Seorang anak sedang duduk di tangga rumah pengasingan Sutan Sjahrir di Banda Naira |
Bung Kecil, begitulah Sutan Sjahrir disebut. Karena tubuhnya yang kecil nan lincah di antara tokoh pergerakan Nasional lain pada masanya. Bung kecil, memiliki peran besar dalam sejarah bangsa dan lahirnya Indonesia. Ia pemuda pertama yang mendengar kekalahan Jepang atas Sekutu pada Perang Dunia II dari sumber berita radio yang dimilikinya. Kemudian mendesak Soekarno untuk segara memproklamirkan kemerdekaan. Meski Ia sendiri memilih absen saat detik proklamasi dibacakan Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur Jakarta tanggal 17 Agustus 1945.
Pasca Indonesia merdeka, Sjahrir menjadi Perdana Menteri Indonesia. Ia dikenal sebagai diplomat ulung ahli strategi andalan bangsa. Strategi diplomasi "take and give" menjadi andalanya. Diplomat Belanda pada setiap kali bersidang di forum PBB sering kewalahan menghadapi argumentasi cerdasanya. Ibarat "kecil tapi pedis." Ia menjadi pelopor dasar politik luar negeri bebas aktif. Baginya, diplomasi adalah jalan terjal mempertankan kemerdekaan Indonesia atas kembalinya Penjajah Belanda yang memboceng tentara Sekutu pasca Proklamasi.
Di rumah inilah (baca: foto) dahulu Ia tinggal sebagai orang buangan Belanda. Setelah berpisah rumah dengan Mohammad Hatta. Selama kurang lebih enam tahun lamanya, 1936-1942, Bung Hatta dan Bung Sjahrir hudup bersama orang Banda. Di Negeri Rampah pala ini, ada juga ada aktivis pergerakan lain, yakni Cipto Mangunkusumo dan Iwa Kusumasumantri sesama orang buangan Belanda.
Sjahrir memilih berpisah rumah dari kawan sejatinya, Muhammad Hatta yang sebelumnya tinggal bersama di sebuah rumah kontrakan milik parkenir, agar lebih leluasa memperiapakan diri saat menyambut pujaan hatinya, Maria yang akan datang menemuinya dari Negeri Belanda. Namun kerinduan terhadap istrinya itu, hanyalah mimpi yang tak terwujud hingga kepulangannya dari tanah pengasingan.
Di Banda Naira, Ia begitu menikmati manisan pala, menyeruput teh dengan aroma rasa kayu manis setiap pagi, berenag, mendayung kole-kole, olah raga, dan menghirup udara segar dari panorama alam Banda yang asri. Sungguh sebuah tempat buangan yang jauh beda dengan Boven Diegul, Papua.
Di Banda Naira mereka seolah tidak sedang di buang, tetapi menemukan surga yang tersembunyi. Disetiap kali bertemu dengan sesama orang buangan, pembahasan situasi politik dunia, termasuk nasib kemerdekaan bangsa selalu menjadi topik menarik yang diperbincangkan secara sembunyi-sembunyi, agar tidak di ketahui polisi Hindia Belanda yang setiap saat berpatroli memantau pergerakan mereka.
Sjahrir dikenal sangat kritis anti terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Itulah sebabnya Ia di penjara di Cipinang lalu dibuang ke Boeven Digul Papua, bersama Bung Hatta dan berberapa aktivitas pergerakan lain kemudian dipindahkan ke Banda Naira pada 1936. Pemindahan itu dilakukan akibat mendapat pelakuan yang tidak wajar dan jatuh sakit terkena malaria. Berita sakit tokoh pergerakan itu tersebar sampai ke negeri Belanda sehingga mengundang reaksi dan kecaman keras dari kaum sosialis Eropa atas kondisi kesehatan para tahanan politik Hindia Belanda.
Menurut kaum sosialis itu, bahwa pengasingan para tokoh pergerakan, bukan bertujuan untuk membunuh mereka. Akan tetapi, sekedar menjauhkan mereka dari gerakan politik di titik sentral Pemerintah Hindia Belanda di Pulau Jawa yang mencita-citakan kemerdekaan.
Sjahrir mendapat pendidikan hukum dari Negeri Belanda atas imbas politik etis awal abad ke-20. Di Negeri Kincir Angin itu, Ia mendapat pengaruh pemikiran Sosialis, yang menyadarkan darinya tentang penjajahan atas kaum pribumi di Hindia Belanda. Karena itulah, separu jiwanya disumbangkan untuk perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Di Negeri Belanda, Hatta dan Sjahrir bergabung dalam organisasi Perhimpunan Indonesia. Sebuah organisasi pelajar yang mencita-citakan kemerdekaan, juga organisasi pertama yang menggunakan nama Indonesia di Eropa. Meskipun nama Indonesia, awalnya adalah nama yang dikatakan primitif oleh Dowes Dekker, "Ah Indonesia itu kan Primitif." Kata tokoh pergerakan Nasional dari Indisce Party ketika berkunjung ke Belanda pada 1923. Bung Hatta menepis penuh semangat "biarlah kita Indonesia asal kita yang menciptakan sendiri."
Sekembalinya dari Negeri Balanda, Sjahrir bergabung dan membetuk organisasi Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) baru, pasca Pemerintah Belanda membekukan Partai Nasional Indonesia (PNI) bentukan Soekarno. Kemudian disusul Hatta kembali ke Indonesia. Dalam organisasi PNI baru itu Hatta menjabat ketua dan Sjahrir wakilnya. Organisasi ini bergerak dalam dunia pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kaum pribumi. Terutama rakyat kecil yang tidak diterima di sekolah Belanda. Bagi mereka, pendidikan menjadi alat perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Karena itu kaum pribumi harus cerdas agar dapat mengatur bangsa kelak secara mandiri lepas dari penjajahan. Pada prinsipnya PNI baru berupaya mempersiapkan pemimpin masa depan dan itu hanya dapat dilakukan dengan membuka sekolah bagi kaum pribumi yang tertindas.
Terbitnya peraturan Pemerintah Hindia Belanda "Koninklijk Besaluit" pada 14 Mei tahun 1913 yang melarang perkumpulan atau organisasi politik atas dugaan mengangu keamanan dan ketentraman umum, membuat gerakan para tokoh nasionalis untuk menyebarkan semangat Nasionalis mulai terbatas dan di batasi Belanda. Di tengah kondisi itulah semua tokoh pergerakan di tangkap dan di asingkan Belanda.
Berlatar Latar belakang hukum membuat Sjahrir terdorong untuk memberikan layanan bantuan hukum gratis kepada warga pribumi di pengasingan Banda Naira. Terutama ketika ada warga Banda yang bermasalah dengan polisi Hindia Belanda. Meskipun dirinya sendiri berada ditengah pengawaan polisi untuk tidak bicara soal politik. Namun Ia bebas menikmati hidup di bawah pohon-pohon pala. Mencari ketenangan batin dan inspirasi di Laut Banda atas kegalauannya akibat terpisah jauh dengan Mariah, Istrinya di Belanda.
Sjahrir mengisi waktu luangnya mengarungi laut pesisir dengan perahu ke Pulau Pisang. Kini pulau itu dikenal dengan Pulau Sjahrir. Hobinya melaut membuat Polisi Hindia sempat melarangnya untuk tidak lagi mengungkapkan perahu, sebab dikhawatirkan Ia melarikan diri ke Australia. Namun larangan yang tidak masuk akal itu ditepis Sjahrir, sehingga Ia tetap bebas berperahu ke pulau terdekat dari Naira. Petualangannya di laut pesisir menjadi alasan dirinya untuk menyebarkan faham nasionalis.
Karena itulah perahu yang dibelinya dari nelayan Lontor diberi nama INDONESIA. Sebuah nama yang sangat asing di Laut Banda. Nama yang baru di dengar pertamakali oleh anak-anak Banda. Ia terus mengenalkan nama Indonesia kepada anak bangsa, mengajarkan nasionalisme, menumbuhkan semangat patriotisme di pengasingan. Di tengah mendayung perahu ke pulau Pisang lagu Indonesia Raya selalu dinyaikan untuk mengajarkan kapada anak-anak Banda tentang semangat tentang Nasionalisme dan patriotisme.
Bersama Hatta, Sjahrir membuka "Sekolah Sore' yang diperuntukkan kepada anak pribumi yang tidak diterima di sekolah negeri bentukan Belanda karena perlakuan diskriminatif bangsa kolonial.
Di sekolah itu Sjahrir juga berperan sebagai guru yang mengajar mata pelajaran Sejarah dan bahasa asing. Semua matapelajaran diajarkan dalam bahasa Belanda. Untuk menyatukan pemuda Banda, Ia membetuk klub sepak bola anak muda yang dinamai dengan Persatuan Pemuda Banda (Perbamu).
Ekspansi pasukan Jepang hingga ke Pulau Ambon, membuat Hatta dan Sjahrir di jemput pasukan Sekutu di Banda Naira dan diterbapkan ke Jawa. Inilah akhirnya cerita Sjahrir Di Banda Naira.
Hikmah: Tak harus menjadi Sjahrir, tapi belajar dari Sjahrir, bahwa dimanapun kita berada kita harus bisa bermanfaat kepada lingkungan tempat kita berada dan terus menebar kebaikan meski orang lain ada yang tidak suka kepadamu.
#Catatan Ringkas, Kasman Renyaan, Banda Naira 18 Maret 2022
0 Komentar