![]() |
Motor Piber: Sumber, IPMAM. |
Orang Buton yang kini bermukim di pesisir
pantai Hoamual Barat, khususnya di Kampung Amaholu,
Huamual, Seram Bagian Barat (SBB), Maluku, masih mengembangkan
tradisi maritim (berlayar) dan papalele
(berdagang keliling). Meskipun para pelayar ini juga mengembangkan usaha lain, pihamota (berkebun) ubi-ubian, sayur-sayuran,
kelapa, cengkeh, dan pala, tetapi tradisi perlayaran dan perdagangan maritim
ini, masih tetap dijadikan sebagai mata pencarian ungulan. Aktivitas
berlayar-berdagang keliling ini, sudah dilakukan secara regenerasi, dari masa
ke lampauan hingga kondisi ke kinian.
Ketangguhan dan keuletan mereka dalam
melakukan aktivitas pelayaran ditengah ruang samudra, tidak bisa lagi diragukan.
Menghadapi berbagai peristiwa alam seperti, angin kencang, gelombang laut, atau
cuaca buruk, pada musim barat dan musim timur, sudah dianganggapnya sebagai hal
yang biasa-biasa saja, dan bukan sesuatu yang menakutkan. Anggapan pelayar Buton
di Dusun Amaholu bahwa fenomena alam seperti itu, lazim terjadi dalam dunia
pelayaran dan perdagangan yang melintasi ruang samudra. Meskipun perahu dan nyawa
mereka terkadang menjadi taruahnya. Dengan berpegang pada prinsip berlayar
seperti meminjam istilah Abd. Rahhman Hamid, dalam buku Orang Buton Suku Bahari
Indonesia (2011), “Sabangka Asarope” satu teman berlayar,
satu arah haluan atau tujuan.
![]() |
Perahu Bangka, sumber: Google. |
Solidaritas sesama awak dalam konteks Sabangka Asarope ini, di dalam aktivitas
pelayaran dan perniagaan dalam satu perahu perlu diperhatikan serta dijunjung
tinggi. Seluruh awak kapal harus berpegang dalam satu pemikiran, satu tujuan, tunduk, dan patuh terhadap
satu komando, serta mengikuti apa yang diarahan dan dianjurkan juragang, selaku
pimpinan tertinggi dalam perahu. Kalaupun ada kesalapahaman sesama awak dalam
perahu, maka juragang terlebih dahulu harus menyelesaikanya. Sebelum melakukan
aktivitas pelayaran. Jika, kesalapahaman
itu terjadi ditengah laut, maka sebelum turun ke darat harus diselesaikan. Demikian
pula sebaliknya. Sebab jika tidak, maka akan berimbas pada nasip sial, seperti
kecelakaan perahu. Singkatnya, permasalah sesama awak di laut, harus
diselesaikan di laut, dan masalah di darat harus diselesaikaan di darat. Dengan
berpegang pada komitmen, sekali menancapkan layar pantang berbalik.
Para pelayar ini akan kembali ke
kampung halaman mereka, ketika sudah membawa hasil dan berhasil. Telah menjadi prestise social (harga diri) bagi pelayar, jika mereka berlayar dan
kembali tidak membawa hasil dan berhasil.
Prinsip ini telah tertanam di dalam
benak mereka sebagai pelayar, dan menjadi penyemangat disetiap aktivitas pelayaran.
Selain itu, ada sesuatu yang di sakralkan
pomali (larangan) bagi para pelayar Buton, lebih khusus orang Buton di
Dusun Amaholu ketika sedang berlayar. Dimana perahu harus berbalik haluan ketempat
semula (star awal), disaat perjalanan itu belum sampai ke tempat tujuan. Kemudian
disisi lain, hal yang biasa dipomalikan
pelayar Buton di Dusun Amaholu yaitu awak kapal yang sudah menikah terutama
juragang, harus berbaik hati dengan isrtinya. Dalam artian, rumahtangga harus akur.
Sebelum melakukan aktivitas berlayar-berdagang.
Keberanian dan ketangguhan orang Buton di
Dusun Amaholu dalam mengarungi ruang samudra ini. Sudah sepatutnya, dan
sepantasnya, mendapatkan julukan sebagai “Komunitas Maritim” di Kabupaten SBB.
Betapa tidak? para pelayar di Dusun Amaholu ini,
telah melakukan pelayaran ke berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, nenek moyang
mereka (Binongko) dalam kurun niaga, sudah berlayar dan membangun kontak
jaringan perdagangan maritim menjangkau wilayah mancanegara, seperti Malaysia, Singapura,
Filipina Selatan, Deli, Palau disebelah timur Filipina, dan jalur pelayaran itu
dianggap sebagai rutinitas biasa. Kedatangan orang Buton di Pulau Seram,
termasuk di Dusun Amaholu pun, tidak terlepas dari sejarah pelayaran tradisional
dan perniagaan itu sendiri.
Wilayah
timur seperti Irian, Nusa tenggara Timur, (Flores) Nusa Tenggara Barat (Bima), kepulauan
Maluku, Maluku Utara, dan pulau-pulau
terdepan dan terluar, dan wilayah Barat seperti
Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali. Wilayah Indonesia tengah, seperti Sulawesi
Selatan, (Makassar) Sulawesi Tenggara (Kepulauan Buton,
Bau-Bau dan Kendari), Sulawesi tengah (banggai, dan luwuk), Sulawesi
Utara (Manado dan Bitung) dan hampir
seluruh kepulauan Indonesia, telah
dijangkau oleh para pelayar Buton di Dusun Amaholu. Mereka telah mendekatkan
pulau-pulau dalam konteks geografi, dan ruang kulrutal yang utuh tentang
Indonesia. Hal itu, terdengar dari cerita-certia yang terekam dalam ingatan kolektif
para pelayar sebagai pelaku sejarah di Dusun Amaholu. Mereka dengan gampangnya
menyebut nama daerah, jenis angin, sebaran karang di laut, dan krateristik masyarakatnya,
di tempat yang pernah di kunjungi. Fakta ini membuktikan, bahwa aktivitas berlayar orang Buton di Dusun
Amaholu, dalam mengarungi laut telah mendekatkan ruang komunikasi. Mereka pun
dapat membentuk jaringan dagang, dengan berbagai etnis di kepulauan Indonesia.
Orang
Buton di Dusun Amaholu sudah mengeluti dunia pelayaran taradisonal ini, sejak
dari berlayar menguanakan perahu Bangka,
yang masih mengandalkan kekuatan angin sebagai tenaga pengerak perahu, Motorisisasi
perahu layar, sampai dengan Motor Piber, sekarang. Kepawaian mereka dalam
aktivitas kebaharian ini, ternyata bukan hanya bisa berlayar mengarungi ruang
samudra, dan membentuk jarigan dagang dengan masyarakat disetiap daerah yang
dijumpai, tetapi mereka juga pandai membuat perahu Bangka.
Komentar
Posting Komentar