![]() |
Sumber foto : dharapos.com |
Karya-karya besar yang dihasilkan seorang sejarawan dapat menjadi konsep dan rujuakan cita-cita kemerdekaan bangsa. Melalui karya sejarah yang dihasilkannya kini orang dapat membaca dan mengetahui tentang berbagai kisah dan peristiwa yang terjadi ratusan tahun silam. Berkat adanya catatan sejarah dari seorang sejarawan pula orang dapat memetik hikmah, strategi dan jalan lurus, sehingga tidak mudah terperangkap pada lubang yang sama. Karena itu, lahirlah ungkapan “belajar dari sejarah.”
Bila seorang sejarawan sedang melaksanakan kegiatan penelitian, maka segala sumber sejarah yang berhubungan dengan fokus penelitian akan dikumpulkannya. Tahapan ini dalam metode sejarah di sebut heuristik. Pada tahapan pertama ini, tugas seorang peneliti sejarah adalah mengumpulkan sumber sebanyak mungkin.
Salah satu cara untuk mendapatkan sumber data itu dengan mengujungi lembaga penyimpan data, yakni Kerasipan. Apabila penelitain itu mengambil tema sejarah lokal seputaran masa VOC, Hindia Belanda dan Jepang, dengan mengandalkan sumber data arsip, maka yang harus dilakukan yakni mengujungi lembaga arsip nasional dan daerah.
Setiap provinsi di Indonesia memiliki lembaga kearsipan masing-masing. Tugas kearsipan di daerah adalah untuk menjamin tersedianya arsip dari kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah di daerah, pihak swasta, lembaga politik, organisasi masyarakat, maupun perorangan di lingkungan pemerintahan.
Dokumen-dokumen sejarah yang dikelolah pemerintah tersebut, dapat memuat informasi-informasi penting yang berguna dan sangat medukung penulisan sejarah. Terutama informasi yang berhubungan langsung dengan fokus studi, sehingga interpertasi yang dibangun dalam menulis dan menghasilkan karya sejarah tidak sekedar diksi kosong Akan tetapi, juga didukunhg buti dokumen yang ditemukan sejarawan di lembaga kearsipan.
Arsip sebetulnya sangat penting dalam memperkaya data sebagai bukti historis tulisan sejarah (historigrafi). Akan tetapi, faktanya mereka yang dipercaya menduduki lembaga kearsipan belum memiliki kesadaran sejarah penelolaan arsip yang baik dan profesional. Permasalahan yang dijumpai masih banyaknya dokumen sejarah yang hilang, tak terurus dengan baik, sulitnya menemukan sumber bahan untuk penelitian dan buruknya pelayanan birokrasi di lembaga kearsipan, sehingga menambah daftar hitam tata kelolah pemerintahan. Problem semacam itu kebanyakan dijumpai di lemabaga-lembaga kearsipan di daerah.
Pada 2017 penulis melakukan riset sejarah di beberapa lembaga kerasipan, mengumpulkan sumber menulis sejarah. Di lembaga arsip daerah Sulawesi Selatan, di Makassar setiap hari ramai pengunjung. Mulai dari peneliti sejarah hingga anak pelajar. Antusias dan kesadaran mencari sumber informasi di lembaga penyimpan berkas tua itu cukup tinggi. Pelayanan pun maksimal, birokrasinya menurut penulis sudah tergolong baik.
Namun yang parahnya, ketika penulis menggunjungi arsip daerah Provinsi Maluku untuk mencari sumber informasi sejarah. Ada yang beda, dari sitem pelayanan, ketersediaan arsip, kurangnya pengunjung hingga birokrasi yang boleh dibilang berbelit-belit.
Berikut catatan pendek yan ditulis penulis selepas keluar dari lembaga arsip kebangaan orang Maluku itu :
“Agak kesal, tak seperti lembaga arsip di kota provinsi yang lain yang pernah dikunjungi. Arsip boleh baca asal ada surat keterangan, intinya identitas sipembaca harus jelas. Hari ini berbeda, duta masa lalu, anak negeri Maluku, terasing di negerinya sendiri. Hanya untuk membaca arsip di lembaga negara tepatnya di Badan Kearsipan Provinsi Maluku yang berlokasi di Belakang Soya, Ambon. Harus bolak-balik untuk urusan administrasi yang berbeli-belit itu. Hadap sana-hadap sini. Menyita waktu, menguras tenagga tentu juga biaya. Surat tugas yang bertandatangan Direktur Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, yang menjadi peganganku, tak begitu meyakinkan sejumlah pegawai di kantor penyipan kertas tua itu. Alasannya, surat tugas itu kopian. Bu, Ini jaman sudah maju, canggi lagi. Ini sistem online, kirim surat serba cepat. Menjaga dokemen masa lalu itu, bukan berfikir ke belakang. Sudah saya jelaskan memang itu kopian tapi sesuai salilan aslinya. Dikirim lewat E-Mail, jadi kelihatan kopian. Masih saja tak percaya, beralasan yang berbelit-belit.
Memang kelihatan "Pamalas." "mereka tak tahu tempat penyimpangan sumber arsip yang dibutuhkan itu pak, sesungguhnya ada, ada di sana." kata seorang pegawai yang lain di lain waktu saat berjuampa tak sengaja dengan saya, di pasar Mardika. Mestinya pegawai yang sering bersentuhan dengan berkas masa lalu itu, membaca baca masa lalu lalu berfikir dan melangkah maju ke depan.
Kantor tua itu, tak ada gunanya, pegawainya tak bisa kerja kalau duta-duta masa lalu tak memasuki tempat itu. Jadi, kerja di kantor itu untuk apa? Kalau bukan melayani dan memberikan pelayanan yang baik dan berkualitas kepada mereka yang berkunjung? Supaleng lama ini, masa daftar invetalisir arsip juga seng ada. Katanya, tak ada angaran yang disiapkan daerah ini. Wah., bagaimana mungkin anak negeri membaca Indonesia dari Maluku? jika model kerja pegawainya berfikir mundur ke belakang. #Anggap saja itu tantangan..” (catatan kecil: Ambon, Rabu: 5 oktober 2017).
Catatan tersebut sebetulnya bentuk dari akumulasi kecewaan penulis di media sosial, yang sungguh miris, bahwa saya selaku anak Maluku mestinya diberi ruang untuk bisa mengakses data-data masa lalu yang lembaga penyimpan berkas tua itu justru mendapat perlakukan yang tidak adil dan profesional. Hanya karena soal standar birokrasi yang bukan subtansi dari data yang sesungguhnya. Lagi pula tidak ada anturan tertandar yang menjadi rujukan bagi penguna setiap orang yang membaca dan mengunakan arsip.
Padahal yang perlu diingat bahwa bila tidak ada peneliti sejarah, mana mungkin lembaga itu berguna. Pegawainya boleh jadi tak memiliki kerja apapun, karena tugas utama mereka di kantor lembaga kearsipan itu adalah melakukan penataan arsip agar mudah diakses oleh sitiap pengunjung yang datang mencari sumber-sumber daya.
Dengan demikian, penulis berkesimpulan bahwa mereka yang duduk di lembaga tersebut seharusnya memiliki integritas dan kesadaran sejarah yang tinggi, dan merasa peka terhadap pelayanan birokrasi. Terutama yang berhubungan dengan data-data masa lalu. Agar peneliti sejarah dapat menemukan sumber menulis sejarah.*** (K.R).
Komentar
Posting Komentar