Apalah arti sebuah nama. Begitulah sebagian orang
ketika berucap. Apabila yang didengarnya, nama tempat tertentu yang
dipermasalahkan. Namun dalam kehidupan bermasyarakat, kita pun sering mendengar
ungkapan, bahwa pemberian nama kepada seorang anak yang tidak cocok dengannya, maka
akan berdampak pada kondisi kehidupan si anak tersebut. Karena itu, tidak
jarang para orang tua di kampung, menganti nama anakanya yang sering kena
sakit-sakitan. Nama adalah simbol identitas. Karena itu, ia bermakna
dan mengandung makna yang mendalam. Pengunaan nama yang diletakan kepada sebuah
tempat, biasanya diambil dari sejarah kelam, tentang tempat tersebut, tetapi
biasanya pula mengandung unsur “politik memori” dari orang yang meletakan dasar
dari nama itu.
Diantara 11 Kecamatan yang terdapat di Kabupaten
Seram Bagian Barat (SBB), ada dua kecamatan yang mengunakan nama Hoamual
(Huamual), yakni Kecamatan Huamual yang berkantor di Negeri Luhu, dan Kecamatan
Huamual Belakang, yang berkantor di Waesala. Kecamatan Huamual merupakan
kecamatan yang baru dimekarkan bersamaan dengan beberapa kecamatan lain pada
tahun 2010. Sedangkan Kecamatan Huamual Belakang merupakan laujutan dari
kecamatan yang sebelumnya bernama kecamatan Waisala. Kecamatan ini, sudah lebih
dulu ada, jauh sebelum di mekarkannya Kabupaten SBB, dari Kabupaten induk
Maluku Tenggah, 2003 lalu.
Ada yang mengelitik di benak saya, ketika mencermati
kembali pengunaan istilah tersebut. Kecamatan Huamual, dan tidak di tambah
dengan kata “Depan,” padahal kecamatan ini, boleh dibilang “terdepan” dari kota
Kabupaten SBB, tetapi pemerintah daerah yang melatakan dasar kecamatan
tersebut, hanya mengunakan istilah Huamual. Ada Huamual Belakang, tetapi kenapa
tidak ada Huamual Depan?
Kalau dirunut ke belakang, tentang sejarah daerah
itu, maka sejauh yang kuketahui ketika membaca beberbagai sumber sejarah lokal
Maluku, belum ada sumber yang menyebutkan kalau saja di SBB, terdapat dua
Huamual dalam wilayah itu. Sumber dokumen, yang ditulis Van Hovel dan
diterjemahkan dalam buku, “Sejarah Kepulauan Maluku: Kisah Kedatangan
Orang Eropa Sampai Perdagangan Rempah.” Beberapa halaman bukunya, hanya
menyebut daerah Huamual, khusunya Luhu, Kambelo, dan Lesidi, pada masa lalu
daerah yang diperebutkan oleh Inggris dan Belanda. Demikian pula, Sejarawan
Lonard Andaya, juga dalam bukunya, “Dunia Maluku,” menyebut daerah tersebut
dengan sebutan Hoamual, yang terdapat tiga negeri utama, Luhu, Kambelo dan
Leisidi. Demikian juga, dalam catatannya Rompius, bahwa untuk daerah tersebut,
tidak ada penyebutan “Huamual Belakang.”
Sekali lagi hanya Huamual. Lalu apa dasar daerah
Waisala dan sekitarnya di masukan ke dalam sistem administrasi yang dinamai
Kecamatan Huamual Belakang? Apakah ini sudut pandang masa kini? Jika memang
benar, lalu apa pendasarnya kata “ Belakang” di ikutsertakan untuk menyebut
Huamual. Apabila sudut pandang itu, berdasarkan krateristiak wilayah geografis,
maka seharusnya ada Kecamatan- Huamual-Depan, di SBB.”
Pemeberian nama untuk daerah Huamual Belakang,
mungkin didasakan pada sudut pandang terdalam (pusat). Artinya, melihat SBB hanya
dari kota Piru sebagai pusat pemerintahan, sehingga wilayah-wilayah di Luar
Piru dianggap wilayah belakang dan terbelakang, Padahal yang di masud dengan
belakang itu adalah daerah yang jauh dari laut. Semantara jika Kecamatan Huamual
Belakang kalau dilihat dari kantor DPRD (gunung malintang), maka kita tidak
akan menemukan daerah belakang, justru yang kita lihat adalah laut ke dua-duanya.
Laut Piru dan Laut Waisala. Toh, Kita melihat ke depan laut, dibelakang laut juga.
Lalu yang dimasud daerah belakang itu dimana.? Inilah sudut pandang melihat SBB,
hanya dari kota Piru, sehingga wilayah di luar Piru adalah daerah belakang,
meskipun masih dalam satu wilayah, SBB. Itulah sebabnya, daerah itu masih
terbelakang dari pembangunan, sebab yang dikedepankan adalah daerah terdepan (Piru
dan sekitarnya).
Apalah arti sebuah nama. Begitulah sebagian orang
ketika berucap. Apabila yang didengarnya, nama tempat tertentu yang
dipermasalahkan. Namun dalam kehidupan bermasyarakat, kita pun sering mendengar
ungkapan, bahwa pemberian nama kepada seorang anak yang tidak cocok dengannya, maka
akan berdampak pada kondisi kehidupan si anak tersebut. Karena itu, tidak
jarang para orang tua di kampung, menganti nama anakanya yang sering kena
sakit-sakitan. Nama adalah simbol identitas. Karena itu, ia bermakna
dan mengandung makna yang mendalam. Pengunaan nama yang diletakan kepada sebuah
tempat, biasanya diambil dari sejarah kelam, tentang tempat tersebut, tetapi
biasanya pula mengandung unsur “politik memori” dari orang yang meletakan dasar
dari nama itu.
Diantara 11 Kecamatan yang terdapat di Kabupaten
Seram Bagian Barat (SBB), ada dua kecamatan yang mengunakan nama Hoamual
(Huamual), yakni Kecamatan Huamual yang berkantor di Negeri Luhu, dan Kecamatan
Huamual Belakang, yang berkantor di Waesala. Kecamatan Huamual merupakan
kecamatan yang baru dimekarkan bersamaan dengan beberapa kecamatan lain pada
tahun 2010. Sedangkan Kecamatan Huamual Belakang merupakan laujutan dari
kecamatan yang sebelumnya bernama kecamatan Waisala. Kecamatan ini, sudah lebih
dulu ada, jauh sebelum di mekarkannya Kabupaten SBB, dari Kabupaten induk
Maluku Tenggah, 2003 lalu.
Ada yang mengelitik di benak saya, ketika mencermati
kembali pengunaan istilah tersebut. Kecamatan Huamual, dan tidak di tambah
dengan kata “Depan,” padahal kecamatan ini, boleh dibilang “terdepan” dari kota
Kabupaten SBB, tetapi pemerintah daerah yang melatakan dasar kecamatan
tersebut, hanya mengunakan istilah Huamual. Ada Huamual Belakang, tetapi kenapa
tidak ada Huamual Depan?
Kalau dirunut ke belakang, tentang sejarah daerah
itu, maka sejauh yang kuketahui ketika membaca beberbagai sumber sejarah lokal
Maluku, belum ada sumber yang menyebutkan kalau saja di SBB, terdapat dua
Huamual dalam wilayah itu. Sumber dokumen, yang ditulis Van Hovel dan
diterjemahkan dalam buku, “Sejarah Kepulauan Maluku: Kisah Kedatangan
Orang Eropa Sampai Perdagangan Rempah.” Beberapa halaman bukunya, hanya
menyebut daerah Huamual, khusunya Luhu, Kambelo, dan Lesidi, pada masa lalu
daerah yang diperebutkan oleh Inggris dan Belanda. Demikian pula, Sejarawan
Lonard Andaya, juga dalam bukunya, “Dunia Maluku,” menyebut daerah tersebut
dengan sebutan Hoamual, yang terdapat tiga negeri utama, Luhu, Kambelo dan
Leisidi. Demikian juga, dalam catatannya Rompius, bahwa untuk daerah tersebut,
tidak ada penyebutan “Huamual Belakang.”
Sekali lagi hanya Huamual. Lalu apa dasar daerah
Waisala dan sekitarnya di masukan ke dalam sistem administrasi yang dinamai
Kecamatan Huamual Belakang? Apakah ini sudut pandang masa kini? Jika memang
benar, lalu apa pendasarnya kata “ Belakang” di ikutsertakan untuk menyebut
Huamual. Apabila sudut pandang itu, berdasarkan krateristiak wilayah geografis,
maka seharusnya ada Kecamatan- Huamual-Depan, di SBB.”
Pemeberian nama untuk daerah Huamual Belakang,
mungkin didasakan pada sudut pandang terdalam (pusat). Artinya, melihat SBB hanya
dari kota Piru sebagai pusat pemerintahan, sehingga wilayah-wilayah di Luar
Piru dianggap wilayah belakang dan terbelakang, Padahal yang di masud dengan
belakang itu adalah daerah yang jauh dari laut. Semantara jika Kecamatan Huamual
Belakang kalau dilihat dari kantor DPRD (gunung malintang), maka kita tidak
akan menemukan daerah belakang, justru yang kita lihat adalah laut ke dua-duanya.
Laut Piru dan Laut Waisala. Toh, Kita melihat ke depan laut, dibelakang laut juga.
Lalu yang dimasud daerah belakang itu dimana.? Inilah sudut pandang melihat SBB,
hanya dari kota Piru, sehingga wilayah di luar Piru adalah daerah belakang,
meskipun masih dalam satu wilayah, SBB. Itulah sebabnya, daerah itu masih
terbelakang dari pembangunan, sebab yang dikedepankan adalah daerah terdepan (Piru
dan sekitarnya).
0 Komentar