari para pungutan pajak di wilayah kesultanan Buton, mereka pada awalnya juga merupakan pelayar yang sedang mencari muatan perahu komoditas damar, di seram Barat. Namun dari pencarian damar itu, membuat mereka tertarik untuk berkebun dilokasi yang kini di kenal dengan Dusun Asamjawa.

Dalam proses selanjutnya, ketika wilayah Asamjawa sudah menjadi sebuah kampung dan berada dibawa pemerintahan raja Luhu, dibawah pimpinan Abdul Gafur, kampung Asamjawa, lalu digabungkan dengan Kampung Batulubang, untuk menjadi sebuah Dusun petuanan Desa Luhu. Dalam masa pemerintahan Abdul Gafur sebagai raja Luhu, banyak orang Buton di Dusun Asamjawa pindah ke daerah lain, menurut mereka pemerintahan raja dianggap paling jahat. Apalagi, jika diantara mereka ada yang berbuat kesalahan, maka raja langsung memberikan hukuman kepada orang tersebut. Sebab itulah, banyak orang Buton di Kampung Asajawa pergi meninggalkan kampung mereka dan memilih hidup di derah lain, seperti pindah di Buru Seit, Dusun Ely Tanah Merah, Dusun Rahai, Dusun Tiang Bendera dan ada pula yang balik ke tanah asal mereka Bau-Bau (Buton) Sulawesi Tenggara. (K.R**).

 

Catatan: Hasil Penelitian, L.A.28 Agustus 2015.

 

 

Share:

MASUK PERDANA SISWA SMA IQRO AMAHOLU PENUH ANTUSIAS SAMBUT TES


Sejumlah siswa SMA IQRO Amaholu penuh antosias menyambut tes masuk SMA yang akan digelar di sekolah ini. Hal itu terlihat jelas dari partisipasi aktif siswa dalam tatap muka perdana, bersama para guru di sekolah ini, dalam ruangan kelas, gedung sementara MI Muhammadiyah Amaholu, Senin (27/07/2015), Siang.

Ketua panitian tes masuk SMA IQRO Amaholu, Riki Amin, dalam arahanya menuturkan, tes ini digelar guna mengetahui kamampuan dasar siswa, terutama pemahaan mereka tentang konsep Wawasan Kebangsaan Indonesia. “Soal dalam tes yang sudah disiapkan panitia berjumlah 35 butir soal, pilihan ganda (PG), soalnya seputar materi pancasila, bineka Tunggal Ika, sistem pemerintahan NKRI dan sejarah pergerakan Indonesia. Soal tes itu diambil dari mata pelajaran dasar yang sudah pernah di pelajari dan diajarkan dibangku SMP/MTS, melalui mata pelajaran PKN dan sejarah.” Jelasnya.

Lanjut Amin, tatap muka perdana ini, juga dilakukan sebagai upaya pemberian motivasi dan penguantan mental siswa menghadapi tes tertulis dan wawancara yang akan dilaksanakan dalam beberapa hari ke depan. Pasalnya, pelaksanaan tes masuk SMA ini akan digelar selama dua hari berturut-turut. “Hari Jumat, tanggal 31 Juli, akan dilakukan tes tertulis dengan soal tes  Wawasan Kebangsaan dan hari Sabtu, tanggal 1 Agustus, akan dilakukan tes wawancara.”

Bersamaan dengan itu, Inisiator pendidiri SMA IQRO AMAHOLU Kasman Renyaan, S.Pd., di hadapan sejumlah siswa saat memberikan pengarahan tentang mekanisme pelaksanaan tes, mengungkapkan, meskipun SMA ini tergolog baru, tetapi tes ini wajib hukumnya dan menjadi sebuah keharusan untuk dilakukan di SMA IQRO Amaholu. Sebab, tes ini akan menjadi dasar utama dan mekanisme masuk dalam setiap tahuan ajaran baru. “Tes ini menjadi acuan dasar mengukur kualitas siswa di SMA ini nantinya. Karena itu, jika inputnya baik, maka outpunya akan baik pula.” Ungkapnya, menambahkan.

Masih terkait itu, Harmin Samiun, S.Pd., M.Pd., dalam arahanya pula menegaskan, SMA IQRA AMAHOLU ini ditargetkan akan menjadi sekolah percontohan bagi sekolah-sekolah lainya di Huamual Barat, dan Seram Bagian Barat serta Maluku pada umumnya. Karena itu, dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan di sekolah IQRA Amaholu ini ke depannya, maka siswa diharapkan lebih kreatif dan produktif dalam proses pembelajaran di sekolah, sebaliknya guru.

Menurut Harmin, jika proses belajar telah normal, maka sekolah ini juga tidak akan kalah bersaing dengan sekolah-sekolah lainya dalam level daerah, nasional bahkan standar Internasonal. Olehnya itu, jika ada orang yang menghebuskan isu-isu negative yang pada prinsipnya menyudutkan sekolah dan kalian (siswa) di sini, maka sampaikan kepada orang itu, bahwa SMA IQRO AMAHOLU akan ungul dalam  kwalitas dan akan berbeda jauh dengan sekolah lainya yang ada di pesisir Humaual Barat ini. Tandas, lelaki yang akrap disapa ustat Harmin itu, dengan penuh semangat, mengingatkan.

Tatap muka perdana ini kemudian dilanjutkan dengan pembagian Kartu Tanda Peserta Tes kepada masing-masing siswa yang hadir dan diakhiri dengan foto bersama.

Share:

Bangun Gedung SMA Iqro Amaholu dari Kayu dan Papan

Meskipun belum mengantongi izin operasional sekolah, tetapi itu tak lantas menyurutkan semangat masyarakat Dusun Amaholu, Negeri Luhu, Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), untuk membangun gedung sekolah darurat, SMA IQRO Amaholu, dari kayu dan papan.

Panitia pebangunan SMA IQRO Amaholu, Riki Amin, S.Pd, kapada wartawan  mengungkapkan, pekerjaan satu bilik ruang kelas, dan ditambah satu bilik ruang guru ini, ditargetkan selesai hanya seminggu, sebab gedung sekolah ini, akan digunakan untuk kegiatan proses belajar mengajar usai peringatan hari kemerdekaan  Indonesia tanggal 17 Agustus nanti.

“Keinginan untuk membangun gedung sekolah ini datang dari masyarakat, jadi masyarakat menargetkan pekerjaan ini akan selesai hanya seminggu.” Kata, Amin, di Dusun Amaholu, Minggu, (09/08/2015).

Amin, menambahkan, berdirinya SMA IQRO Amaholu ini atas swadaya masyarakat. Karena itu, masyarakat berharap agar SMA IQRO ini, bisa secepatnya mendapatkan izin operasional dari dinas pendidikan. “Kami berharap kepada dinas pendidikan, bisa mengeluarkan ijin operasional untuk SMA Iqro Amaholu, agar proses pencerdasan anak bangsa di daerah kami yang tergolong terpencil itu, bisa berjalan baik. Ungkapnya.

Share:

Unordered List

3/sosial/post-list

Latest blog posts

3-latest-65px

BTemplates.com

3/sosial/col-right
Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Statistik Pengunjung

Ekonomi

3/ekonomi/col-left

Publikasi

3/publikasi/feat-list

Error 404

Sorry! The content you were looking for does not exist or changed its url.

Please check if the url is written correctly or try using our search form.

Recent Posts

header ads
Ag-Historis

Text Widget

Sample Text

Pengikut

Slider

4-latest-1110px-slider

Mobile Logo Settings

Mobile Logo Settings
image

Comments

4-comments

Budaya

budaya/feat-big

Subscribe Us

Recent Posts

sejarah/hot-posts

Pages

Popular Posts