REVIU BUKU
TEORI DAN
METODOLOGI
Ilmu Pengetahuan
Sosial Budaya Kontemporer
Pengarang: Dr.
Akhyar Yusuf Lubis
Ed.1-Cet.1-
Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Buku ini menjelaskan tentang konsep, teori, da
metodologi yang sangat penting utuk kajian sosial-budaya kontemporer (Radikal).
Pembahasan di buku ini di mulai dari pemikiran Neetszche yang pemikiranya
disebut sebagai inspirator bagi pemikiran postmederen. Pembahasan
dimuali dari dari pemikiran Nietszche yang pemikiranya disebut sebagai
inspirator bagi pemikiran posmoderenis. Selanjutnya dibahas tentang
sturukturalisme dari Max, Freud, Levis Strauss dan Ferdinan De Saussure.
Strukturalisme Saussure mendapat porsi pembahasan yang cukup rinci karena
konsep dan teorinya diperlukan untuk memahmi apa yang dikritik secara radikal
oleh Poststrukturalis (khususnya Derrida) pada strukturalisme Saussure.
Poststrukturalisme kemudian dipaparkan sebagai
reaksi atas pemikiran strukturalis yang mendekonstruksi: sistem/struktur, makna
dan oposisi biner, keterlepasan makna dari konteks pada strukturalisme
Saussure.
Pemikiran postrukturalisme dan posmodernis seperti
Francios Lyotard, Jacques Derrida, Michel Foucault dan Richad Rorty, yang
disebut sebgai nabi posmoderen, menjadi pembahsan penting pada bagian
berikutnya. Julukan nabi posmoderen pada keempat pemikir ini menunjukan betapa
pentingnya pemikiran mereka untuk memahami berbagai konsep dan teori posmoderen
itu. Memahami pemikiran mereka berarti membuka jalan bagi pemikiran kita untuk
memahami pemikiran posmoderen yang berkembang pada berbagai bidang studi yang
dipengaruhi oleh teori posmoderen itu seperti: Sosiolegi posmoderen, teori
hukum posmoderen, pisikologi posmoderen, politik virtual atau politik
posmoderen, manajemen posmoderen, teori postokolonial, teori feminis, curtural studies, multikikulturalisme
dan lain-lain.
Dalam buku ini penulis mencoba mengkaji
pemikiran Riedrich Wilhelm Nietszche
dan pengaruhnya terhadap pemikiran Posmodernis. Pemikiran Nietzsche patut dan layak difahami oleh teoritisi sosial dan
politik, terutama karena pengaruhnya yang besar bagi pemikiran postruk-turalis
dan posmodernis yang mewarnai pemikran ilmu pengetahuan sosial-budaya sekarang
ini.
Nietszhe tidak
mendukung kapitalisme yang disebut sebagai ideologi yang berusaha mempercepat
kemajuan budaya dan kekuatan individu. Ia menganggap orang-orang yang terlibat
dalam ekonomi kapitalis sebagai ”semut semut pekerja” yang giat yang digerakkan
oleh pemilik modal. Meskupun ia mengkritik kapitalis, namun Nietszche bukan
pendukung sosilisme, baginya sosialisme hanya sekedar pendukung saja bagi
perubahan sosial. Sementara
a”a akan lemah dan tumbang.
Nietszce cendrung menekankan budaya dan kehendak untuk acuh (willto
deception) terhadap ilmu pengetahuan dan kebenaran. Ilmu
pengetahuan diasosiasikannya dengan
rasionalitas dan asketisme, sementara budaya dikaitkan dengan permainan
irasionalitas bebas. Banyak posmodernis mengambil inspirasi dari Nietzsche, namun umumnya dalam beberapa hal mereka
berbeda dengan Nietszhe, seperti kecendrungan posmodernis pada
sayap pada egalitarianisme, hak-hak asasi, dan liberalisme.
egalitarianisme” yang menyertai kapitalisme menurut Nietszche mengakibatkan individu dan
buday
1.
Biografi Nietzsche

Pada
tahun 1854, Nietzsche masuk Gymnasium di kota Naumburg, namun empat
tahun kmudian ibunya memintanya belajar di sebuah sekolah asrama Lutheran di
kota Pforta. Di sanalah dia membaca karya banyak sastrawan dan pemikir besar.
Selain itu dia juga tertarik dengan kebudayaan Yunani Kuno.
Dia
meneruskan studinya di Universitas Bonn pada tahun 1864 bersama teman-temannya
dari Pforta. Tahun 1965, dia belajar filologi di Leipzig. Studinya tersebut
kemudian terputus ketika pada tahun 1867, dia diminta untuk menunaikan wajib
militer. Lalu, karena jatuh dari kudanya dan terluka, dia kembali lagi ke Leipzig
dan belajar lagi. Pada inilah dia berteman dengan Richard Wagner, komponis
Jerman yang nantinya akan berpengaruh banyak pada kehidupan Nietzsche.
Persahabatan itulah yang kemudian berpengaruh pada periode pertama riwayat
intelektualnya. Pada periode itu, bersama temannya dia berkutat pada pemikiran
mengenai kelahiran kembali seni Yunani Kuno.
Sekitar
tahun 1869, dia menjadi dosen di Universitas Basel. Waktu itu usianya baru 24
tahun dan belum meraih gelar doktor. Dia memilih untuk menjadi seorang ateis. Di
masa itu jugalah hubungan dengan Wagner semakin memburuk. Dia merasa diperalat
demi kemahsyuran Wagner. Terlebih karena Wagner kemudian menjadi Kristen.
Kemudian dimulailah periode intelektual Nietzsche yang kedua. Periode ini
menghasilkan beberapa karya.
Yang
disebut periode ketiga adalah di mana ketika Nietzsche menemukan kemandiriannya
dalam berfilsafat. Selama periode inilah, dia sakit-sakitan dan kesepian. Dia
mengalami ketegangan mental. Nietzsche terobsesi untuk selalu menyanjung
dirinya. Pada bulan Januari 1889, Nietzsche menjadi gila. Dia banyak mengaku
sebagai orang-orang terkenal dari Ferdinand De Lesseps, arsitek terusan Suez,
sampai bahkan mengaku sebagai “yang tersalib”. Dia meninggal dunia di dalam
kesepiannya di Weimar pada tanggal 25 Agustus 1900 karena Pneumonia.
2.
Latar
Belakang Pemikiran Nietzsche
Nietzsche adalalah
seorang filsuf penting. Dialah yang peramakali yang menyadari apa arti ‘moderen
bagi masyarakat Eropa Barat. Ia juga melihat betapa nilai-nilai dan kepercayaan
Kristen yang telah berkembang selama selama dua ribu tahan akan segera
berakhir. Dengan hilangnya kepercayaan ini berarti kehidupan individual kita
tidak bermakna lagi.
Konsekwensi yang paling buruk dari hilangnya kepercayaan itu adalah bahwa semua nilai-nilai nterpenting dari kepercayaan Barat dianggap hanya berupa “metafisika” yang tidak memiliki landasan. Bagi Nietzsche situasi dan fakta ini harus dihadapi dengan jujur.
Konsekwensi yang paling buruk dari hilangnya kepercayaan itu adalah bahwa semua nilai-nilai nterpenting dari kepercayaan Barat dianggap hanya berupa “metafisika” yang tidak memiliki landasan. Bagi Nietzsche situasi dan fakta ini harus dihadapi dengan jujur.
Nietzsche
banyak mengkritk pemikiran para filsuf besar lainya, seperti Phitagoras,
apalagi Socrates, yang danggapnya terlalu merendahkan dirinya sebagai orsang
awam (roturier) yang tidak tahu
apa-apa. Socrates dianggapnya sebagai perusak moral leluhur pemuda Atena dan
moral demokratiknya, yang oleh Nietzsche dianggapnya sebagai moral budak. Plato
juga tidak terlepas dari Nietzsche yang dianggapanya sebagai filsuf yang tidak
memiliki keutamaaan; filsafatnya hanya sekedar mencampur adukan filsafat (philoshopos hybrides) sebelumnya saja. Untuk
menghindar moral budak tentu saja ia tidak suka dengan pemikiranya Kant, yang
dituduhnya sok moralis; ia juga tidak suka dengan pemikiran fanatise moral
seperti pada Rosseau. Dilsafat pemikiran Nietzsche sejalan dengan The Prince-nya Machiavelli. Keduanya
sama-sama anti Kristen dan sama-sama menagungkan kekuasaan.. ia secara
terusterang menyukai apa yang selama ini oleh orang-orang dianggapnya buruk
daripada yang baik.
3.
Tuhan
Sudah Mati
Tuhan
sudah mati, demikian
ungkapan Nietzsche yang terkenal. Dengan diberikannya konsep “mati” di
dalam Tuhan, Nietzsche ingin mengatakan bahwa keberadaan Tuhan tergantung pada
sintetis. Tuhan menjadi argumen yang dapat dipertanggungjawabkan hanya terkait
dengan waktu, menjadi, sejarah, dan manusia. Oleh sebab itulah, Nietzsche
memberikan konsep kematian di dalam argumennya tentang Tuhan.
Dengan kematian Tuhan, Nietzsche
kemudian mengajukan konsep kelahiran Tuhan baru. Jika Tuhan mati, manusialah
yang menjadi Tuhan. Yesus adalah kurban yang harus mati di kayu salib. Kematian
yang kemudian disamarkan menjadi sebuah kepercayaan saleh akan cinta Tuhan.
Tuhan mengorbankan Yesus demi terbebas dari diriNya sendiri dan orang Yahudi.
Tuhan perlu membunuh putraNya untuk terbebas dari diriNya sendiri dan lahir
kembali menjadi Tuhan baru yang universal. Demikianlah arti kematian Tuhan yang
pertama.
Yang kedua, kesadaran Yahudi
menginginkan Tuhan yang lebih universal. Dengan matinya Tuhan di kayu salib,
Tuhan tidak tampak lagi keyahudiannya. Yahudi lebih memilih menciptakan Tuhan
yang penuh kasih dan rela menderita karena kebencian. Dengan nilai kasih yang
lebih universal, Tuhan Yahudi telah menjadi Tuhan universal. Tuhan yang lama
mati dan Putera menciptakan Tuhan baru bagi kita yang penuh kasih.
Arti ketiga dari kematian Tuhan
berkaitan dengan agama Kristiani. Nietzsche mengartikan lain teologi St.
Paulus. Teologi Paulus yang banyak dijadikan dasar ajaran kristiani adalah
pemalsuan besar-besaran. Dikatakan demikian karena Kematian Putera adalah untuk
membayar hutang Tuhan. Nietzsche melihat terlalu besar hutangNya. Tetapi
kemudian, Tuhan mengorbankan PuteraNya bukan lagi untuk membebaskan diriNya
melainkan demi manusia. Tuhan mengirimkan PuteraNya untuk mati karena cinta,
kita menanggapinya dengan perasaan bersalah, bersalah atas kematian tersebut
dan menebusnya dengan menyalahkan diri sendiri.
Demikianlah kemudian Nietzsche menyebut kita semua sebagai pembunuh Tuhan dengan semua kedosaan kita. Inilah moralitas budak yang dikritik Nietzsche. Budak bertindak bukan atas dasar dirinya sendiri melainkan ketakutan akan tuannya. Tindakannya selalu didasarkan pada perintah tuannya. Bertindak sendiri akan menyangkal kodratnya dan dianggap sebagai kesalahan. Berbeda dengan moralitas budak, moralitas tuan merupakan sikap yang sebaliknya. Moralitas tuan tidak mewujudkan apa yang seharusnya dilakukan tetapi apa yang senyatanya dilakukan. Moralitas tuan menghargai dirinya sendiri. Mereka selalu yakin, perbuatannya baik.
Demikianlah kemudian Nietzsche menyebut kita semua sebagai pembunuh Tuhan dengan semua kedosaan kita. Inilah moralitas budak yang dikritik Nietzsche. Budak bertindak bukan atas dasar dirinya sendiri melainkan ketakutan akan tuannya. Tindakannya selalu didasarkan pada perintah tuannya. Bertindak sendiri akan menyangkal kodratnya dan dianggap sebagai kesalahan. Berbeda dengan moralitas budak, moralitas tuan merupakan sikap yang sebaliknya. Moralitas tuan tidak mewujudkan apa yang seharusnya dilakukan tetapi apa yang senyatanya dilakukan. Moralitas tuan menghargai dirinya sendiri. Mereka selalu yakin, perbuatannya baik.
4.
Nihilisme Nietzsche
Nihilisme adalah
paradigma yang dibangun oleh Friedrich Wilhelm Nietzsche yang melihat segala
sesuatunya dengan nihil. Nihilisme tidak dibangun melalui suatu keadaan yang
ada, melainkan pada dasarnya terkonstruksi oleh nilai-nilai nihil itu sendiri.
Nilai-nilai ini tidak dilihat dari satu sisi kiri, kanan, maupun di
tengah-tengah. Ia berada pada sebuah ruang dan waktu yang berada di manapun. Ia
bisa menjadi kiri sedikit kanan, ataupun sebaliknya, ataupun tidak keduanya,
bahkan ia pun tidak bisa juga disebut sebagai ia dalam bentuk yang lebih mudah.
Ia tidak terbatas, dan berada beyond pada semua bentuk, termasuk pada
aspek posisinya.
Nietzsche berperan penting dalam melihat bagaimana sebuah ide dapat menjadi bentuk yang nihil, bukan lagi nyata atau semu, ataupun gabungan keduanya. Nihil adalah suatu sifat, keadaan, bentuk, atau apapun yang tak terhingga. Ia memerlihatkan suatu ide maupun benda yang diakomodasi oleh nilai-nilai yang tidak dibentuk oleh akomodasi nilai-nilai posisi lainnya. Oleh karena itu, Nietzsche mengambil bentuk tertinggi pikiran manusia untuk dihancur-leburkan dalam suatu bentuk yang tidak ada, yaitu Tuhan.
Nietzsche berperan penting dalam melihat bagaimana sebuah ide dapat menjadi bentuk yang nihil, bukan lagi nyata atau semu, ataupun gabungan keduanya. Nihil adalah suatu sifat, keadaan, bentuk, atau apapun yang tak terhingga. Ia memerlihatkan suatu ide maupun benda yang diakomodasi oleh nilai-nilai yang tidak dibentuk oleh akomodasi nilai-nilai posisi lainnya. Oleh karena itu, Nietzsche mengambil bentuk tertinggi pikiran manusia untuk dihancur-leburkan dalam suatu bentuk yang tidak ada, yaitu Tuhan.
5. Kembalinya Segala Sesuatu dan Ubermensch
Konsep “kembalinya segala sesuatu” secara
abagi termasuk konsep Nietzche yang penting. Nietzsche menyatakan segala sesuatu pergi, segala sesuatu dating
kembali; berputarlah roda hakikat itu secara abadi. Ada dua konsep penting
yang dikemukakan Nietzsche malalui buku, Thus Spake Zarathustra (1884) yaitu: “Kembalinya segala sesuatu´ (eternal
recurrence of the same) atau pengulangan abadi´ serta Uberbermensch (Overman,
superman). Konsep
eternal recurrence of the same´ atau Kembalinya segala sesuatu´ secara abadi
termasuk konsep Nietzsche yang penting. Konsep perulangan secara abadi ini
mungkin diambil Nietzsche dari Schoupenhauer yang dipengaruhi oleh konsep
Buddhisme (reinkarnasi). Kembalinya segala sesuatu dan
Ubermensch
diajukan sebagai cara untuk mengatasi kekacauan dan nihilisme yang melanda
dunia Barat sesudah runtuhnya pandangan dunia agama Kristen dan pandangan dunia
ilmiah. Jika tidak ada Tuhan dan tidak ada nilai-nilai yang abadi, alam semesta
yang kita tinggali menjadi absurd (bandingkan dengan Albert Camus), maka
pandangan Nietzsche bisa benar, dan masing-masing harus mencipta dirinya
sendiri.
Nietzsche
menyatakan bahwa;
Segala sesuatu pergi, segala sesuatu
datang kembali berputarlah roda hakekat itu secara abadi´.
Konsep
ini juga mengemukakan tentang alam yang tidak berawal dan berakhir. Segala
sesuatu itu mati, segala sesuatu itu berkembang kembali; berlangsunglah
rangkaian hakekat itu secara abadi. Konsep Kembalinya Sesuatu´ secara abadi
juga dianggap sebagai antitesis terhadap konsep penciptaan serta kekekalan.
Sejarah berjalan sebagai siklus-siklus besar, sehingga makna hidup hanya ada
dalam kehidupan itu sendiri. Jika kita sadar bahwa bahwa pilihan-pilihan bebas
akan tindakan kita akan berulang kembali secara terus menerus, maka diandaikan
bahwa kita harus berhati-hati dalam menentukan pilihan dan bertindak. Karena
masa depan kita ditentukan sendiri oleh pilihan-pilihan tindakan kita sekarang.
Alasannya
adalah, karena keberulangan ini dapat mendorong manusia untuk mencari
kebahagian dalam hidup, karena kebahagian itu kelak berulang lagi, sehingga
manusia tidak perlu takut mati. Dalam pandangan ini tidak ada sesuatu
yang baru pun dalam alam ini, ia hanyalah perulangan semua yang ada sebelumnya.
Pilihan bebas dalam menentukan tindakan, sesungguhnya paradoks dengan prinsip
pengulangan abadinya, karena pengulangan bukan merupakan proses yang berkembang
terus secara linear dan kreatif. Jika kehidupan kita sekarang hanya pengulangan
masa lalu kita yang buram dan menderita seperti pengalaman Nietzsche sendiri, bagaimana
ia berulang menjadi kehidupan bahagia dan menjadi Ubermensch?
6.
Kehendak
untuk Berkuasa
Manusia atas selalu berhubungan dengan suatu
tujuan-tujuan; kehendak untuk berkuasa (Will to power). Kehendak
berkuasa adalah hakekat segala sesuatu, termasuk di dalam pengetahuan. Bukan
saja manusia atas, melainkan juga semua manusia. Akan tetapi tujuan manusia
atas tidak pernah mengacu pada hal lain selain dirinya sendiri. Kehendak
berkuasa harus secara tegas melampaui manusia. Pemikiran ini adalah cara bagi
Nietzsche untuk menyingkirkan moralitas dan menggantinya dengan konsep Ubermensch
di mana manusia atas selalu bertindak murni dari dirinya sendiri.
Sekilas tampak bahwa manusia atas
adalah manusia egois yang mengabaikan manusia lain. Tetapi Nietzsche tidak
sependapat. Menurut Nietzsche, manusia atas tidak pernah mendominasi yang lain
atau mengorbankan yang lain secara biologis maupun politis. Nietzsche menyebut
hasrat kekuasaan yang salah sebagai “setan kekuasaan” atau “ hasrat fanatis
akan kekuasaan.”
Pengertian yang ditekankan Nietzsche
dari kehendak berkuasa adalah lebih merupakan suatu kualitas kehendak. Hal itu
adalah suatu kedalaman eksistensial demi mentransendenkan diri sendiri. Manusia
harus berusaha habis-habisan mencapai tujuannya. Dan itu tidak menggunakan
insting tetapi dengan penguasaan diri yang penuh.
Nietzsche
mengembangkan filsafat etika berdasarkan teori evolusi. Baginya, kalau hidup
adalah perjuangan untuk bereksistensi dimana organisme yang paling pantas untuk
bereksistensi dimana organisme yang paling pantas untuk hiduplah yang berhak
untuk terus melangsungkan kehidupannya, maka kekuatan adalah kebajikan yang
utama dan kelemahan adalah keburukan yang memalukan. Yang baik adalah yang
mampu melangsungkan kehidupan, yang berjaya, dan menang; yang buruk adalah yang
tidak bisa bertahan, yang terpuruk, dan kalah.
Hidup
adalah medan laga tempat seluruh makhluk bertarung agar bisa terus
melangsungkan hidupnya. Dan dalam pertarungna yang kita namakan keidupan itu,
kita tidak memerlukan kebaikan melainkan kekuatan; yang yang dibutuhkan dalam
hidup bukanlah kerendahan hati melainkan kebanggan diri;bukan altruisme,
melainkan kecerdasan yang sangat tajam. Dan, hukum kehidupan bukanlah hukum
yang dibuat oleh manusia, melainkan hukum yang dibuat oleh alam: kesamaan dan
demokrasi bertentangan dengan kenyataan seleksi alam dan kelangsungan hidup;
keadilan berlawanan dengan kekuasaan, merupakan wasit sejati dari seluruh
perbedaan dan seluruh nasib makhluk hidup.
7.
Reralifisme
dan Sekeptisme Epistimologi
Dari
pemikiran Nietzsche
dapat dikemukakan bahwa “ kebenaran adalah hasil konstruksi/ciptaan manusia
sendiri, yang berguna bagi mereka untuk melestarikan diri sebagai sepsis.
Pengetahan dan kebenaran adalah sebagai prangkat yang efektif untuk mencapai
tujuan, tetapi bukan entitas yang teranseden dari manusia. Kebenaran ilmiah
tidak mungkin ‘objektif’ karena hasil konstruksi manusia dab selalu sebagai
upaya melayani kepantingan dan tujuan tertentu manusia. Mengetahi tidak lain
adalah memasang katagori-katagori terhadap proses yang tidak beraturan, yang
menjadiakan dunia ini berguna bagi kita dan member kita kesan akan kekuatan dan
kekuasaan.
Nietszche menolak antara pemisahan baik dan jahat dengan mengatakan hal ini menonjolkan suatu moralitas teologis yang tidak pantas bagi seorang yang tidak punya keyakinan beragama. Esensi manusia baru yang dicanangkan Nietzsche kepada dunia adalah kebijaksanaan yang penuh bahagia, kesanggupan untuk mengadakanpilihan dalam keseluruhan dirisendiri dan dengan begitu tidak menyeleweng dari semua motif tindakan seorang.
Nietszche menolak antara pemisahan baik dan jahat dengan mengatakan hal ini menonjolkan suatu moralitas teologis yang tidak pantas bagi seorang yang tidak punya keyakinan beragama. Esensi manusia baru yang dicanangkan Nietzsche kepada dunia adalah kebijaksanaan yang penuh bahagia, kesanggupan untuk mengadakanpilihan dalam keseluruhan dirisendiri dan dengan begitu tidak menyeleweng dari semua motif tindakan seorang.
8.
Kritik
Nietzsche Terhadap Rasionalitas dan Kebenaran
Filsafat
Nietzsche sangat mengkritik pradikma rasionalitas Barat. Kritiknya terhadap
rasionalitas modern adalah upayanya untuk menerima kekayaan dimensi manusia,
dan tidak terperangkap oleh kebenaran moral dan rasionalitas saja. Untuk itu ia
menawarkan seni untuk memasuki dimensi manusia yang paling dalam, yang tidak
mampu dirai oleh rasio manusia.
Menurunnya seni dan
tragedi dapat mengatasi dekadensi kebudayaan Modern. Baik Shopenhauer maupun Nietzsche menolak gagasan Kant
yang mengangungkan rasio. Menurut Kant hanya rasiolah yang dapat memahami fenomena. Dengan keberanian
menggunakan rasio secara otonom pulalah manusia memperoleh
kedewasaannya (Pencerahan) dan modernitas. Schopenhauer dan Nietsche lebih
menekankan pada keinginan, hasrat daripada rasio. Ia menyetakan bahwa
rasionalitas sesungguhnya bersifat kontingen, dan klaim apapun tentang
kebenaran objektif adalah kekeliruan yang paling dalam.
Jadi, kebenaran ibarat kawanan tentara (divisi lokal)
yang masing-masing menjaga keamanan dalam wilayahnya sendiri-sendiri. Nietzsche
berpendapat bahwa bahasa tidak tepat untuk mengungkapkan kebenaran
tergantung pada pengakuan terhadap keragaman kultural dan komitmen terhadap
gagasan bahwa masing-masing kebudayaan memandang dunia dari skema konseptual yang terpisah atau sekama konseptual
masing-masing. Setiap klaim kebenaran menurut
Nietzsche tergantung pada pandangan dan perspektif tertentu, setiap
klaim kebenaran secara keseluruhan bersifat imanen dalam
sebuah kebudayaan dan bahasa serta argumen khusus. Nietzsche juga mengakui pluralisme kebudayaan
dan nilai-nilai yang satu sama lain tidak dapat dibandingkan.
Pluralisme Nietzsche juga sebagai penolakan terhadap logika
dialektika, karena dialektika mematikan pluralitas dengan pencarian konsensus.
9.
Penutup
Argumen-argumen relativis(me) Nietzsche yang didasarkan atas relativisme
kultural dan sejarah menunjukkan bahwa begitu banyak penjelasan-penjelasan yang berbeda-beda tentang
realitas sesuai dengan perbedaan perspektif dan budaya. Nietzsche menunjukkan bahwa
sistem pemikiran Barat didasarkan atas
sistem metafisika tertentu, misalnya, ajaran esoterik Nietzsche seperti
kehendak untuk berkuasa, kembalinya segala sesuatu secara abadi
yang sengaja diajukan untuk menunjukkan bahwa segala sesuatu itu menuju pada
arah “ketiadaan” (nothing).
Pemikiran
Nietzsche penuh dengan kontradiksi bahkan sebagian tidak benar, atau setidaknya
bertentangan dengan penemuan ilmiah misalnya konsepnya tentang alam yang tidak berawal dan berakhir. Apalagi gaya
tulisannya yang lepas dari kungkungan aturan ilmiah, cara menulis yang penuh
dengan ironi, metafora dan hiperbola. Gaya tulisannya
bergerak antara filsafat dan puisi, tubuh dan kesadaran, antara emosi dan
nalar. Nietzcshe dan pengikutnya yang muncul melalui filsafat
posmodern menggunakan metafora sebagai pengembangan makna di luar
yang diterima, untuk menginspirasi kata, pikiran, dan hidup.
Serangan Nietzsche
pada Agama Kristen serta pada ilmu pengetahuan dan kebudayaan Barat modern
seakan-akan sebagai upaya untuk meruntuhkan narasi-narasi besar zaman modern.
Francois Lyotard lah yang kemudian menyatakan secara tegas tentang runtuhnya
narasi-narasi besar zaman modern itu. Robert Pippin misalnya dengan jelas
menyatakan bahwa, filsafat Nietzsche dalam bahasa yang lebih fashionable adalah
sebuah solusi (bagi krisis modernitas) yang mendekonstruksi dirinya, akan
tetapi orang yang bertanggungjawab terhadap dekonstruksi bukan
tekstualitas itu sendiri, akan tetapi Nietzsche.
Salah satu
pemikiran Nietzsche yang menggema dalam filsafat ilmu pengetahuan sekarang
adalah pandangan bahwa ilmu pengetahuan sebagai aktivitas sosial dan kultural
yang sifatnya sangat terbatas, sesuai dengan keterbatasan manusia itu sendiri
(manusiawi). Pemikiran seperti ini dikemukakan Kuhn, Francois Lyotard, Jean
Baudrilard, Jacques Derrida, Michel
Foucault, Richard Rorty atau postrukturalis dan posmodernis umumnya. Nietzsche
dan pemikir-pemikir tersebut menawarkan pandangan tentang ilmu pengetahuan yang
baru, yang lebih bersifat pragmatis serta menyadari bias dan
beberapa keterbatasannya.
Pengaruh pemikiran
Nietszche terlihat pada pemikiran posmodernis seperti: metode dekonstruksi,
penolakannya pada kebenaran objektif dan universal, kematian subjek,
antifundasi-onalisme, antiesensialisme, pluralis, skeptisisme,
anti metafisika, dan ati dialektika, dan lain-lain. Pengaruh Nietszche yang begitu besar
terhadap sebagian besar pemikiran posmodernis (Francois
Lyotard, Jacques Derrida,
Michel Foucault, Richard Rorty, Filex Guattari, Gilles Deleuze, Jean
Baudrillard) yang menggunakan dan memperluas gagasan Nietzche pada
pemikiran mereka. Semua ini mengangkat nama
dan pemikiran Nietzsche kembali, sehingga Ia dijuluki sebagai Bapak
Posmodernis(me).
Meskipun Nietzsche
mensubordinasikan ilmu pengetahuan di bawah budaya, namun Ia
menyetujui pentingnya kehendak untuk kebenaran (will to truth), yaitu
kehendak untuk melihat realitas apa adanya, melihatnya realitas dan kehidupan
”dalam keanekaragaman, ketidakpastian”. Di sini individu yang berdaulat, visi
yang penuh gairah dan kecermatan disiplin diperlukan untuk menghadapi ”lautan
luas kehidupan” sebagai tugas berat dan serba mungkin. Sebuah ungkapan dari Nietzsche. “membuat orang gelisah,
itulah tugas saya.
Komentar
Posting Komentar