Menyajikan Data Mengungkap Fakta Menjadi Sejarah

Sejarah

3/sejarah/post-list

Perahu Indonesia berlayar di Laut Banda

 



Sudah 78 tahun Indonesia merdeka. Namun sejak 87 (Delapan Puluh Tujuh Tahun) lalu (tahun 1936), Indonesia hadir di Banda Naira. Indonesia, nama yang asing kala itu dikenalkan oleh pergerakan nasional Bung Hatta dan Bung Sjahrir yang diasingkan Pemerintah Kolonial Belanda,

Ketika menjalani pengasingan di kota kolonial itu, Bung Hatta membeli sebuah perahu kecil (arubae) dari salah satu warga nelayan Lontor di Pulau Banda Besar. Setelah memilki perahu itu, Hatta lalu mengecat kembali perahunya dengan dwiwarna, yakni warna merah dan putih.  Simbol warna yang dipahami Hatta, namun sesungguhnya tak dimengerti oleh orang Banda.

Dwiwarna yang tertancap di perahunya, sebagai bagian dari strategi Hatta, menyusupkan simbol nasionalisme di tengah pengawasan Pemerintah Hindia Belanda yang superketat. Bagi Hatta, perjuangananya tak akan pernah surut meskipun di buang ke negeri terpencil di ujung timur Nusantara. Karena lewat warna perahunya, Hatta ingin menunjukan kepada anak-anak bangsa di Banda, bahwa kelak dwiwarna yang terlukis indah di perahunya itu akan menjadi simbol negara merdeka yang bernama Indonesia.

Warna cat perahu Hatta belakangan diketahui oleh polisi Hindia Belanda dan protes kepada Hatta, apa maksud cat warna Merah Putih di perahu itu? Jelas bertentangan dengan warna bendera Belanda, yakni Merah Putih Biru.

Namun Hatta, yang diprotes polisi tak tak kehabisan akal untuk mepertahankan cat perahunya lalu dengan enteng berkata kepada polisi kolonial tersebut, bahwa Cat perahu tersebut adalah Merah Putih Biru, sesuai warna bendera Belanda. Ia menjelaskan, bahwa perahunya berwarna merah dan putih, sedangan yang menjadi warna biru adalah laut, sehingga perahunya tetap berwarna merah putih biru. Dasar argumen Hatta itu dianggap masuk akal, sehingga membumkam polisi Belanda diam berlalu tampa kata.

Medengar Hatta yang sudah memiliki perahu, sahabat seperjuangannya Bung Sjahrir seakan tak mau kalah. Sjahrir pun memesan sebuah perahu ukuran sedang. Sedikit lebih besar dari ukuran perahu Hatta. Perahu yang dibelinya dari nelayan itu lalu dimodifikasi menyerupai perahu Eropa (yacht) dan diberi nama. Namun menariknya, sebelum Sjahrir menetapkan nama perahunya Ia mengajak murid-muridnya untuk bermusyawarah. Hal ini merupakan cara Sjahrir mengajarkan demokarasi. Keputusan diambil harus dilakukan dengan musyawarah mufakat. Masing-masing murid memberikan usulan untuk nama dari perahu baru itu. Muridnya bernama Halik, yang pertama mengusulkan, “Gunung Api.” Nama pulau vulkanik di Pulau Banda. Namun nama itu ditolak dengan penjelasan, gunung api meletus dan Om Rir (pagilan anak-anak Banda kepada Sjahriri) tak mau perahunya meletus seperti halnya gunung api. 

Kemudian muridnya yang lain anak peranakan Cina-Banda memberi usulan nama perahu itu dengan “Amesterdam.” Sebuah nama yang sangat kental dengan bangsa kolonial. Halik, mendengar usulan itu langsung menyenggah, kenapa tidak dinamakan Hogkong saja, kamu kan orang Hongkong? Kun, yang tak terima ungkapan agak rasis itu memprotes, bahwa dirinya bukan orang Hongkong, tetapi asli orang Banda, karena lahir di Banda, hanya nenek moyangnya saja yang berasal dari Amoy. Namun kata Halik sama saja, tetap saja dari Cina Hongkong. Perbebatan dingin sempat mewarnai musyawarah itu, sehingga anak yang lain mengusulkan nama “Banda Besar,” seperti nama sebuah pulau terbesar di Kepulauan Banda. Akan tetapi, nama itu jelas ditolak oleh Des Alwi, salah satu murid yang kelak menjadi tokoh Banda Naira. Dengan dasar argumen bahwa, jangan sampai perahu itu diklaim oleh anak-anak Lontor sebagai milik mereka. Lagian kata Des, nama-nama pulau termasuk nama-nama ikan sudah banyak digunakan masyarakat untuk nama perahu di Banda. Hanya nama ikan bodok saja yang belum digunakan. “Tapi nama bodok tidak mungkin dipakai untuk nama perahu Om Rir,” ucap Des. Murid yang lain menguslkan, Sumatera, sesuai nama daerah asal Om Rir.

Namun Sjahrir menolak mengunakan nama daerahnya itu. Dan iya berfikir sejenak dan mentepkan nama INDONESIA untuk menyebut perahunya. Anak-anak Banda saling memandang dan bertanya tentang maksud kata itu, yang sangat asing ditelinga mereka.

Sjahrir menjelaskan kepada anak-anak itu, bahwa nama INDONESIA sesungguhnya sangat di benci, sehingga tidak diajarkan di sekolah-sekolah Belanda. Orang Belanda lebih senang menyebut daerah pendudukanya ini, dengan nama Inde atau “Hindia Belanda.” Sama dengan Tiongkok untuk orang Cina. Tapi Om Sjahrir dan Om Hatta dan kita orang pribumi lebih senang menyebutnya INDONEISA.  Demikian demikian, perahu Sjahrir di namakan INDONESIA. Orang Banda pada akhirnya mengelan kata Indonesia lewat perahu Sjahrir.

Share:

Guru Sejahtera untuk Mutu Pendidikan yang Adil dan Beradab

 


Hari Guru Nasional (HGN) setiap tahunnya diperingati. Semangat memperingati hari guru ini dimulai sejak tanggal 25 November 1994, silam. Penetapan HGN pada setiap tanggal 25 November, didasarkan Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 78 Tahun 1994. Pemerintah Orde Baru kala itu, di akhir masa kuasanya ingin menegaskan bahwa guru adalah Palawan, tapi tanpa tanda jasa. Meskipun sesungguhnya guru adalah manusia yang paling berjasa, karena di ujung penanya ia melahirkan pemimpin di republik ini.

Arahan pemerintah, memperingati hari guru secara Nasional wajib dilaksanakan oleh seluruh satuan pendidikan di Indonesia. Guru berbangga merayakan hari lahir profesinya. Ucapan selamat bertabur di sudut ruang. Di sosial media, hari guru diviralkan. Banyak cara untuk mengaungkan semangat hari pahlawan pendidikan itu.

Saat HGN tiba, peserta didik berbagi ucapan selamat. Membawa kado terbaik, hadiah indah untuk guru yang telah dianggapnya sebagai orang tuanya sendiri di bangku sekolah. Tetapi diluar sana, banyak pula orang sinis. Menggangap perbuatan itu sama halnya mempertontongkan gratifikasi dalam lembaga pendidikan. Menyemakan hadiah itu seperti penyuapan. Apalagi guru yang bersatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Serba salah mengambil itu. Karena itulah, banyak satuan pendidikan melarang siswanya untuk memberi hadiah. Tetapi, namanya qnak murid, berbagi rasa dengan guru di hari ulang tahun itu dianggapnya wajar dan biasa saja.

Ibarat anak sedang berbakti kepada orang tuanya di sekolah. Namun dalam batas kewajaran. Bukan barang mewah yang brending. Setangkai mawar pun cukup untuk merayakan itu. Guru perempuan ikhlas menerima bunga dengan senyum sumringah dari anak didiknya.

Dahulu hingga era 1990-an, anak-anak murid di kampung sering membawa kayu bakar, ikan atau apa saja yang menjadi kebutuhan hidup di kampung. Tanpa menunggu waktu ulang tahun. Meskipun sebetulnya guru, tidak mengharapakan upaya balas jasa dari anak muridnya. Guru ikhlas mengabdi, mendidik generasi, mencerahkan masa depan.

Pendidikan karakter hadir dalam kehidupan sosial di luar jam sekolah. Guru begitu berwibawa. Di dalam pergaulan sosial masyarakat, anak murid tak bisa sembarangan lewat di depan guru. Bahkan saat berpapasan tanpa sengaja, murid serentak menunduk, memberi hormat, sungkan berbicara yang tidak penting. Ada nilai pengormatan di situ, ada adab dari murid terhadap gurunya.

Kondisi ini tentunya jauh dari fakta pendidikan di era Gen Z saat ini. Di masa teknologi digital yang serba canggih. Di social media, kita menyaksikan berbagai fenomena krisis adab dalam dunia pendidikan. Guru ditantang murid berkelahi. Saat ditindak, anak melapor kepada orang tuanya di rumah. Bukan memberi nasehat kepada anaknya, orang tua justru berbalik melaporkan guru ke ranah hukum.

Ibu Supriyan, guru honorer di SD Negeri 4 Baito, ramai diberitakan atas kasusnya. Ia harus duduk di meja hijau. Berperkara di ruang sidang di Pengadilan Negeri Andoolo, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, pada Senin (28/10/2024) lalu. Guru honor itu dianggap mendidik siswa dengan sentuhan fisik. Orang tua sang anak yang berprofesi sebagai polisi itu, tak terima dengan cara didikan guru itu. Orang tua, menilai guru itu telah melakukan kekerasan fisik terhadap anaknya. Padahal tidak mungkin, guru menghukum anak didiknya di luar batas pembimbingan. Sungguh miris! Masih banyak lagi kasus kriminalisasi terhadap guru atas dasar hak asasi manusia. Perlindungan anak ditegaskan, tetapi guru belum dilindungi atas profesi mulianya.

Guru tak butuh hadiah. Guru tak butuh ucapan selamat saat di hari ulang tahun. Guru hanya ingin profesinya dihargai. Dilindungi, sama halnya perlindungan terhadap siswa. Ketika istilah anak murid berubah menjadi siswa atau peserta didik. Seolah ada jarak, ada tekanan antara guru dan siswa. Tak jarang siswa banyak yang tak peduli dengan ucapan, nasehat, dan didikan guru di kelas. Apalagi di luar kelas, ada guru yang dijahili oleh siswanya sendiri.

Siswa cerdas intelktual, tetapi krisis adab, krisis moral, tak berkarakter. Orang tua yang terlalu memanjakan anaknya, seolah tak percaya didikan guru di sekolah. Tak percaya bahwa guru mendidik siswa untuk berbuat baik. Agar siswanya menjadi anak yang baik dan beradab. Banyak orang tua tanpa mengetahui sebabnya, tetap percaya pada omongan anaknnya yang nakal dan manja. Dasar hak asasi manusia, siswa berbuat lebih, guru diam membisu.

Meme video viral yang menayangkan guru acuh, tidak mau menegur siswanya yang nakal, meskipun berkelahi didepannya dibiarkan begitu saja, karena takut dipenjara. Sikap itu menunjukkan protes guru atas pelemahan profesi mereka saat ini, maka negara saatnya hadir menjamin perlindungan dan kesejahteraan guru Indonesia.

Hari guru bukan sekedar bangga-banggaan. Bukan saja menyebarkan fanflet. Bukan untuk bangga karena pemerintah menetapkan tanggal 25 November setiap tahunnya, dilakukan upacara bendera memperingati hari guru. Bukan itu, yang diinginkan guru sejatinya. Bukan! Guru bangga, kalau saja profesinya mencerdaskan anak bangsa dihargai negara.

Guru bangga, saat melihat anak didiknya berhasil. Saat melihat muridnya menjadi orang yang berguna untuk masyarakat, bangsa dan negera. Menjadi abdi negera, menjadi pemimpin yang amanah, menjadi orang yang berpangkat melebihi dari gurunya. Jasa guru tak tertandingi. Mereka yang mendidik anak bangsa mencetak pemimpin masa depan.

Amanat negara yang tertuang dalam amandemen UUD 1945, mengharusan guru ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Apa mungkin guru dapat mencerdaskan anak bangsa sedangkan anaknya di rumah belum makan? Butuh beras, butuh susu. Berharap susu gratis dari rencana implementasi program makan siang pemerintahan Prabowo-Gibran, selain berimbas pada siswa juga dirasakan manfaatnnya untuk guru. Tunjangan lauk-pauk adil untuk semua, bukan saja untuk PNS/ASN, tetapi juga guru honor.

Pasalnya, gaji honor tak cukup untuk beban hidupnya. Sedangkan waktu luangnya habis terkuras untuk mencerdaskan anak bangsa. Meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Rela meninggalkan usaha lain, demi datang pagi ke sekolah. Mendidik anak muridnya, meskipun di rumah hidup masih berantakan. Kesejahteraan guru honor masih dipandang sebelah mata. Sedangkan untuk berebut kuota PNS amat susah. P3K berihak pada sekolah negeri. Sekolah swasta hanya bisa gigit jari.

Ini bukan tentang keihlasan mendidik di saat perut kenyang, disaat kebutuhan hidup terpenuhi. Boleh jadi, tindakan kekerasaan kepada siswa. Bentakan dan suara keras guru ke siswa di ruang kelas, disebabkan beban kehidupan guru di rumah masih berantakan. Belum sejahterah, saat pergi ke sekolah tidak sarapan pagi. Bagi guru PNS hal itu mungkin tidak terjadi, tetapi guru honor kondisi itu sering dialami. Gaji Rp 150-200 ribu perbulan, mana cukup beli popok anak untuk kebutuhan sebulan. Di tengah beban kerja admistratif untuk mengukur mutu pendidikan yang diseragamkan secara nasional. Akan tetapi, kesejahteraan guru tak seragam.

Guru honor di sekolah swasta, nasibnya tak menentu. Masa depan suram. Tak ada harapan pasti, sebab formasi PNS/ASN atau P3K hanya diperuntungkan kapada sekolah negeri yang di kelolah pemerintah. Sekolah yang dihadirkan masyarakat tak mendapat porsi untuk usulan honor mereka menjadi abdi negara. Tak semua sekolah swasta mapan secara finangsial. Di kota, sekolah swasta bergensi, mutu terbaik, tatapi biaya untuk kelas masyarakat yang berpunya. Harga pendidikan melejit, karena fasilitas pendidikan terpenuhi. Tetapi, apakah semua sekolah  swasta  sama? Faktanya tidaklah demikian. Sekolah di kota tak sama di desa. Menegrikan sekolah swasta, bukan solusi cerdas mengatasi kesenjangan infrastruktur pendidikan. Sebab negara hadir untuk semua. Keadian dalam kebijakan pendidikan adalah kunci.

Di desa, sekolah  swasta  didirkan bukan mengejar profit. Bukan pula untuk lahan bisis yayasan. Tetapi, semata-mata pengabdian, sesuai amanat Negara. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah landasan utama dan tanggujawab semua warga negara. Ditengah akses dan layanan pendidikan sulit dijangkau. Pemerintah engan melirik daerah terpencil, tertinggal dan terbelakang. Sekolah swasta tampil bak pahlawan membangun SDM di pelosok negeri. Guru-guru honor di sekolah  swasta  di desa, rela mengajar tanpa digaji. Akan tetapi, mereka juga ingin masa depannya cerah.

Minimal lulusan sarjana guru yang telah membayar mahal saat kuliah di FKIP itu, mendapat tempat layak sebagai abdi negara. Mendapat kuwota P3K, tanpa harus berebut dan bersaing di sekolah negeri yang bukan tempat asal mereka mengabdi. Guru-guru muda yang honor di sekolah swasta merindukan masa depan. Memiliki harapan ingin membahagiakan orang tuanya, mengangkat derajat dan status sosialnya di masyarakat, melalui kesuksesannya menjadi abdi negera. Mendapat gaji dari negara adalah pintu kesejateran dan kebahagiaan yang dihayalkan guru honor.

Tidak semua orang pola pikirnya sama. Ungkapan jangan jadi PNS. Berbisnis kalau ingin cepat kaya. Terdengar betul, tetapi tidak semua mengambil peluang itu. Tidak semua orang memiliki kemampuan marketing dalam berbisnis atau memilih jalan bisnis. Hidup ini beragam, tanpa harus diseragamkan. Sebab perguruan tinggi mencetak sajarana bukan saja untuk urusan ekonomi dan bisnis, tetapi ada sarjana guru.

Dari guru, pembisnis yang handal dan profesional itu lahir.  Maka jangan sepelehkan profesi mulia guru. Kesejahteraan guru masih mengisahkan luka dan dilema hingga kini. Sekolah swasta diapandang sebelah mata. Tak dapat kuwota mengusulkan guru PNS/ASN/P3K. Pemerataan infrastruktur pendidikan seolah diabaikan pemerintah.

Padahal konstitusi negara Pancasila, mengamanatkan keadilan social ditegakan. Meskipun dana BOS/BOP yang diperuntungkan kepada gaji guru sebanyak 60% dari total alokasi anggaran pertahunya, lumayan besar. Tetapi, presentase itu tak cukup jika di bagi-bagi untuk membayar gaji guru dan tenagga kependidikan di sekolah swasta yang kebanyakan diisi tenagga honor. Apalagi dengan jumlah siswa yang sedikit.

Salah satu alasan yang membuat guru semangat mengajar dan bertahan pada profesi mulia itu adalah adanya harapan kesejahteraan guru. Terutama mereka yang mengajar di desa terpencil melalui skema tunjangan terpencil. Namun itu menjadi problem, pasalnya hanya satuan pendidikan di bawah kementrian Agama yang berkomitmen melihat itu belum sepenuhnya menjawab kesejateraan guru honor. Demikian pula, tunjangan terpencil di derah terbelakang, juga tak berpihak pada sekolah swasta di bawah Kementerian Pendidikan. Di tambah lagi problem usulan anggaran gaji guru melalui sistem aplikasi ARKAS belakangan ini di kementrian pendidikan, tak dapat membayar gaji guru yang belum punya NUPTK. Semakin membuat sekolah swasta yang menampung guru honor mengisahkan dilema. Ironi! pendidikan kita, yang tak berpihak pada guru honor di sekolah swasta.

Pemerintah menutut upaya meningkatkan mutu pendidikan yang seragam, tetapi kesejahteran guru beragam dan terabaikan. Padahal bila guru sejahterah, beban hidup teratasi, mutu pendidikan Indonesia meningkat. Jangan teriak guru hebat, Indonesia kuat, bila perlindungan dan kesejateraan guru terabaikan. Lindungi dan sejaterakan guru untuk mutu pendidikan yang adil dan berkeadaban. Selamat Hari Guru. ***

Catatan: Tulisan ini pertamakali dipublikasi oleh di Media Berita Online Malukunews.co pada 25 November 2024, dengan judul, “Guru Sejahtera untuk Pendidikan yang Adil dan Berkeadaban.”

Share:

Universitas Banda Naira Gelar Yudisium Sarjana Perdana

 

Wakil rektor bidang akademik (tengah depan) beserta dekan dan sejumlah ketua program studi dalam acara Yudisium Sarjana Rabu (11/1/2023), Pagi.

Banda; Setelah resmi naik status dari sekolah tinggi (STP dan STKIP) Hatta-Sjahrir menjadi Universitas Banda Naira (UBN) pada 2022 lalu, kampus yang dikelolah Yayasan dan Warisan Budaya Banda itu, mengelar yudisum masal perdana kepada 47 orang mahasiswa yang telah menempuh ujian sarjana hingga pekan lalu.

Kegiatan serimonial akademik untuk pengesahan pengunaan gelar sarjana ini, diikuti oleh sebanyak 27 lulusan Fakultas Perikanan dan 20 mahasiswa lulusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) di gedung Harmony Society, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Rabu (11/1/2023).

Dalam sambutannya, Wakil Rektor (Warek 1) Bidang Akademik UBN Budiono Senen, S.Pi., M.Si, mengatakan pemberian gelar sarjana ini merupakan suatu kebangaaan sekaligus beban. "Masyarakat di luar sana menunggu pengabaian Anda sebagai sarjana, maka berbuat baiklah dan jaga nama baik institusi UBN." Pesannya.

Lebih lanjut Warek 1, itu berharap kepada para sarjana yang baru saja menerima gelarnya untuk tetap belajar menigkatkan kompetensi diri, memiliki skill dan kemampuan komunikasi dan berkolaborasi demi meraih masa depan yang baik di tengah persaingan pasar kerja yang semakin ketat.

"Kualifikasi akademik yang tinggi tidak menjamin kesukaan, namun dengan ilmu yang diperoleh dari pendidikan tinggi dapat berguna untuk menjawab tantangan masa depan yang kian kompleks." Pungkasnya.

Para sarjana baru itu selanjutnya menunggu pelaksanaan wisudah sarjana yang akan dilangsungkan sebelum berakirnya semester ganjil tahun ajaran 2022/2023 ini.

Untuk diketahui, saat ini UBN memiliki 6 progam Studi, yakni Budidaya Perairan, Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Sosial Ekonomi Perikanan pada Fakultas Perikanan. Sedangkan tiga program studi lainnya pada FKIP, yakni Pendidikan Bahasa Indonesia, Pendidikan Sejarah dan Pendidikan Matematika. (K.R) **

Share:

Eksistensi LGBT Antara HAM dan Moral Religiustas Pancasila

 

Oleh : Arwan Wabula

Ketua PD HIMA PERSIS Jakarta Timur

Beberapa pekan lalu muncul wacana kunjungan Jessica Stren ke Indonesia sebagai utusan khusus Amerika Serikat. Rencana kunjungan itu dalam rangka kampanye memajukan Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya pada kelompok masyarakat Lesbian, Gay, Biseksual Dan Transgender (LGBT) yang ada negeri ini. Kunjungan yang direncanakan pada 7-9 Desember 2022 itu, kemudian batal lantaran menimbulkan reaksi penolakan keras dari berbagai elemen masyarakat. Namun, ada juga sebagian kelompok minoritas yang merespon dengan baik atas rencana kehadiran pejuang HAM itu.

Terlepas dari polemik antara pro dan kontra di khalayak publik, yang menjadi perhatian saya disini atas wacana rencana kunjungan Streen tersebut adalah yang berkaitan dengan intervensi Barat dalam upaya memaksakan budaya LBGT di Indonesia, agar kemudian dapat diterima di  tengah-tengah masyarakat Indonesia dan praktek seksual mereka perlu dianggap sesuatu yang normal dan harus ditoleransi. Hal ini dapat di cermati dari negosiasi Kedutaan Besar (Kedubes) Amerika Serikat untuk Indonesia Sung Kim dalam siaran pers perihal batalnya kunjungan Streen itu. Menurutnya kunjungan itu dalam rangka dialog dan memastikan rasa saling menghormati satu sama lain. Mengingat kelompok LGBT di seluruh dunia mengalami tingkat kekerasan dan diskriminasi yang tidak proporsional. Dan Kim, menyebutkan pihaknya menantikan dialog dengan sejumlah elemen di Indonesia terkait isu hak asasi manusia.

Pernyataan Kim tersebut secara terang-terangan telah melakukan berbagai upaya lobiying dan negosiasi untuk memaksakan LGBT di Indonesia dengan dalih Hak Asasi Manusia. Lebih lanjut menurut Kim, salah satu alasan hubungan Amerika Serikat dan Indonesia begitu kuat adalah menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, keragaman, dan toleransi.  

Kontroversial rencana kunjungan Stren sebagai utusan khusus dari Amerika Serikat tersebut penting untuk dicermati. Mengingat kampanye Hak Asasi LGBT telah menjadi instrumen propaganda Barat yang di sebarkan pada setiap negara-negara di dunia. Di Indonesia pada 2016 lalu, Human Rights Watch mendesak pemerintah Indonesia untuk membela hak asasi LGBT dan secara terbuka mengutuk komentar-komentar pejabat yang di anggap diskriminatif. Kelompok pendukung LGBTQI menganggap bahwa ini merupakan sebuah Hak Asasi Manusia karena merupakan orientasi seksual. Sedangkan bagi sebagian besar masyarakat yang menolak, dengan dalil bahwa negara Indonesia adalah negara yang ber ke-Tuhanan. Maka berdasarkan pada ajaran agama-agama yang di akui di Indonesia, tidak teradapat alasan yang membenarkan perilaku seksual menyimpang kaum LGBTQI, sehingga dalam hal ini mereka sangat menjunjung tinggi moral dan agamanya.

Persoalannya bagi masyarakat yang beragama menilai dengan hadirnya kelompok ini keamanan dan ketertiban mereka menjadi terancam. Pasalnya negara yang berKetuhanan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan budaya leluhur harus dipaksakan menerima praktik LGBT. Yang selama ini di anggap sebagai praktik seksual yang menyimpang, dengan alasan Hak Asasi Manusia yang harus ditoleransi sebagai bentuk penjewantahan nilai-nilai demokrasi. Simak pernyataan Kim yang disampaikan pada waktu yang bersamaan dalam siaran pers Kedubes AS sebelumnya menungkapkan “nilai-nilai demokrasi, HAM, keragaman dan toleransi harus berlaku untuk setiap anggota masyarakat, termasuk kelompok LGBTQI. Tidak sampai disitu, Kim menilai “bahwa demokrasi yang maju menolak kebencian, intoleransi, dan kekerasan terhadap kelompok manapun, dan mendorong dialog yang mencerminkan keragaman luas di masyarakat”.

Dari penjelasan Kedubes Amerika Serikat itu semua mengkrucut pada persoalan HAM yang menjadi asumsi dan penilaian prioritasnya dalam menudukung kelompok LGBTQI di Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, pernyataan Kedubes AS diatas juga sekaligus memberikan gambaran potret wajah demokrasi Indonesia setelah reformasi yang bertransisi ke demokrasi liberal dengan membawa spirit menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi.

Doktrin demokrasi liberal sesungguhnya berpijak diatas filsafat humanisme yaitu suatu faham yang menjadikan manusia sebagai sentral (antroposentris) dalam menilai segala sesuatu yang berorientasi kepada dunia, dengan memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada setiap individu, dan termasuk dalam penilaian, benar dan salah, baik dan buruk  dan seterusnya, semua mengacu pada manusia itu sendiri bukan pada penilaian Tuhan.

Berangkat dari pemikiran tersebut praktek LGBT mendapatkan pembenaran, sehingga kemudian di tengah-tengah masyarakat melahirkan pada dualitas sudut pandang dalam melihat eksistensi LGBT yaitu antara HAM dan moral religusitas Ketuhanan dalam Pancasila. Disamping itu transisi demokrasi setelah reformasi memicu terjadinya westernisasi ditengh-tengah pergaulan masyarakat, yang sangat mempengaruhi pada melunturnya semangat dan kecintaan pada budaya bangsanya sendiri. Realitas dekadensi moral generasi muda sangat kita rasakan akhir-akhir ini, bagaimana model penampilan, sikap, dan cara pola pikir mereka yang semakin tidak mencerminkan moral religus dan budaya bangsa Indonesia, inilah kemudian saya sebutkan sebagai ledakan demokrasi liberal setelah reformasi, yang semakin jauh dari konsepsi sistem demokrasi Pancasila.   

Spirit gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa 24 tahun yang lalu, ternyata bukan solusi alternatif dari persoalan yang ada. Akan tetapi, justru memunculkan persoalan-persoalan baru khususnya yang berkaitan dengan ideologi Pancasila dan kedaulatan budaya bangsa. Dalam perjalanan waktu semakin bergeser daripada ke originalitasnya. Ditengah pusaran ledakan demokratisasi yang menerpa pada setiap ruang lingkup kehidupan berbangsa dan bernegara, membawa pengaruh yang signifikan terhadap pengamalan nilai-nilai Ketuhanan dalam membentengi moral anak bangsa dari gelombang westrenisasi di Indonesia. Disamping itu, minimnya literasi dalam memahami nilai-nilai Pancasila khususnya yang berkaitan dengan sila Ketuhanan yang menjadi faktor utama dari persoalan deklinasi moral publik.

Dalam konteks ini Pancasila terkesan hanya berfungsi pada penjustifikasian kepentingan politik kekuasaan saja, dengan menegasikan persoalan moral bangsa yang berkembang di masyarakat khususnya terkait praktek LGBT. Dan sampai detik ini, nilai-nilai Pancasila tidak di implementasikan secara konsisten di segala lapis dan bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Dalam situasi persoalan moral seperti ini, eksistensi Indonesia sebagai republik dituntut untuk berdiri kokoh diatas prinsip dasar Pancasila.  Tidak bisa lepas tangan dalam menghadapi pada suatu persoalan perilaku yang bertentangan dengan moral religisuitas dan budaya bangsa dengan menegasikan peranya dengan alasan HAM. Dalam menghadapi persoalan ini juga sesungguhnya telah memiliki daya antisipatifnya dalam ideologi Pancasila, apabila pemerintah sebagai representatif negara secara komprehensif menggunakan perspektif Pancasila dalam menilai perilaku LGBT tersebut. Pada konteks yang sama, keberadaan HAM tidak bisa mendahului prinsip dasar negara dan hukum yang berlaku. Walaupun dalam hukum positif yang berkaitan dengan perilaku LGBT belum memiliki ketentuan yang mengaturnya secara eksplisit, dan juga dalam KUHP yang baru tidak mengkategorikan praktek LGBTQI sebagai tindak Pidana. 

Namun konsepsi dasar pemikiran HAM dalam konstitusi negara republik Indonesia harus di pahamai secara proposional dalam mendudukan fungsi dan perannya sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 27 ayat (1) dan 28 A-J. Misalnya dalam Pasal 28 J menyatakan : 

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Selain itu  juga di tegaskan dalam undang-undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Dalam pasal 70 yang meyatakan:  “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.  Dan di lanjutkan dengan UU Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia dalam pasal 73 yang menyatakan sebagai berikut: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Dari uraian pasal tersebut kebebasan atau hak asasi manusia bukanlah tanpa batas seperti negara-negara liberalisme. Namun kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang terikat dengan ketentuan undang-undang yang sesuai dengan prinsip pertimbangan moral, kesusilaan, kepentingan umum dan tatanan budaya bangsa secara keseluruhan. Indonesia sebagai negara yang berdaulat tentu memiliki caranya tersendiri untuk menata pergaulan masyarakatnya khsusunya mengenai konsep keluaraga yang baik dan benar dalam koridor hukum yang berlaku, sebagaimana yang tercantum dalam hukum negara Republik Indonesia pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan bahwa "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Dalam pasal ini ada beberapa point penting yang berkaitan dengan pembahasan tulisan ini; Pertama, perkawinan yang di akui negara adalah perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita, bukan sebaliknya, laki-laki menikah dengan laki-laki begitupun dengan perempuan, yang sudah jelas berlawanan dengan ketentuan hukum; Kedua, bahwa tujuan perkawinan yang dimaksud dalam undang-undang tersebut yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal yang secara implisit memiliki makna melestarikan umat manusia atau warga negara. Tujuan ini tentu sangat kontras apabila di sandingkan dengan kaum LGBT yang penyuka sesama jenis. 

Berangkat dari penjelasan tersebut tidak terdapat satu celahpun untuk mendudukan eksistensi LGBT dalam pergaulan masyarakat Indonesia. Maka sangat di sayangkan apabila ada oknum-oknum masyarakat dan pejabat yang masih berasumsi bahwa kelompok LGBT memiliki Hak Asasi yang harus di lindungi. Padahal, jika mengacu pada pengertian Hak Asasi Manusia yaitu hak-hak yang dimiliki manusia sejak lahir sebagai anugerah pemberian Tuhan Yang Maha Esa. Dari pengertian tersebut praktek LGBTQ sudah menyimpang dari anugerah dan pemberian Tuhan, sebab Tuhan dalam menciptakan manusia kodratnya menyukai sesama lawan jenis, bukan sebaliknya. Maka secara akal sehat perilaku seksual LGBTQ suatu perilaku diluar nalar, dengan kata lain suatu perilaku yang tidak sehat, yang harus di rehabilitasi bukan untuk di lindungi, dan tidak terdapat hak asasi atas perilaku mereka. 

Tidak efektifnya pengamalan nilai-nilai Ketuhanan menjadi salah satu penyumbang carut-marutnya dalam pergaulan masyarakat di tengah pusaran arus globalisasi. Dalam melihat persoalan ini secara subjektifitas penulis, melimpahkan titik persoalanya pada pemangku pejabat negara, bagaimana tidak, pada konteks tataran pengamalan nilai-nilai ideologi Pancasila terkesan nihil, Pancasila hanya menjadi opini yang sarat muatan politik kekuasaan. Sehingga merumuskan konsepsi (cita) nasional dalam aspek hukum dan budaya kita terkesan mengekor ideologi-ideologi dominan yang ada. Sehingga pada saat mengahadapi suatu persoalan kebudayaan dalam hal ini berkaitan dengan perilaku etika kenegaraan, sangat, sangat lamban untuk menentukan status hukumnya. Misalnya dalam pembuatan kebijakan regulasi tentang pemidanaan LGBTQI dalam RKUHP yang baru, masih saja diributkan dalam menentukan status hukumnya, dengan alasan HAM maka pada saat bersamaan kedaulatan hukum harus digadaikan. Dan HAM diperlintir menjadi kenderaan hasrat oknum politisi tertentu, yang harus menumbangkan jutaan generasi muda bangsa dalam jurang degradasi moral.  

Dengan pertimbangan hak asasi manusia ini pula yang dapat mencederai daripada norma agama dan kepatutan di masyarakat Indonesia yang diakomodir dalam Pancasila, dan pada akhirnya gesekan kebudayaan yang hidup di masyarakat dan budaya yang ditransformasikan dari luar khususnya Barat akan menjadi suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindarkan. Semua polemik dan keteganggan masyarakat ini bisa diakhiri apabila rekonstruktif etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasarkan ideologi Pancasila harus di implementasikan secara komperhensif dari berbagai aspek. 

LGBTG dari Perspektif Sila Ketuhanan 

Jika mengacu pada prinsip sila Ketuhanan dalam butir pertama Pancasila, setiap warga negara mengharuskan untuk mengakui adanya Tuhan. Memberikan kebebasan setiap individu dalam menyembah Tuhan, sesuai tuntutan keyakinannya masing-masing dan sekaligus negara memberikan jaminan untuk mengamalkan dan menjalankan agamanya. Lebih jauh lagi, dalam ideologi Pancasila dan konstitusi negara memberikan pengakuan dengan tegas, bahwa negara Indonesia adalah negara yang bertuhan. Dengan demikian, agama yang ada di Indonesia mendapat tempat dan perlakuan yang sama dari negara.  Dalam buku Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI menegaskan sila Ketuhanan menekankan fundamen etis-religus dari negara Indonesia yang bersumber dari moral Ketuhanan yang di ajarkan agama-agama dan keyakinan yang ada.

Penjelasan tersebut memposisikan moral ketuhanan sebagai dasar negara dalam ruang pergaulan kehidupan berabangsa dan bernegara yang sekaligus memberikan pertimbangan dalam penilaian pada setiap perilaku yang ada di masyarakat. Jika kemudian dikaitkan dengan praktek LGBT dengan moral ketuhanan sangat parodoksal, baik Ketuhanan dalam konteks teologi Islam, Kristen, hindu, budha dan Konguchu.

Di sini nilai-nilai Ketuhanan harus dianggap sebagai fundamen etik kehidupan bernegara. Dalam kaitan ini, saya mengutip pendapat Yudi Latif, Menurutnya; Indonesia bukanlah negara sekuler ekstrim, yang memisahkan “agama” dan “negara” serta berpretensi menyudutkan peran agama ke ruang privat/komunitas. Negara menurut alam Pancasila diharapkan dapat melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama; sementara agama diharapkan bisa memainkan peran publik yang berkaitan dengan penguatan etika sosial. Pada saat bersamaan, Indonesia bukan “negara agama” yang hanya mempresentasikan salah satu (unsur) agama dan memungkinkan agama mendikte negara. Sebagai negara yang dihuni oleh penduduk dengan multiagama dan multi keyakinan, Indonesia diharapkan dapat mengambil jarak yang sama terhadap semua agama/keyakinan, melindungi semua agama/keyakinan.     

Peran Pancasila menurut Yudi Latif tersebut, tidak hanya berhenti pada memberikan jaminan kemerdekaan pada setiap pemeluk agama, tetapi Pancasila diharapkan dapat mengembangkan kehidupan beragama. Disamping itu, agama harus berperan berkaitan dengan penguatan etika sosial. Dua poin penting ini pihak penyelenggara negara harus memberikan tempat dan ruang agar dapat menjalankan fungsinya masing-masing. Dalam konteks etika Pancasila harus dipahami yang bersumber dari agama-agama yang di akui negara. Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa etis-religius dari negara Indonesia yang bersumber dari moral ketuhanan yang di ajarkan agama-agama dan keyakinan yang ada (Materi sosialisasi empat pilar MPR RI. hal. 46).     

Kembali lagi pada persoalan, jika moral agama sebagai representasi sila Ketuhanan. Maka dalam melihat praktek LGBT ini sepenuhnya kita serahkan dari persepktif agama-agama yang diakui di Indonesia. Dan sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa dari semua agama yang di akui di Indonesia saat ini tidak ada yang mentolerir praktek LGBTQI. Dan dalam teologis Islam sendiri telah mengajarkan fitrah laki-laki menikah dengan perempuan, begitupun perempuan menikah dengan laki-laki, bukan sebaliknya. Dan dalam Al-Quran sangat jelas mengancam perilaku LGBT yang ditegaskan dalam surah al-Qamar ayat 33-36 dan surah Adz-Dzariyat ayat 31-37. Dua ayat tesebut merupakan landasan penolakan umat Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Begitu juga dengan Kitab bibel agama Kristen yang dianjurkan untuk berketurunan dengan bunyi lain mengatakn diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (Kejadian 1: 27 dan 1: 28) dan agama-agama lain terdapat hal yang serupa, walapun bervariasi teks penyebutannya akan tetapi memiliki makna yang sama, yaitu tidak diajarkan. Jangan kemudian pemerintah bersikap apatis dalam menyikapi fenomena ini. 

Dan berakhir pada kesimpulan, bahwa dalam melihat Pancasila tidak seharusnya di pandang secara parsial. Tetapi sebaliknya, Pancasila harus dilihat sebagai keseluruhan norma, keseluruhan filosofis,keseluruhan moral publik dan keseluruhan kebijakan. Maka keseluruhan proses bernegara ini, tata kelolanya, tata nilainya, tata material, tata perundangan dan sebagainya harus wujud operasionalisasi dari Pancasila.

Begitupun dengan melihat moral bangsa dan HAM dalam demokrasi harus mengacu pada nilai-nilai Ketuhanan dalam Pancasila sebagai dasar negara. Jika Pancasila di jadikan rujukan dalam menilai LGBTQI. Saya kira tidak ada perdebatan panjang atas eksistensinya dan seluruh agama-agama yang ada di Indonesia sepakat akan hal ini, bahwa perilaku pada LGBTQI bukan perilaku sebagai seorang manusia yang normal apalagi seorang bertuhan, karena pada sejatinya perilaku LGBTQI yang justru memusnahkan eksistensi manusia apabila sudah tidak menghasilkan keturunan. Maka prilaku seperti ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai Ketuhanan dalam setiap agama yang ada. **

 

Editor: K.R 

 

 

Share:

Unordered List

3/sosial/post-list

Latest blog posts

3-latest-65px

BTemplates.com

3/sosial/col-right
Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Statistik Pengunjung

Ekonomi

3/ekonomi/col-left

Publikasi

3/publikasi/feat-list

Error 404

Sorry! The content you were looking for does not exist or changed its url.

Please check if the url is written correctly or try using our search form.

Recent Posts

header ads
Ag-Historis

Text Widget

Sample Text

Pengikut

Slider

4-latest-1110px-slider

Mobile Logo Settings

Mobile Logo Settings
image

Comments

4-comments

Budaya

budaya/feat-big

Subscribe Us

Recent Posts

sejarah/hot-posts

Pages

Popular Posts