Subscribe Us

header ads

Sangkola Menguatkan Kesabaran

 

Kuliner Sangkola: Gambar Googel

Belakangan ini sangkola, kuliner asli orang Buton menjadi viral di sosial media. Berawal dari cetingan serang perempuan cantik berusia mudah. Ia terbaca belum matang emosinya. Jemari-jemarinya mengetik, terungkap keinginanya untuk tidak bisa menerima pemuda Buton dalam hidupnya. Keiginan itu hadir dari lubuk hatinya yang paling dalam. Tak ada yang salah dari impian itu. Memilih pendamping hidup memang harus tepat, agar kelak tak menyesal. Cinta yang dipakasakan akan hancur berkeping-keping. Jangan ada cinta jangan terkesan dipaksakan.

Apalagi selerah rasa itu berdasarkan pengalaman yang dilihat di negerinya. Bahwa kehidupan etnis yang coba masuk di ruang hatinya itu dianggapnya badaki, makan sangkolah dan tak bermarga. Sungguh! Sebuah warna kehudupan yang mungkin jauh berbeda dengan kehidupan etnisnya, Nona. Untaian kata yang tersembunyi itu bocor. Setelah dibororkan oleh sesorang pemuda yang diduga ditolak asmaranya. Tangkapan layar yang berisi kata hinaan itu dibagikan ke ruang publik. Mungkin kesal hatinya tertolak. Pesan yang tadinya untuk dua orang terbagi menjadi konsumsi publik. Tak bisa lagi disembunyikan.

Serentak pesan itu tersiar penuh amarah. Netizen yang salama ini, menjadikan sangkolah penyambung hidup mereka amarahnya memuncak laksana gunung api yang siap meledak. Karena tidak semua yang dilihat itu benar adanya. Hanya orang yang dengki melihat kehidupan Buton itu badaki. Pikiran dan hati masih masih diselimuti dakit. Memandang rendah orang lain.“Oh Nona! Sungguh kejamnya hatimu. Haruskan membuat semua orang Buton di dunia maya, ikut terseret dalam arus asmara kalian? Begitu sebagian netizen berkata.

Seorang yang cintanya ditolak juga berhasil memantik simpati publik Buton. Untuk terlibat kesal dan  marah. Sekaligus sama-sama menghakimi perempuan seorang diri anak kesehatan berkulit“Kasbi kupas”itu. Atas untaian katanya yang Badaki. Tampa harus menyelahkan dirinya, telah membagikan skandal asmara yang rasis itu.

Pakatang Buton bisa saja membuat Nona menjilat dakinya La Nyong, karena cinta yang bersemi. Semoga kelak ade Nona tidak menjalin hidup bersama dengan lelaki yang makan Sangkola. Sebab kata bisa berbalik. Agama mengajarkan, jodoh itu di tangan Tuhan. Manusia tak kuasa menolak dan  hanya bisa menjalaninya.

Kini ini jamanya beda, situasinya beda, kondisinya beda. Istilah Kocika belum tepat. La Nyong yang tertolak cintanya memanfatkan peluang. Memviralkan kata-kata ade nona yang membuat banyak orang marah. La Nyong mendapatkan kepuasan atas penghakiman dari netizen. Kecaman publik memang bisa saja membuat jantung berhentik berdatak sejenak. Lebih kejam dari dukung yang bertindak diam-diam karena cinta tertolak.

Netizen Buton marah dan benar-benar kesal, seolah tak ada kata kosabara (sabar). Setelah tahu isi skandal yang menghina etnis ,mereka. Andaikan perempuan itu ada dihadapan mama-mama penual Sangkola, mungkin saja bibirnya langsung dipuruni (diramas) seperti kampuruni (kuliner berbahan jagung yang digiling di batu giling sebelum dimasak).

Tapi sungguh ironis, marah berlebihan juga bukan tipe orang Buton sejatinya. Filosofi hidup Buton mengajarkan kosabara (sabar) dan koemani (beriman). Landasan iman yang tertanam dalam diri membuat orang Buton selalu sabar tampa berkeluh kesah menjalani hidup dan kehidupannya. Meski hidup dari hasil menjual kasbi yang badaki. Karena itulah, menyerahkan persoalan perempuan itu kejalan hukum untuk mendapatkan keadilan adalah tepat. Agar tidak melebar ke mana-mana. Orang Buton lebih mencintai kedamaian. Hidup tak mau ribut dengan orang lain. Sekaligus menjadi pembelajaran berharga. Hidup beragam jangan saling meredahkan karena manusia sama di mata Tuhan.

Perempuan berkerudung itu saudara seiman mereka. Tentu memaafkan menjadi perbuatan mulia. Tidak akan merendahkan martabat, justru meningikan derajat karena orang Buton itu sejatinya pemaaf. Memberikan pengampuanan kepada orang yang mengina itu adalah sifat hakiki leluhur. Sebab dari dulu orang Buton di Maluku sering mendapat strotif “Binongko badaki makan sangkolah.” Akan tetapi, justru dengan makan Sangkola mereka menjadi penyabar, pekerja keras, kuat dan pantang menyerah menghadapi cobaan hidup. Itulah yang membuat mereka sukses. Banyak yang berpendidikan tinggi dari hasil kerja keras orang tuanya yang menjual sangkolah. Faktanya di Maluku orang Buton menjadi pengerak ekonomi masyarakat kecil penyambang hidup bagi orang negeri di Ambon dan Seram.

Kalimat pendek yang tertulis seolah membenarkan dan mengeneralisir, bahwa orang Buton yang mengonsumsi Sangkolah itu kotor dan jorok. Adalah hasil dari pengamatan perempuan tersebut, yang diamatinya di rumah orang Buton di negerinya. Jika fakta demikian benar, mestinya untuk ditujukan hanya untuk rumah yang dilihatnya.

Sangkolah makanan pokok orang Buton. Memang dari bahan dasar ubi kayu dari tanah yang kotor, Badaki, tetapi proses untuk sampai ketahapan Sangkolah, tidaklah mudah. Ubi kayu yang dicabut dikupas dicucui dengan air bersih, mengunakan sikat, mengeluarkan kotor-kotaran yang menepel di ubi, dibilas dengan air hingga hilang benar-benar dakinya. Selanjutnya di parut, dimasukan dalam karung bersih yang didesain khusus untuk digepe (ditindi dengan batu) agar air racunya keluar. Lalu kering menjadi Gepe. Tak cuup sampai disitu meproduksi kuliner Sangkolah, masih perlu diaya (ditapis) untuk mengerluarkan kasarnya dan mengambl halusnya. Untuk mendapatkan cita rasa yang enak dibiarkan beberapa saat, kemudian dikukus mengunakan Kukusan di dandang dengan uap panas (soa) yang menguap ke dalam tepung umbi sehingga berubah bentuk. Setelah benar-benar “soa” tepung ubi berubah bentuk menjadi Soami (Sangkolah) yang siap disajikan. Proses untuk menghasilkan Sangkolah tidaklah mudah, butuh kerja keras penuh kesabaran. Karena itulah orang Buton yang makan Sangkolah memiliki jiwa penyabar (kosabara), meski dihina. Orang Buton Bukan tidak memiliki memakai marga tujuannya untuk tidak bertinggi diri.

Dalam startus sosial orang Buton memilih mengunakan nama orang tua mereka dibelakang namnya untuk menghindari rasa tinggi diri. Mereka yang tak bermarga sebagian besar berasal dari kasta tertinggi dalam struktur sosial Buton di Nusantara dahulu. Ada yang berasal dari turunan Sultan, penyiar Islam. Orang Buton yang berdiaspora di Maluku dahulu diberi pelakukan khusus Pulau Seram, sebagai penguasa Sahulau tanah Seram. Mereka rela menutupi marga dan gelar mereka sebagai Ode hanya karena untuk mendapat perlakukan yang sama. Tidak ingin berbangga diri karana landasan Iman Islam yang ada dalam diri oleh mereka menyebutnya Koemani. untuk menghasilkan mengambil bahan produksi dengan cara bersih. sebab faktanya berbanding terbalik. Orang-orang Buton yang meproduksi dan mengonsumsi Sangkolah di Pulau Ambon, hidup tak lagi tradisional, juga tak terhitung jumlahnya, memiliki Rumah Mewah, bersih, dan boleh jadi jauh lebih bersih kulit perempuan yang mengucapkan tersebut.

Sangolah bukan hanya soal cita rasa, tetapi juga menyakut kohesi sosial. Sangkolah dapat mepererat hubungan antar tetanga, meski bukan saudara sedarah. Karena itulah, sangkolah selalu dirindukan oleh orang Buton, meski mereka berada di tanah rantau. Membuat kuliner sangkolah, membutuhkan kesabaran dan menjadi penguat kesabaran.

Posting Komentar

0 Komentar