Penulis:
Kasman Renyaan
1.
Pengatar
Dalam histografi islam, peranan mesjid ternyata
turut mempengaruhi lahirnya peradaban
islam, dijazirah Arab. Dari dalam Mesjid-lah,
sang revolusioner islam, Muhammad Saw, memulai dakwa islam-nya, mengajari
ketauhidan, rukun islam, dan mengatur strategi perang.
Dalam konteks kekinian, mesjid pun tidak hanya
difungsikan untuk urusan keagamaan, shalat, zikir, dakwa islamiah, baca-tulis
Al-Quran, pasantrin kilat, dan pengaturan amil zakat, tetapi mesjid juga
difungsukan sebagai sarana social, seperti tempat musyawarat-mufakat masyarakat,
diskusi mahasiswa, dan lain-lain. Olehnya itu, betapa pentinggnya seorang
muslim yang memakmurkan mesjid. Mengetahui apa fakta dibalik terbentuknya
masjid itu? Bagaimana hingga mesjid itu
dibangun? Bagaimana hasil kulturasi budaya yang turut serta mempengaruhi
kontruksi bangunan mesjid? Beberapa pertanyaan tersebut bermakna sejarah. Karena itu, sejarahlah yang akan menuntung kita untuk mengerti,
memahami, dan mengetahui fakta yang sesungguhnya dari pmbanguan mesjid itu.
Sudah seharusnya, cerita tentang keberadaan mesjid
dilingkungan kampung kita, tidak hanya tersimpan dalam memori kolektif
masyarakat. Sebagai tuturan cerita rakyat yang berkelanjutan. Belum lagi,
jika kecendurngan dari subjektifitas sang penutur turut hadir dalam alur
cerita, maka distorsi pun akan mewarnai kwalitas isi cerita itu. Apalagi jika generasi
selanjutnya, tidak lagi menganggap cerita itu penting.
Walhasil, semua akan hilang dan hanya meninggalkan
jejak lisan. Tuturan pun akan berubah menjadi foklor (cerita rakyat). Tampa dasar
fakta, dan data. Maka, akan lebih berarti
dan penuh makna, jika sejarah keberadaan mesjid dilingkungan kita, tidak hanya
diingat, dan diceritakan secara lisan, tetapi juga diciptakan sebagai sumber
tulisan. Agar menjadi bukti sejarah untuk generasi sekarang, dan generasi yang
sudah tidak sezaman dengan kita. Karena sejarah, meminjam istilah sejarawan
Inggris, Bernard Lewis, harusnya dinigat, ditemukan kembali, dan diciptakan.
Agar generasi selanjutnya tidak lupa akan sejarah keberadaan mesjid di
lungkungannya.
2. Sejarah Mesjid Dusun
Amaholu
Hadirnya mesjid sebagai sarana ibadah umat islam,
di Dusun Amaholu, Negeri Luhu, Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat
(SBB), Provinsi Maluku. Tutut mewarnai spirit masyarakat di Dusun ini, dalam menjalangkan
ritual ibadah kepada Allah SWT, selaku sang pencipta alam semesta. Namun sejarah
mesjid di dusun tersebut, seakan menjadi hal yang sulit untuk diketahui oleh
generasi mereka saat ini. Sebab, tidak ada satupun jejak tertulis (arsip) yang tersimpan
di dalam mesjid dan bisa dibaca generasi Amaholu. Akibantnya, generasi mereka
lupa akan sejarah mesjidnya. Karena lupa, hingga sejarah mesjid itu, dianggap
tidak lagi penting bagi mereka. Akan menjadi penting, jika generasi mereka
berkepentingan, mencari data, menyusun skripsi, demi meraih gelar nantinya.
Tidak adanya histogarafi mesjid Amaholu, mendorong
penulis untuk mengungkap masa lalu itu. Berdasakan fakta dan sumber data lisan,
dari penuturan cerita yang diturungkan, hingga hadirinya pelaku-pelaku sejarah.
Mereka yang menyaksikan langsung pendirian mesjid itu. seiring perkembangan
zaman, mereka pun hadir sebagai actor, kelahiran kembali mesjid di dalam Dusun Amaholu,
dengan kontruksi bangunan ala modern. Sesuai keinginan kolektif masyarakat, sampai dapat disaksikan seperti sekarang ini.
Mesjid Dusun Amaholu dikenal dengan nama mesjid “Raudautul
Jannah,” kata itu diambil dari bahasa Arab, yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia
sebagai “taman surga.” Berdasarkan sumber lisan dari penuturan masyarakat
Amaholu, Mesjid di Dusun Amaholu, dibanggun pertama kali pada masa pemerintahan
kepala dusun pertama, Apane, pada tahun 1955. Ketika itu, wilayah Amaholu
secara admistrasi dusun masih mencakup tiga wilayah pemerintahan yaitu, Amaholu
Hatawano, Amaholu Tengah, dan Amaholu Los.
Mesjid dibangun tepatanya berada di sebelah utara, Amaholu
Hatawano, (Dusun Hatawano sekarang). Sebagai mesjid pertama di Amaholu, dengan kontruksi
bangunan mesjid pun saat itu, masih mengikuti model rumah (kana tada). Mesjid itulah, satu-satunya mesjid yang dapat digunakan
sebagai tempat melaksanakan shalat lima waktu, shalat sunnat, dan shalat Jumat,
untuk tiga kampung, Amaholu Hatawano, Amaholu Tenggah, dan Amaholu Los. Komposisi
kepengurusan mesjid pertama yaitu sebagai berikut:
a)
Bertindak selaku Imam mesjid yaitu,
Haji Ibrahim (imam pertama).
b)
Khatib, Haji Husen, dan Abd. Rakip
Sinaga.
c)
Modim, Haji Ahmad Yani, Haji Fayum,
Haji Ridwan, dan La Damane.
Beberapa orang
tersebut, merupakan pengurus pertama dari konposisi kepengurusan mesjid Amaholu.
Untuk menjaga keuangan mesjid, Haji Ahmad Yani, kemudian dipercayakan sebagai
bendahara mesjid Amaholu.
Kemudian pada tahun 1962, masa pemerintahan dusun
dipimpin, Abd. Rakip Sinaga, akrabnya disapa, Bang Kip, digagaslah
musyawarah-mufakat, tiga kampung Amholu. Alhasil, atas kesepakatan bersama, dan
atas swadaya masyarakat, maka dibangunlah sebuah mesjid dari semen Beton, dengan
bangunan parmanen, di Amaholu
Tenggah. Mesjid ini dikerjakan oleh tiga kampung Amaholu (Hatawano, Amaholu
Tenggah, dan Amaholu Los). Bertindak sebagai kepala tukang dari pekerjaan
mesjid itu ialah imam mesjid Dusun Kambelu, Hasim Rumbia, akrabnya di sapa Bapa
Abu. Mesjid tersebut lalu diberi nama “Raudatul Jannah” yang artinya “taman
surga.” Ketiga kampung Amaholu, mengunakan mesjid ini untuk melaksanakan
hajatan shalat juamat, idul fitri, dan shalat Idul Adha berjamaah.
Setelah Bang Kip, tiga tahun menjabat sebagai
kepala kampung Amaholu, maka pada tahun 1965, tongkat kepemimpinan dusun
Amaholu pun beralih ke tangan, Ode Abu. Dalam masa kepemimpinan Ode Abu, Pembangunan
mesjid parmanen tahap awal masih
dinilai masyarakat belum cukup sempurna, seperti layaknya sebuah mesjid. Hanya karena
belum memiliki teras, yang mengelilingi badan mesjis. Pada tahun 1977 atas
inisiatif masyarakat dan atas swadaya bersama masyarakat tiga Amaholu, mesjid yang
sudah berdiri di Amaholu tenggah itu direhap
kembali, dengan penambahan teras keliling. Bapa UN-Banggai,
bertindak selaku kepala tukang saat itu. Didepan mesjid, samping kanan
didirikan Bak Air, sebagai tempat wudhu, mengambil Air minum, mandi, dan
sebagainya. Bak air itu, disandarkan langsung dengan teras depan, mesjid. Agar
tidak bercampur baur laki-laki dan perempuan, di samping kiri belakang mesjid
didirikan bak air khusus untuk perempuan, berwudhu, mencuci, mengambil air
minum dan mandi.
Seiring berjalannya waktu, generasi kedua, generasi
pendiri mesjid dan pengurus mesjid “Raudatul Jannah” pertama, semuanya telah
berpulang kerahmatullah. Bangunan mesjid
yang tadinya berdiri tegak, kokoh, dan
kuat, perlahan-lahan rapuh ditenalan usia. Dinding-dinging mesjid yang terbuat
dari semen beton itu, perlahan-lahan terkelupas. Begitu pula, kayu-kayu
penyangga bangunan mulai terlihat lapuk. Sementara itu, masyarakat Hatawano,
dan Amaholu Los, yang awalnya shalat Jumaat, bersamaan di mesjid “Raudatul
Jannah” Amaholu Tenggah, kini mereka pun telah melaksanakan hajatan shalat
Jumat, di kampung mereka masing-masing. Kedua kampung yang awalnya RT itu, kini
sudah mempunyai wilayah admistrasi sendiri (dusun mandiri), mesjid parmanen pun telah berdiri kokoh, di
kedua bekas wilayah (RT) Amaholu itu, sehingga nama mesjid yang berada di
kampung itu sesuai kesepakatan masyarakat mereka. Dan tidak adalagi capurtangan
Amaholu Tengah di dalam urusan itu.
Amaholu yang telah berdiri sendiri secara
admistrasi Dusun, melahirkan mesjid pun dengan swadaya masyarakat mereka
sendiri. Karena tidak lagi seperti awalnya, mendirikan mesjid melibatkan tiga
Amaholu, dalam artian menyangkut keuangan mesjid. Menginggat problem bangunan
mesjid, yang tak bisa lagi bertahan untuk generasi-generasi berikutnya. Karena
itu, dalam masa jabatan pemerintahan, Yahya Bamila, selaku kepala Dusun Amaholu,
di tahun 2002, mesjid “Raudatul Jannah,” dirombak total dan tak ada yang
tersisa sedikitpun. Perombakan itu nantinya melahirkan komposisi kepengurusan
mesjid dengan orang-orang yang berbeda.
Perombakan
mesjid dilakukan masyarakat untuk melahirkan kembali mesjid baru dengan nama tetap Raudatul Jannah. Agar masyarakat
tidak merasa tergangu dalam aktifitas ibadah shalat di mesjid, maka balai
pertemuan Dusun Amaholu (balai Dusun) di ubah menjadi mesjid sementara.
Gagasan melahirkan kembali mesjid itu, atas hasil
musyawarah-mufakat seluruh masyarakat Dusun Amaholu. Sehingga biaya
pembangunannya diberikan atas swadaya masyarakat. Kemudian dalam perjalanan
selanjutnya, barulah muncul bantuan-bantuan sukarela dari berbagai pihak. Kontruksi
gambar mesjid diberikan oleh Drs. Abdin Gumale. Bersamaan dengan gambar mesjid
Amaholu Los. Kontruksi bangunan mesjid, seperti sekarang ini sedikit mengikuti
dan meniru mesjid ala modern.
Tahap awal kelahiran kembali mesjid “Raudatul
Jannnah” ini, ditukangi oleh empat orang tukang yang berasal dari Dusun Amaholu
sendiri, diantaranya, Bapa Daen Andu, Bapa Latif, Bapa Calo, dan Bapa Lihi.
Usai pondasi, tingan kabah, dan tiang penyanggah lainya selesai dibuat. Pada
tahun 2005 difokuskan pada cor lantai dua. Ketika puncak acara cor lantai dua
ini digelar, kepala dusun atas nama masyarakat Amaholu turut mengundang
beberapa dusun-dusun tentangga, diantaranya Dusun Batulubang, Asamjawa,
Hatawano, Losy, Mangge-mangge, Talaga, sampai
Dusun Kambelu, di tambah lagi dengan tenagga dari siswa-siswa SMA
Huamual Barat Talaga, dan Siswa MTS Muhammadiyah Amaholu.
Pelaksanaan pengecoran tahap kedua, dilantai tiga,
atau lantai terakhir, di lakukan pada tahun 2006. Pengecoran kedua kalinya ini
lebih meriah dari pengocoran lantai sebelumnya. Karena untuk mensiasati pekerjaan
pengecoran itu, dan bisa cepat diselesaikan sehari. Kepala Dusun Amaholu lalu mengudang
dusun-dusun tetangga, seperti halnya pencoran masal pertama lantai kedua.
Didalam pencoran kali kedua ini, atas inisiatif bersama pemuda Dusun Amaholu,
kemudian mengundang pemuda dari Dusun Saluku, untuk bermain voly ball dan bola kaki, sebagai bentuk persahabatan antar kedua kelompok pemuda
itu. Kegiatan kepemudaan itu, diakhiri dengan pengecoran lantai tiga mesjid, yang
kedua kalinya, secara bersama-sama dengan seluruh masyarakat Dusun Amaholu dan dusun-dusun
tetangga, serta pelajar SMA-MTS yang di undang. Dari usai pekerjaan itu,
masyarakat Amaholu di bawah arahan empat orang tukang Bapa Daen, Bapa Lihi,
Bapa Calo, dan Bapa Latif, mulai mengerjakanya secara perlahan-lahan hingga
mesjid sudah bisa difungksikan melaksanakan shalat, dengan model mesjid
bersusun tiga, sesuai tututan gambar artektur mesjid itu.
Meskipun mesjid itu sudah bisa diguanakan untuk
melasanakan shalat, namun belum sepurnah kontruksi sebuah mesjid, jika tampa
mengunakan menara (tubu). Olehnya itu,
pada tahun 2007 di pesankanlah lima tubu dari Makassar, dan satu buah tubu besar,
sebagai menara induk. Empat tubu sedang, terpasang dilantai tiga mengelilingi
tubu induk. Keempat tubu itu berputar, dikala angin sedang bertiup, dan tempat
diletakannya alat pengeras suara (Toa). Diatas tubu symbol bulan bintang
menghiasi menara. Mesjid ini terdiri dari tiga buah pintu utama. Terdapat empat
tiang utama, di dalam mesjid. Tiang itu, secara simbolis seperti tiang kubus,
(kabah). Sedangkan dinding kiri, kanan, dan diniding depan, sebagian belakang
dibuatkan luban angin dari batu angin.
Dengan posisi bedug ditempatkan di sisi sudut kanan depan mesjid.
Agar mesjid itu tekesan indah, maka pada tahun
2014, mulai diprofil kembali, dimana sebelumnya pernah diprofil, tapi oleh
tukang yang menangani pekerjaan itu tidak menyelesaikannya, hingga profil
sebelumnya dibongkar oleh tukang baru. Pekerjaan itu dilakukan sampai 2015
(skarang), lihat gambar. Anggaran profil dan penyempurnaan pembangunan mesjid, yang
berdasarkan sumber lisan dari bendahara mesjid Raudatul Jannah, Dusun Amaholu,
berkisar kurang lebih 100 juta rupiah, dengan biaya tukang sebesar 70 juta
rupiah. Sumber dana mesjid itu, diperoleh dari swadaya masyarakat, dan bantuan
(sedekah) dari berbagai pihak. Baik dari dalam kampung Amaholu, maupun dari
luar kampung.
3, Penutup
Sejarah pembanguanan mesjid itu, sangat penting
untuk di ciptakan, hingga tidak sekedar tuturan lisan dari sang penutur, tetapi
juga diciptakan dalam bentuk tulisan. Agar generasi yang tidak hidup sezaman
dengan penciptaan mesjid itu, bisa mengetahui. Mereka bisa membaca sumber
tulisan itu, agar mereka nantinya dapat bercermin dari semangat kebersamaan dan
persaudaran masyarakat generasi terdahulu di kampung mereka. Tulisan diatas
hanyalah sekedar gambaran kecil dari berbagai alur cerita sejarah yang
fenomenal dan sentral di Dusun Amaholu.
Hikmah yang dapat dipetik dari cerita sejarah
mesjid itu untuk generasi Amaholu saat ini adalah, semangat persaudaraan dan
kebersamaaan dan gotong royong masyarakat terdahulu lebih terjaga eksitensinya,
hingga dapat mendirikan sebuah mesjid yang megah. Tampa kebersamaan dan
semangat persaudaraan mustahil mesjid sebesar itu, dapat terbangun. Karena
itulah, betapa pentingnya menjaga kebersamaan dan persaudaran sesama orang
sekampung. Mencegah hal-hal yang mungkar yang melanda kampung. Sebab, hal itu
hanya akan menimbulkan konflik internal sesame masyarakat kampung yang dapat
menimbulkan perpecahan. Satu kampung bisa saja terbagi dua, hanya karena ulah
individu. Maka, kembangkanlah sesuatu yang positif untuk kampung. Dan jangan
pernah lupa akan sejarah kampung dimana kita dilahirkan. Jika, kita lupa itu,
maka kita juga lupa sejarah tanah kelahiran kita. Mulailah menulis menciptakan
sejarah dari hal-hal yang kecil sekarang, karena kedepan hal yang dianggap
kecil itu boleh jadi dianggap besar oleh generasi kedepan. Generasi yang tidak
lagi hudup sezaman dengan kita skarang.
Komentar
Posting Komentar