Bersama La Asis, Amaholu-Hatawano 13 Februari 2016, |
Laut menjadi penghubung bagi mereka, sehingga mengangap Sabang sampai Maroke yang disebut Indonesia itu, dekat. Terlebih lagi ketika “Budaya Maritim” dijadikan pilar utama dalam membangun negara Maritim Indonesia, maka tak bisa dipungkiri peran rakyat kecil yang hidup di daerah terpencil dalam meramaikan aspek kemaritiman itu. Karena pada hakekatnya, maritim adalah laut sebagai penghubung. La Asis, begitu banyak ceritnya, tentang pengalamnya berlayar mengarungi ruang samudera, dari koki (tukang masak), hingga menjadi Juragang (pemimpin dalam perahu). Berikut kisahnya:
Saya berlayar mulai kelas 6 SD, saya tidak tamat sekolah, tahun 1960-an, berhenti dari berlayar 2013. Saya berlayar dari perahu (bangka) tidak pakai mesin, pakai angin sebagai tenagga pengerak perahu. Sampai pakai mesin. Berlayar dari bangka, sampai Motor Piber. Pertamakali berlayar ke Obi, dengan bangka (perahu) Amawakamusi (tuan bangka).
Kami muat Pisang bahwa ke Tarnate. Pulang dari Tarnate kami muat beras, 10 karung lebih. Sampai di Buano ampersiang (pagi dini hari). Waktu itu hujan rintik-ritik. Terlihat dari kejauhan ada sebuah kapal besar, panjang, lampunya terang, tapi rata dengan air laut, tidak terlihat tiangnya, hanya warna kapalnya hitam. Kapal itu dari arah selatan, bergerak menuju halauan kami. Sedangkan kami dari arah utara. Perlahan kapal itu mendekat, semakin dekat dengan haluan.
Kami tau itu, bukan kapal yang sebenaranya, karena dari model lampunya, jelas rata, kalau kapal sebenaranya, ada tiang lampunya di belakang. “ItuOmpuntai (Hantu Luat),” kata Amawakamusi yang tengah mengemudi. Saya langsung mengatakan kepada Juragang, luruskan saja haluan, tabrak kalau mendekat. Pasti dia menghindar. Sebab, kalau kami yang menghindar, maka mahkluk itu juga ikut menghindar, menghalangi halauan. Benar jadinya, pas ketika dekat dengan kami, mahkluk itu, lansung berbalik haluan, dan tenggelam, tertelan ombak.
Saya berlayar lagi ke Ambalao, dengan bangka Dulatipu, mutan bangka itu 5 ton. Kami berangkat dari kampung (Amaholu) bulan lima, tapi sudah masuk musim Barat. Kami sampai di Ambalao 7 hari. Kami kerja Kayu Besi di Ambalao, tetapi sebelum kerja, kami minta ijin di kepala desa. Kemudian kepala desa beritahu tempat kayu. Kami yang potong sendiri di Hutan. Dulu belum ada mesin Sensor. Kami potong pakai Gergaji Buaya. Sejak kecil saya sudah pandai Buaya.
Kami yang kerja 10 orang. Gergaji enam buah. Satu buah gergaji ditarik dua orang. Satu orang di atas, satunya lagi di bawah, bergantian. Hasilnya kami dapat 10 kubik. Kayu itu kami jual kepada penduduk setempat. Harga Kayu Besi waktu itu, masih Rp 3000/kubik. Ukuran 10 x 10, panjang 3 meter. Selesai jual kayu kami kembali kampung.
Kemudian saya ke Sanana, berlayar dengan bangka Airkapaeya (Airpapaya). Saya punya rambanga (teman), Amawatole, Amasipu, Amabiji, kami punya koki Asalimu. Sampai di Sanana, kami lapor di desa. Kepala desa beritahu kami, bisa kerja kayu, tetapi pembagian negeri 1 kubik. Isilah mereka itu ngaseno (bagian negeri), masuk kas mesjid. Selesai kerja baru kasih kayu. Kami setujui itu. Tidak bayar lagi kalau negeri sudah dapat kayu. Kalau sudah pulang, kepala desa kasih keluar pasi (pasjalan). Sepulang dari itu, saya ke Bacan.
Di sana gegaji Kayu Lenggua (Cendana). Kami berlayar lima buah bangka dari kampung. Tiga bulan kami kerja kayu di Bacan. Kami jual kayu itu, di kampung setempat. Bagian negeri dua kubik. Itu sama dengan di Gani, Halmahera, waktu saya kerja kayu di situ. Bagian negeri juga 2 kubik.
Saya turun lagi ke Matola, Sanana. Dua kali saya ke Sanana. Setiap datang kami lapor di kepala desa setempat. Kami tanya kepala desa apa di sini ada kayu besar? Kepala desa katakan ada, tetapi bagian desa (Naseno) dua kubik. Berapapun kami dapat, tetap ngaseno 2 kubik. Kalau sudah setuju, baru kami kerja. Kami yang kerja 10 orang lebih. Saya ke Bitung, muat ikan Lompa, 20 ton lebih, ikan kering. Itu prak, 1 juta lebih satu ton. Setelah itu, ke Bitung lagi muat kopra 20 ton, tetapi kasih masuk di pasjalan hanya 10 ton lebih. Tidak bisa kasih masuk semua di dalam pas. Kalau tidak rugi kita. Sahbandar biasa liat muatan. Bayar di Sahbandar sesuai ukuran muatan.
Saya ke Jawa, muat kopra 5 lima ton, sesuai kapasitas bangka. Bangka dulatipu, yang pernah kami bawa terese kayu di Ambalao. BangkaGapu, model bangka itu, antara bom dan layar sama panjangnya. Belum pake layar Nede. Tali pandara pakai Kowao (tali hutan), manara bangka pakai tali Gemutu (di gulung sedemikain rupa). Untuk tali menaikan layar, mengunakan tali sabut kelapa,siloloe (digulung). Waktu itu belum ada tali Nilon. Nilaon, sudah sekarang-sekarang ini. Kami berlayar 6 orang. K
alau dibagi, muatan kami tidak sampai satu orang satu ton. Terhitung dari turun sampai balik Tiga bulan berlayar. Sampai di Jawa, ribuan bangka (Gersik) sudah berjejer di pelabuahan. Bangka dari Maluku, banyak sekali, ratusan yang turu saat itu. Kalau sudah mau keluar kami beritahu bangka rambanga untuk keluar sama-sama. Jadi kalau sudah naikan layar. Petugas perairan sudah datang, sandar dibangka. Mereka mau dapat jatah.
Kami pulang dari Jawa pesisir Bali, Kepulaun NTB Dan NTT, dan menyeberang dari laut flores ke Laut Banda, tembak Buru, hingga sampai ke Kampung, Pantai barat Seram-Maluku. Kami juga berlayar keirian, dan di pulau-pulau sekitarnya hanya untuk mencari hidup. Bersambung…..
Demikian kisah La Asis tentang dunia maritim yang di gelutinya. Masih banyak lagi kisahnya yang belum sempet direkam oleh penulis…
0 Komentar