Oleh: Kasman Renyaan
Program Studi IPS/Pendidikan Sejarah Program Pascasarja Universitas Negeri Makassar
Tugas Kuliah: Filsafat SejarahA. PENDAHULUAN
Perkembangan dan kemajuan peradaban
manusia dewasa ini, tidak terlepas dari
peran ilmu. Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu
sesungguhnya berjalan seiring dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu.
Tahap-tahap itu kita menyebut dalam konteks ini sebagai priodesasi sejarah
perkembangan ilmu; sejak dari zaman klasik, zaman pertengahan, zaman modern dan
zaman kontemporer. Kemajuan ilmu dan teknologi dari masa ke masa ibarat mata rantai
yang tidak terputus satu sama lain. Semua kemajuan tersebut adalah buah dari
perkembangan ilmu pengetahuan yang tak
pernah surut dari pengkajian manusia.
Pengetahuan berawal dari rasa ingin
tahu kemudian seterusnya berkembang menjadi tahu. Manusia mampu mengembangkan
pengetehuan disebabkan oleh dua hal utama; yakni, pertama manusia mempunyai
bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang
melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua, yang menyebabkan manusia mampu
mengembangkan pengetahuannya dengan cepat adalah kemampuan berfikir menurut
suatu alur kerangka berfikir tertentu, (Husnan Sulaiman, &
Munasir, 2009).
Berfikir juga memberi kemungkinan manusia
untuk memperoleh pengetahuan.
dalam tahapan selanjutnya pengetahuan itu dapat menjadi fondasi penting bagi
kegiatan berfikir yang lebih mendalam, (Maemunah Dawi, 2014:2). Filsafat itu
adalah sebuah proses berfikir, tetapi tidak semua berfikir bisa disebut
filsafat. Sebab, inti filsafat adalah pemikiran yang mengunakan nalar. Filsafat
juga dapat diisebut pandangan hidup seseorang atau kelompok orang yang
merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga
diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan
segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dalam segi yang luas yang
menyeluruh dengan segala hubungan, (Suwardi Endaswra, 2012:1).
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan
dan pemikiran manusia secara kritis dan
dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan
eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan
masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan
alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu
dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika, (Irmayanti Meliono,
dkk, 2007:1)
Berdasarkan
konsepsi tersebut di atas, maka penulis berpandangan bahwa filsafat itu sebagai
upaya menjinakan akal budi untuk hakekat akhir dan nyata yang ada. Bisa pula
diartikan, sebagai upaya spekulatif yang menyajikan pandangan yang benar,
sismatis, lengkap untuk seluruh realitas dunia dan isinya. Pandang dari filsafat
diamaksudkan agar setiap orang dapat bijaksana dalam memandang kebenaran ilmu
pengetahuan dengan akal dan pikiran mereka secara sehat. Pandangan yang
dimaksud dalam tulisan ini, bukan hanya filsafat dalam pandangan ilmu itu
sendiri, dalam hal spesifikasi filsafat
ilmu, tetapi akan dipandang pula dalam konteks filsafat sejarah.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Filsafat
Secara etimologi, kata filsafat berasal dari kata pilo atau filein yang berarti cinta, dan Sophia
atau shopos yang berarti
kebijaksanaan atau cinta kebenaran. Jadi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan
atau cinta kebenaran. Kebijaksanaan disini tidaklah mempunyai arti yang persis
sama dengan kebenaran dalam pengertian sehari-hari. Kebijaksanaan artinya
kebenaran yang diambil berdasarkan pertimbangan yang mendalam, sismatis, dan
komprehensip; kebenaran yang didalamanya ada unsur kearifan (wisdom); kebenaran yang tidak hanya
hasil pikiran yang jernih, tetapi juga dilandasi pertimbangan suara hati
(kalbu) atau insan kamil. Demikian pula dengan cinta. Cinta maksudnya ialah
menghendaki, ingin menyatu dengannya, bahkan merindukan dan melindunginya.
Sedangakan secara terminologi (istilah) sebagimana
yang dikemukanakan Poedjawijatna, bahwa filsafat adalah pengetahuan yang
berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatau yang
berdasarkan akal pikiran belaka.” Sementara itu, Hasbullah Bakry, mengatakan,
filsafat adalah sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang
mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia sehingga dapat
menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai
akal manusia, dan sikap manusia seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.”
(Abd. Rahman Pilang, 2003:1-2).
Dari kedua pendapat ahli tersebut menjelaskan suatu
hal yang penting bahwa filsafat adalah pengetahuan yang diperoleh dari berfikir.
Memang cirri khas filsafat adalah pengetahuan yang diperoleh dari berfikir
(yang logis, tetapi tidak empiris).
2.
Filsafat
Ilmu
Ilmu merupakan kata
yang berasal dari bahasa Arab, masdar dari ‘alima
– ya’lamu yang berarti tahu atau mengetahui, sementara itu secara istilah
ilmu diartikan sebagai Idroku syai bi
haqiqotih
(mengetahui sesuatu secara hakiki). Dalam
bahasa Inggeris Ilmu biasanya dipadankan dengan
kata science, sedang pengetahuan dengan knowledge.
Dalam bahasa Indonesia kata science(berasal
dari bahasa lati dari kata Scio, Scire
yang berarti tahu) umumnya diartikan Ilmu tapi sering juga diartikan
dengan Ilmu Pengetahuan, meskipun secara konseptual mengacu pada makna
yang sama.
Dalam kamus besar menguraikan Ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang
yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat
digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) itu.
Pada dasarnya filsafat ilmu merupakan kajian filosofis terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan ilmu, dengan kata lain filsafat ilmu merupakan upaya
pengkajian dan pendalaman mengenai ilmu (Ilmu Pengetahuan/Sains), baik itu ciri
substansinya, pemerolehannya, ataupun manfaat ilmu bagi kehidupan manusia.
Pengkajian tersebut tidak terlepas dari acuan pokok filsafat yang tercakup
dalam bidang ontologi, epistemologi, dan axiologi dengan berbagai pengembangan dan pendalaman yang dilakukan oleh para akhli, (Maemunah Dawi,
2014:77).
Ahmad
Supardi Hasibuan (2010), Filsafat Ilmu sebagaimana dimaksud di atas adalah
bertugas memberi landasan filosofis untuk minimal memahami berbagai konsep dan
teori sesuatu disiplin ilmu, sampai membekalkan kemampuan untuk membangun teori
ilmiah. Secara substantif fungsi pengembangan tersebut memperoleh pembekalan
dari disiplin ilmu masing-masing, agar dapat menampilkan substantif.
Selanjutnya secara teknis diterapkan dengan dibentuk metodologi, pengembangan
ilmu dapat mengoperasionalkan pengembangan konsep tesis, dan teori ilmiah dari
disilpin ilmu masing-masing.
Dengan
demikian maka Filsafat Ilmu akan sangat menambah wawasan bagi yang
menggelutinya, artinya orang yang mendalami filsafat ilmu akan berwawasan luas,
baik dalam arti filosofik, teoritik, metodologic, maupun teknis operasional.
3.
Filsafat Sejarah
Dikatakan oleh Ibn Khaldun bahwa dalam hakekat
sejarah, terkandung pengertian observasi
(nadzar), usaha untuk mencari kebenaran (tahqiq), dan keterangan yang mendalam
tentang sebab dan asal benda maujudi, serta pengertian dan pengetahuan tentang
substansi, essensi, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa. Dengan demikian,
sejarah benar-benar terhunjam berakar dalam filsafat, dan patut dianggap
sebagai salah satu cabang filsafat.
Selanjutnya pada bagian yang lain, yaitu pada bagian
satu kitab al-Ibar, Ibn Khaldun mengatakan: Ketahuilah, bahwa
pembicaraan tentang persoalan ini adalah barang baru, luar biasa, dan sangat
berguna. Penelitian dan penyelidikan yang mendalam telah menemukan ilmu
tersebut. Ilmu pengetahuan ini tidak ada hubungannya dengan sama sekali dengan
retorika, yaitu seni bicara yang meyakinkan dan berguna untuk mempengaruhi
orang banyak. Juga tidak ada hubungannya dengan ilmu politik, sebab ilmu
politik berbicara tentang mengatur rumah tangga atau kota, sesuai dengan ajaran
etika dan hikmah-hikmah kebijaksanaan, supaya masyarakat mau mengikuti jalan
menuju ke arah pemeliharaan keturunan. Dua jenis ilmu pengetahuan ini memang menyerupai
ilmu pengetahuan kita ini dalam soal yang dibahasnya, tetapi kedua pengetahuan
itu berbeda dengannya. Ia agaknya ilmu yang baru tumbuh. Sungguh aku belum
pernah tahu seorang pun pernah membincangkannya dengan berbagai aspek yang
dimilikinya (Ibn Khaldun, 1986: 63). Ilmu baru yang dimaksudkan oleh Ibn
Khaldun, seperti dikatakan Zainab al-Khudairi adalah filsfat sejarah, yang di
Eropa baru dikenal beberapa abad kemudian. Memang cikal bakalnya telah bersemi
sejak zaman purba, misalnya dalam karya Aristoteles, Politics dan karya
Plato Republic, akan tetapi bahkan termino-loginya sendiri terumuskan
baru pada abad ke delapan belas (Zainab al-Khudairi, 1987: 43).
Filsafat Sejarah, dalam pengertian yang paling
sederhana, seperti dikemukakan oleh al-Khudairi adalah tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa historis secara filosofis untuk
mengetahui faktor-faktor essensial yang mengendalikan perjalanan
peristiwa-peristiwa historis itu, untuk kemudian mengikhtisarkan hukum-hukum
umum yang tetap, yang mengarahkan perkembangan berbagai bangsa dan negara dalam
berbagai masa dan generasi (Zainab al-Khudairi, 1987: 54).
Ada beberapa penulis yang berpendapat bahwa sejarah berjalan sesuai dengan suatu kerangka
tertentu dan bukannya secara acak-acakan, dan filsafat sejarah adalah
upaya untuk mengetahui kerangka tersebut yang diikuti sejarah dalam
perjalanannya, atau arah yang ditujunya, atau pun tujuan yang hendak
dicapainya. Menurut F. Laurent, sebagaimana dikutip al-Khudairi, menyatakan
bahwa sejarah tidak mungkin hanya merupakan
seperangkat rangkaian peristiwa yang tanpa tujuan atau makna. Dengan
demikian, sejarah sepenuhnya tunduk
kepada kehendak Tuhan seperti halnya peristiwa-peristiwa alam yang
tunduk pada hukum-hukum yang mengendalikannya.
Sementara itu, menurut W.H. Walsh (W.H. Walsh, 1967:
16) dalam bukunya yang berjudul An Intoduction to Phillosophy of History,
menyatakan bahwa sebelum mendefinisikan filsafat sejarah hendaknya
memperhatikan pengertian kata sejarah. Sejarah kadang-kadang diartikan sebagai
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada
masa lalu (the totality of past human actions) atau history as
past actuality, dan kadang-kadang diartikan pula dengan penuturan kita tentang pertistiwa-peristiwa
tersebut (the narrative or account we construct of them now) atau
history as record. Namun demikian, hingga abad XIX, apa yang disebut
Walsh sebagai filsafat sejarah spekulatif pada dasarnya adalah
satu-satunya filsafat sejarah.
Dua arti dari kata sejarah tersebut penting karena
dengan demikian membuka dua kemugkinan terhadap ruang lingkup atau bidang
kajian filsafat sejarah.
Pertama,
adalah suatu studi dalam bentuk kajian sejarah
tradisional, yaitu perjalanan sejarah dan perkembangannya dalam
pengertian yang aktual.
Kedua, adalah suatu studi mengenai
proses pemikiran filosofis tentang
perjalanan dan perkembangan sejarah itu sendiri.
Dalam kasus yang kedua, filsafat sejarah mengandung arti studi mengenai jalannya peristiwa
sejarah, atau studi terhadap asumsi dan metode para sejarawan. Ketika seseorang
berpikir tentang asumsi dan metode para sejarawan, kata Walsh,
maka ketika itu ia sedang bergumul dengan filsafat sejarah kritis atau analitis.
Dalam kaitan dengan filsafat sejarah ini, pembagian Walsh ke dalam filsafat
sejarah kritis dan spekulatif telah diterima secara luas (Marnie
Hughes-Warrington, 2008: 660).
Dari segi yang lain, filsafat sejarah berupaya
menemukan komposisi setiap ilmu pengetahuan dan pengalaman umum manusia. Di
sini perhatian lebih diarahkan pada kesimpulan dan bukannya pada penelitian
tentang metode atau sarana-sarana yang digunakan seperti yang digunakan dalam
metode analitis filsafat. Dalam kegiatan konstruktif, filosof sejarah bisa
mencari pendapat yang paling komprehensif yang bisa menjelaskan tentang makna
hidup dan tujuannya.
4.
Filsafat
Ilmu Dalam Kontek Filsafat Sejarah
Filsafat
Ilmu memiliki empat obyek telaahan. Dua obyek menelaah substansinya, dan dua
obyek lainnya menelaah instrumentasinya. Dua yang pertama (telaah substansi)
adalah Fakta atau kenyataan; dan kebenaran. Sedangkan dua yang terakhir (telaah
instrumentasi) adalah Uji konfirmasi; dan Logika Inferensi.
Telaah
subtansi dalam filsafat ilmu yang dimaksukan adalah fakta atau kenyatan dan
kebenaran, juga menjadi bagian dari telah filsafat sejarah. Antara filsafat
ilmu dan filsafat sejarah kedua-duanya mengaji tentang alam, manusia, dan
segala tindakanya. Sebuah fakta yang bisa dijadikan sumber kebenaran sejarah
dan dapat menjadi ilmu pengetahuan, jika telah mempunyai metode dan metodologi.
Olehnya itu, suatu ilmu dalam pandangan filsafat bila memenuhi
tiga kreteria:
Pertama,
aspek antologi, yakni berkaitan dengan hakekat yang dikaji dalam objek formal
dan objek material. Objek formal ialah manusia. Apapun yang dilakukan manusia
adalah objek material. Sama seperti halanya dalam kajian sejarah objeknya
adalah manusia dan tindakanya.
Kedua,
aspek epistimologi yakni, yakni cara mendapatkan pengetahuan. Rekonstruksi
mengenai kejadian dimasa lampau dilakukan secara sismatis melalui heuristic,
kritik (internal dan ekternal), interpertasi, dan histografi. Cara atau metode
ini tidak dapat saling dipertukakarkan urutan kerjanya. Dengan cara itu,
rekonstruksi masa lalu dapat dilakukan.
Ketiga,
aspek
aksiologi guna atau manfaat suatu pengetahuan yang dikatakan sebagai suatu
ilmu. Tujuan suatu ilmu dalam krangka ini bukan semata untuk ilmu itu sendir,
melaingkan lebih luas yakni dapat member manfaat bagi kepentingan kemanusiaan.
Apek ini sering menjdi bahan perdebatan, bahwa masa lalu kurang atau bahkan
tidak punya konstribusi terhadap masa depan unmat manusia, (Abdurahman Hamid
& Muhamad Saleh Majid, 2011: 86).
Ilmu sejarah dan ilmu filsafat
merupakan dua ilmu yang berbeda, akan tetapi keduanya saling membutuhkan satu
sama lain, ilmu sejarah berbicara mengenai masa lalu, sedangkan ilmu filsafat
berbicara mengenai bagaimana berfikir secara rasional, analisis dan kritis,
kedua ilmu ini akan sangat bersinergi dalam memecahkan masalah-masalah yang
bermunculan di zaman kontemporer ini, ilmu sejarah memberikan gambaran dari masa
lalu, yang mana pada masa lalu pernah terjadi bebagai macam
persoalan-persoalan, baik persoalan yang meliputi masalah politik,
pemerintahan, masalah sosial, ekonomi maupun masalah yang bersifat religius
Sebahagian orang mengharapkan masa lalu dapat menjelaskan atau bahkan
memberikan pembenaran terhadap apa yang terjadi sekarang, sebahagian yang lain
berharap, dari sejarah dapat dicari akar-akar identitas bahkan orientasi kemasa
depan, harapan ini termasuk fungsi sosial dari sejarah yaitu“ mengorganisasi masa
lalu sebagai fungsi dari masa sekarang”
Ilmu filsafat memberikan sentuhan pemikiran yang
mendorong manusia untuk berfikir secara kritis setiap kejadian sejarah yang
kemudian menjabarkan bagaimana menjadikan masa lalu tersebut menjadi sebuah
ibrah atau pelajaran dimasa sekarang yang terkait dengan permasalah yang tidak
jauh berbeda dengan yang terjadi pada masa lampau, dengan demikin manusia mampu
memetik sebuah pesan kontemporer dalam rangka membina kehidupan manusia moderen
yang ideal.
Dengan demikian kita bisa mengambil sebuah
kesimpulan bahwa tugas filsafat dalam sejarah adalah menggerakkan pemikiran
manusia agar merekontruksi masa lalu sebagai pelajaran atau hikmah dimasa
sekarang, dan merancang masa depan.
Menurut Murtadha
Mutahhari (1986:65), sejarah dapat didefinisikan dalam tiga cara:
Pertama,
pengetahuan tentang kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa, dan keadaan-keadaan
kemanusiaan di masa lampau dalam kaitannya dengan kejadian-kejadian masa kini.
Semua situasi, keadaan, peristiwa, dan episode yang terjadi pada masa kini,
dinilai, dilaporkan, dan dicatat sebagai hal-hal yang terjadi hari ini oleh
surat kabar-surat kabar. Namun demikian, begitu waktunya berlalu, maka semua
hal itu larut bersama masa lalu dan menjadi bagian sejarah. Jadi, sejarah
adalah pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa, kejadian-kejadian, dan
keadaan-keadaan kemanusiaan di masa lampau. Biografi-biografi, catatan-catatan
tentang peperangan dan penaklukan, dan semua babad semacam itu, yang disusun
pada masa lampau, atau di masa kini, adalah termasuk dalam kategori ini.
Pengertian sejarah seperti dikemukakan di atas,
apabila ditelusuri lebih jauh meliputi empat hal: (1) sejarah merupakan
pengetahuan tentang sesuatu berupa pengetahuan tentang rangkaian episode
pribadi atau individu, bukan merupakan pengetahuan tentang serangkaian hukum dan hubungan umum; (2) sejarah merupakan suatu telaah atas
riwayat-riwayat dan tradisi-tradisi, bukan merupakan disiplin rasional; (3)
sejarah merupakan pengetahuan tentang mengada (being), bukan pengetahuan
tentang menjadi (becoming); dan (4) sejarah berhubungan dengan masa
lampau, bukan masa kini. Tipe sejarah ini menurut Mutahhari disebut sebagai sejarah tradisional (tarikh
naqli) atau sejarah yang ditransmisikan (transmitted history).
Kedua,
sejarah merupakan pengetahuan tentang hukum-hukum
yang tampak menguasai kehidupan masa lampau, yang diperoleh melalui
penyelidikan dan analisis atas peristiwa-peristiwa masa lampau. Dalam hal ini,
bahan-bahan yang menjadi urusan sejarah tradisional, yakni peristiwa-peristiwa
dan kejadian-kejadian masa lampau, adalah bahan dasar untuk kajian ini. Kajian
atau telaah terhadap sejarah dalam pengertian ini, yang berupa
peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian, adalah sama halnya dengan
bahan-bahan yang dikumpulkan oleh seorang ilmuwan, yang selanjutnya dianalisis
dan diselidiki di laboratorium guna menemukan hukum-hukum umum tertentu.
Sejarawan dalam upaya menganalisis ini, berusaha mengungkapkan
sifat sejati peristiwa-peristiwa sejarah tersebut serta hubungan sebab-akibatnya,
dan akhirnya dapat menemukan hukum-hukum yang bersifat umum dan berlaku pada
semua peristiwa yang serupa. Sejarah dalam pengertian ini menurut Mutahhari
disebut sebagai sejarah ilmiah.
Meskipun obyek penelitian dan bahan pokok sejarah
ilmiah adalah episode-episode dan peristiwa-peristiwa masa lampau, tetapi
hukum-hukum yang disimpulkannya tidak hanya terbatas pada masa lampau.
Hukum-hukum tersebut dapat digeneralisasikan
sehingga dapat diterapkan pada masa kini dan mendatang. Segi sejarah ini
menjadi sangat bermanfaat dan menjadi salah satu sumber pengetahuan bagi
manusia untuk memproyek-sikan dan memperkirakan masa depan.
Perbedaan tugas seorang peneliti dalam bidang
sejarah ilmiah dan tugas seorang peneliti dalam ilmu pengetahuan alam sangat
jelas. Bahan penelitian seorang ilmuwan dalam bidang kealaman adalah berupa
rantai kejadian nyata dan dapat dibuktikan. Oleh karena itu, seluruh
penyelidikan, analisis, dan hasilnya, dapat dilihat. Sementara itu, bahan
kajian penelitian seorang sejarawan ada di masa lampau dan tidak ada di masa
sekarang. Bahan yang dikaji seorang sejawaran adalah setumpuk catatan tentang
rangkaian peristiwa masa lampau. Seorang sejarawan adalah seperti seorang hakim
di pengadilan, yang memutuskan suatu perkara atas dasar bukti-bukti dan
petunjuk-petunjuk yang ada padanya.
Dengan demikian, analisis seorang sejarawan bersifat
logis dan rasional, bukan berdasarkan bukti-bukti dari luar yang dapat diuji
kebenarannya. Seorang sejarawan melakukan analisisnya di laboratorium pikiran
dan akalnya, dengan peralatan logika dan penyimpulan, bukan di laboratorium
fisik lahiriah dengan penelitian observasi dan pengukuran. Karena itu,
pekerjaan seorang sejarawan lebih dekat dengan pekerjaan seorang filosuf
ketimbang pekerjaan seorang ilmuwan. Apa yang dikatakan Mutahhari ini sejalan
dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Croce ketika mengatakan bahwa sejarah adalah bentuk tertinggi dari filsafat.
Bagi Croce, perbuatan berpikir adalah
filsafat dan sekaligus sejarah pada waktu yang bersamaan. Karenanya,
sejarah identik dengan tindakan berpikir itu sendiri. Dari paradigma ini
kemudian lahirlah rumusan tentang identiknya
sejarah dengan filsafat (Ahmad Syafii Maarif, 2003: 35).
Ketiga,
filsafat sejarah (kesejarahan) didasarkan pada pengetahuan tentang
perubahan-perubahan bertahap yang membawa masyarakat bergerak dari satu tahap
ke tahap yang lain. Filsafat sejarah membahas tentang hukum-hukum yang menguasai perubahan-perubahan ini. Dengan kata
lain, filsafat sejarah adalah ilmu tentang proses menjadinya (becoming)
masyarakat, bukan hanya tentang maujudnya (being) saja.
Spengler
Toynbee mengemukakan sejarah sebagai perkembangan yang
sesuai dengan putaran-putaran perubahan yang tetap dan selalu kembali,
sementara sejarawan lain mengatakan sejarah sebagai suatu keseluruhan laporan
mengenai masa lalu manusia yang memperlihatkan bahwa masa lalu tersebut
membentuk diri sesuai dengan prinsip-prinsip tertentu yang sah secara
universal. Pendapat lain tentang sejarah dikemukakan oleh Hugiono dan
Poerwantara bahwa dalam penulisan sejarah perlu dibedakan terlebih dahulu
antara sejarah dalam kerangka ilmiah, dan sejarah dalam kerangka filosofis.
Sejarah dalam kerangka ilmiah adalah sejarah sebagai ilmu, artinya sejarah
sebagai salah satu bidang ilmu yang meneliti dan menyelidiki secara sistematis
keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan di masa lampau beserta
seluruh kejadian-kejadian, dengan maksud untuk menilai secara kritis seluruh
hasil penelitian dan penyelidikan tersebut, untuk akhirnya dijadikan pedoman
bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah program masa depan.
C.
KESIMPULAN
Pada
dasarnya manusia adalah makhluk berfikir, dan berpengetahuan, dengan fikiranya
manusia mendapatkan ilmu, dan dengan kehendaknya manusia memperoleh pengetahuan.
Berfikir merupakan cara manusia mendapatkan ilmu dan pengetahuan. Filsafat
adalah hasil dari berfikir. Namun tidak semua berfikir bisa disebut filsafat.
Karena filsafar adalah berfikir dengan mengunakan nalar. Untuk mengkaji ilmu
diperlukan filsafat ilmu. Sebab filsafat
ilmu merupakan
kajian filosofis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ilmu, dengan kata lain
filsafat ilmu merupakan upaya pengkajian dan pendalaman mengenai ilmu (Ilmu
Pengetahuan/Sains), baik itu ciri substansinya, pemerolehannya, ataupun manfaat
ilmu bagi kehidupan manusia. Pengkajian tersebut tidak terlepas dari acuan
pokok filsafat yang tercakup dalam bidang ontologi,
epistemologi, dan axiologi dengan berbagai pengembangan
dan pendalaman yang dilakukan oleh para
akhli.
Filsafat ilmu dalam kontek filsafat sejarah akan sangat berguna untuk
membantu sejarawan dan ahli sejarah untuk berfikir bijakasana dan mencintai
kebenaran dalam mengaji fakta dan data yang diperoleh dilapangan, sehingga
waktu lampau yang tidak dilihat secara langsung, bisa dianalisis dan ditulis
sesuai fakta dan data yang diperoleh. Mengikuti suara hati (qalbu), agar tidak
terjebak dengan unsur subjuktifitas demi melegitimasi kekuasaan tertentu. Hal
ini sengat penting dan berguna demi pengembangan ilmu pengetahuan pada masa
sekarang dan dimasa depan. Dengan demikian, analisis seorang sejarawan
atas data dan fakta harus bersifat logis dan rasional, bukan berdasarkan
bukti-bukti dari luar yang tidak dapat diuji kebenarannya. Seorang sejarawan
melakukan analisisnya di laboratorium pikiran dan akalnya, dengan peralatan
logika dan penyimpulan, bukan di laboratorium fisik lahiriah dengan penelitian
observasi dan pengukuran. Karena itu, pekerjaan seorang sejarawan lebih dekat
dengan pekerjaan seorang filosuf ketimbang pekerjaan seorang ilmuwan.
DAFTAR PUSTAKA
Endaswra, Suwardi, 2012. Filsafat Ilmu Konsep, Sejarah, dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan,
Jogjakarta: (Cet-1), Caps.
Dawi Maemunah, 2014. Bahan Kuliah
filsafat Ilmu,
Makassar: Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar, tidak diterbitkan.
Hamid,
Abdurahman & Muhamad Saleh Majid, 2011. Pengangar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: (Cet-1), Ombak.
Hasibuan
Supardi Ahmad, 2010. Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu, Artikel,
Tidak diterbitkan.
Mutahhari, Murtadha,
1986. Masyarakat dan Sejarah Kritik Islam
dan Masrxisme dan Teori Lainya, Bandung: Mizan.
Pilang, Abd. Rahman, 2003. Filsafat Ilmu, Makassar: Badan Penerbit UNM.
Irmayanti Meliono, dkk. 2007. MPKT
Modul 1. Jakarta: Lembaga Penerbitan FEUI.
Walsh, W.H. 1967. An Intoduction to the
Phillosophy of History, London:
Hutchinson.
Zainab
Al Khudairi, 1987. Filsafat Sejarah Ibn
Khaldun, terj. Ahmad Rofi Usmani 2011. Bandung: Pustaka, dalam Ajat
Sudrajat, Diktat Filsafat Sejarah, ,Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta.













