Menyajikan Data Mengungkap Fakta Menjadi Sejarah

Sejarah

3/sejarah/post-list

Sejarah Kampung Saluku: Satu Kali Tinggal





Penulis : Kasman Renyaan
(Mahasiswa Pendidikan Sejarah pada PPS (S2) UNM

 Istilah Saluku diambil dari bahasa Cia-cia. Akar kata “Sa” dan “Luku.” Sa, berarti “satu” dan “luku” artinya tinggal. Saluku mengandung makna “’satu kali tinggal.” Ungkapan Saluku, dimaksudkan untuk mereka yang tinggal di kampung ini, baik penduduk setempat maupun pendatang, kemudian menikah di Saluku akan tetap berkeinginan untuk tinggal (menetap) di kampung ini. Selain itu, nama Saluku juga dimaksudkan kepada orang lain (pendatang), bila mereka datang ke kampung ini, akan tetap berkeinginan terus-menerus tinggal di kampung ini. Maksudnya, ia akan mempunyai keinginan kuat untuk tetap menetap di Saluku. Ketika orang itu pergi meninggalkan kampung ini, maka ia akan terus mengingatnya dan akan berusaha untuk kembali lagi di lain waktu.
Tidak ada catatan tertulis yang bisa mengungkapkan secara pasti kapan sebenarnya orang Buton bermukim di sini? Namun, dari sejumlah informasi yang direkam peneliti di Saluku terungkap, kedatangan orang tua mereka di kampung ini, pada awalnya hanya beberapa orang tua  saja. Mereka termasuk kelompok awal yang mendiami Saluku, Haji Abdurahman, Haji Usman, Bapa Sangkati, Bapa Pasamba, dan Haji Adam. Meskipun mereka sama-sama berasal dari Tawolio (tanah Wolio), Buton, Sulawesi Tenggara, akan tetapi daerah asal mereka berbeda-beda. Sebut saja, Haji Abdurahman, dan Haji Usman dari Holimombo. Sedangkan bapa Sangkati, dan bapa Pasamba dari Kasse, serta Haji Adam dari Buton Wagola.
Kelima orang tua Buton itu, jelas berasal dari daerah yang berbeda, tetapi perbedaan itu, menyatukan mereka dalam semangat sabangka-asarope (teman dan satu tujuan), ketika mereka berlayar dari Buton ke Seram Barat  dalam satu bangka. Kedatangan mereka ke Seram Barat didorong oleh keinginan untuk mencari ikan. Mereka yang datang ini, berniat akan mencari ikan dengan cara memasang alat tangkap kantano (Bubu), di laut dangkal pesisir SBB. Akan tetapi, di daerah yang dijumpai itu, ternyata kondisi alamnya terlihat subur dan menjanjikan masa depan, sehingga menarik mereka dan berkeingginan untuk hidup menetap di SBB. Keinginan itu, diwujudkan dengan dibentuknya perkampungan Saluku.
Sebelum memilih pemukiman di Saluku, kelompok ini menetap di Saluta, Waelapia. Namun mereka tidak bertahan lama di kampung itu, dan pindah lagi  ke kampung tetangganya, Liaela. Karena terjadi keselapahaman diantara mereka dengan para orang tua, kelompok ini pindah lagi ke wilayah utara Kampung Liaela, yakni lokasi yang disebut Wahawai. Dalam perkembangan kemudian, mungkin melihat kondisi pemukiman yang dirasa sempit dan kurang cocok, mereka bergeser lagi ke suatu tempat yang lokasinya kurang lebih setengah kilo ke arah utara dari Wahawai. Tempat inilah yang dinamai dengan Saluku, yang berarti “satu kali tinggal” untuk selamannya.
Saluku, adalah nama yang mengadung makna filsofis tentang kelangsungan penduduk yang hidup di kampung itu. Pemberian nama ini atas dasar musyawarah dan kesepakataan bersama, antara beberapa orang tua dari Luhu yang mempunyai lahan di wilayah  itu, dengan kelompok awal orang Buton selaku orang yang membongkar lahan perkampungan tersebut. Orang Luhu menyebut “Saluku” dengan kata Salu’u. Akar kata Sa, dan Lu’u. Kata Sa, berarti satu, sedangkan Lu’u, berarti potong, jadi Salu’u berarti “satu kali potong.” Maksud dari ungkapan tersebut, yakni kepada siapa pun yang datang mengugat tempat ini (Saluku), selain orang Luhu, akan dipotong hingga satu kali potong langsung meninggal.
Beberapa orang tua Buton kelompok awal yang mendiami kampung ini, mengusulkan agar nama tersebut diganti dengan Saluku, yang berarti “satu kali tinggal.” Maksudnya, mereka tinggal sampai selamannya di kampung ini. Menurut mereka, kata Salu’u dianggap mengandung arti kurang baik, bagi kelangsungan kehidupan generasi mereka kelak di kampung itu. Alhasil, Saluku disepakati dan ditetapkan menjadi nama kampung mereka. Dalam kesepakatan itu, orang Luhu akan tetap menyebut Saluku dengan Salu’u, dan bagi orang Buton, akan menyebut tempat tinggal mereka dengan Saluku, hingga sekarang.
Berdasrkan ingatakan kolektif masyarakat di kampung Saluku, lokasi kampung ini disaat pembongkaran lahan di penuhi pepohonan beringin. Pohon yang ketika itu, diyakini sebagai tempat bersarangnya Mahluk halus (setan). Karena itu, sebelum di mulainya pembabatan semak-belukar yang tubuh liar lokasi dikampung ini, beberapa orang tua dari Buton, melakukan ritual pikadawu (memberikan sejajian) yang diyakini bisa mengusir mahkluk halus di kampung itu. Usai ritual, barulah pembongkaran lahan di lakukan. Kemudian beberapa orang tua dari Luhu (pemilik lokasi Saluku), bersepakat untuk tinggal bersama di kampung hingga generasi mereka sekarang. Itulah sebabnya, orang tua di Saluku banyak yang bisa berbahasa Negeri Luhu, hingga sekarang (Abdin Kiat, & Gardo, Wawancara, 15 Agustus 2015).
Berdasarkan gambaran tersebut dapat disimpulkan yaitu, Pertama; kehidupan masyarakat di Kampung Saluku bergantung pada sektor laut, ini didasarkan pengelaman sejarah kampung itu, bahwa kedatangan orang tua mereka dahulu, mulanya dengan tujuan mencari ikan. Kedua; para nelayan mulai kesulitan mendapatkan ikan di laut kampung mereka, sehingga memaksa mereka untuk hijrah ke kampung lain. Ketiga; Kampung Saluku, didirikan oleh ke lima orang Buton, diantaranya Haji Abdurahman, Haji Usman, Bapa Sangkati, Bapa Pasamba, dan Haji Adam. Berdasarkan komunikasi yang dibangun antara orang Luhu (penduduk lokal), yang mempunyai lahan di lokasi itu dengan orang Buton yang membongkar lahan pemukiman, atas persetujuan orang Luhu. Kempat; nama Saluku yang melekat pada kampung itu, disetujui atas dasar musyawarah mufakat, Saluku berati satu kali tinggal. Karena itu, orang lain yang mengugat kampung ini selain orang Luhu, maka tetap Saluku “Satu Kali Potong.”Kelima, sifat kebersamaan itu membuat mereka hidup bersama dalam satu ikatan basudara (kekeluargaan), antara orang Luhu dan orang Buton, Saluku. Karena itu, komunikasi budaya diantara keduanya tercipta dengan baik, banyak orang tua di kampung ini, bisa berbahasa Luhu.
Saluku kini merupakan salah satu diantara puluhan kampung Buton, yang secara administrasi berstatus dusun petuanan Negeri Luhu, Kecamatan Huamual, Kabupaten SBB. Terletak kurang lebih sekitar 2 km, dari desa induk. Setiap hari penduduk dari kampung ini, sering pulang dan pergi menjajakan dagangannya, berupa ikan dan sayur-sayuran ke Ambon dan ke pasar Negeri Luhu. Kampung yang mayoritasnya beretnik Buton Cia-cia ini, diapit oleh beberapa kampung Buton lainnya. Di bagian selatan terdapat Kampung Leiela, sementara di utara berbatasan dengan Kampung Warau, dan Luhu Lama. Meskipun diantara kampung-kampung Buton tersebut dipisahkan oleh tanjung yang berbatu-karang, tetapi tak lantas membatasi ruang gerak penduduknya berjalan kaki untuk berpergian di tetangga kampung mereka, baik untuk menjajakan ikan hasil tangkap para nelayan, atau hanya sekedar baronda (jalan-jalan). Terlebih lagi, bila ada acara sukuran keluarga. Saling mengunjunggi diantara mereka sudah menjadi kebiasan sejak dahulu.
Disekitar tanjung perbatasan antara Kampung Saluku dengan beberapa kampung Buton lainnya itu, terdapat banyak perkebunan ubi kayu. Hamparan pepohonan kelapa, ketapang, tumbuh subur disepanjang pesisir pantai. Di bagian timur kampung ini, berhadapan langsung dengan laut Jazirah Leihitu, Pulau Ambon. Di sebelah barat, dihubungkan oleh pegunungan Saluku dengan Kampung Hatawano, sebagian Asam Jawa, dan sebagian lagi Batulubang, kawasan pesisir barat Hoamual. Dipegunungan itu, terdapat banyak perkebunan cengkeh milik warga Saluku, yang  berbatasan dengan perkebunan cengkeh milik kampung lain. Di setiap perbatasan cengkeh mereka, masing-masing ditanami pepohonan liar, sebagai penanda kintal (arel) perkebunan. Setiap warga Saluku mempunyai lahan cengkeh, pala, coklat, dan jenis tanaman jangka panjang lainnya.
Bagi masyarakat Saluku yang hendak berpergian ke kampung-kampung yang berada di barat Hoamual, terkadang menempuh jalur darat dengan berjalan kaki, memanjat pegunungan, melewati gungung melintang, terus berjalan menurun ke Kampung Hatawano, Asamjawa atau Batulubang. Tergantung di mana tujuan mereka berpergian. Biasanya juga ada dari mereka yang berjalan kaki melewati pegunungan Luhu dan turun ke Kampung Amaholu Los. Bagi penduduk kampung tersebut mengangap“Hangka kake” (berjakan kaki) ke kampung-kampung sebelah (barat Huamual) itu, dianggapnya dekat, demikian sebaliknya. Namun, apabila memilih jalur laut, trasportsi Joson (Pentura), spit boat, atau katinting menjadi kenderaan penghubung. Jalur ini melewati Tanjung Sial, Semenajung Hoamual, dengan waktu tempuh kurang lebih, 1-2 jam.
Bagi masyarakat di kampung ini, pekerjaan sebagai pelaut merupakan pekerjaan unggulan para lelaki. Mulai anak remaja putus sekolah hingga orang tua, memilih hidup sebagai nelayan. “Buang jareng dapat uang cepat. Kalau rezeki, semalam saja kita bisa meghasilkan uang ratusan ribu rupiah. Itu masih uang saku, belum terhitung yang lain.” Demikian kata La Ian (Wawancara di Saluku Agustus 2015). Anak muda tamatan SMA ini, tidak mau melanjutkan pendidikannya dan memilih bekerja sebagai kariawan Jareng Bobo (pukat tarik), karena menurutnya, dengan bekerja sebagai nelayan, dia bisa punya penghasian sendiri.
Untuk perempuan khususnya para ibu rumah tangga, bekerja di kebun dan membantu menjajakan ikan hasil tangkapan anak atau suami mereka ketika kembali dari melaut. Aktifitas mereka dikenal dengan istilah jibu-jibu (perempuan yang menjual ikan). Pemasaran hasil tangkapan itu, biasa dibawa ke pasar Luhu, tetapi ada pula yang menjualnya ke kampung-kampung tetangga terdekat. Namun, jika hasil dari tangkapan para nelayan itu sudah berkelebihan, pasar Hitu atau Hila menjadi alternatif pemasaran. Untuk sampai ke jazirah Lehitu itu, apabila menggunakan jonson (pentura) atau spit boat kurang lebih 30 menit. Itulah sebabnya, ikan yang di jual ke kota pelabuhan itu, adalah ikan-ikan segar, sehingga ketika di lelang langsung ditangani oleh para pemborong di sana. Jarak tempuh itu, sama dengan menggunakan trasportasi spit boat ketika penduduk Saluku hendak berpergian ke kota Ambon melalui pelabuhan Tahoku-Hila.
Seiring berjalannya waktu hasil tangkapan para nelayan mulai berkurang. Dalam semalam kadang hasil tangkap yang di bawah pulang pun tidak seberapa, sehingga membuat nelayan-nelayan itu mengambil inisiatif untuk menyebrang ke kampung lain. Di utara Pulau Buano, Dusun Naselan (Buton Tomia), menjadi pangkalan baru  para nelayan itu, mencari ikan. Mereka bertahan hingga berberbulan-bulan lamanya, demi mendapatkan hasil tangkapan yang lebih dari sebelumnya. Para nelayan dari Saluku tersebut, biasanya kembali ke kampung halamannya, apabila  ada kebutuhan yang dianggap penting dan mendesak, seperti anak dan istri mereka sakit, memperbaiki pagar kebun, atau ketika momentum Ramadhan dan waktu Lebaran tiba. Setelah itu, mereka kembali lagi ke Buano-Naiselan. Kalau ada diantara mereka ada yang pulang ke kampung halamannya, kiriman uang dan ikan dititipkan kepada anak istri mereka.
Begitulah pekerjaan para nelayan di Kampung Saluku. Meskipun mereka bekerja sebagai nelayan, tetapi mereka juga mempunyai lahan pertanian cengkeh, pala, kakao dan tanaman jangka panjang lainnya. Hamota (kebun), usai dikerjakan dan ditanami berbagai tanaman pangan. Ditinggalkanya kepada istri-istri mereka di rumah untuk merawatnya dan menjaganya, sehingga walaupun tidak ada suami mereka yang menjadi kepala rumah tangga, para istri bisa menghidupi anak-anak mereka dari hasil tanaman yang di tinggalkan oleh suaminya itu. Para suami fokus dengan pekerjaan melaut. Penghasilan yang diperoleh dari usaha melaut dan berkebun, digunakan untuk biaya hidup dan kebutuhan pendidikan anak mereka. (***)

Wawancara:  A.K, dan G.R, di Dusun Saluku, 15 Agustus 2015.




Share:

Mengukir Kisah Kampung Asamjawa di Pantai Barat Seram

 Penulis: Kasman Renyaan


Tradisi Lisan : Sejarah Masyarakat Kecil

Merekontruksi sejarah kampung atau sejarah masyarakat akar rumput (baca politik), akan sulit ditemukan dalam dokumen tertulis. Tentang apa yang dilakukan di masa lampau, tidak ditulis lalu disimpan sebagai dokumen sejarah. Selain para pelakunya tidak memiliki kepandaian menulis, juga dianggap oleh kebanyakan orang tidak penting untuk dilukiskan dalam catatan sejarah. Sebuah kampung akan dianggap penting dan banyak orang yang tertarik untuk menelusuri jejak sejarahnya apabila kawasan tersebut menjadi titik pusat pusat pemerintahan di masa lampau, atau menjadi tempat lahir para pejuang, ilmuan, tokoh-tokoh besar yang berpengaruh dalam perkembangan kehidupan umut manusia. Konsep inilah yang disebut “peminggiran sejarah.” Padahal setiap orang atau tempat tertentu pastinya memiliki sejarah. Karena itulah, pintu masuk untuk merekontrusi sejarah kampung dan orang kampung mengunakan pendekatan sejarah lisan atau tradisi lisan yang hidup pada masyarakat pendukunnya. Pasalnya tentang apa yang dilakukan oleh generasi pertama di kampung itu, biasanya hanya terekam dalam memori kolektif masyarakatnya. Kisah dan peristiwa masa lalu yang terjadi kampung itu, bisanya disampaikan oleh masyarakatnya lewat tuturan lisan yang terus disampaikan dari generasi kegenerasi, baik memalui cerita rakyat, mitos, legenda atau jenis lain yang hidup sebagai kebudayaan masyarakat. Karena bagi mereka itulah  Sejarah (lisan).

Mengenal istilah Kampung

Kampung Asamjawa merupakan salah satu kampung Buton di pesisir pantai Barat Seram Maluku. Dalam tradisi lisan mengisahkan bahwa di kawasan kampung ini dahulu tumbuh sebuah pohon besar asam atau asem. Pohon yang jenis buahnya masam, rasanya biasa digunakan sebagai bumbu penyedap masakan Indonesia, tubuh liar dilahan yang akan dibongkar kala itu. Pohon asem itu, oleh orang Buton Cia-Cia menyebutnya dengan istilah Sampalu, jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia mengandung arti Asam Jawa. Berdasarkan fakta yang dijumpai saat sedang parusan (pembongkaran) lahan dilokasi ini, pohon yang paling besar adalah Asam Jawa, sehingga mereka menyebut kampung tersebut dengan nama Asmajawa (kini Dusun Asamjawa). Tidak diketahui pasti, siapa orang pertama diantara mereka (gelombang awal) yang mengusulkan nama ini hingga menjadi nama kampung tersebut. Namun lebih jelasnya, nama Asamjawa dikukuhkan menjadi nama kampung dengan pendasaran bahwa terdapat sebuah pohon asam yang paling besar berada dilokasi kampung saat migran awal mendirikan pemukiman.

 Mengenal Migran Awal

Beberapa orang yang tergolong datang pada gelobang migran awal dari Tawolio (tanah Wolio) dan berukim di kampung Asamjawa yaitu: La Dubu, La Kandanga, La Kampu dan Haji Abdul Patani. Ditawolio, keempat orang ini, juga berasal dari daerah yang berbeda-beda. La Dubu dan Lakandanga, dan Lakampo berasal dari Burangasi (Buton Selatan), sedangkan Haji Abdul Patani dari Mole-Holimombo. Dalam perkembangan selanjutnya, La Dubu, lalu memilih meninggalkan Asamjawa dan pergi ke Tiang Bandera (Dusun Ting Bendera sekarang) dan mendirikan pemukiman di sana.

Bukti yang mendukung bahwa empat orang ini, sebagai parusan awal kampung Asamjawa adalah lokasi tanah yang dimiliki tergolong dekat. Mereka terasuk orang-orang yang memiliki warisan tanah yang ditingalkan kepada generasinya, di Dusun Asamjawa, masih tergolong dekat dengan pantai. Selain itu pula, tanah yang dimiliki masih berada di dalam wilayah kampung Asamjawa sekarang. Ini dapat diketahui dari pemetaan kepemilikan lahan yaitu; Sebelah Selatan unjung kampung lokasi La Dubu. Ditengah kampung lokasinya La Kandanga dan La Kampu, sedangkan di sebelah Utara Asamjawa (Hou), lokasi miliki Haji Abdul Patani. Terkait dengan Haji Abdul Patani, ia merupakan orang pertama yang datang di Dusun Amaholu, bersama adiknya Haji Muminin (orang Buton pertama datang dan menduduki kampung Amaholu, bersama temanya La Asturian). Namun Haji Abdul Patani, kemudian memilih tinggal dan berkebun di Hou-Asamjawa. Sedangkan bagi mereka yang datang pada gelobang berikutnya akan memiliki lahan yang sedikitnya jauh dari lahan milik gelobang awal. 

 Dalam konteks kedatangan, dan sebab keluarnya penduduk Buton dari tanah Wolio Sulawesi Tenggara, kemudian memilih merantau di Seram Barat, di Dusun Asamjawa. Berdasarkan tradisi lisan di kampung ini, diketahui bahwa keinginan perantau itu, dilakukan sebagai upaya masyarakat untuk menghindari pungutan pajak yang diberlakukan pemerintah kesultanan Buton, dibawah dominasi pemerintahan Hindia Belanda.

Pada tahun 1906 pemerintah Hindia Belanda memberlakukan sistim pemerintahan penjajahan atas wilayah kesultanan Buton dengan mengangkat kepala-kepala distrik. Tugas utamanya yaitu penarikan pajak dari rakyat dan mengaktifkan para Bonto dan Bobato (lembaga syarah), sebagai pimpinan Kadie (Kepala Kampung). Pajak itu, wajib dibayar oleh mereka golongan papara (penduduk desa).

Pajak yang dikeluarkan, membuat golongan papara (penduduk desa), ingin mencari kehidupan baru diderah rantau. Sebuah daerah yang masih subur kondisi alamnya untuk tanaman pangan. Salah satu wilayah perantauan termasuk di Seram Barat, kala itu. Apalagi pajak yang dipungut dari golongan Papara, tidak sebanding dengan penghasilan yang didapat dari hasil pekerjaan mereka sehari-hari. Ditambah dengan kondisi alam Burangsasi yang tandus, penuh bebatuan, dan sulit mendapatkan air kecuali menunggu hujan. Kondisi demikian semakin memuat hidup mereka mencekam. Karena itu, berlayar dengan Bangka dan merantau diangap sebagai alternative untuk membebaskan diri dari pungutan pajak serta menata hidup untuk masa depan generasi ditanah rantau.

Dalam upaya mempertahankan hidup dan melangsunkan kehidupan ditanah rantau, pihamota (berkebun) singkong dan umbi-umbian lain, menjadi pekerjaan utama selama Bangka belum dilayarkan. Selain itu, bagi orang Buton, terasuk yang hidup di kampung Asamjawa, pekerjaan berkebun dianggap sebagai pekerjaan yang bisa dilakukan oleh suami dan istri. Karena berlayar dan mencari ikan di laut, merupakan pekerjaan yang hanya dilakukan oleh para lelaki. Dalam konteks itu, biasanya urusan berkebun hanya akan menjadi urusan istri-istri mereka, usai pekerjaan pagar kebun dilakukan. Kemudian suami mereka akan fokus pada pekerjaan berlayar dan mencari ikan dilaut, kala itu. Meskipun kebun ditinggalkan oleh para suami untuk sementara waktu, tetapi dengan keberadaan kebun itu, para istri dan anak-anak mereka tidak lagi kesulitan dengan persoalan hidup. Dan dengan kebun pula, mereka (pelayar) bisa menghidupi anak dan istri yang ditinggalkan dirumah. Dari kondisi itu, maka sebelum pelayaran dilakukan, kebun dan isinya sudah siap dinikmati keluarga. Atau paling tidak, keberadaan kebun akan ada harapan untuk menghidupi keluarga nantinya, saat suami berlayar.

Terkait dengan proses kedatangan orang Buton di Dusun Asamjawa ada relaisnya dengan tradisi martim (berlayar), sebab kedatangan mereka tidak lain hanya mengunakan perahu Bangka sebagai alat transportasi penghubung. Apalagi ketika itu, Bangka bagi orang Buton, terutama rakyat kecil yang hidup dipedesaan adalah kenderaan penghubung untuk satu pulau dengan pulau lainya, dan satu daratan dengan daratan lainya serta sebagai bagian dari rona kehidupan mereka di laut, utamanya bagi para pelayar demi mencapai kesejateraan hidup didarat. Mereka yang datang pertama itu, selain utuk mengindari para pungutan pajak di wilayah kesultanan Buton, mereka pada awalnya juga merupakan pelayar yang sedang mencari muatan perahu komoditas damar, di seram Barat. Namun dari pencarian damar itu, membuat mereka tertarik untuk berkebun dilokasi yang kini di kenal dengan Dusun Asamjawa.

Dalam proses selanjutnya, ketika wilayah Asamjawa sudah menjadi sebuah kampung dan berada dibawa pemerintahan raja Luhu, dibawah pimpinan Abdul Gafur, kampung Asamjawa, lalu digabungkan dengan Kampung Batulubang, untuk menjadi sebuah Dusun petuanan Desa Luhu. Dalam masa pemerintahan Abdul Gafur sebagai raja Luhu, banyak orang Buton di Dusun Asamjawa pindah ke daerah lain, menurut mereka pemerintahan raja dianggap paling jahat. Apalagi, jika diantara mereka ada yang berbuat kesalahan, maka raja langsung memberikan hukuman kepada orang tersebut. Sebab itulah, banyak orang Buton di Kampung Asajawa pergi meninggalkan kampung mereka dan memilih hidup di derah lain, seperti pindah di Buru Seit, Dusun Ely Tanah Merah, Dusun Rahai, Dusun Tiang Bendera dan ada pula yang balik ke tanah asal mereka Bau-Bau (Buton) Sulawesi Tenggara. (K.R**).

 

Catatan: Hasil Penelitian, L.A.28 Agustus 2015.

 

 

Share:

MASUK PERDANA SISWA SMA IQRO AMAHOLU PENUH ANTUSIAS SAMBUT TES


Sejumlah siswa SMA IQRO Amaholu penuh antosias menyambut tes masuk SMA yang akan digelar di sekolah ini. Hal itu terlihat jelas dari partisipasi aktif siswa dalam tatap muka perdana, bersama para guru di sekolah ini, dalam ruangan kelas, gedung sementara MI Muhammadiyah Amaholu, Senin (27/07/2015), Siang.

Ketua panitian tes masuk SMA IQRO Amaholu, Riki Amin, dalam arahanya menuturkan, tes ini digelar guna mengetahui kamampuan dasar siswa, terutama pemahaan mereka tentang konsep Wawasan Kebangsaan Indonesia. “Soal dalam tes yang sudah disiapkan panitia berjumlah 35 butir soal, pilihan ganda (PG), soalnya seputar materi pancasila, bineka Tunggal Ika, sistem pemerintahan NKRI dan sejarah pergerakan Indonesia. Soal tes itu diambil dari mata pelajaran dasar yang sudah pernah di pelajari dan diajarkan dibangku SMP/MTS, melalui mata pelajaran PKN dan sejarah.” Jelasnya.

Lanjut Amin, tatap muka perdana ini, juga dilakukan sebagai upaya pemberian motivasi dan penguantan mental siswa menghadapi tes tertulis dan wawancara yang akan dilaksanakan dalam beberapa hari ke depan. Pasalnya, pelaksanaan tes masuk SMA ini akan digelar selama dua hari berturut-turut. “Hari Jumat, tanggal 31 Juli, akan dilakukan tes tertulis dengan soal tes  Wawasan Kebangsaan dan hari Sabtu, tanggal 1 Agustus, akan dilakukan tes wawancara.”

Bersamaan dengan itu, Inisiator pendidiri SMA IQRO AMAHOLU Kasman Renyaan, S.Pd., di hadapan sejumlah siswa saat memberikan pengarahan tentang mekanisme pelaksanaan tes, mengungkapkan, meskipun SMA ini tergolog baru, tetapi tes ini wajib hukumnya dan menjadi sebuah keharusan untuk dilakukan di SMA IQRO Amaholu. Sebab, tes ini akan menjadi dasar utama dan mekanisme masuk dalam setiap tahuan ajaran baru. “Tes ini menjadi acuan dasar mengukur kualitas siswa di SMA ini nantinya. Karena itu, jika inputnya baik, maka outpunya akan baik pula.” Ungkapnya, menambahkan.

Masih terkait itu, Harmin Samiun, S.Pd., M.Pd., dalam arahanya pula menegaskan, SMA IQRA AMAHOLU ini ditargetkan akan menjadi sekolah percontohan bagi sekolah-sekolah lainya di Huamual Barat, dan Seram Bagian Barat serta Maluku pada umumnya. Karena itu, dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan di sekolah IQRA Amaholu ini ke depannya, maka siswa diharapkan lebih kreatif dan produktif dalam proses pembelajaran di sekolah, sebaliknya guru.

Menurut Harmin, jika proses belajar telah normal, maka sekolah ini juga tidak akan kalah bersaing dengan sekolah-sekolah lainya dalam level daerah, nasional bahkan standar Internasonal. Olehnya itu, jika ada orang yang menghebuskan isu-isu negative yang pada prinsipnya menyudutkan sekolah dan kalian (siswa) di sini, maka sampaikan kepada orang itu, bahwa SMA IQRO AMAHOLU akan ungul dalam  kwalitas dan akan berbeda jauh dengan sekolah lainya yang ada di pesisir Humaual Barat ini. Tandas, lelaki yang akrap disapa ustat Harmin itu, dengan penuh semangat, mengingatkan.

Tatap muka perdana ini kemudian dilanjutkan dengan pembagian Kartu Tanda Peserta Tes kepada masing-masing siswa yang hadir dan diakhiri dengan foto bersama.

Share:

Bangun Gedung SMA Iqro Amaholu dari Kayu dan Papan

Meskipun belum mengantongi izin operasional sekolah, tetapi itu tak lantas menyurutkan semangat masyarakat Dusun Amaholu, Negeri Luhu, Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), untuk membangun gedung sekolah darurat, SMA IQRO Amaholu, dari kayu dan papan.

Panitia pebangunan SMA IQRO Amaholu, Riki Amin, S.Pd, kapada wartawan  mengungkapkan, pekerjaan satu bilik ruang kelas, dan ditambah satu bilik ruang guru ini, ditargetkan selesai hanya seminggu, sebab gedung sekolah ini, akan digunakan untuk kegiatan proses belajar mengajar usai peringatan hari kemerdekaan  Indonesia tanggal 17 Agustus nanti.

“Keinginan untuk membangun gedung sekolah ini datang dari masyarakat, jadi masyarakat menargetkan pekerjaan ini akan selesai hanya seminggu.” Kata, Amin, di Dusun Amaholu, Minggu, (09/08/2015).

Amin, menambahkan, berdirinya SMA IQRO Amaholu ini atas swadaya masyarakat. Karena itu, masyarakat berharap agar SMA IQRO ini, bisa secepatnya mendapatkan izin operasional dari dinas pendidikan. “Kami berharap kepada dinas pendidikan, bisa mengeluarkan ijin operasional untuk SMA Iqro Amaholu, agar proses pencerdasan anak bangsa di daerah kami yang tergolong terpencil itu, bisa berjalan baik. Ungkapnya.

Share:

AKULTURASI KEBUDAYAAN ISLAM DI NUSANTARA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK SOSIAL DAN BUDAYA


KATA PENGANTAR

Mendahului kata pengantar ini, penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa Pengasih Lagi Maha Penyayang atas limpahan rahmat-Nya sehinga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini disusun dengan maksud untuk menambah bahan pengetahuan tentang “Akulturasi Kebudayaan Islam Dalam Persingunganya Dengan Kebudayaan Lokal Dalam Perspektif Ekonomi Politik Sosial Dan Budaya.”
Kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan budaya setempat, memudahkan Islam masuk ke lapisan paling bawah dari masyarakat. Akibatnya, kebudayaan Islam sangat dipengaruhi oleh kebudayaan petani dan kebudayaan pedalaman, sehingga kebudayaan Islam mengalami transformasi bukan saja karena jarak geografis antara Arab dan Indonesia, tetapi juga karena ada jarakjarak kultural.
Proses kompromi kebudayaan seperti ini, tentu membawa resiko yang tidak sedikit, karena dalam keadaan tertentu seringkali mentoleransi penafsiran yang mugkin agak menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, maka akhir kata penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari pembaca demi menyempurnakan penulisan makalah ini. Semoga penulisan ini bermanfaat bagi pembaca.

Makassar,   16 Juni 2015

Penulis:  K.R



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejarah  kehadiran Islam di Nusantara tidak terlepas dari perdagangan maritim. Sebab, misi utama para saudagar Arab, Persia dan India Islam adalah berdagang, sehingga ke datangan mereka bukanlah untuk menaklukan wilayah Nusantara, seperti orentasi siar Islam dalam misi Khilafah Islamiah yang terjadi di Eropa, ditegakan dengan jalan ekspansi (penaklukan) wilayah. Namun motivasi siar islam ke Nusantara lebih pada dorongan  individu dalam konteks perdagangan maritim. Karena dari individulah, islam itu tersiar dengan cara damai. Budaya maritim merupakan kontak Islam, sedangkan Hindu-Budha adalah agraris.
Sejak dikenalkannya jalur perdagangan laut di Asia Abad 1 Masehi, Nusantara bagian barat memetik manfaat dari interaksi perdagangan maritim. Disepanjang jalur itu terbentuk kantong-kantong niaga (imporium) yang berkembang menjadi kekuatan politik yang besar (emporium). Dalam proses itu, tersiar agama Hundu dan Budha, kemudian Islam dan Kristen (Hamid, 2013). Dalam konteks penyiaran agama, Islam diperkenalkan oleh para pedagang (da’i/muballigh) dari Arab, Persia dan India. Hasil dari kontak dagang dengan penduduk lokal, Islam dipertemukan dengan agama dan kepercayaan masyarakatnya lokal dengan penganut Hindu, Buddha dan penganut animisme dan dinamisme (Harmoni, 2012).
Dalam proses Islamisasi itu, berjalan dengan aman dan damai, tanpa pergolakan dan kegoncangan psikologis dan sosial yang berarti. Hal ini karena para Wali menggunakan pendekatan mistik dan kultural yang kental dengan simbol-simbol kebudayaan lokal, seperti melalui media perwayangan dan gamelan. Menurut Purwadi, akulturasi kebudayaan yang dipelopori oleh Wali Songo, dilanjutkan oleh para juru dakwah generasi berikutnya, sehinggga praktik Islam terlihat khas di Jawa. Di sini agama dan budaya berjalan secara selaras, serasi dan seimbang (Purwadi dan Enis Niken H, 2007: v dalam Asri, 2012: 9).
B.     Fokus Permasalaan
Agar tidak bias dalam mengkaji Akulturasi kebudayaan islam seperti judul yang terdapat dalam makalah ini, maka perlu mendapat  pijakan pengkajian, dengan fokus permasalahan dengan penegasan pertanyaan yaitu sebagai berikut: 
a.      Bagaimana Konsep Akulturasi Kebudayaan  Islam di Indonesia?
b.      Bagaimanan Persingungan kebudayaan Islam dan Kebudayaan Lokal?
c.       Bagaimanan Akulturasi Kebudayaan Islam dalam Perspektif Ekonomi, Politik, Sosial-Budaya?
C.    Tujuan Penuulisan
Penulisan makalah ini bertujuan yaitu sebagai berikut:
a.       Untuk mengkaji dan mengetahui Konsep Akulturasi Kebudayaan  Islam di Indonesia?
b.      Untuk mengkaji dan mengetahui bagaimanan persingungan kebudayaan islam dan kebudayaan lokal?
c.       Untuk mengkaji dan mengetahui Bagaimanan Akulturasi Kebudayaan Islam dalam Perspektif Ekonomi, Politik, Sosial-Budaya?
D.    Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini dapat bermanfaat yaitu secara teoritis diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terkait, “Akulturasi kebudayaan islam dalam persingunganya dengan kebudayaan lokal dalam perspektif ekonomi politik sosial dan budaya.” Sedangkan dari sisi praktis, diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak yang ingin mengkaji lebih jaut sejarah kebudayaan Islam di Indonesia, baik kalangan akademis maupun pemerhati budaya Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep Akulturasi Kebudayaan  Islam di Indonesia
Dalam catatan sejarah tentang siar islam, akulturasi menjadi konsep dasar pembentukan peradaban Islam di Nusantara. Konsep akulturasi dimainkan sedemikian rupa oleh para pedagang, yang ketika itu pula berperan sebagai mubaliq (wali) penyiar Islam, sehingga Islam menjadi agama yang mudah diterima penduduk lokal di Nusantara. Yang ketika itu, masih menjalangkan kebudayaan Hindu dan Budha, serta animisme dan dinamisme. Akulturasi, merupakan bentuk modifikasi kebudayaan tampa menghilangkan kebudayaan asli .
Istilah akulturasi atau kulturisasi mempunyai berbagai arti di berbagai para sarjana antropologi. Tetapi, semua sepaham bahwa itu merupakan proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan satu kebudayaan dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing, sehingga dapat diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan asli (Fathoni, 2006 : 30).  
Proses akulturasi ini dimaksudkan untuk mengola kebudayaan asing yang tidak menghilangkan unsure budaya asli hingga bisa diterima oleh penganut kebudayaan tersebut. Karena itu, dalam teori akulturasi, J Powel (dalam Baker Sj 1984: 115), mengungkapakan, akulturasi dapat diartikan sebagai masuknya nilai-nilai budaya asing ke dalam budaya lokal tradisional. Budaya berbeda itu bertemu, yang luar mempengaruhi yang telah mampan untuk menuju suatau keseimbangan. Sementara itu, Konjaraningrat (1990: 91), mengartikan, akulturasi sebagai suatu kebudayaan dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh suatu kebudayaan asing yang demikian berbeda sifatnya, sehingga unsur kebudayaan asing tadi lambat laun diakomodasikan dan diintegrasikan kedalam budaya itu sendiri tampa kehilangan kepribadiaan dan kebudayaanya.
Konsep akulturasi dimanfaatkan oleh para penyiar untuk menyiarkan agama Islam di Nusantara. Keberhasilan proses Islamisasi di Nusantara dengan konsep akulturasi ini, memaksa Islam sebagai pendatang, untuk mendapatkan simbol-simbol kultural yang selaras dengan kemampuan penangkapan dan pemahaman masyarakat yang akan dimasukinya dalam pengakuan dunia Islam. Langkah ini merupakan salah satu watak Islam yan pluralistis yang dimiliki semenjak awal kelahirannya (Sugiri 1996: 43).
Kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan budaya setempat, memudahkan Islam masuk ke lapisan paling bawah dari masyarakat. Akibatnya, kebudayaan Islam sangat dipengaruhi oleh kebudayaan petani dan kebudayaan pedalaman, sehingga kebudayaan Islam mengalami transformasi bukan saja karena jarak geografis antara Arab dan Indonesia, tetapi juga karena ada jarakjarak kultural. Proses kompromi kebudayaan seperti ini tentu membawa resiko yang tidak sedikit, karena dalam keadaan tertentu seringkali mentoleransi penafsiran yang mugkin agak menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
 Kompromi kebudayaan ini pada akhirnya melahirkan, apa yang di pulau Jawa dikenal sebagai sinkretisme atau Islam Abangan. Sementara di pulau Lombok dikenal dengan istilah Islam Wetu Telu (Zuhdi 2009: 111).  Islam dalam lintasan sejarah telah menjadikan Islam tidak dapat dilepaskan dari aspek lokalitas, mulai dari budaya Arab, Persi, Turki, India sampai Melayu. Masing-masing dengan karakteristiknya sendiri, tapi sekaligus mencerminkan nilai-nilai ketauhidan sebagai suatu unity sebagai benang merah yang mengikat secara kokoh satu sama lain. Islam sejarah yang beragam tapi satu ini merupakan penerjemahan Islam universal ke dalam realitas kehidupan umat manusia (Zuhdi 2012: 58).
B.     Persingungan kebudayaan Islam dan Kebudayaan Lokal
Nilai universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting, dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Ajaran-ajaran Islam yang mencakup aspek akidah, syari'ah dan akhlak (yang sering kali disempitkan oleh sebagian masyarakat menjadi hanya kesusilaan dan sikap hidup), menampakkan perhatiannya yang sangat besar terhadap persoalan utama kemanusiaan dan budaya di Indonesia yang sangat plural (Asnawan, 2011: 85).
Islam sebagai agama yang berkarakteristikkan universal, dengan pandangan hidup (weltanchaung) mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran Islam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam (Kuntowijoyo 1991: 229).
Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Inilah yang diistilahkan Gus Dur dengan "pribumisasi Islam".
Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia dan telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Masjid Demak adalah contoh konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep 'Meru' dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya, orang baru beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnya syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat (Wahid  1989: 92).
Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitektur asing, arsitektur Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindu. Islam, sementara itu tidak memindahkan simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia. Hanya akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan. Dengan fakta ini, terbukti bahwa Islam tidak anti budaya. Semua unsur budaya dapat disesuaikan dalam Islam. Pengaruh arsitektur India misalnya, sangat jelas terlihat dalam bangunan-bangunan mesjidnya, demikian juga pengaruh arsitektur khas mediterania. Budaya Islam memiliki begitu banyak varian (Kuntowijoyo 1991: 92).
Kebudayaan lokal yang populer di Indonesia banyak sekali menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan populer di Indonesia. Kosakata bahasa Jawa maupun Melayu banyak mengadopsi konsep-konsep Islam. Taruhlah, dengan mengabaikan istilah-istilah kata benda yang banyak sekali dipinjam dari bahasa Arab, bahasa Jawa dan Melayu juga menyerap kata-kata atau istilah-istilah yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan. Istilah-istilah seperti wahyu, ilham atau wali misalnya, adalah istilah-istilah pinjaman untuk mencakup konsep-konsep baru yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam khazanah budaya popular (Kuntowijoyo 1991: 235).
Dalam hal penggunaan istilah-istilah yang diadopsi dari Islam, tentunya perlu membedakan mana yang "Arabi-sasi", mana yang "Islamisasi". Penggunaan dan sosialisasi terma-terma Islam sebagai manifestasi simbolik dari Islam tetap penting dan signifikan serta bukan seperti yang dikatakan Gus Dur, menyibukkan dengan masalah-masalah semu atau hanya bersifat pinggiran (Wahid 1989: 92).
Begitu juga penggunaan term shalat sebagai ganti dari sembahyang (berasal dari kata 'nyembah sang Hyang') adalah proses Islamisasi bukannya Arabisasi. Makna substansial dari shalat mencakup dimensi individual-komunal dan dimensi peribumisasi nilai-nilai substansial ini ke alam nyata. Adalah naif juga mengganti salam Islam "Assalamu'alaikum" dengan "Selamat Pagi, Siang, Sore ataupun Malam". Sebab esensi doa dan penghormatan yang terkandung dalam salam tidak terdapat dalam ucapan "Selamat Pagi" yang cenderung basa-basi, selain salam itu sendiri memang dianjurkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya (Asnawan, 2011: 92).
Proses dialog Islam dengan tradisi masyarakat diwujudkan dalam mekanisme proses kultural dalam menghadapi negosiasi lokal. Perpaduan antara Islam dengan tradisi masyarakat ini adalah sebuah kekayaan tafsir lokal agar Islam tidak tampil hampa terhadap realitas yang sesungguhnya. Islam tidak harus dipersepsikan sebagai Islam yang ada di Arab, tetapi Islam mesti berdialog dengan tradisi lokal masyarakat setempat (Zuhdi 2012).
Dialog dengan tradisi lokal dengan wujud kulturasi, sehingga budaya lokal dapat dimodifikasi dengan budaya islam yang dibawa para penyiar. Dalam konteks itu, akulturasi kebudayaan Islam dalam persingungannnnya dengan kebudayaan lokal seperti dalam masyarakat Bugis, bahwa ada sinergi antara keteguhan dalam adat dengan ketaatan beragama. Dengan menjadikan adeq (adat) dan saraq (syariat) keduanya sebagai struktur dalam panggaderreng (undang-undang sosial), maka ini menyatukan fungsi keduanya dalam mengatur kehidupan. Selanjutnya dalam banyak aktivitas adat telah diadaptasi dengan prinsip-prinsip keislaman.
Islam diterjemahkan ke dalam perangkat kehidupan lokal dengan tetap mempertahankan pola yang ada kemudian ditransformasi ke dalam esensi tauhid. Dengan menggunakan potensi lokal ini digunakan sebagai strategi untuk membangun spiritualitas tanpa karakter kearaban. Islam dalam nuansa adat Bugis diinterpretasi kedalam nilai dan tradisi sehingga membentuk identitas masyarakat Bugis. Akhirnya, perjumpaan adat dan agama dalam budaya masyarakat Bugis menunjukkan telah terjadi dialog dan merekonstruksi sebuah budaya baru dalam nuansa lokal (Wekke 2013: 28).
C.    Akulturasi Kebudayaan Islam dalam Perspektif Ekonomi, Politik, Sosial-Budaya
Akulturasi kebudayaan islam dalam persingunganya dengan kebudayaan lokal dalam perspektif ekonomi, politik, sosial, dan budaya dapat dilihat dari  cara-cara para mubalik menyiarkan islam ketika itu, guna mewujudkan misi islam sebagai agama rahmatan lillalamin. Beberapa pola akulturasi kebudayaan Islam yaitu sebagai berikut:
1.      Ekonomi
   Seperti telah disingung sebelumnya, bahwa kedatangan islam di Indonesia merupakan bentuk dari pencarian sumber penghidupan (ekonomi) dalam konteks perdagangan maritim, yang dilakukan para pedagang Islam dengan penduduk lokal. Walhasil, tersiarlah agama Islam, mulai dari masyarakat pesisir pantai hingga masyarakat yang bermukim kepelosok pegunungan. Dorongan ekonomi dalam konteks perdagangan melalui jalur laut, menjadi pintu masuk penyiaran islam  di Nusantara. Itulah sebabnya, kontak budaya maritim merupakan kontak budaya Islam di Nusantara. Sedangkan Hindu-Budha lebih pada agraris.
  Kerajaan Majapahit, yang bercorak Hindu-Budha, mundur dari kejayaannya salah satu faktornya adalah orentasi pemerintahan ke wilayah agraris. Dalam konteks itu, secara alamiah yang mendukung Manapahit dapat berkembang menjadi negara maritim dalam pemikiran Mahan, tidak mendapat pijakan kuat. Sebab, kemunduran Majapahit antara lain karena peralihan orentasi kebijakan pemerintah, dari laut ke darat. Ketika Majapahit mencapai kejayaanya dan kemakmuran dari hasil perdagangan laut Jawa, masyarakat dari kalangan istana cendrung membangun candi-candi dam menyelengarakan ritual suci di pedalaman. Perlahan mereka meninggalkan kegiatan maritim, sebaliknya kegiatan berorientasi agraris senakin berkembang. Peralihan ini didukung oleh kondisi alam Jawa yang subur dan memungkinkan masyarakatnya mengembangkan kegiatan pertanian. Walhasil, potensi perdagangan maritim abad ke-15 diabaikan.  
Kondisi ini dimanfaatkan oleh pedagang-pedagang lokal pesisir yang sudah menganut Islam, yang sebelumnya bekerja mengurus perdagangan secara otonom atas nama Majapahit. Setelah mencapai kemapangan ekonomi, ditengah orentasi perubahan kerajaan saat itu, mereka tampil menjadi kekuatan baru dan mulai terlepas dari pengaruh istana. Kelompok-kelompok inilah yang kemudian mendirikan pusat kekuatan politik Islam (Kesultanan) di Jawa, seperti Demak, Jepara dan Banten (Hamid 2013: 224-225).
 Kesibukan lalu lintas perdagangan abad ke-7 sampai abad ke-16, perdagangan antara negeri-negeri di bagian barat, Tenggara dan Timur benua Asia dan dimana pedagang-pedagang Muslim (Arab, Persia, India) turut serta menggambil bagiannya di Indonesia. Penggunaan saluran islamisasi melalui perdagangan itu sangat menguntungkan. Hal ini menimbulkan jalinan di antara masyarakat Indonesia dan pedagang (Tjandrasasmita 1984: 200).
Proses islamisasi melalui saluran perdagangan itu dipercepat oleh situasi dan kondisi politik beberapa kerajaan di mana adipati-adipati   pesisir berusaha melepaskan diri dari kekuasaan pusat kerajaan yang sedang mengalami kekacauan dan perpecahan. Secara umum Islamisasi yang dilakukan oleh para pedagang melalui perdagangan itu mungkin dapat digambarkan sebagai berikut: mulal-mula mereka berdatangan di tempat-tempat pusat perdagangan dan kemudian diantaranya ada yang bertempat tinggal, baik untuk sementara maupun untuk menetap.
  Lambat laun tempat tinggal mereka berkembang menjadi  perkampungan-perkampungan. Perkampungan golongan pedangan Muslim dari negeri-negeri asing itu disebut Pekojan (Tjandrasasmita 1984: 201).
Dari sudut ekonomi, para pedagang muslim memiliki status sosial yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi, terutama putri-putri bangsawan, tertarik untuk menjadi istri saudagar-saudagar itu. Sebelum menikah, mereka diislamkan terlebih dahulu. Setelah setelah mereka mempunyai kerturunan, lingkungan mereka makin luas. Akhirnya timbul kampung-kampung, daerah-daerah, dan kerajaan-kerajaan muslim (Yatim 2007: 202).
2.      Politik
Pengaruh kekuasan raja sangat berperan besar dalam proses Islamisasi. Ketika seorang raja memeluk agama Islam, maka rakyat juga akan mengikuti jejak rajanya. Rakyat memiliki kepatuhan yang sangat tinggi dan raja sebagai panutan bahkan menjadi tauladan bagi rakyatnya. Misalnya di Sulawesi Selatan dan Maluku, kebanyakan rakyatnya masuk Islam setelah rajanya memeluk agama Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini (Tjandrasasmita 1984: 206-207).
3.      Sosial
   Sebelum kedatangan Islam, pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha mempengaruhi kehidupan masyarakat Nusantara. Terutama, orang-orang yang hidup dilingkungan istana kerajaan. Wujud akulturasi dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan dapat dilihat pembagian lapisan masyarakat berdasarkan sistem kasta. Masuknya Islam, membkongkar sistem kasta itu dan memperlakukan setiap manusia sama. Karena bagi ajaran Islam yang membedakan manusia dengan manusia lainya adalah tingkat keimanannya. Itulah sebabnya, Islam mudah diterima penduduk lokal. Selain itu, syarat masuk Islam sangat mudah, yakni cukup mengucapkan kalimat syahadat. Agama Islam tidak mengenal perbedaan sosial, tidak membedakan si kaya dan si miskin, tidak membedakan warna kulit, dan sebagainya. Sebab, menurut agama Islam, perbedaan itu hanya ada pada tingkat keimanan dan ketakwaan seseorang di hadapan Allah SWT.
4.      Budaya
     Konversi Islam nusantara awalnya terjadi di sekitar semenanjung Malaya. Menyusul konversi tersebut, penduduknya meneruskan penggunaan bahasa Melayu. Melayu lalu digunakan sebagai bahasa dagang yang banyak digunakan di bagian barat kepulauan Indonesia. Seiring perkembangan awal Islam, bahasa Melayu pun memasukkan sejumlah kosakata Arab ke dalam struktur bahasanya. Bahkan, Taylor mencatat sekitar 15% dari kosakata bahasa Melayu merupakan adaptasi bahasa Arab (Taylor 2003: 105).
     Selain itu, terjadi modifikasi atas huruf-huruf Pallawa ke dalam huruf Arab, dan ini kemudian dikenal sebagai huruf Jawi. Bersamaan naiknya Islam menjadi agama dominan kepulauan nusantara, terjadi sinkretisasi atas bahasa yang digunakan Islam. Sinkretisasi terjadi misalnya dalam struktur penanggalan Çaka. Penanggalan ini adalah mainstream di kebudayaan India. Secara sinkretis, nama-nama bulan Islam disinkretisasi Agung Hanyakrakusuma (sultan Mataram Islam) ke dalam sistem penanggalan Çaka. Penanggalan çaka berbasis penanggalan Matahari (syamsiah, mirip gregorian), sementara penanggalan Islam berbasis peredaran Bulan (qamariah). Hasilnya pada 1625, Agung Hanyakrakusuma mendekritkan perubahan penanggalan Çaka menjadi penanggalan Jawa yang sudah banyak dipengaruhi budaya Islam.
   Nama-nama bulan yang digunakan tetap 12, sama dengan penanggalan Hijriyah (versi Islam). Penyebutan nama bulan mengacu pada bahasa Arab seperti Sura (Muharram atau Assyura dalam Syiah), Sapar (Safar), Mulud (Rabi’ul Awal), Bakda Mulud (Rabi’ul Akhir), Jumadilawal (Jumadil Awal), Jumadilakir (Jumadil Akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sya’ban), Pasa (Ramadhan), Sawal (Syawal), Sela (Dzulqaidah), dan Besar (Dzulhijjah). Namun, penanggalan hariannya tetap mengikuti penanggalan Çaka sebab saat itu penanggalan harian Çaka paling banyak digunakan penduduk sehingga tidak bisa digantikan begitu saja tanpa menciptakan perubahan radikal dalam aktivitas masyarakat (revolusi sosial) (http://setabasri01.blogspot.com). Hasil Akulturasi Budaya Islam dan Budaya lokal Indonesia Akulturasi pada seni musik terlihat pada musik qasidah dan gamelan pada saat upacara Gerebeg Maulud.

BAB III
PENUUTUP
A.    Kesimpulan
Sejarah  kehadiran Islam di Nusantara tidak terlepas dari perdagangan maritim. Melalui kontak dagang itu, maka tersiarlah agama Islam. Hasil dari kontak dagang dengan penduduk lokal di Nusantara, maka Islam dipertemukan dengan agama dan kepercayaan  masyarakatnya lokal dengan penganut Hindu dan Buddha serta animisme dan dinamisme.
Kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan budaya setempat, memudahkan Islam masuk ke lapisan paling bawah dari masyarakat. Akibatnya, kebudayaan Islam sangat dipengaruhi oleh kebudayaan petani dan kebudayaan pedalaman, sehingga kebudayaan Islam mengalami transformasi bukan saja karena jarak geografis antara Arab dan Indonesia, tetapi juga karena ada jarakjarak kultural.
Proses kompromi kebudayaan seperti ini, tentu membawa resiko yang tidak sedikit, karena dalam keadaan tertentu seringkali mentoleransi penafsiran yang mugkin agak menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Kompromi kebudayaan ini pada akhirnya melahirkan, apa yang di pulau Jawa dikenal sebagai sinkretisme atau Islam Abangan. Agama dan kebudayaan Islam yang masuk ke Indonesia mempengaruhi kebudayan asli Indonesia, sehingga menimbulkan akulturasi kebudayan, maka lahirlah corak baru kebudayan Indonesia. Akulturasi kebudayaan islam dalam persingunganya dengan kebudayaan lokal dalam perspektif ekonomi, politik, sosial, dan budaya dapat dilihat dari  cara-cara para mubalik menyiarkan islam ketika itu, guna mewujudkan misi islam sebagai agama rahmatan lillalamin.
B.     Saran
Kebudayaan Islam di masa lalu mestinya harus tetap dijaga dan di lestarikan, oleh Umat Islam, sehingga kebudayaan Islam itu tidak hilang akbat arus globalisasi dalam masa kekinian. Dan dakwa Islam harus tetap ditegakan di Bumi Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA


Asnawan, 2011. Islam dan Akulturasi Budaya Lokal di Indonesia.  Jurnal Falasifa. Vol. 2 No. 2 September 2011. Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Falah As Sunniyyah Kencong-Jember.
Asri, M. Yusuf, 2012. Merekontruksi Gerakan Masa Depan, dalam Harmoni, Jurnal Multikultural & Multireligius  Volume 11, Nomor 1, Januari - Maret 2012.
Baker Sj, J.WM. 1984. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar. Jogjakarta: Kansius.
Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Antropologi Sosial Budaya Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Konjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: UI Press.
Kuntowijoyo. 1991. Paridigma Islam. Cet. III. Jogjakarta: Mizan.
Hamid, 2013. Sejarah Maritim Indonesia. Jogjakaarta: Ombak.
Harmoni, 2012. Penyiaran Agama dan Dinamika Sosial dalam Masyarakat Plural. Pengantar Redaksi, Jurnal Multikultural & Multireligius  Volume 11, Nomor 1, Januari - Maret 2012.
Sugiri, Ahmad. 1996. Proses Islamsisasi dan Percaturan Politik Umat Islam di Indonesia, dalam Al- Qalam, Majalah Ilmiah Bidang Keagamaan dan Kemasyarakatan, No. 59/XI/1996. Serang: IAIN SGD.
Tjandrasasmita, Uka, (Ed.). 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Taylor, Jean Gelman 2003.  Indonesia: Peoples and Histories. New Haven: Yale University Press.
Wahid, Abdurrahman. 1989. Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia, Menatap Masa Depan. Cet. I,  Jakarta: P3M.
Wekke, Ismail Suardi. 2013. Islam dan Adat: Tinjauan Akulturasi Budaya dan Agama dalam Masyarakat Bugis. Jurnal Volume XIII, Nomor 1, Juni 2013. Sorong: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Yatim, Badri. 2007. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Press.
Zuhdi, Muhammad Harfin. 2012. Dakwa dan Dealektika Akulturasi Budaya. Jurnal RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 46-64. IAIN Mataram.
____________     2009. Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, Jakarta: Lemlit UIN Jakarta.
Share:

Unordered List

3/sosial/post-list

Latest blog posts

3-latest-65px

BTemplates.com

3/sosial/col-right
Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Statistik Pengunjung

Ekonomi

3/ekonomi/col-left

Publikasi

3/publikasi/feat-list

Error 404

Sorry! The content you were looking for does not exist or changed its url.

Please check if the url is written correctly or try using our search form.

Recent Posts

header ads
Ag-Historis

Text Widget

Sample Text

Pengikut

Slider

4-latest-1110px-slider

Mobile Logo Settings

Mobile Logo Settings
image

Comments

4-comments

Budaya

budaya/feat-big

Subscribe Us

Recent Posts

sejarah/hot-posts

Pages

Popular Posts